BAB I
PENDAHULUAN
Agenda kodifikasi kitab-kitab Hadis yang berlangsung secara
resmi atas sposnsor pemerintah ‘Umar bin ‘Abd al-‘Aziz[1]semenjak awal abad kedua hijriah mengalami
perkembangan yang cukup signifikan di masa-masa berikutnya. Fenomena tersebut
tidak hanya ditandai dengan segi kandungan atau materi Hadis yang terdapat di
dalamnya tetapi juga aneka tipe kodifikasi kitab-kitab dimaksud.
Pada mulanya, dilatari oleh kekhawatiran hilangnya
Hadis-hadis Nabi Saw, pada kurun awal abad kedua hijriah, al-Zuhri bersama Abu
Bakr bin Muhammad bin Hazm yang diikuti oleh banyak pihak yang terdiri dari
para ulama, birokrat dan unsur lainnya secara dominan hanya mengkodifikasi
Hadis-hadis Nabi Saw. Meski demikian tidak sedikit materi-materi yang ada
hubungannya dengan Hadis Nabi Saw, tercakup dalam kegiatan mereka tersebut.
Dengan demikian penyusunan materi yang dilakukan oleh para ulama itu
tercatat dalam dua kategori, yakni sebagai berikut:[2]
1.
Kitab-kitab yang
berisi Hadis-hadis Nabi Saw semata.
2.
Kitab-kitab yang
berisi Hadis-hadis Nabi Saw yang bercampur dengan keputusan resmi para
khalifah, perkataan atau komentar para sahabat dan tabi‘in.
Selain coraknya seperti yang di atas,
materi-materi yang dikodifikasikan dilakukan tidak secara sistematis. Dalam hal
ini mereka tidak mengklasifikasi Hadis-hadis dan materi lainnya berdasarkan
suatu topik tertentu. Adapun materi-materi yang dihimpun ketika itu bersumber
dari catatan-catatan Hadis Nabi Saw yang ditulis pada masa-masa sebelumnya
sampai masa tabi‘in
senior, A<tharpara sahabat dan fatwa tabi‘in.[3] Fenomena demikian terus
berlangsung hingga pertengahan abad keduahijriah.
Pada perkembangan berikutnya, ketika
memasuki paruh akhir abad keduahijriah dan seiring teritorial kekuasaan
pemerintahan Islam semakin luas, para ulama semakin banyak serta terlibat aktif
dalam usaha pencatatan Hadis. Sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, bahwa
hasil usaha pengumpulan hadis yang di prakarsai oleh al-Zuhri dan Abu Bakr bin
Muhammad bin Hazm yang masih sangat sederhana dalam metode penyusunannya,
menjadi salah satu acuan dalam penghimpunan hadis pada masa-masa selanjutnya.
Kemudian pada tahapan selanjutnya, metode pengklasifikasian berkembang menjadi
berbagai metode yang pada akhirnya metode-metode tersebut menjadi nama sebuah
kitab hadis. Hal ini disebabkan pada umumnya para penulis hadis tidak
memberikan nama-nama tertentu untuk kitab-kitab tulisannya. Materinya pun untuk
sebagian besar masih belum berubah. Dalam hal ini kitab-kitab yang dihasilkannya
di samping berisi Hadis-hadis Nabi Saw semata, juga bercampur dengan keputusan
resmi para khalifah, perkataan atau komentar para sahabat Nabi Saw tabi‘in. Namun demikian Hadis-hadis Nabi Saw yang
dikodifikasi pada masa ini telah terklasifikasir ke dalam berbagai bab, seperti
bab hukum Islam dan lainnya. Tercatatkitab-kitab Hadis dengan menggunakan
metode ini pada masa tersebut adalah kitab berjenis الموطأ(al-Muwatta‘), المصنف(al-Musannaf), المسند (al-Musnad) dan lain sebagainya.[4]
Uraian di atas merupakan pengantar
makalah ini yang selanjutnya akan membahas tipologi penulisan kitab Hadis
bertipe الموطأ(al-Muwatta‘)seraya menjadikan kitab الموطأ(al-Muwatta‘) buah karya dari Malik bin Anas sebagai sampel reprentatifkajian
utama dalam rangka mengupas tipologi kodifikasi kitab Hadis di paruh akhir abad
kedua hijriah.
BAB II
TIPOLOGI KODIFIKASI KITAB HADIS الموطأ (AL-MUWATTA’)
A.
Nama dan Istilah الموطأ (al-Muwatta’)
Ditinjau dari sudut bahasa, istilahالموطأ(al-Muwatta’)berasal dari kata وطأ(watta’a)yang sama dengan arti سهل(sahhala)yakni memudahkan. Ibn Manzur
memberikan contoh berikut ini:
وطَّأْتُ لَكَ الأَمْرَ
إِذَا هَيَّأْتَه.[5]
Aku memudahkan suatu urusan untukmu jika kamu
mempersiapkan urusan itu.
Senada dengan contoh di atas, Mahmud al-Tahhanmengintrodusir arti الموطأ(al-Muwatta’)denganالمسهل(al-Musahhal) danالمهيأ(al-Muhayya’)yang berarti sesuatu yang dimudahkan dan disiapkan.[6]
Hampir senada dengan keterangan di atas, menurut ‘Abd al-Ghani al-Daqur,arti الموطأ(al-muwatta’) dalam bahasa Arab berarti المظلل(al-muzallal(,الممهد(al-mumahhad) yang memiliki makna
“mudah untuk mencapainya” atau “tidak ada halangan bagi orang untuk
memahaminya.”[7]
Adapun menurut istilah para ahli Hadis, sebagaimana
dikemukakan oleh Mahmud
al-Tahhan,الموطأ(al-Muwatta’)adalah sebuah kitab Hadis dengan karakteristik
berikut ini:
الكتاب المرتب عل
الأبواب الفقهية, ويشتمل عل الأحاديث المرفوعة والموقوفة والمقطوعة.[8]
Kitab yang disusun berdasarkan bab-bab fikih, dan
mencakup Hadis-hadis مرفوع(marfu‘), riwayat-riwayat موقوف(mawquf) dan riwayat-riwayat مقطوع(maqtu‘).
Mencermati ungkapan di atas, dapat diketahui bahwa kitab
dengan tipologiالموطأ(al-Muwatta’)menempuh metode pembukuan berdasarkan الأبواب الفقهية(al-Abwab al-Fiqhiyyah) yakni klasifikasi hukum Islam. Sedangkan
materi yang dihimpunnya adalah Hadis-hadisمرفوع(marfu‘)dari Nabi Saw, riwayat-riwayatموقوف(mawquf)dari
para sahabat dan riwayat-riwayatمقطوع(maqtu‘)dari para tabi‘in. Metode pembukuan kitab الموطأ(al-Muwatta’)seperti hal ini secara istilah serupa dengan metode
atau tipologi kitab yang disebut dengan istilah المصنف(al-Musannaf)
kendati penyebutan diksinya berbeda.[9]
B. Latar Belakang Penamaan Kitab Dengan Istilah الموطأ(al-Muwatta’)
Setidaknya terdapat tiga sebab yang melatarbelakangi
penamaan kitab dengan istilah الموطأ(al-Muwatta’) berikut ini:
1.
Pengarangnya bermaksud untuk memudahkan umat dalam
pencarian Hadis.
2.
Karena para ulama Madinah sepakat dan merestui kitab
Hadis dengan metode atau tipologi semacam الموطأ(al-Muwatta’). Atas dasar ini kemudian salah seorang ulama penyusun kitab الموطأ(al-Muwatta’) yakni Malik bin Anas menyematkan nama kitabnya dengan istilah di atas.Dalam
hal initercatat sebuah riwayat berkenaan dengansikap sang ulama dimaksud yakni:
عرضت كتابي هذا على سبعين فقيها من
فقهاء المدينة، فكلهم واطأني عليه فسميته الموطأ.[10]
Saya menunjukkan kitabku ini kepada tujuh
puluh ahli fikih Madinah. Semuanya menyepakati atasnya maka saya menamainya
dengan الموطأ(al-Muwatta’).
