BAB
I
PENDAHULUAN
Satu di antara keistimewaan agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. adalah keberadaan mata rantai pembawa berita atau informasi keagamaan kepada umat pemeluk agama itu atau bahkan secara umum kepada seluruh umat manusia di muka bumi ini. Mata rantai dimaksud adalah sanad. Kondisi sanad dalam khazanah Islam memperoleh atensi sedemikian rupa khususnya oleh kalangan sarjana Muslim yang dalam hal ini secara dominan direprsentasikan oleh para ulama ahli Hadis.
Demikian itu dilakukan oleh para ulama Hadis dalam rangka menjamin otentisitas sanad tersebut yang pada gilirannya berdampak pada otentisitas dan validitas konten Hadis yang merupakan sabda Nabi Saw. Tegasnya keberadaan otentisitas sanad amat signifikan terhadap validitas suatu konten Hadis. Sanad dalam kaitan dengan matan Hadis, sebagaimana dinyatakan oleh Luqman al-Salafi dianalogikan dengan suatu pondasi terhadap suatu bangunan. Bangunan tidak akan terbentuk dan berdiri kecuali ada pondasi yang menyangga bangunan tersebut.[1]
Keistimewaan sanad hanya dimiliki oleh Islam. Sedangkan selain Islam, agama apapun di dunia ini kurang bahkan tidak menaruh perhatian terhadap kelayakan mata rantai pembawa berita ketika menyampaikan suatu berita kepada pihak lain. Sehubungan dengan hal ini, Ibn Taymiyah pernah berkata:
وعلم الإسناد والرواية مما خص الله
به أمة محمد صلى الله عليه وسلم، وجعله سلماً إلى الدراية، فأهل الكتاب لا إسناد
لهم يأثرون به المنقولات، وهكذا المبتدعون من هذه الأمة أهل الضلالات، وإنما
الإسناد لمن أعظم الله عليه المنة أهل الإسلام والسنة، يفرقون به بين الصحيح
والسقيم، والمعوج والقويم.[2]
“Ilmu tentang isnad dan riwayat merupakan bagian yang dengannya Allah Swt. mengistimewakan umat Muhammad Saw. dan menjadikannya sebagai tangga untuk mencapai ilmu dirayah. Adapun kaum Ahli Kitab, mereka tidak memiliki isnad yang dengannya mereka dapat mengutip periwayatan. Oleh karenanya kaum ahli bid’ah dari umat ini adalah orang-orang sesat. Sesungguhnya isnad merupakan suatu anugerah yang diperuntukkan bagi seseorang yang diberikan oleh Allah Swt. kepadanya. Ahlu Sunnah dengan isnad dapat membedakan antara yang valid dan cacat, antara yang bengkok dan lurus.”
Bahkan jauh sebelum Ibn Taymiyah, Ibn al-Mubarak sebagaimana dikutip oleh Mahmud al-T{ahhan, pernah berkata sebagai berikut:
الإسناد من الدين، ولولا الإسناد لقال من شاء
ما شاء.[3]
“Isnad atau sanad adalah bagian dari agama. Seandainya tidak ada sanad, maka setiap orang akan berkata apa saja yang dikehendakinya.”
Dalam iklim intelektual para ulama ahli Hadis pada bidang sanad Hadis, terdapat suatu jenis sanad yang diprioritaskan dengan mengalahkan jenis sanad lainnya. Hal ini terjadi ketika mereka dihadapkan pada suatu kondisi kontradiktif antara dua dalil yang saling berseberangan. Jenis sanad dimaksud adalah السند العالي (al-sanad al-‘ali) yaitu sebuah sanad Hadits yang terdiri dari para periwayat yang minim jumlahnya. Urgensi jenis sanad demikian untuk kepentingan ketinggian sanad dan faktor penunjang demi kemudahan dalam mengecek para periwayat Hadis tersebut.
Dari jenis السند العالي (al-sanad al-‘ali) ini terdapat bentuk sanad yang mata rantai informannya hanya berjumlah tiga orang. Ketiga orang dimaksud merupakan perantara yang menghubungkan Mukharrij al-H{adith dengan Nabi Saw. sebagai sumber Hadis itu sendiri. Sebuah Hadis ketika melalui tiga orang periwayat ini dikenal dengan istilah Hadis ثلاثيات (Thulathiyyat).
Selanjutnya Makalah ini akan membahas sebuah topik tentang hadis الثلاثيات (al-Thulathiyyat) berkenaan dengan pengertian, posisinya dengan bentuk sanad lainnya, keberadaannya di berbagai kitab Hadis dan lain-lain.
BAB
II
AL-THULATHIYYAT
A. Definisi al-Thulathiyyat
Secara etimologis, kata al-thulathiyyat merupakan bentuk jama’ dari kata thulathiyah yang mempunyai arti yang terdiri dari tiga. Sedangkan secara terminologis, ulama hadis mendefinisikan al-thulathiyyat sebagai:
الكتب التي جمعت فيها الأحاديث ويكون في إسنادها ثلاثة رواة
بين المصنف والنبي صلي الله عليه وسلم.[4]
“Thulathiyyat adalah kitab-kitab hadis yang di dalamnya memuat hadis-hadis yang sanadnya antara musannif dengan Nabi Saw. hanya terdiri dari tiga orang.”
Sementara ulama hadis lain mendefinisikan al-thulathiyyat sebagai:
الأحاديث التي يقع فيها بين رسول الله صلي الله عليه وسلم
وبين مخرجيها ثلاثة أشخاص فقط.[5]
Mahmud Al-T{ahhan mendefinisikan al-thulathiyyat sebagai berikut:
الثلاثيات
ويعنون بها الأحاديث التي فيها بين المصنف وبين رسول الله صلى الله عليه وسلم
ثلاثة أشخاص فقط.[6]
“al-Thulathiyyat yang dikehendaki oleh para ulama hadis adalah Hadis-hadis dimana antara mukharrij (kolektor hadis) dengan Rasulullah Saw. hanya terdapat tiga orang (periwayat).
Sementara al-Saffarini mendefinisikan al-hadith al-thulathi sebagai:
الحديث الثلاثي: ما كان بين المخرج للحديث وبين النبي صلي
الله عليه وسلم ثلاثة رواة: صحابي وتابعي وتابع تابعي. وحينئذ تجتمع في الإسناد من
أفراد الثلاثة قرون المفضلة في الأخبار الواردة عن النبي صلي الله عليه وسلم.[7]
“Al-H{adith al-Thulathi adalah hadis yang antara mukharrijnya dan Nabi saw. terdapat tiga rawi, yaitu sahabat, tabi‘in dan tabi‘ al-tabi‘in. Dengan demikian dalam sanad tersebut terkumpul tiga orang yang masing-masing tercantum dalam masa-masa yang mulia, sebagaimana yang telah disebutkan dalam hadis Nabi Saw.”