3. Salah seorang khalifah dinasti Abbasiah yakni Abu Ja‘far al-Mansur, meminta Malik bin Anas menghimpun Hadis-hadis yang ada padanya, agar menyusunnya pada satu buku dan menyampaikannya kepada orang-orang untuk memudahkan mereka dalam usaha mencari petunjuk-petunjuk agama dari Hadis Nabi Saw. Memenuhi permintaan ini, lantasMalik bin Anas menyusun kitab Hadis yang kemudian diberi nama الموطأ(al-Muwatta’).[11] Terkait permintaan Abu Ja‘far al-Mansur itu, terdapat informasi yang menyebutkan bahwakitab الموطأ(al-Muwatta’)tersebut ditulis pada tahun 144 H atas anjuran sang khalifah sewaktu berjumpa saat menunaikan ibadah haji. Sang khalifah berkehendak untuk menghindari perbedaan suasana polarisasi warisan pemikiranantara kerasnya sahabat Nabi Saw yakni Ibn ‘Umar dan rukhshah Ibn ‘Abbas serta untuk menyatukan berbagai pendapat di kalangan umat dalam satu kitab. Diriwayatkan bahwa Malik bin Anas berkata kepada Khalifah Abu Ja‘far al-Mansur: “Baginda tidak berhak untuk menyatukan manusia dengan satu buku dan menyalahkan atau membenarkannya, karena kebenaran berasal dari Rasulullah Sawsedangkan para sahabat telah berpencar ke berbagai negara dan setiap penduduk dari negara tersebut mengikuti madzhab yang dibawa oleh para sahabat tersebut yang mereka tetapkan sebagai madzhab yang sah untuk diikuti.” Namun kemudian Malik bin Anas akhirnya menyusun kitabnya itu karena didorong suatu gagasan sang khalifah untuk memudahkan umat dalam pencarian pedoman agama.[12]
C. Para Ulama Penyusun Kitab الموطأ(al-Muwatta’)
Cukup banyak ulama yang pertama kali pernah melakukan
kodifikasi Hadis secara mubawwabatau bertipe الموطأ(al-Muwatta‘)[13]
danالمصنف(al-Musannaf)pada paruh akhir abad kedua hijriah di berbagai
kota. Beberapa di
antaranya adalah sebagai berikut:
1.
Malik bin Anas di Madinah yang wafat pada tahun 179 H
dengan karyanya yakni الموطأ(al-Muwatta‘).
2.
Muhammad bin ‘Abd al-Rahman bin Abi Dhi’b di Madinah yang wafat pada tahun 158 H. Ulama ini
juga membuahkan karya الموطأ(al-Muwatta‘).
3.
Abu Muhammad ‘Abdullah bin Muhammad al-Marwazi yang wafat pada tahun 293 H. Sebagaimana
kedua ulama di atas, ulama ini juga menghasilkan karya الموطأ(al-Muwatta‘)[14]
4.
Abd ar-Razzaq
bin Hammam al-San‘ani di San‘a’
yang wafat pada tahun 211 H. Berbeda dengan ketiga ulama di atas, ulama ini
menerbitkan karya yang disebut dengan المصنف(al-Musannaf)
5.
Abu ‘Amr ‘Abd al-Rahman bin ‘Amr al-Awza‘i di Syam yang wafat pada tahun 156 H dengan karya المصنف(al-Musannaf)
6.
Abu Salamah Hammad
bin Salamah bin Dinar di Basrah yang wafat pada tahun 176 H yang juga menelurkan
karya المصنف(al-Musannaf)
7.
Al-Layth bin Sa‘id al-Fahmi di Mesir yang wafat pada tahun 175 H
dengan karyanya yakni المصنف(al-Musannaf)
8. Sufyan bin ‘Uyainah di Makkah yang wafat pada
tahun 198 Hالمصنف(al-Musannaf)[15]
Selanjutnya pada sub bab-sub bab berikutnya dalam makalah
ini, penulis akan mengupas tipologi kitab الموطأ(al-Muwatta‘)
buah karya Malik bin Anas secara
lebih luas sebagai contoh kajian utama tipologi kodifikasi kitab Hadis pada
paruh akhir abad kedua hijriah. Kajian terkait akan meliputi pembahasan-pembahasan
yakni: Biografi ringkas Malik bin Anas, isi kitab, sistematika kitab, metode
kitab dan kualitas Hadis-hadisnya, polemik apakah الموطأ(al-Muwatta‘)
merupakan kitab Hadis atau kitab fiqih dan penilaian para ulama tentang kitab tersebut.
D.
Biografi Ringkas dan Karir Intelektual Malik
bin Anas
1.
Nama dan silsilah keluarga
Nama lengkapMalik bin Anas adalah Malik bin
Anas bin Malik bin Abi‘A<mir bin ‘Amr bin al-Harith bin‘Uthman bin Juthayl bin ‘Amr bin al-Harith al-Asbahi al-HimyariAbu
Abdillah al-Madani.[16]
Sedangkan ibu beliau bernama ‘A<liyah bint Sharik al-Azdiyyah.[17]
Tentang tahun kelahirannya, terdapat
perbedaan pendapat di kalangan para sejarawan. Ada yang menyatakan 90 H, 93 H,
94 H, 96 H dan ada pula yang menyatakan 97 H. Tetapi pendapat yang valid
sebagaimana dilaporkan oleh al-Dhahabi adalah bahwa beliau dilahirkan pada
tahun 93 H bertepatan dengan tahun wafat Anas bin Malik sahabat sekaligus pembantu
Nabi Saw. Menurut sebuah riwayat, Malik bin Anas berada di dalam kandungan
selama 3 tahun. Malik bin Anas meninggal pada tahun 179 H.[18]
Malik bin Anas dilahirkan di kota Madinah
dari sepasang suami dan istri yakni Anas bin Malik dan ‘A<liyah bint Sharik al-Azdiyyah. Sejak kecil hingga wafatnya, Malik bin
Anas tidak pernah meninggalkan kota kelahirannya kecuali untuk menunaikan
ibadah haji ke Makkah.Ayah Malik bin Anas bukan Anas bin Malik, sahabat Nabi
Saw tetapi seorang tabi‘in yang amat minim sekali informasinya. Arsip sejarah hanya mencatat
bahwa ayah Malik bin Anas tinggal di suatu daerah bernama Dhu al-Marwah, nama
suatu daerah di padang pasir sebelah utara Madinah dan bekerja sebagai pembuat
panah. Sedang kakeknya memiliki kunyah Abu Anas adalah tabi‘in besar yang banyak meriwayatkan Hadis dari ‘Umar, Talhah, ‘A<’ishah dan Abu Hurayrah. Si kakek termasuk
penulis Mushaf pada era pemerintahan khalifah Usman bin ‘Affan.[19]Sementara
ayah kakeknya yakni Abu‘A<mir adalah salah seorang sahabat Nabi Saw
yang aktif mengikuti berbagai peperangan bersama Nabi Saw selain perang Badar.[20]
2.
Karir intelektual di bidang Hadis
Malik bin Anas adalah ulama besar pakar Hadis,
yang mewariskan jejak yang tidak terhapus dari khasanah pengetahuan Arab.
Karyanya yang gemilang adalah al-Muwatta‘yang
mendapat tempat terhormat di antara himpunan hadis yang langka. Kakeknya, Abu‘A<mir adalah anggota keluarga pertama marga mereka yang memeluk agama
Islam pada tahun 2 hijriah. Malik bin Anas menuntut ilmu di Madinah, pusat keilmuan
Islam Islam, dan tempat bermukim sebagian besar sahabat Nabi Saw. Karena itu ia
tidak perlu meninggalkan Madinah untuk menimba ilmu. Kakeknya, serta ayah dan
pamannya semua ahli Hadis. Mereka melatih Malik bin Anas itu dalam ilmu Hadis
dan cabang ilmu lainnya. Cendekiawan ternama lain yang ikut andil mendidik Malik
bin Anas adalah al-Zuhri dan Nafi‘ yakni budak yang dimerdekakan oleh Ibn ‘Umar.
Para ulama bersepakat akan keahlian dan
keagungan Malik bin Anas dalam Hadis, meneliti perawi, dan menetapkan hukum
dari al-Qur’an dan Sunnah. Bahkan sanadnya dalam periwayatan Hadis dianggap
sebagai sanad yang paling sahih menurut ulama Hadis, sehingga ia
dijuluki dengan سلسلة الذهب(silsilah al-dhahab) yang berarti jalur
emas, mereka juga bersepakat bahwa Malik bin Anas adalah seorang perawi yang
thiqah, ‘adil, dabit, dan teliti dalam menerima Hadis.[21]
Berikut ini contoh dari سلسلة الذهب(silsilah al-dhahab) sebagaimana
terdapat dalam الموطأ(al-Muwatta‘),
yakni:
حَدَّثَنِي يَحْيَى، عَنْ
مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: صَلَاةُ الْجَمَاعَةِ تَفْضُلُ صَلَاةَ
الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً.[22]
Malik bin Anas teguh dalam memegang Hadis,
mengetahui rijalal-Hadith, sehingga banyak guru dan teman-temannya yang
menerima Hadis darinya. Ia tinggal di Madinah sebagai tempat bersumbernya Hadis
dan wahyu sehingga Malik bin Anas tidak melakukan perjalanan ke negara lain.Malik
bin Anas sangat rendah hati dan sangat mencintai Nabi Saw hingga ia tidak
pernah mengendarai atau menunggang kuda atau unta di Madinah sebagai
penghormatan kepada tanah tempat dikuburkannya jasad Rasulullah Saw. Hal ini
menunjukkan kecintaan dan penghormatannya kepada Rasulullah Saw. Sebagai ulama Hadis,
ia menempati kedudukan yang khas dan terhormat di antara bintang-bintang
ilmuwan berbakat seperti penghimpun Hadis terkenal misalnya al-Bukhari dan
Muslim.