Dari definisi-definisi di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan al-thulathiyyat yang dikehendaki oleh para ulama hadis adakalanya hadisnya itu sendiri yang terdiri dari tiga rawi antara mukharrijnya dan Nabi Saw. dan adakalanya pula kitab-kitab hadis yang mengumpulkan hadis-hadis yang terdiri dari tiga rawi antara mukharrijnya dan Nabi Saw.
Dalam konteks kepentingan ketinggian sanad, al-Bayquni mengemukakannya dalam petikan nazam-nya (baca: sya’ir) berikut ini:
وَكُلُّ مَا قَلَّتْ رِجَالُهُ عَلاَ ... وَضِدُهُ ذاك الذي قد
نَزَلا.[8]
“Setiap Hadis yang jumlah periwayatnya sedikit terbilang Hadis عالي (‘ali), sedangkan kebalikannya disebut dengan نازل (nazil).”
Terbaca dari nazam di atas bahwa Hadis-hadis yang
terdiri dari tiga periwayat atau sandaran periwayat yang menghubungkan antara Mukharrij
dengan Nabi Saw hanya tiga orang, maka hadis tersebut tergolong Hadis
dengan sanad عالي (‘ali).
Dalam tradisi para ulama Hadis klasik, sangat
dianjurkan bagi seorang mukharrij untuk mencari sanad ‘ali. Hal
ini seperti yang dinyatakan oleh Ahmad bin H{anbal sebagaimana dikutip oleh al-Khatib
al-Baghdadi, bahwa pencarian sanad ‘ali merupakan Sunnah atau
tradisi para ulama Salaf. Para ulama dimaksud bahkan rela bersafari ke berbagai
daerah dalam rangka mencari sanad-sanad Hadis dimaksud. Berikut di bawah ini
pernyataan Ahmad bin H{anbal sehubungan dengan anjuran bagi seorang mukharrij
untuk mencari sanad ‘ali:
طلب الإسناد العالي سنة عمن سلف لأن أصحاب عبد
الله بن مسعود كانوا يرحلون من الكوفة إلى المدينة، فيتعلمون من عمر، ويسمعون منه،
ولذلك استحبت الرحلة في طلب الحديث.[9]
“Pencarian sanad عالي (‘ali) merupakan tradisi para ulama salaf. Para pengikut ‘Abdullah bin Mas‘ud melakukan rihlah atau perjalanan dari Kufah ke Madinah untuk belajar dan mendengarkan Hadis secara langsung dari ‘Umar. Oleh karenanya rihlah mencari Hadis sangat dianjurkan.”
Lebih dari sekedar tradisi yang dicintai oleh para ulama salaf dalam kaitannya dengan pencarian Hadis bersanad عالي (‘ali), al-H{akim sebagaimana dilaporkan oleh al-Sakhawi, bahkan menganggap kegiatan tersebut sebagai سنة صحيحة (sunnah sahihah), yakni tradisi atau warisan tradisi yang secara tersirat memiliki landasan historis di masa Nabi Saw. Dalam konteks ini, al-H{akim mendasarkan pendapatnya tersebut pada sebuah Hadis tentang kisah seseorang yang bernama D{imam bin Tha‘labah ketika memverifikasi kepada Nabi Saw. perihal risalah yang dibawa oleh beliau. Secara ringkas, Nabi Saw. membenarkan seluruh pertanyaan D{imam bin Tha‘labah tersebut secara langsung. Situasi tanya jawab antara Nabi Saw. dengan D{imam bin Tha‘labah terjadi tanpa perantara yang memang dikehendaki oleh D{imam bin Tha‘labah sendiri. Atas dasar dialog langsung tersebut kemudian al-H{akim berkesimpulan sehubungan dengan pentingnya kedekatan sanad atau sedikitnya sanad yang menjadikannya sebagai sanad yang tinggi. Bahwa seandainya Hadis bersanad عالي (‘ali) tidak bernilai signifikan, sudah barang tentu Nabi Saw. tidak berkenan melayani permintaan D{imam bin Tha‘labah dengan panjang lebar.[10]
Adapun Hadis yang memuat kisah dialog antara Nabi Saw. dengan D{imam bin Tha‘labah adalah sebagai berikut:
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ
يُوسُفَ، قَالَ: حَدَّثَنَا اللَّيْثُ، عَنْ سَعِيدٍ هُوَ المَقْبُرِيُّ، عَنْ
شَرِيكِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي نَمِرٍ، أَنَّهُ سَمِعَ أَنَسَ بْنَ
مَالِكٍ، يَقُولُ: بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوسٌ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي المَسْجِدِ، دَخَلَ رَجُلٌ عَلَى جَمَلٍ، فَأَنَاخَهُ فِي
المَسْجِدِ ثُمَّ عَقَلَهُ، ثُمَّ قَالَ لَهُمْ: أَيُّكُمْ مُحَمَّدٌ؟
وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُتَّكِئٌ بَيْنَ ظَهْرَانَيْهِمْ،
فَقُلْنَا: هَذَا الرَّجُلُ الأَبْيَضُ المُتَّكِئُ. فَقَالَ لَهُ الرَّجُلُ: يَا
ابْنَ عَبْدِ المُطَّلِبِ فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: قَدْ أَجَبْتُكَ . فَقَالَ الرَّجُلُ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنِّي سَائِلُكَ فَمُشَدِّدٌ عَلَيْكَ فِي المَسْأَلَةِ،
فَلاَ تَجِدْ عَلَيَّ فِي نَفْسِكَ؟ فَقَالَ: سَلْ عَمَّا بَدَا لَكَ فَقَالَ:
أَسْأَلُكَ بِرَبِّكَ وَرَبِّ مَنْ قَبْلَكَ، آللَّهُ أَرْسَلَكَ إِلَى النَّاسِ
كُلِّهِمْ؟ فَقَالَ: اللَّهُمَّ نَعَمْ. قَالَ: أَنْشُدُكَ بِاللَّهِ، آللَّهُ أَمَرَكَ
أَنْ نُصَلِّيَ الصَّلَوَاتِ الخَمْسَ فِي اليَوْمِ وَاللَّيْلَةِ؟ قَالَ: اللَّهُمَّ
نَعَمْ. قَالَ: أَنْشُدُكَ بِاللَّهِ، آللَّهُ أَمَرَكَ أَنْ نَصُومَ هَذَا
الشَّهْرَ مِنَ السَّنَةِ؟ قَالَ: اللَّهُمَّ نَعَمْ . قَالَ: أَنْشُدُكَ
بِاللَّهِ، آللَّهُ أَمَرَكَ أَنْ تَأْخُذَ هَذِهِ الصَّدَقَةَ مِنْ
أَغْنِيَائِنَا فَتَقْسِمَهَا عَلَى فُقَرَائِنَا؟ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اللَّهُمَّ نَعَمْ . فَقَالَ الرَّجُلُ: آمَنْتُ بِمَا
جِئْتَ بِهِ، وَأَنَا رَسُولُ مَنْ وَرَائِي مِنْ قَوْمِي، وَأَنَا ضِمَامُ بْنُ
ثَعْلَبَةَ أَخُو بَنِي سَعْدِ بْنِ بَكْرٍ وَرَوَاهُ مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ،
وَعَلِيُّ بْنُ عَبْدِ الحَمِيدِ، عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ المُغِيرَةِ، عَنْ
ثَابِتٍ، عَنْ أَنَسٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِهَذَا.[11]
“Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Yusuf berkata, telah menceritakan kepada kami al-Layth dari Sa‘id al-Maqburi dari Sharik bin ‘Abdullah bin Abu Namir bahwa dia mendengar Anas bin Malik berkata: Ketika kami sedang duduk-duduk bersama Nabi Saw. di dalam Masjid, ada seorang yang menunggang unta datang lalu menambatkannya di dekat Masjid, kemudian berkata kepada mereka (para sahabat): “Siapa di antara kalian yang bernama Muhammad?” Pada saat itu Nabi Saw. bersandaran di tengah para sahabat, lalu kami menjawab: “Orang ini, yang berkulit putih yang sedang bersandar.” Orang itu berkata kepada Beliau; “Wahai putra ‘Abd al-Muttalib.” Nabi Saw. menjawab: “Ya, aku sudah menjawabmu.” Maka orang itu berkata kepada Nabi Saw.: “Aku bertanya kepadamu persoalan yang mungkin berat buatmu namun janganlah kamu merasakan sesuatu terhadapku.” Maka Nabi Saw. menjawab: “Tanyalah apa yang menjadi persoalanmu.” Orang itu berkata: “Aku bertanya kepadamu demi Rabbmu dan Rabb orang-orang sebelummu. Apakah Allah yang mengutusmu kepada manusia seluruhnya?” Nabi Saw. menjawab: “Demi Allah, ya benar.” Orang itu berkata: “Aku bersumpah kepadamu atas nama Allah, apakah Allah yang memerintahkanmu supaya kami shalat lima (waktu) dalam sehari semalam?” Nabi Saw. menjawab: “Demi Allah, ya benar.” Orang itu berkata: “Aku bersumpah kepadamu atas nama Allah, apakah Allah yang memerintahkanmu supaya kami puasa di bulan ini dalam satu tahun?” Nabi Saw. menjawab: “Demi Allah, ya benar.” Orang itu berkata: “Aku bersumpah kepadamu atas nama Allah, apakah Allah yang memerintahkanmu supaya mengambil sedekah dari orang-orang kaya di antara kami lalu membagikannya kepada orang-orang fakir di antara kami?” Nabi Saw. menjawab: “Demi Allah, ya benar.” Orang itu berkata: “Aku beriman dengan apa yang engkau bawa dan aku adalah utusan kaumku, aku D{imam bin Tha‘labah saudara dari Bani Sa‘d bin Bakr.” Begitulah (kisah tadi) sebagaimana yang diriwayatkan oleh Musa bin Isma‘il dan ‘Ali bin ‘Abd al-H{amid dari Sulayman bin al-Mughirah dari Thabit dari Anas dari Nabi Saw.”
B. Kitab-Kitab Hadis Yang Di Dalamnya Terdapat Hadis-Hadis Thulathiyyat
1.
Al-Muwatta’ Imam Malik
(93-179 H.)
Sanad hadis yang paling ‘A<li terdapat pada kitab Muwatta’ Imam Malik.[12] Menurut Ahmad Farraj, dalam kitab ini terdapat 122 hadis thuna’i, yaitu hadis-hadis dimana antara mukharrijnya dan Nabi Saw. hanya terdiri dari dua orang rawi.[13] Penulis belum menemukan seorang ulama yang secara khusus meneliti jumlah hadis-hadis thulathiyyat dalam al-Muwatta’. Hal ini –menurut penulis- barangkali karena sanad yang paling tinggi dalam al-Muwatta’ bukanlah pada hadis-hadis thulathiyyat, malainkan pada hadis-hadis thuna’iyyat, sehingga yang menjadi perhatian para ulama hadis dalam kitab al-Muwatta’ adalah hadis-hadis thuna’iyyat bukan thulathiyyat. Namun jika melihat jumlah hadis-hadis thuna’iyyat dalam al-Muwatta’ yang begitu banyak, maka tentunya hadis-hadis thulathiyyat dalam al-Muwatta’ jumlahnya jauh lebih banyak. Berikut penulis cantumkan hadis thulathiyyat yang terdapat dalam al-Muwatta’ sebagai bukti bahwa dalam al-Muwatta’ terdapat banyak hadis-hadis thulathiyyat:
a. Hadis riwayat Yahya bin Sa‘id dari ‘Amrah binti ‘Abdurrahman dari ‘A<’ishah.