Malik bin Anas amat menderita ketika menuntut
ilmu. ia pernah harus hidup selama tiga hari dari daun-daunan dan akar, ia pun
terpaksa menjual tiang rumahnya untuk melunasi ongkos pendidikan. Para ahli
Hadis, ilmuwan sezaman dan sesudahnya amat memuji kedalaman ilmunya. ‘Abd al-Rahman bin Mahdi mengatakan tak ada
ahli Hadis yang lebih besar dari pada Malik bin Anas di dunia ini. Ahmad bin Hanbal
dan al-Shafi‘i
menyanjungnya sebagai ahli Hadis terkemuka. Ia juga seorang ahli hukum. Lebih
dari enam puluh tahun ia memberi fatwa di Madinah.[23]
Puncak pujian dan apresiasi atas kedalaman ilmu Malik bin Anas adalah bahwa
sebagaimana dituturkan oleh Yahya bin Ma‘in, ia adalah Amir al-Mu’minin fi al-Hadith, salah seorang yang menjadi hujjah Allah Swt
untuk makhluk-Nya dan imam bagi para imam umat Islam.[24]
E.
Isi Kitab الموطأ(al-Muwatta‘)
dan Sistematika Pembahasannya
الموطأ(al-Muwatta‘)adalah
sebuah kitabberisi uraian komprehensif
mengenai praktek normal dan baku yang dianut di Madinah. Salah satu kelebihan
dari kitabالموطأ(al-Muwatta‘)sebagaimana dikemukakan oleh al-Dahlawi
(1114-1176 H) yang dikutip oleh Muhammad Jamal al-Din al-Qasimi, bahwa kitab
tersebut tidak hanya mencakup Hadis-hadis doktrinal seperti yang ada pada al-Kutub
al-Sittah, akan tetapi juga mengandung praktek-praktek aktual dan historis
serta petunjuk-petunjuk dari Nabi Saw dan para sahabat. Bahkan al-Dahlawi
menyatakan bahwa Hadis-hadis yang dimuat di الموطأ(al-Muwatta‘)sanadnya menempati level Hadis-hadis di dalam
kitab sahih al-Bukharidan Muslim. Al-Dahlawi lebih cenderung
kepada الموطأ(al-Muwatta‘)karena kendati sanad-sanadnya banyak yang
terputus baik mursal atau munqati‘ namun sebenarnya kesemuanya muttasil setelah
ditinjau dari jalur-jalur periwayatan selain dari jalur periwayatan Malik bin
Anas.[25]
Kitab الموطأ(al-Muwatta‘)memuat Hadis-hadis Nabi Saw, pendapat para sahabat,
tabi‘in, kesepakatan penduduk Madinah atau yang
lebih dikenal dengan istilah ‘amal ahl Madinah dan pendapat Malik bin Anas. Akan tetapi
terjadi persesihan pendapat dari kalangan para ulama tentang jumlah Hadis yang
terdapat dalam kitab الموطأ(al-Muwatta‘), antara lain sebagaimana dilansir oleh Muhammad Abu Zahwberikut ini:[26]
1.
Ibn al-Habbab menyatakan bahwa Malik bin Anas
meriwayatkan di dalam الموطأ(al-Muwatta‘)sebanyak seratus ribu buah Hadis kemudian
menyaringnya yang akhirnya menjadi lima ratus buah Hadis
2.
Abu Bakr al-Abharimengemukakan bahwa jumlah riwayat di
dalam الموطأ(al-Muwatta‘)yang berasal dari Nabi Saw, perkataan para
sahabat dan tabi‘in sebanyak seribu tujuh ratus dua puluh buah. Adapun perinciannya
adalah sebagai berikut:
a.
Sebanyak enam ratus Hadis bersambung atau musnad
dari Nabi Saw.
b.
Sebanyak dua ratus dua puluh dua Hadis yang berbentuk mursal
c.
Sebanyak enam ratus tiga belas riwayat mawquf dari
para sahabat
d.
Sebanyak dua ratus delapan puluh lima riwayata perkataan
para tabi‘in
3.
Ibn Hazm melaporkan bahwa Malik bin Anas meriwayatkan
Hadis di dalam الموطأ(al-Muwatta‘)yang
berstatus musnad sebanyak
enam ratus lebih dan yang berstatusmursalsebanyak tiga ratus lebih. Selain
itu, terdapat sebanyak tujuh puluh buah Hadis yang tidak diamalkan Malik bin
Anas. Ibn Hazm menambahkan bahwa di dalam الموطأ(al-Muwatta‘)terdapat beberapa Hadis da‘if.
Faktor utama yang melatarbelakangi dari timbulnya
perbedaan jumlah tersebut adalah karena perbedaan sumber periwayatan di satu
sisi dan perbedaan cara penghitungan, karena para ulama menghitung Hadis-hadis tersebut
hanya berdasarkan pada Hadis-hadis yang disandarkan kepada Nabi Saw saja,
bahkan ada pula yang menghitung dengan menggabungkan perkataan sahabat, perkataan
tabi‘in yang termaktub dalam kitab الموطأ(al-Muwatta‘)tersebut.
Dengan mengutip pendapat al-Suyuti, Muhammad Abu Zahw mengemukakan bahwa begitu
banyak ulama yang meriwayatkan Hadis-hadis dari kitab الموطأ(al-Muwatta‘).
Sedangkan dalam periwayatan mereka terdapat perbedaan teknis atau cara di dalam
periwayatannya seperti mendahulukan yang satu dan mengakhirkan suatu riwayat
tertentu serta ada penambahan dan pengurangan riwayat.Hal semacam itu terjadi pada kurang lebih
seratus buah Hadis sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibn Mus‘ab ketika meriwayatkan Hadis-hadis
dari الموطأ(al-Muwatta‘).
Demikian juga yang dilakukan oleh Muhammad bin al-Hasan ketika meriwayatkan
Hadis-hadis dari الموطأ(al-Muwatta‘),
dia melakukan penambahan riwayat selain jalur dari Malik bin Anas sebanyak
seratus tujuh puluh lima buah Hadis.[27]
Sehubungan dengan
fakta perbedaan jumlah materi Hadis yang tercantum di dalam الموطأ(al-Muwatta‘),Muhammad bin Matar al-Zahrani,menuturkan
bahwa Malik bin Anas sendiri senantiasa merevisi jumlah Hadis di dalam الموطأ(al-Muwatta‘).
Demikian ini terjadi karena Malik bin Anas senantiasa menulis dan merevisinya
selama empat puluh tahun.[28]
Berkenaan
dengan sistematika materi bahasannya, Malik bin Anas dalam mengklasifiksi Hadis-hadis
yang terdapat dalam الموطأ(al-Muwatta‘)secara
dominan berdasarkan pada sistematika yang dipakai dalam kitab fiqih, yaitu
dengan klasifikasi Hadis sesuai dengan objek pembahasan fiqih. Sementara
sisanya memuat tema-tema tentang tauhid, akhlaq, dan al-Qur’an. Dengan mengacu
pada kitab الموطأ(al-Muwatta‘)yang telah ditahqiq oleh Muhammad Fu’ad ‘Abd al-Baqi, kitab tersebut terdiri
dari dua juz yang memuat enam puluh satu kitab (bab) dan seribu delapan ratus
dua puluh empatHadis dengan perincian sebagai berikut:
1. Juz pertama
No |
Materi |
Jumlah bab |
Jumlah Hadis |
1. |
Waktu-waktu Shalat |
80 bab |
30 Hadis |
2. |
Bersuci |
32 bab |
115 Hadis |
3. |
Shalat |
8 bab |
70 Hadis |
4. |
Lupa dalam Shalat |
1 bab |
3 Hadis |
5. |
Shalat jum’at |
9 bab |
21 Hadis |
6. |
Shalat pada bulan ramadhan |
2 bab |
7 Hadis |
7. |
Shalat malam |
5 bab |
33 Hadis |
8. |
Shalat berjama’ah |
10 bab |
38 Hadis |
9. |
Mengqasar shalat dalam perjalanan |
25 bab |
25 Hadis |
10. |
Dua hari raya |
7 bab |
13 Hadis |
11. |
Shalat dalam keadaan takut |
1 bab |
4 Hadis |
12. |
Shalat gerhana matahari dan bulan |
2 bab |
4 Hadis |
13. |
Shalat minta hujan |
3 bab |
6 Hadis |
14. |
Menghadap kiblat |
6 bab |
15 Hadis |
15. |
Al-Qur’an |
10 bab |
49 Hadis |
16. |
Shalat jenazah |
16 bab |
59 Hadis |
17. |
Zakat |
30 bab |
55 Hadis |
18. |
Puasa |
22 bab |
60 Hadis |
19. |
I’tikaf |
8 bab |
16 Hadis |
20. |
Haji |
83 bab |
255 Hadis |
2. Juz kedua
No |
Materi |
Jumlah bab |
Jumlah Hadis |
1. |
Jihad |
21bab |
50 Hadis |
2. |
Nadzar dan sumpah |
9 bab |
17 Hadis |
3. |
Qurban |
6 bab |
13 Hadis |
4. |
Sembelihan |
4bab |
19 Hadis |
5. |
Binatang buruan |
7 bab |
19 Hadis |
6. |
Aqiqah |
2 bab |
7 Hadis |
7. |
Faraid |
15 bab |
16 Hadis |
8. |
Nikah |
22 bab |
58 Hadis |
9. |
Talak |
35 bab |
109 Hadis |
10. |
Persusuan |
3 bab |
17 Hadis |
11. |
Jual beli |
49 bab |
101 Hadis |
12. |
Pinjam meminjam |
15 bab |
16 Hadis |
13. |
Penyiraman |
2 bab |
3 Hadis |
14. |
Menyewa tanah |
1 bab |
5 Hadis |
15. |
Shufa‘ah |
2 bab |
4 Hadis |
16. |
Hukum |
41 bab |
54 Hadis |
17. |
Wasiat |
10bab |
9 Hadis |
18. |
Kemerdekaan dan persaudaan |
13 bab |
25 Hadis |
19. |
Budak mukatabah |
13 bab |
15 Hadis |
20. |
Budak mudarabah |
7 bab |
8 Hadis |
21. |
Hudud |
11 bab |
35 Hadis |
22. |
Minuman |
5 bab |
15 Hadis |
23. |
Orang yang berakal |
24 bab |
16 Hadis |
24. |
Sumpah |
5 bab |
2 Hadis |
25. |
Al-Jami‘ |
7 bab |
26 Hadis |
26. |
Qadar |
2 bab |
10 Hadis |
27. |
Akhlak yang baik |
4 bab |
18 Hadis |
28. |
Memakai pakaian |
8 bab |
19 Hadis |
29. |
Sifat Nabi Muhammad Saw |
13 bab |
39 Hadis |
30. |
Mata |
7 bab |
18 Hadis |
31. |
Rambut |
5 bab |
17 Hadis |
32. |
Penglihatan |
2 bab |
7 Hadis |
33. |
Salam |
3 bab |
8 Hadis |
34. |
Minta izin |
17 bab |
44 Hadis |
35. |
Baiat |
1 bab |
3 Hadis |
36. |
Kalam |
12 bab |
27 Hadis |
37. |
Jahannam |
1 bab |
2 Hadis |
38. |
Shadaqah |
3 bab |
15 Hadis |
39. |
Ilmu |
1 bab |
1 Hadis |
40. |
Doa orang yang teraniaya |
1 bab |
1 Hadis |
41. |
Nama-nama Nabi Muhammad Saw |
1 bab |
1 Hadis |
F. Metode Kodifikasi Kitab
dan Kualitas Hadisnya
Kendati tidak ditemukan
adanya pernyataan tegas dari Malik bin Anas sehubungan dengan penggunaannya
terkait metode penghimpunan Hadis-hadis dalam الموطأ(al-Muwatta‘), namun secara implisit dapat ditengarai
bahwa metode yang dipakai adalah metode pembukuan hadis berdasarkan klasifikasi
hukum Islam (abwab al-fiqhiyyah) dengan mencantumkan Hadis marfu‘, mawqufdan maqtu‘. Dari uraian di atas, dapat dikatakan
bahwa Malik bin Anas menggunakan tahapan-tahapan berupa penyeleksian terhadap Hadis-hadis
yang disandarkan kepada Nabi Saw, perkataan para sahabat dan tabi‘in, kesepakatan penduduk Madinah atau
yang disebut dengan ‘amal ahl al-Madinahkendati itu nampaknya berbentukmursal atau munqati‘dan pendapat Malik bin Anas sendiri.
Penggunaan metode
penulisan seperti ini tidak lepas dari keadaan sosial masyarakat pada waktu
itu. Saat itu, ketika kitab الموطأ(al-Muwatta‘)disusun, kehidupan masyarakat semakin
kompleks dan permasalahan yang dihadapi semakin banyak, sehingga masyarakat
membutuhkan undang-undang yang dijadikan pedoman bagaimana mereka menjalankan
hukum Islam. Oleh sebab itu, inilah yang menjadi salah satu alasan Malik bin
Anas menyusun kitab الموطأ(al-Muwatta‘)yang
tidak hanya
berdasarkan pada Hadis Nabi Saw saja, namun beliau memasukkan pendapat beliau
dalam kitab ini, termasuk pendapat sahabat dan tabi‘in. Selai itu, dengan bertambahnya
jarak masa antara Nabi Saw dengan para sahabat dan para tabi‘in, pemahaman terhadap Hadis Nabi Saw
juga akan berbeda sehingga dibutuhkan sharh (penjelasan) terhadap Hadis Nabi
Saw sesuai dengan masanya. Jadi, susunan semacam inilah yang paling tepat dan
paling baik pada masanya.[29]
Selain fakta yang
telah diuraikan di atas, hemat penulis, nuansa zaman ketika Malik bin Anas hidup
adalah masa-masa akhir pemalsuan Hadis atau dengan ungkapan lain bahwa masa
pemalsuan Hadis yang marak di masa sebelum Malik bin Anas masih berbekas
pengaruhnya sampai datangnya masa intelektual Malik bin Anas yakni pertengahan
abad kedua hijriah. Akibatnya, cara yang dipakai untuk meminimalisir masuk Hadis-hadis
palsu ke dalam syariat ini pun sama seperti apa yang dilakukan oleh Imam Abu
Hanifah dalam menangkalnya, yaitu dengan menerima Hadismursal dari para
Imam Ahli Madinah yang masuk ke dalam kelompok tujuh Ahli fiqih Madinah, yang
ketika itu beberapa di antaranya menjadi penasehat khalifah Harun al-Rashid
dari dinasti Abbasiyah.
Terbaca dari Hadis di
atas, bahwa Malik bin Anas menyandarkan Hadisnya kepada Sa‘id bin al-Musayyib.[30]Apabila
dicermati, kendati Malik bin Anas menerima Hadis mursal,namun ia tidak secara
mutlak tetapi menyeleksi kredibilitas orang yang membawakan Hadis mursal
tersebut.
Bagi para ulama dan
penduduk Madinah ketika itu, mengambil Hadismursaldari para Imam Ahli
Madinah, tentu jauh lebih aman dibanding mengambil Hadis yang tidak jelas
berseliweran, khawatir tentunya kalau itu Hadis palsu. Berbeda dengan Hadismursalyang
memang diriwayatkan oleh mereka yang sudah terpercaya, yaitu para Ahli Fiqih
Madinah.
Jika hendak
dielaborasi secara lebih mendalam dan ringkas terkait dengan fakta di atas, perhatian
umat Islam terhadap khazanah Hadis adalah imbas dari posisi Hadis itu sendiri
dalam peradaban Islam. Dalam hal ini, di masa Nabi Saw, para sahabat sedikit
pun tidak pernah ragu dalam menunaikan seruan-seruan beliau, karena mereka
menyakini bahwa beliaulah satu-satunya hamba yang mempunyai wewenang untuk mengejewantahkan
instruksi-instruksi Allah Swt ke dalam amalan praktis. Namun dalam perjalanan
selanjutnya terjadi penyelewengan terhadap periwayatanHadis-hadis Nabi Saw,
karena kepentingan individu atau golongan.