وحدثني يحيى عن مالك عن يحيى بن سعيد
عن عمرة بنت عبد الرحمن عن عائشة زوج النبي صلى الله عليه و سلم أنها قالت :إن كان
رسول الله صلى الله عليه و سلم ليصلي الصبح فينصرف النساء متلفعات بمروطهن ما
يعرفن من الغلس.[14]
“Telah menceritakan kepadaku Yahya dari Malik dari Yahya bin Sa‘id dari 'Amrah binti Abdurrahman dari ‘A<’ishah istri Nabi Saw. dia berkata; “Ketika Rasulullah Saw. selesai shalat subuh, kaum wanita keluar dengan keadaan tertutup dengan kain mereka, dan mereka masih tidak terinditifikasi karena gelap.”
b. Hadis riwayat Zayd bin Aslam dari ‘Ata’ bin Yasar, Busr bin Sa‘id dan al-A‘raj, semuanya dari Abu Hurayrah
وحدثني عن مالك عن زيد بن أسلم عن
عطاء بن يسار وعن بسر بن سعيد وعن الأعرج كلهم يحدثونه عن أبي هريرة أن رسول الله
صلى الله عليه و سلم قال :من أدرك ركعة من الصبح قبل أن تطلع الشمس فقد أدرك الصبح
ومن أدرك ركعة من العصر قبل أن تغرب الشمس فقد أدرك العصر.[15]
“Telah menceritakan kepadaku dari Malik dari Zayd bin Aslam dari ‘Ata’ bin Yasar, Busr bin Sa‘id dan al-A‘raj, semuanya menceritakannya dari Abu Hurayrah, Rasulullah Saw. bersabda: “Barangsiapa mendapatkan satu rakaat shalat Subuh sebelum matahari terbit, dia telah mendapatkan shalat subuh. Barangsiapa mendapatkan satu rakaat shalat Ashar sebelum matahari terbenam maka dia telah mendapatkan shalat Ashar.”
c. Hadis riwayat Abu al-Zinad dari al-A‘raj dari Abu Hurayrah
وحدثني عن مالك عن أبي الزناد عن
الأعرج عن أبي هريرة أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال :إذا أشتد الحر فأبردوا
عن الصلاة فإن شدة الحر من فيح جهنم.[16]
“Dan telah menceritakan kepadaku dari Malik dari Abu al-Zinad dari al-A‘raj dari Abu Hurayrah bahwa Rasulullah Saw. bersabda: “Apabila panas telah menyengat maka tundalah waktu shalat hingga teduh, karena kerasnya panas berasal dari hembusan Jahannam.”
2.
Musnad al-Shafi‘i (150-204
H.)
Al-Kattani dalam kitabnya al-Risalah al-Mustatrafah yang juga dikutip oleh Sayyid ‘Abd al-Majid al-Ghawri dalam kitabnya Mawsu‘ah ‘Ulum al-H{adith wa Fununih menyebutkan bahwa dalam Musnad al-Shafi‘i dan kitab al-Shafi‘i yang lain terdapat sejumlah hadis thulathiyyat.[17]
Setelah penulis menelusuri dalam Musnad al-Shafi‘i setidaknya penulis menemukan tiga puluh enam hadis yang mempunyai sanad thulathiyyat. Tiga puluh enam hadis tersebut terbagi menjadi tiga jalur sanad:
a. Pertama, melalui jalur Malik-Nafi‘-Ibn ‘Umar. Jalur sanad ini menurut al-Bukhari merupakan jalur sanad yang paling sahih.[18] Jumlah hadis dengan jalur ini sebanyak tiga puluh empat hadis. Berikut contohnya:
أَخْبَرَنَا مَالِكٌ ، عَنْ نَافِعٍ ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم ، قَالَ : صَلاةُ
الْجَمَاعَةِ تَفْضُلُ عَلَى صَلاةِ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً.[19]
“Malik telah mengabarkan kepada kami, dari Nafi‘, dari Ibn ‘Umar ra. bahwa Rasulullah Saw. bersabada: “Shalat jamaah melebihi shalat sendirian dengan selisih dua puluh tujuh derajat.”
أَخْبَرَنَا مَالِكٌ ، عَنْ نَافِعٍ ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَرَضَ
زَكَاةَ الْفِطْرِ مِنْ رَمَضَانَ عَلَى النَّاسِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ ، أَوْ
صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ.[20]
“Malik telah mengabarkan kepada kami, dari Nafi‘, dari Ibn ‘Umar ra.
bahwa Rasulullah Saw. mewajibkan zakat fitri dari bulan Ramadan kepada semua
manusia sebesar satu sa‘ kurma atau atau sa‘ gandum.”
مسند
الشافعي - مشكول - (1 / 342)
أَخْبَرَنَا مَالِكٌ ، عَنْ نَافِعٍ ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا ، أَنّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم ، قَالَ : لا
يَخْطُبْ أَحَدُكُمْ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ.[21]
“Malik telah mengabarkan kepada kami, dari Nafi‘, dari Ibn ‘Umar ra.
bahwa Rasulullah Saw. bersabada: “Salah seorang di antara kalian tidak boleh
meminang atas pinangan saudaranya.”
b. Kedua, melalui jalur rawi al-Thiqah-H{umayd-Anas bin Malik. Menurut al-Bayhaqi, mengutip dari gurunya al-H{akim, yang dimaksud dengan al-Thiqah pada jalur tersebut adalah Isma‘il bin ‘Ulayyah.[22] Jumlah hadis dengan jalur ini hanya satu:
أخبرنا الثقة ، عن حميد ، عن أنس بن مالك ، رضي الله عنه
قال : كان أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم ينتظرون العشاء فينامون ، أحسبه قال
: قعودًا حتى تخفق رؤوسهم ، ثم يصلون ولا يتوضؤون.[23]
“al-Thiqah telah mengabarkan kepaada kami, dari H{umayd, dari Anas bin Malik ra., ia berkata: “Para sahabat Rasulullah Saw. menunggu shalat Isya’, kemudian mereka tertidur (saya mengira Anas berkata:) dalam keadaan duduk hingga kepalanya terbenam, kemudian (setelah bangun) mereka shalat dan tidak wudlu’.”
c. Ketiga, melalui jalur al-Thaqafi-H{umayd-Anas bin Malik. Jumlah hadis dengan jalur ini hanya satu:
أَخْبَرَنَا الثَّقَفِيُّ ، عَنْ حُمَيْدٍ ، عَنْ أَنَسِ
بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، أَنّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم
نَهَى عَنْ بَيْعِ ثَمَرَةِ النَّخْلِ حَتَّى تَزْهُوَ ، قِيلَ : وَمَا تَزْهُو ؟
قَالَ : حَتَّى تَحْمَرَّ.[24]
“Al-Thaqafi telah mengabarkan kepada kami, dari H{umayd, dari Anas bin Malik ra. bahwa Rasulullah Saw. melarang menjual buah kurma sehingga kurma itu nampak bagus (matang). Dikatakan, “Apa itu nampak bagus (matang)?” Beliau berkata: “Hingga warnanya memerah.”
3.