Itulah sebabnya di
kemudian hari para tabi‘in melakukan berbagai usaha untuk melestarikan
otentisitasHadis Nabi Saw dan memerangi orang-orang yang sesat. Salah satu
usaha yang dilakukan para tabi‘in adalah menyeleksi Hadis-hadis Nabi Saw dengan hati-hati
dari sisi periwayatannya. Mereka yakin bahwa Hadis Nabi Saw adalah bagian dari
agama. Maka semua orang harus waspada dari siapa agamanya itu diambil. Kaidah
semacam ini pernah dilontarkan oleh Muhammad bin Sirin berikut ini:
عن ابن
سيرين قال: إن هذا العلم دين فانظروا عمن تأخذون دينكم".وعنه أيضاً قال: لم
يكونوا يسألون عن الاسناد فلما وقعت الفتنة قالوا: سمُّوا لنا رجالكم، فينظر إلى
أهل السُّنَّة فيؤخذ حديثهم وينظر إلى أهل البدع فلا يؤخذ حديثهم.[31]
Diriwayatkan
dari Ibn Sirin, bahwa dia berkata: “Ilmu (Hadis) ini adalah bagian dari agama, maka waspadalah dari
siapa kamu mengambil agamamu.” Diriwayatkan juga darinya bahwa beliau berkata:
“Para tabi‘in sebelumnya tidak pernah bertanya tentang isnad,
akan tetapi ketika terjadi fitnah mereka mengatakan: “Sebutkanlah nama-nama
perawi Hadis yang kamu terima.” Mereka akan melihat, jika Hadis itu bersumber
dari ahli Sunnah maka diambilnya, dan jika berasal dari ahli bid‘ah, maka
mereka akan menolaknya.
Akhirnya penulis
berkesimpulan bahwa uraian di atas merupakan salah satu kriteria utama yang
diterapkan Malik bin Anas dalam hal penerimaan sebuah Hadisketika ia
mengkodifikasi kitab الموطأ
(al-Muwatta’)selain
ia juga mengajukan kriteria-kriteria sebagaimana umumnya para ulama Hadis
menerapkannya yakni ittisal al-sanad, dabt al-rawi, ‘adl al-rawi, matan Hadis tidak syad dan ber’illat.
G. Contoh Materi Riwayat
Di Dalam Kitab الموطأ(al-Muwatta‘)
Sebagaimana
telah dikemukakan sebelumnya bahwa kitab الموطأ(al-Muwatta’)tidak hanya menghimpun Hadis-hadis Nabi Saw, baik yang bersambung
sanadnya maupun yang tidak bersambuang sanadnya. Kitab tersebut juga memuatpendapat para sahabat, tabi‘in, kesepakatan penduduk Madinah atau yang
lebih dikenal dengan istilah ‘amal ahl Madinah dan pendapat Malik bin Anas.
Berikut di bawah ini akan disajikan contoh-contoh bentuk riwayat
sebagaimana dimaksud di atas, yakni:
1. Hadis yang tidak
bersambung sanadnyayang dalam hal ini adalah Hadis mursalterkait sabda
Nabi Saw kepada orang-orang Yahudi Khaybar setelah mereka ditaklukkan
حَدَّثَنَا
يَحْيَى، عَنْ مَالِكٍ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ،
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَلِيَهُودِ خَيْبَرَ
يَوْمَ افْتَتَحَ خَيْبَرَ: أُقِرُّكُمْ فِيهَا، مَا أَقَرَّكُمُ اللَّهُ عَزَّ
وَجَلَّ عَلَى أَنَّ الثَّمَرَ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ.[32]
Telah
menceritakan kepada kami Yahya, dari Malik, dari Ibn Shihab, dari Sa‘id bin al-Musayyib, bahwa Rasulullah Saw bersabda kepada
orang-orang Yahudi Khaybar pada hari penaklukan Khaybar: “Aku membebaskan
kalian di tanah Khaybar ini, sebagaimana Allah telah memberi kebebasan kepada
kalian sebelumnya, akan tetapi buah-buahan ini menjadi milik kami dan kalian.”
2. Pendapat sahabat
وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ
زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ قَالَ: إِذَا نَامَ
أَحَدُكُمْ مُضْطَجِعًا فَلْيَتَوَضَّأْ.[33]
Dan
telah menceritakan kepadaku dari Malik dari Zayd bin Aslam,sesungguhnya ‘Umar bin al-Khattab berkata: “Jika salah seorang dari kalian
tidur dengan berbaring terlentang maka hendaklah dia berwudlu.”
3. Pendapat tabi‘in
وَحَدَّثَنِي عَنْ
مَالِكٍ أَنَّهُ بَلَغَهُ، أَنَّ عَامِلًا لِعُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ كَتَبَ
إِلَيْهِ يَذْكُرُ: أَنَّ رَجُلًا مَنَعَ زَكَاةَ مَالِهِ، فَكَتَبَ إِلَيْهِ
عُمَرُ: أَنْ دَعْهُ وَلَا تَأْخُذْ مِنْهُ زَكَاةً مَعَ الْمُسْلِمِينَ. قَالَ:
فَبَلَغَ ذَلِكَ الرَّجُلَفَاشْتَدَّ عَلَيْهِ وَأَدَّى بَعْدَ ذَلِكَ زَكَاةَ
مَالِهِ. فَكَتَبَ عَامِلُ عُمَرَ إِلَيْهِ يَذْكُرُ لَهُ ذَلِكَ. فَكَتَبَ
إِلَيْهِ عُمَرُ أَنْ خُذْهَا مِنْهُ.[34]
H. Para Periwayat Kitab الموطأ(al-Muwatta‘)
Menurut al-Suyuti,
lebih dari seribu orang yang meriwayatkan kitab الموطأ (al-Muwatta’) dan banyak naskah tentang itu. Namun
yang terkenal adalah empat belas naskah meski sebagaimana dikatakannya bahwa menurut
al-Kandahlawi ada enam belas naskah. Sedangkan menurut Qadi‘Iyyad ada dua puluh naskah.
Di antara naskah itu adalah:[35]
1. Naskah Yahya bin Yahya al-Andalusi (w. 204 H).
Yahyamempelajari kitab الموطأ(al-Muwatta’)dari Malik bin
Anas selama masa tahun terakhir dari kehidupan Malik bin Anas. Oleh karena
riwayat darinya menyajikan teks kitab الموطأ(al-Muwatta’)sebagaimana
yang telah dianjurkan Malik bin Anas pada masa akhir kehidupannya maka riwayat
ini secara pasti adalah riwayat yang terkenal dan merupakan satu-satunya
riwayat yang dituju ketika kitab الموطأ(al-Muwatta’)dijadikan
rujukan. Versi ini sering diterbitkan ulang.[36]
2. Naskah Ibn Wahb (w. 197 H).
3. Naskah Abu‘Ubaydillah
al-Misri (w. 191 H).
4. Naskah Abu‘Abd
al-Rahman al-Harisi (w.221 H).
5. Naskah ‘Abdullah
bin Yusuf al-Damashqi (w. 217 H).
6. Naskah al-Qazzazi (w. 198 H).
7. Naskah Sa‘id
bin ‘Uffayr (w. 226 H).
8. Naskah Ibn Bukayr (w. 231 H).
9. Naskah Abu Mus‘ab al-Zuhri (w. 242 H).
10. Naskah Muhammad bin al-Mubarak al-Qurayshi (w. 215 H).
11. Naskah Mus‘ab
al-Zubayri (w. 215 H).
12. Naskah Suwayd bin Zayd al-Harawi (w. 240 H).
13. Naskah Muhammad bin
al-Hasan al-Shaybani (w. 179 H).
14. Naskah Yahyaal-Timi (w. 226 H).
I. Kitab-kitab Syarah
terhadap Kitab الموطأ(al-Muwatta‘)
Kitabالموطأ(al-Muwatta’)disyarahi oleh beberapa ulama di antaranya adalah sebagai
berikut:[37]
1. Al-Tamhid Lima fial-Muwatta’
min al-Ma‘ani wa al-Asanid karya Abu‘Umar bin ‘Abd al-Barr (w. 463 H).
2. Tanwir al-Hawalik karya Jalal al-Din al-Suyuti (w. 911 H.
3. Sharh al-Zarqani‘alaal-Muwatta’karya al-Zarqani(w. 1014 H).
4. Al-Istidhkarkarya Abu‘Umar bin ‘Abd al-Barr (w. 463 H).
5. Al-Muntaqa karya karya Abual-Walid al-Baji
al-Andalusi (w. 474 H).