Musnad Ahmad bin H{anbal
Musnad Ahmad bin H{anbal merupakan kitab hadis yang paling banyak mengandung hadis-hadis thulathiyyat. Menurut penelitian yang dilakukan oleh al-Saffarini dalam kitabnya Nafathat S{adr al-Mukmad wa Qurrat ‘Ain al-Armad li Sharh Thulathiyyat Musnad al-Imam Ahmad, jumlah hadis-hadis thulathiyyat yang terdapat dalam Musnad Ahmad sebanyak 363 hadis. Sementara dalam kitab ‘Uqud al-La’ali fi al-Asanid al-‘Awali disebutkan bahwa jumlah hadis-hadis thulathiyyat yang terdapat dalam Musnad Ahmad sebanyak 337 hadis.[25]
Thulathiyyat Musnad Ahmad mendapat perhatian besar di kalangan ulama hadis, khususnya para ulama Madhhab Hanbali. Ini dibuktikan dengan munculnya sharh yang ditulis oleh para ulama terhadap thulathiyyat Musnad Imam Ahmad, di antaranya adalah kitab Nafathat S{adr al-Mukmad wa Qurrat ‘Ain al-Armad li Sharh Thulathiyyat Musnad al-Imam Ahmad yang ditulis oleh Muhammad bin Ahmad bin Salim bin Sulayman al-Nabulisi al-Saffarini al-H{anbali (1114-1188 H.). Kitab al-Saffarini ini dianggap sebagai kitab sharh Musnad Ahmad, khususnya sharh hadis-hadis thulathiyyat yang pertama kali muncul.[26]
Berikut ini adalah contoh hadis thulathi yang terdapat dalam Musnad Ahmad dari jalur Sufyan-‘Abdullah bin Dinar-Ibn ‘Umar:
حدثنا
عبد الله حدثني أبي ثنا سفيان عن عبد الله بن دينار عن بن عمر: سئل النبي صلى
الله عليه و سلم عن الضب فقال لا آكله ولا أحرمه.[27]
“’Abdullah telah bercerita kepada kami, ia berkata: ayahku (Ahmad) telah bercerita kepadaku, ia berkata: Sufyan telah bercerita kepada kami, dari ‘Abdullah bin Dinar, dari Ibn ‘Umar bahwa Nabi Saw. ditanya tentang binatang D{ab, maka beliau menjawab: “Aku tidak memakannya dan tidak pula mengharamkannya.”
4.
Musnad ‘Abd bin H{umayd
(249 H.)
Berdasarkan penelitian beberapa ulama hadis disebutkan bahwa hadis-hadis thulathiyyat yang terdapat dalam Musnad ‘Abd bin H{umayd berjumlah lima puluh satu hadis.[28] Berikut contoh hadis-hadis thulathiyyat dalam Musnad ‘Abd bin H{umayd:
أَخْبَرَنَا صَفْوَانُ بْنُ عِيسَى ، عَنْ يَزِيدَ بْنِ
أَبِي عُبَيْدٍ ، عَنْ سَلَمَةَ بْنِ الأَكْوَعِ : أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه
وسلم كَانَ يُصَلِّي الْمَغْرِبَ سَاعَةَ تَغْرُبُ الشَّمْسُ إِذَا غَابَ
حَاجِبُهَا.[29]
“S{afwan bin ‘Isa telah menceritakan kepada kami dari Yazid bin Abi ‘Ubayd dari Salamah bin al-Akwa‘, ia berkata: “Sesungguhnya Nabi Saw. shalat Maghrib pada saat matahari tenggelam ketika penghalangnya telah menghilang.”
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مُسْلِمٍ الطَّائِفِيُّ ، عَنْ
عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ ، عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ ، أَنَّ النَّبِيَّ صلى
الله عليه وسلم قَالَ : لَيْسَ فِيمَا دُونَ خَمْسِ أَوَاقٍ صَدَقَةٌ وَلَيْسَ
فِيمَا دُونَ خَمْسِ ذَوْدٍ صَدَقَةٌ ، وَلَيْسَ فِيمَا دُونَ خَمْسِ أَوْسُقٍ
صَدَقَةٌ.[30]
“Muhammad bin Muslim al-T{a’ifi menceritakan kepada kami dari ‘Amr bin Dinar dari Jabir bin ‘Abdillah, ia berkata: “Sesungguhnya Nabi Saw. telah bersabda: “Tidak ada zakat harta di bawah lima awqiyah, tidak ada zakat pada unta di bawah lima ekor dan tidak ada zakat pada hasil tanaman di bawah lima wasaq.”
5.
S{ahih
al-Bukhari (256 H.)
Hadis-hadis thulathiyat
dalam kitab S{ahih al-Bukhari berjumlah dua puluh dua
hadis. Sedangkan tanpa pengulangan berjumlah enam belas hadis. Para ulama
banyak yang menulis secara tersendiri hadis-hadis thulathiyyat al-Bukhari,
seperti al-Mula ‘Ali al-Qari, ‘Abd al-Basit al-Qanuji[31]
dan Ibn H{ajar al-‘Asqalani.[32] Thulathiyyat
al-Bukhari terdiri dari lima macam jalur sanad:
a. Jalur Makki bin Ibrahim-Yazid bin Abi ‘Ubayd-Salamah bin al-Akwa‘
Thulathiyyat yang melalui jalur ini terdapat pada sebelas hadis. Berikut contohnya:
حَدَّثَنَا مَكِّيُّ بْنُ إِبْرَاهِيمَ قَالَ : حَدَّثَنَا
يَزِيدُ بْنُ أَبِي عُبَيْدٍ عَنْ سَلَمَةَ قَالَ: سَمِعْتُ النَّبِيَّ صلى الله
عليه وسلم يَقُولُ : مَنْ يَقُلْ عَلَيَّ مَا لَمْ أَقُلْ فَلْيَتَبَوَّأْ
مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ.[33]
“Telah menceritakan kepada kami Makki bin Ibrahim berkata, telah menceritakan kepada kami Yazid bin Abu ‘Ubayd dari Salamah berkata, “Aku mendengar Nabi Saw. bersabda: “Barangsiapa berkata tentangku yang tidak pernah aku katakan, maka hendaklah ia persiapkan tempat duduknya di neraka.”
b. Abu ‘A<sim- Yazid bin Abi ‘Ubayd-Salamah bin al-Akwa‘
Thulathiyyat yang melalui jalur ini terdapat pada enam hadis. Berikut contohnya:
حَدَّثَنَا أَبُو عَاصِمٍ ، عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِي
عُبَيْدٍ عَنْ سَلَمَةَ بْنِ الأَكْوَعِ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، أَنَّ
النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم بَعَثَ رَجُلاً يُنَادِي فِي النَّاسِ يَوْمَ
عَاشُورَاءَ أَنْ مَنْ أَكَلَ فَلْيُتِمَّ ، أَوْ فَلْيَصُمْ ، وَمَنْ لَمْ
يَأْكُلْ فَلاَ يَأْكُلْ.[34]
“Telah menceritakan kepada kami Abu ‘A<sim dari Yazid bin Abi ‘Ubayd dari Salamah bin al-Akwa‘ ra. bahwa Nabi Saw. mengutus seseorang untuk menyeru manusia pada (waktu sahur) hari ‘Ashura’, bila ada seseorang yang sudah makan maka hendaklah ia meneruskan makannya atau hendaklah puasa dan barangsiapa yang belum makan maka hendaklah ia tidak makan (maksudnya teruskan berpuasa).”
c. Muhammad bin ‘Abdillah al-Ansari-H{umayd-Anas
Thulathiyyat yang melalui jalur ini terdapat pada tiga hadis. Berikut contohnya:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللهِ الأَنْصَارِيُّ ،
قَالَ : حَدَّثَنِي حُمَيْدٌ أَنَّ أَنَسًا حَدَّثَهُمْ أَنَّ الرُّبَيِّعَ -
وَهْيَ ابْنَةُ النَّضْرِ - كَسَرَتْ ثَنِيَّةَ جَارِيَةٍ فَطَلَبُوا الأَرْشَ
وَطَلَبُوا الْعَفْوَ فَأَبَوْا فَأَتَوُا النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم
فَأَمَرَهُمْ بِالْقِصَاصِ فَقَالَ أَنَسُ بْنُ النَّضْرِ أَتُكْسَرُ ثَنِيَّةُ
الرُّبَيِّعِ يَا رَسُولَ اللهِ لاَ وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ لاَ تُكْسَرُ
ثَنِيَّتُهَا فَقَالَ يَا أَنَسُ كِتَابُ اللهِ الْقِصَاصُ فَرَضِيَ الْقَوْمُ
وَعَفَوْا فَقَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم إِنَّ مِنْ عِبَادِ اللهِ مَنْ
لَوْ أَقْسَمَ عَلَى اللهِ لأَبَرَّهُ.
زَادَ الْفَزَارِيُّ عَنْ حُمَيْدٍ ، عَنْ أَنَسٍ فَرَضِيَ
الْقَوْمُ وَقَبِلُوا الأَرْشَ.[35]
“Telah bercerita kepada kami Muhammad bin ‘Abdullah al- Ansari berkata, telah bercerita kepadaku H{umayd bahwa Anas bercerita kepada mereka bahwa al-Rubayyi‘, -dia adalah putri dari al-Nadr- mematahkan gigi depan seorang anak perempuan lalu mereka meminta ganti rugi, namun mereka menolaknya hingga akhirnya mereka (kedua kaum itu) menemui Nabi Saw. Maka Beliau memerintahkan mereka untuk menegakkan qisas (tuntutan balas yang setimpal). Maka Anas bin al-Nadr berkata: “Apakah kami harus mematahkan gigi depannya al-Rubayyi‘ wahai Rasulullah? Demi Dzat yang mengutus Tuan dengan benar, kami tidak akan mematahkan giginya.” Maka Beliau berkata: “Wahai Anas, di dalam Kitab Allah ada ketetapan qisas (Allah yang menetapkan qisas).” Maka kaum itu ridha lalu memaafkannya. Kemudian Nabi Saw. bersabda: “Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah ada hamba yang apabila bersumpah dia memenuhinya.” Al-Fazari menambahkan dari H{umayd dari Anas: “Maka kaum itu ridha dan menerima ganti ruginya.”
d. ‘Isam bin Khalid-H{ariz bin ‘Uthman-‘Abdullah bin Busr
Thulathiyyat yang melalui jalur ini terdapat pada satu hadis, yaitu:
حَدَّثَنَا عِصَامُ بْنُ خَالِدٍ ، حَدَّثَنَا حَرِيزُ بْنُ
عُثْمَانَ أَنَّهُ سَأَلَ عَبْدَ اللهِ بْنَ بُسْرٍ صَاحِبَ النَّبِيِّ صلى الله
عليه وسلم قَالَ : أَرَأَيْتَ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم كَانَ شَيْخًا قَالَ
كَانَ فِي عَنْفَقَتِهِ شَعَرَاتٌ بِيضٌ.[36]
“Telah bercerita kepada kami ‘Isam bin Khalid, telah bercerita kepada kami H{ariz bin ‘Uthman bahwa dia bertanya kepada ‘Abdullah bin Busr, sahabat Nabi Saw, katanya; “Apakah kamu pernah melihat Nabi Saw. pada usia lanjut?” Dia menjawab; “Ya, rambut yang sudah memutih pada dagu beliau.”
e. Khallad bin Yahya-‘Isa bin T{ahman-Anas bin Malik
Thulathiyyat yang melalui jalur ini terdapat pada satu hadis, yaitu:
حَدَّثَنَا خَلاَّدُ بْنُ يَحْيَى، حَدَّثَنَا عِيسَى بْنُ
طَهْمَانَ قَالَ: سَمِعْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، يَقُولُ
نَزَلَتْ آيَةُ الْحِجَابِ فِي زَيْنَبَ بِنْتِ جَحْشٍ وَأَطْعَمَ عَلَيْهَا
يَوْمَئِذٍ خُبْزًا وَلَحْمًا وَكَانَتْ تَفْخَرُ عَلَى نِسَاءِ النَّبِيِّ صلى
الله عليه وسلم وَكَانَتْ تَقُولُ إِنَّ اللَّهَ أَنْكَحَنِي فِي السَّمَاءِ.[37]
“Telah menceritakan kepada kami Khallad bin Yahya telah menceritakan kepada kami ‘Isa bin T{ahman berkata, aku mendengar Anas bin Malik ra. mengatakan, “Ayat hijab diturunkan tentang Zaynab binti Jahsh, yang ketika itu beliau Saw. memberinya makan berupa roti dan daging, dan Zainab membanggakan diri kepada isteri-isteri Nabi Saw. lainnya dengan berkata, “Allah lah yang menikahkanku di langit.”
6.
Sunan al-Tirmidhi (209-279
H.)