6. Al-Masalik karya Abu Bakr bin al-‘Arabi (w. 543).
J. Penilaian Para Ulama terhadap
Kitab الموطأ(al-Muwatta‘)
Di bawah ini akan disajikan beberapa komentar para ulama
ahli terkait kualitas dan derajat kitab الموطأ(al-Muwatta‘)
sebagaimana diinventarisir oleh Muhammad bin ‘Abd al-Baqi al-Zarqani berikut ini:
1. Al-Shafi‘i berkata:
ما على ظهر الأرض كتاب بعد كتاب الله
أصح من كتاب مالك. وَفِي لَفْظٍ: ما على الأرض كتاب هو أقرب إلى القرآن من كتاب
مالك. وَفِي لَفْظٍ: ما بعد كتاب الله أكثر صوابًا من موطأ مالك. وَفِي آخَرَ: ما
بعد كتاب الله أنفع من الموطأ.[38]
Tidaklah
ada di atas permukaan bumi sebuah kitab setelah al-Qur’an yang lebih sahih
dari kitab Malik. Dalam suatu riwayat lain: tidaklah ada di bumi sebuah kitab
yang mendekati tingkat kebenarannya kepada al-Qur’an melainkan kitab Malik.
Dalam suatu riwayat lain: Kitab yang paling banyak benarnya setelah al-Qur’an
adalah kitab Malik. Dalam suatu riwayat lain: Kitab yang paling bermanfaat
setelah al-Qur’an adalah kitab Malik.
2. Ibn ‘Abd al-Barr mengatakan bahwa semua Hadis
yang mengandung lafal “بلغنى”
dan “عن الثقة” dan tidak
disertakan sanadnya yang berjumlah enam puluh satu Hadis semuanya musnad
ditinjau dari jalur-jalur lain kecuali hanya empat buah.[39]
3. Al-Suyuti
menyatakan bahwa seluruhriwayat di dalam kitab الموطأ(al-Muwatta’)sahih dengan tanpa pengecualian. Hal ini
menurutnya karena riwayat-riwayat الموطأ(al-Muwatta’)terdiri dari beberapa Hadis mursal yang dapat
dijadikan hujjah menurut Malik bin Anas dan para ulama yang mengikutinyatanpa
syarat tertentu. Demikian juga halnya yang telah disepakati oleh banyak ulama
dari beberapa madzhab lain.[40]
Hemat penulis, terkait komentar al-Shafi‘idi atas, sesungguhnya tidak
bertentangan dengan kesepakatan sebagian besar ulama Hadis ketika mereka
menyatakan bahwa kitab sahih al-Bukharidan sahihMuslim adalah dua
kitab yang paling sahihsetelah al-Qur'an. Demikian ini disebabkan oleh
dua hal sebagai berikut:[41]
1. Al-Shafi‘i ketika mengeluarkan pernyataannya
itu, kitab sahih al-Bukharidan sahihMuslim belum ada. Pada tahun
wafat Malik bin Anas, yakni tahun 204 H, usia al-Bukhari ketika itu belum genap
sepuluh tahun. Sedangkan Muslim ketika itu lahir pada tahun tersebut.
2. Dalam porsi yang besar,
Hadis-hadis yang tercantum dalam الموطأ(al-Muwatta’), terdapat pula dalam kitab sahih
al-Bukharidan sahihMuslim. Sedangkan sisanya tersebar dalam empat
kitab sunan.
K.
Polemik Status Kitab الموطأ(al-Muwatta‘),
Apakah ia Tergolong Kitab Hadis atau Fiqih?
Tidak dapat dipungkiri bahwa kitab الموطأ(al-Muwatta’)merupakan deretan kitab pertama hasil kodifikasi Hadis
setelah upaya kodifikasi perdana yang dilakukan oleh al-Zuhri. Hal itu diakui
secara mutlak oleh seluruh ulama Hadis. Namun berseberangan dengan teori
tersebut, sebagaimana dilaporkan oleh Abu Zahw bahwa ada diantara cendekiawan
Muslim yakni Ali Hasan ‘Abd al-Qadir yang mengatakan bahwa kitab الموطأ(al-Muwatta’)adalah kitab Fiqih dan bukan kitab Hadis. Ali Hasan ‘Abd al-Qadir juga mengatakan bahwa Malik
bin Anas bukanlah seorang Muhaddith. Menurut Ali Hasan ‘Abd al-Qadir,الموطأ(al-Muwatta’)adalah
kitab Fiqh pertama yang sampai kepada generasi Islam dewasa ini dan tidak bisa
dikatakan sebagai kitab Hadis. Jika seandainya Malik bin Anas adalah seorang Muhaddith,
tentu ia akan menyampaikan kepada umat semua Hadis yang ada dan bukan
mencampuradukkan dengan berbagai fatwa ulama. Dari sini terlihat bahwa Malik
bin Anas tidak menguasai seluruh Hadis.[42]
Dalam rangka membantah tuduhan sepihak itu, Abu Zahw
kemudian menyatakan bahwa Malik bin Anas dikenal oleh semua ulama akan usahanya
dalam pengumpulan Hadis-hadis Nabi Saw. Bahkan ia juga mengajarkan Hadis-hadis dan
dianggap sebagai ahli Hadis senior di zamannya. Selain itu, seseorang tidak
akan menjadi ahli fiqih sebelum menjadi ahli Hadis. Sebab keduanya saling berkaitan.
Maka tidak ada larangan untuk menggabungkan dua hal yang dianugerahkan oleh
Allah kepadanya, yakni pemahaman dan hafalan. Adapun sebab tidak ditulisnya
beberapa sanad atau yang terkait dengan materi mursal dan munqati‘di kitab الموطأ(al-Muwatta’)adalah karena perawinya merupakan para sahabat yang dikenal
dengan keadilannya dan hal itu sudah dimaklumi pada zamannya. Maka tidak benar
kalau Malik bin Anas dikatakan tidak memperhatikan sanad Hadis. Selain itu, Malik
bin Anas sendiri tidak akan meriwayatkan Hadis kecuali yang berasal dari
orang-orang thiqah.[43]
Selanjutnya Abu Zahw berpendapat bahwa kitab الموطأ(al-Muwatta’) adalah kitab Hadis pertama di era klasik Islam adalah
fakta yang tidak terbantahkan karenatidak sedikit ulama ahli Hadisyang
meriwayatkan Hadis dari Malik bin Anas misalnya al-Layth bin ‘Sa‘d, al-Shafi‘i, Abu Hanifah, al-Awza‘i, Ibn ‘Uyaynah dan lain-lain.Sesuatu yang
pasti menurut Abu Zahw, الموطأ(al-Muwatta’) adalah kitab Hadis yang bersistematika Fiqih.[44]
L. Sorotan
KritisSarjana Barats Terhadap Kitab الموطأ(al-Muwatta‘)
Di antara para
sarjana Barat atau yang lebih dikenal dengan istilah orientalis yang melayangkan
kritik terhadap kitab الموطأ(al-Muwatta’)adalah Joseph Schacht. Schacht meragukan otentitas riwayat
di dalam الموطأ(al-Muwatta’). Di antara Hadis yang dikritiknya adalah tentang
bacaan ayatسجده(sajdah)oleh ‘Umar bin al-Khattab ketika menyampaikan khutbah jum’at berikut ini:
وَحَدَّثَنِي عَنْمَالِكٌ،
عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ، عَنْ أَبِيهِ، أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ قَرَأَ
سَجْدَةً، وَهُوَ عَلَى الْمِنْبَرِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ. فَنَزَلَ، فَسَجَدَ،
وَسَجَدْنَا مَعَهُ. ثُمَّ قَرَأَهَا يَوْمَ الْجُمُعَةِ الْأُخْرَى. فَتَهَيَّأَ
النَّاسُ لِلسُّجُودِ، فَقَالَ: عَلَى رَسْلِكُمْ. إِنَّ اللهَ لَمْ يَكْتُبْهَا
عَلَيْنَا، إِلاَّ أَنْ نَشَاءَ. فَلَمْ يَسْجُدْ، وَمَنَعَهُمْ أَنْ يَسْجُدُوا.قَالَ
مَالِكٌ: لَيْسَ الْعَمَلُ عَلَى أَنْ يَنْزِلَ الْإِمَامُ، إِذَا قَرَأَ
السَّجْدَةَ عَلَى الْمِنْبَرِ، فَيَسْجُدَ[45]
Dan
telah menceritakan kepadaku dari Malik dari Hisham bin ‘Urwah dari Bapaknya bahwa ‘Umar bin al-Khattab pernah membaca salah satu ayat
sajadah saat berada di atas mimbar pada shalat Jum’at. Lalu dia turun dan
bersujud, hingga orang-orang pun ikut sujud. Kemudian dia membacanya lagi pada
shalat Jum’at berikutnya, hingga orang-orang pun bersiap untuk sujud, namun ‘Umar berkata: “Tenanglah, sesungguhnya Allah tidak
mewajibkannya pada kita semua, kecuali kita yang menghendaki.” Lalu ‘Umar tidak sujud dan melarang orang-orang untuk
sujud.” Malik berkata, "Imam tidak diharuskan turun dari mimbar ketika
membaca ayat سجده(sajdah)untuk sujud.”