Dalam Sunan al-Tirmidhi hanya terdapat satu hadis thulathi, yaitu hadis:
حدثنا
إسمعيل بن موسى الفزاري ابن بنت السدي الكوفي حدثنا عمر بن شاكر عن أنس بن مالك
قال : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم يأتي على الناس زمان الصابر فيهم على
دينه كالقابض على الجمر.[38]
“Telah menceritakan kepada kami Isma‘il bin Musa al-Fazari Ibn binti al-Suddi al-Kufi, telah bercerita kepada kami ‘Umar bin Shakir dari Anas bin Malik berkata: Rasulullah Saw. bersabda: “Akan datang kepada manusia suatu masa yang ketika itu orang yang sabar di atas agamanya seperti menggenggam bara api.”
7.
Sunan Ibn Majah (273 H.)
Sunan Ibn Majah mempunyai lima hadis thulathi. Kelima hadis tersebut bersumber pada jalur sanad Jubarah bin al-Mughallis-Kathir bin Sulaym-Anas bin Malik. Namun nampaknya sanad ‘A<li yang dimiliki Ibn Majah ini tidak begitu berpengaruh terhadap keunggulan hadis-hadisnya, karena semuanya melalui jalur Jubarah bin al-Mughallis yang dinilai sebagai rawi yang sangat lemah oleh para ulama hadis. Lihat saja komentar ulama jarh wa ta‘dil tentang Jubarah ini. ‘Abdullah bin Ahmad berkata: “Aku menghaturkan hadis-hadis yag aku dengar dari Jubarah kepada ayahku (Ahmad bin H{anbal), maka ia mengingkari sebagiannya. Ia pun berkata: “Hadis-hadis ini adalah palsu.” Al-Bukhari sendiri menilai Jubarah sebagai Mudtarib al-H{adith. Sementara Ibn Ma‘in lebih pedas lagi dengan mengatakan bahwa Jubarah adalah Kadhdhab (pendusta).[39]
Berikut adalah hadis-hadis thulathiyyat dalam Sunan Ibn Majah:
حَدَّثَنَا جُبَارَةُ بْنُ الْمُغَلِّسِ، حَدَّثَنَا
كَثِيرُ بْنُ سُلَيْمٍ قَالَ: سَمِعْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ ، يَقُولُ : قَالَ
رَسُولُ اللهِ صَلَّى الله عَليْهِ وسَلَّمَ : مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُكْثِرَ اللَّهُ
خَيْرَ بَيْتِهِ ، فَلْيَتَوَضَّأْ إِذَا حَضَرَ غَدَاؤُهُ ، وَإِذَا رُفِعَ.[40]
“Telah menceritakan kepada kami Jubarah bin al-Mughallis telah menceritakan kepada kami Kathir bin Sulaym, saya mendengar Anas bin Malik berkata, “Rasulullah Saw. bersabda: “Barangsiapa ingin supaya Allah memperbanyak kebaikan rumahnya, maka hendaknya ia berwudlu jika makan paginya telah dihidangkan, atau ketika selesai (dari makan).”
حَدَّثَنَا جُبَارَةُ بْنُ الْمُغَلِّسِ ، حَدَّثَنَا
كَثِيرُ بْنُ سُلَيْمٍ ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ ، قَالَ : مَا رُفِعَ مِنْ
بَيْنِ يَدَيْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى الله عَليْهِ وسَلَّمَ ، فَضْلُ شِوَاءٍ قَطُّ
، وَلاَ حُمِلَتْ مَعَهُ طِنْفِسَةٌ.[41]
“Telah menceritakan kepada kami Jubarah bin al-Mughallis telah menceritakan kepada kami Kathir bin Sulaym dari Anas bin Malik dia berkata, “Tidak pernah diangkat sisa daging panggang dari hadapan Rasulullah Saw. dan tidak pula tikar dibawa bersamanya.”
حَدَّثَنَا جُبَارَةُ بْنُ الْمُغَلِّسِ ، حَدَّثَنَا
كَثِيرُ بْنُ سُلَيْمٍ ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ
صَلَّى الله عَليْهِ وسَلَّمَ : الْخَيْرُ أَسْرَعُ إِلَى الْبَيْتِ الَّذِي
يُغْشَى ، مِنَ الشَّفْرَةِ إِلَى سَنَامِ الْبَعِيرِ.[42]
“Telah menceritakan kepada kami Jubarah bin al-Mughallis telah menceritakan kepada kami Kathir bin Sulaym dari Anas bin Malik dia berkata, “Rasulullah Saw. bersabda: “Kebaikan itu lebih cepat masuk ke dalam rumah yang di dalamnya tamu dijamu, dari cepatnya pisau ke punuk unta.”
حَدَّثَنَا جُبَارَةُ بْنُ الْمُغَلِّسِ ، حَدَّثَنَا
كَثِيرُ بْنُ سُلَيْمٍ قَالَ : سَمِعْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ ، يَقُولُ : قَالَ
رَسُولُ اللهِ صَلَّى الله عَليْهِ وسَلَّمَ : مَا مَرَرْتُ لَيْلَةَ أُسْرِيَ بِي
بِمَلَكٍ ، إِلاَّ قَالُوا: يَا مُحَمَّدُ ، مُرْ أُمَّتَكَ بِالْحِجَامَةِ.[43]
“Telah menceritakan kepada kami Jubarah bin al-Mughallis telah menceritakan kepada kami Kathir bin Sulaym saya mendengar Anas bin Malik berkata, “Rasulullah Saw. bersabda: “Tidaklah aku melewati seorang malaikat ketika malam aku di isra`’kan kecuali mereka berkata: "Wahai Muhammad, perintahkan umatmu untuk berbekam.”
حَدَّثَنَا جُبَارَةُ بْنُ الْمُغَلِّسِ ، حَدَّثَنَا
كَثِيرُ بْنُ سُلَيْمٍ ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ
صَلَّى الله عَليْهِ وسَلَّمَ : إِنَّ هَذِهِ الأُمَّةَ مَرْحُومَةٌ ، عَذَابُهَا
بِأَيْدِيهَا ، فَإِذَا كَانَ يَوْمُ الْقِيَامَةِ ، دُفِعَ إِلَى كُلِّ رَجُلٍ
مِنَ الْمُسْلِمِينَ رَجُلٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ ، فَيُقَالُ : هَذَا فِدَاؤُكَ
مِنَ النَّارِ.[44]
“Telah menceritakan kepada kami Jubarah bin al-Mughallis telah menceritakan kepada kami Kathir bin Sulaym dari Anas bin Malik dia berkata; Rasulullah Saw. bersabda: “Sesungguhnya umat ini adalah umat yang dikasihi, Adzab-Nya berada di antara kedua tangan-Nya, jika hari Kiamat tiba, maka seorang muslim akan mendorong seorang dari orang Musyrik seraya di katakan; “Ini adalah tebusanmu dari api neraka.”