Dalam
pandangan Schacht, riwayat tersebut putus sanadnya, padahal dalam riwayat al-Bukhari
sanadnya bersambung. Menurutnya, dalam naskah kuno kitab الموطأ(al-Muwatta’) terdapat kata-kata “dan kami bersujud bersama Umar”.
Kata-kata ini tidak pernah diucapkan oleh ‘Urwah, hanya dianggap ucapannya. Oleh
karenanya, dari pendekatan historis berarti naskah atau teks riwayat lebih
dahulu ada, baru kemudian dibuatkan sanadnya. Sanad tersebut untuk kemudian
dikembangkan dan direvisi sedemikian rupa dan disebut berasal dari masa silam.[46]
Tuduhan
Schacht tersebut dibantah oleh Mustafaal-A‘zami, bahwa teks tersebut adalah
sesuai dengan naskah aslinya, karena naskah asli tulisan Malik bin Anas tidak
diketemukan. Para komentator atau pensyarah kitab الموطأ(al-Muwatta’) seperti Ibn ‘Abd al-Barr dan al-Zarqani sama
sekali tidak pernah menyinggung tentang adanya naskah kuno seperti yang disebut
Schacht. Secara umum Mustafaal-A‘zamimenyatakan bahwa apa yang
dilakukan oleh Schacht dalam penelitian otentitas sanad dengan mengambil contoh
Hadis-hadis yang terdapat dalam kitab kitab الموطأ(al-Muwatta’) Malik adalah tidak tepat, karena karakterisrik kitab
kitab الموطأ(al-Muwatta’) di samping ia kitab himpunan Hadis, ia juga kitab yang
berkarakteristik kitab Fiqih.Pada umumnya metode yang dipakai dalam kitab-kitab
Fiqih ataupun sejarah tidak memberi data secara detail lengkap runtutan
sanadnya, tetapi mencukupkan menyebutkan sumbernya atau sebagian sanadnya.[47]
Hal lain yang
dikritisi Schacht adalah tentang 80 Hadis dalam kitab الموطأ(al-Muwatta’) yang tergolong dalam“Untaian Sanad Emas”, Yakni periwyatan
Malik dari Nafi‘ dari Ibn ‘Umar. Schacht meragukan untaian sanad tersebut,
mengingat usia Malik terlalu dini yakni lima belas tahun. Menurutnya, apa
mungkin riwayat dari anak remaja usia lima belas tahuntahun diikuti banyak
orang, sementara masih banyak ulama besar lain di Madinah. Alasan lainnya, Nafi‘pernah menjadi hamba sahaya Ibn ‘Umar, sehingga kredibilitasnya perlu
dipertanyakan.[48]
Dua kritikan tersebut
di atas disanggah oleh Mustafaal-A‘zami, bahwa Schacht dianggap telah keliru
di dalam menghitung usia Malik. Menurut Mustafaal-A‘zami, seharusnya Schacht menghitung usia
Malik saat Nafi‘ wafat bukan dari tahun wafatnya Malik. Sehingga usia Malik
saat itu adalah berkisar antara dua puluh hingga dua puluh empat tahun. Pada
usia-usia tersebut bukan terlalu muda untuk dianggap sebagai seorang ulama.
Adapun tentang Nafi‘ yang merupakan mantan budak Ibn
‘Umar, sebenarnya itu tidak menjadi
masalah karena penerimaan seorang rawi di dalam meriwayatkan Hadis yang paling
penting adalah “dapat dipercaya”. Adapun Nafi‘dianggap orang yang paling dipercaya
dalam meriwayatkan Hadis dari Ibn ‘Umar. Selain itu dalam hal ini Nafi‘bukanlah satu-satunya orang yang
meriwayatkan Hadis dariIbn ‘Umar, sehingga bisa dijadikan pembanding dan
mungkinkah ribuan rawi di perbagai tempat bersepakat berbohong untuk menyusun
sanad tersebut?[49]
- TIPOLOGI KITAB HADIS MUSALSAL
- TIPOLOGI KITAB HADIS AL MARASIL
- TIPOLOGI KITAB HADIS AL MASANID
- TIPOLOGI KODIFIKASI KITAB HADIS الموطأ (AL-MUWATTA’)
- TIPOLOGI KODIFIKASI HADIS AL THULATHIYYAT
- TIPOLOGI KODIFIKASI KITAB HADIS AL MA’AJIM
- TIPOLOGI KITAB HADIS AL JAWAMI’
DAFTAR PUSTAKA
‘Alami (al), Abu Jamil al-Hasan. Ummahat Kutub
al-Haith wa Manahij al-Tasnif ‘Inda al-Muhaddithin. Kairo: Mustafa al-Halibi, 1421 H.
A‘dami (al), Mustafa.
Dirasat fi al-Hadith
al-Nabawi wa Tarikhu Tadwinihi. Beirut: al-Maktab al-Islami, 1980.
‘Asqalani
(al), Ibn Hajar. Tahdhib
al-Tahdhib, Vol. 10. India: Da’irah al-Ma‘arif al-Nizamiyyah, 1326 H.
Bandari (al), ‘Abd al-Ghafur Sulayman. Mawsu‘ah Rijal al-Kutub al-Tis‘ah, Vol. 3. Beirut; Dar al-Kutub al-Islamiyyah,
1993.
Daqur (al), ‘Abd al-Ghani. al-Imam Malik bin Anas Imam Dar
al- Hijrah. Damaskus: Dar al- Qalam, 1998.
Dhahabi
(al), Shams al-Din Abu ‘Abdillah. Siyar A‘lam al-Nubala’, Vol. 8. Beirut: Mu’assasah al-Risalah, 1405 H.
Ifriqi (al), Ibn Manzur. Lisan al-‘Arab, Vol. 1. Beirut: Dar Sadir, 1414 H.
J. Coulson, Noel. Hukum
Islam Dalam Perspektif Sejarah, terj. Hamid Ahmad. Jakarta: P3M, 1987.
Madani (al), Malik bin Anas. Muwatta‘ al-Imam Malik, Vol.
1. Beirut: Dar Ihya’
al-‘Arabi, 1406 H.
_______,
Muwatta‘
al-Imam Malik, Vol. 2. Beirut: Dar Ihya’ al-‘Arabi, 1406 H
Qasimi (al), Muhammad Jamal al-Din. Qawa‘id al-Tahdith min Funun Mustalah al-Hadith, Vol. 1. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Sakhawi
(al), Shams al-Din Muhammad bin ‘Abd al-Rahman. Fath al-Mughith bi
Sharh Alfiyah al-Hadith li al-‘Iraqi, Vol.
4. Mesir: Maktabah al-Sunnah, 1424 H.
Schacht, Joseph. The
Origins Of Muhammadan Jurisprudence. Oxford: Clarendon Press, 1959.
_____________., An
Introduction To Islamic Law. Oxford: Clarendon Press, 1986.
Shiddiqi (al), Hasbi. Sejarah
dan Pengantar Ilmu Hadis. Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1999.
Shuhbah, Muhammad bin Muhammad
bin Abu. al-Wasit fi ‘Ulum wa Mustalah al-Hadith. t.tp.: ‘Alim al-Ma‘rifah, 1983.
Suyuti
(al), Jalal al-Din. Tanwir
al-Hawalik, Vol. 1. Mesir: al-Maktabah al-TIjariyah al-Kubra, 1389 H.
Tahhan (al), Mahmud. Usul
al-Takhrij wa Dirasah al-Asanid. Beirut: Dar al-Qur’an al-Karim, 1979.
Zahrani
(al), Muhammad bin Matar.
Tadwin al-Sunnah al-Nabawiyyah Nash’atuhu wa Tatawwuruhu. Riyad: Maktabah Dar al-Hijrah, 1417 H.
Zahw, Muhammad Abu. al-Hadith wa al-Muhaddithun. Kairo:
Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1378 H.
Zarqani (al), Muhammad bin ‘Abd al-Baqi. Sharh al-Zarqani ‘ala Muwatta’ al-Imam Malik, Vol. 1. Kairo: Maktabah al-Thaqafah al-Diniyyah, 1424 H.
[1] Pada masa pemerintahan khalifah dari dinasti Umayyah inilah yang terjadi di awal abad keduahijriah, kegiatan kodifikasi Hadis-hadis Nabi Saw secara massif dilakukan yang berskala nasional untuk wilayah kekuasaan Islam saat itu. Dinyatakan demikian karena melibatkan banyak pihak dalam kegiatannya. Pada era pemerintahannya, khalifah ‘Umar bin ‘Abd al-‘Aziz saat itu menginstruksikan ke seluruh pejabatnya serta mendorong semua ulama di berbagai negeri kekuasaan Islam untuk menghimpun Hadis-hadis Nabi Saw. Lihat data selengkapnya dalam Muhammad bin Muhammad bin Abu Shuhbah, al-Wasit fi‘Ulum wa Mustalah al-Hadith (t.tp.: ‘Alim al-Ma‘rifah, 1983), 65-66
[2]Muhammad bin Matar al-Zahrani, Tadwin al-Sunnah al-NabawiyyahNash’atuhu wa Tatawwuruhu(Riyad: Maktabah Dar al-Hijrah, 1417 H), 89.
[3]Ibid.
[4] Lihat uraian mengenai ini secara luas dalam dua literatur yang saling melengkapi yakni Muhammad bin Matar al-Zahrani, Tadwin al-Sunnah….., 89-90 dan Muhammad Abu Zahw, al-Hadith wa al-Muhaddithun (Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1378 H), 244-245.
[5]Ibn Manzur al-Ifriqi, Lisan al-‘Arab, Vol. 1 (Beirut: Dar Sadir, 1414 H), 198.
[6] Mahmud al-Tahhan, Usul al-Takhrij wa Dirasah al-Asanid (Beirut: Dar al-Qur’an al-Karim, 1979), 135.
[7]‘Abd al-Ghanial-Daqur, al-Imam Malik bin Anas Imam Dar al- Hijrah (Damaskus: Dar al- Qalam, 1998), 15.
[8] Mahmud al-Tahhan, Usul al-Takhrij ….., 135.
[9] Ibid.
[10] Lihat Ibid., 135-136.
[11] Muhammad Abu Zahw, al-Hadith wa al-Muhaddithun, 245-246.
[12]‘Abd al-Ghanial-Daqur, al-Imam Malik….., 20.
[13]Selain Malik bin Anas terdapat beberapa ulama yang telah melakukan kodifikasi kitab bertipe bertipe الموطأ(al-Muwatta‘). Namun demikian selain kitab الموطأ(al-Muwatta‘) karya Malik bin Anas hampir semuanya tidak sampai ke tangan umat Islam hingga dewasa ini sejak abad keempat hijriah. Demikian ini disebabkan oleh banyak hal yang antara lain adalah terbakarnya kitab-kitab para ulama saat berjihad melawan pasukan kafir.Oleh karenanya apabila disebutkan kitab bertipe الموطأ(al-Muwatta‘) maka konotasinya selalu mengarah kepada karya Malik bin Anas.Lihat keterangan ini secara lebih luas dalam Abu Jamil al-Hasan al-‘Alami, Ummahat Kutub al-Haith wa Manahij al-Tasnif ‘Inda al-Muhaddithin (Kairo: Mustafa al-Halibi, 1421 H), 67.
[14] Mahmud al-Tahhan, Usul al-Takhrij….., 136.
[15] Lihat data yang saling melengkapi dalam Muhammad bin Matar al-Zahrani, Tadwin al-Sunnah….., 90 dan Hasbi al-Shiddiqi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1999), 83.
[16] Ibn Hajar al-‘Asqalani, Tahdhib al-Tahdhib, Vol. 10 (India: Da’irah al-Ma‘arif al-Nizamiyyah, 1326 H), 5.
[17] Shams al-Din Abu‘Abdillah al-Dhahabi, Siyar A‘lam al-Nubala’, Vol. 8 (Beirut: Mu’assasah al-Risalah, 1405 H), 49.
[18] Ibn Hajar al-‘Asqalani, Tahdhib al-Tahdhib, Vol. 10, 8.
[19]‘Abd al-Ghafur Sulayman al-Bandari, Mawsu‘ah Rijal al-Kutub al-Tis‘ah, Vol. 3 (Beirut; Dar al-Kutub al-Islamiyyah, 1993), 494.
[20] Muhammad bin ‘Abd al-Baqi al-Zarqani, Sharh al-Zarqani‘ala Muwatta’ al-Imam Malik, Vol. 1 (Kairo: Maktabah al-Thaqafah al-Diniyyah, 1424 H), 53.
[21]‘Abd al-Ghafur Sulayman al-Bandari, Mawsu‘ah Rijal, Vol. 3, 495. Lihat juga ‘Abd al-Ghanial-Daqur, al-Imam Malik….., 60.
[22] Malik bin Anas al-Madani,
Muwatta‘ al-Imam Malik, Vol. 1 (Beirut: Dar Ihya’ al-‘Arabi, 1406 H), 129.
[23] Shams al-Din Abu‘Abdillah al-Dhahabi, Siyar A‘lam al-Nubala’, Vol. 8, 79.
[24] Muhammad bin ‘Abd al-Baqi al-Zarqani, Sharh al-Zarqani….., Vol. 1, 55.
[25]Muhammad Jamal al-Din al-Qasimi, Qawa‘id al-Tahdith min Funun Mustalah al-Hadith, Vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah), 239-240.
[26] Muhammad Abu Zahw, al-Hadith wa al-Muhaddithun, 248-249.
[27] Ibid., 249.
[28] Muhammad bin Matar al-Zahrani, Tadwin al-Sunnah….., 92.
[29] Noel J. Coulson, Hukum Islam Dalam Perspektif Sejarah, terj. Hamid Ahmad (Jakarta: P3M, 1987), 59.
[30]Sa‘id bin al-Musayyib adalah sayyid al-tabi‘in(Penghulunya para tabi‘in). Selain itu beliau juga dijuliuki sebagai perawinya ‘Umar). disebut demikian karena beliau adalah orang Madinah yang paling hafal dengan ijtihad-ijtihad‘Umar serta keputusan-keputusannya. Beliau inilah salah seorang dari فقهاء المدينة السبعة yakni tujuh ahli fikih Madinah. Digolongkannya beliau ke dalam kelompok tujuh ahli fiqih Madinah, lihat Shams al-Din Muhammad bin ‘Abd al-Rahman al-Sakhawi, Fath al-Mughith bi Sharh Alfiyah al-Hadith li al-‘Iraqi, Vol. 4 (Mesir: Maktabah al-Sunnah, 1424 H), 398.
[31] Muhammad bin Matar
al-Zahrani, Tadwin al-Sunnah….., 36.
[32] Malik bin Anas al-Madani,
Muwatta‘ al-Imam Malik, Vol. 2, 703.
[33] Ibid., Vol. 1, 21.
[34] Ibid., Vol. 1, 270.
[35] Jalal al-Din al-Suyuti, Tanwir al-Hawalik, Vol. 1 (Mesir: al-Maktabah al-TIjariyah al-Kubra, 1389 H), 15-17.
[36] Abu Jamil al-Hasan al-‘Alami, Ummahat Kutub al-Haith….., 68.
[37] Ibid., 70-71.
[38] Muhammad bin ‘Abd al-Baqi al-Zarqani, Sharh al-Zarqani….., Vol. 63.
[39] Ibid.
[40] Ibid.
[41]Muhammad bin Matar al-Zahrani, Tadwin al-Sunnah…., 84.
[42] Muhammad Abu Zahw, al-Hadith wa al-Muhaddithun, 253-254.
[43] Lihat secara lebih luas dalam ibid., 255-256.
[44] Baca lebih luas dalam ibid., 256-259.
[45]Malik bin Anas al-Madani, Muwatta‘ al-Imam Malik, Vol. 2, 206.
[46]Lihat kritik Schacht tersebut secara lebih luas dalam Joseph Schacht, The Origins Of Muhammadan Jurisprudence, (Oxford: Clarendon Press, 1959), 80-81.
[47] Lihat secara lebih luas dalam Mustafaal-A‘dami, Dirasat fi al-Hadith al-Nabawi wa Tarikhu Tadwinihi (Beirut: al-Maktab al-Islami, 1980), 519-520.
[48]Lihat kritik Schacht tersebut secara lebih luas dalam bukunya yang lain yakni dalam Joseph Schacht, An Introduction To Islamic Law (Oxford: Clarendon Press, 1986),121-122.
[49]Mustafa al-A‘dami, Dirasat fi al-Hadith….., 525.