8.
Sunan al-Darimi
Sunan al-Darimi
mempunyai lima belas hadis thulathiyyat. Lima belas hadis itu terbagi
menjadi sepuluh jalur sanad:[45]
a. Jalur Ja‘far bin ‘Aun-Yahya bin Sa‘id-Anas bin Malik. Jalur ini hanya mempunyai satu hadis.
b. Jalur Yazid bin Harun-H{umayd-Anas bin Malik. Jalur ini mempunyai hadis paling banyak, yaitu enam hadis.
c. Abu ‘A<sim-Yazid bin Abi ‘Ubayd-Salamah al-Akwa‘. Jalur ini hanya mempunyai satu hadis.
d. Abu ‘A<sim/Mu’ammal/Abu Nu‘aym-Ayman bin Nabil-Qudamah bin ‘Abdillah al-Kilabi. Jalur ini hanya mempunyai satu hadis.
e. Ja‘far bin ‘Aun-Isma‘il bin Abi Khalid-Ibn Abi ‘Awfa. Jalur ini hanya mempunyai satu hadis.
f. Abu Nu‘aym-Mas‘ab bin Sulaym-Anas bin Malik. Jalur ini hanya mempunyai satu hadis.
g. Yazid bin Harun-‘Asim al-Ahwal-‘Abdullah bin Sarjis. Jalur ini hanya mempunyai satu hadis.
h. Abu ‘A<sim-‘Uthman bin Sa‘d-Anas bin Malik. Jalur ini hanya mempunyai satu hadis.
i. Abu ‘A<sim-‘Abdullah bin ‘Ubayd-Ibn ‘Abbas. Jalur ini hanya mempunyai satu hadis.
j. Abu al-Mughirah-S{afwan-Ayfa‘ bin ‘Abd al-Kala’i. Jalur ini hanya mempunyai satu hadis.
Berikut contoh hadis thulathi dari jalur Yazid bin Harun-H{umayd-Anas bin Malik:
أخبرنا يزيد بن هارون ثنا حميد عن أنس انه سمع النبي صلى
الله عليه و سلم يقول : لبيك بعمرة وحج.[46]
“Telah mengabarkan kepada kami Yazid bin Harun telah menceritakan kepada kami H{umayd dari Anas bahwa ia mendengar Nabi Saw. mengucapkan: “Labbaika bi ‘Umratin wa H{ajj.” (aku memenuhi panggilanmu untuk melakukan umrah dan haji).”
9.
Al-Mu‘jam al-S{aghir
li al-T{abrani
Dalam al-Mu‘jam al-S{aghir terdapat tiga hadis thulathiyyat dengan jalur yang berbeda, keduanya bermuara pada Anas bin Malik dan yang satunya pada Zuhayr bin S{ard al-Jushami:
a. Jalur Ja‘far bin H{umayd bin ‘Abd al-Karim al-Ansari al-Dimashqi-‘Umar bin Aban al-Madani-Anas bin Malik
b. Jalur Muhammad bin Ahmad al-Basri-Dinar bin ‘Abdillah-Anas
c. Jalur ‘Ubaydullah bin H{abib al-Qaysi-Ziyad bin T{ariq-Zuhayr bin S{ard al-Jushami.
Berikut contoh thulathiyyat dalam al-Mu‘jam al-S{aghir:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ يَزِيدَ
الْقَصَّاصُ الْبَصْرِيُّ ، حَدَّثَنَا دِينَارُ بْنُ عَبْدِ اللهِ مَوْلَى أَنَسٍ
، حَدَّثَنِي أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه
وسلم : طُوبَى لِمَنْ رَآنِي ، وَمَنْ آمَنَ بِي ، وَمَنْ رَأَى مَنْ رَآنِي.[47]
C. Kitab-kitab Yang Mengumpulkan Hadis-hadis Thulathiyyat
Pada pembahasan di atas telah diketengahkan beberapa kitab hadis yang di dalamnya terdapat hadis-hadis thulathiyyat. Di atas juga telah disebutkan beberapa ulama yang mengumpulkan hadis-hadis tersebut dalam sebuah karya tersendiri seperti al-Mula ‘Ali al-Qari, ‘Abd al-Basit al-Qanuji dan Ibn H{ajar al-‘Asqalani yang mengumpulkan hadis-hadis thulathiyyat S{ahih al-Bukhari. Namun sayangnya penulis sampai detik ini belum menemukan naskah kitab-kitab yang di tulis oleh al-Mula ‘Ali al-Qari, ‘Abd al-Basit al-Qanuji dan Ibn H{ajar al-‘Asqalani dalam sebuah naskah tersendiri, sehingga dalam makalah ini penulis belum dapas mengupas secara detail kitab-kitab thulathiyyat itu. Penulis sampai saat ini hanya dapat menemukan dua naskah kitab thulathiyyat. Yang pertama adalah kitab Sharh Thulathiyyat Musnad Ahmad bin H{anbal yang ditulis oleh al-Saffarini. Kedua adalah Thulathiyyat al-A’immah al-Bukhari, al-Tirmidhi, al-Darimi, Ibnu Majah, ‘Abd bin H{umayd, al-T{abrani yang ditulis oleh‘Ali Rida ‘Abdullah dan Ahmad al-Bazrah.
1. Sharh Thulathiyyat Musnad Ahmad bin H{anbal
Judul lengkap kitab ini adalah Nafathat S{adr al-Mukmad wa Qurrat ‘Ain al-Armad li Sharh Thulathiyyat Musnad al-Imam Ahmad yang di susun oleh Muhammad bin Ahmad al-Saffarini. Secara singkat, sistematika penulisan dalam kitab ini tetap mengacu pada sistematika penulisan hadis pada kitab Musnad Ahmad, yaitu berdasarkan musnad para sahabat. Setelah mencantukan teks hadis, penulis menguraikan biografi para periwayatnya yang kemudian diikuti penjelasan hal-hal yang berkaitan dengan hadis tersebut. Berikut penulis tampilkan scan sebagian daftar isi kitab tersebut sebagai sedikit gambaran sistematika penulisan dalam kitab tersebut.
2. Thulathiyyat al-A’immah al-Bukhari, al-Tirmidhi, al-Darimi, Ibnu Majah, ‘Abd bin H{umayd, al-T{abrani
Kitab ini ditulis oleh‘Ali Rida ‘Abdullah dan Ahmad al-Bazrah. Sebagaimana namanya, kitab ini berisi kumpulan hadis thulathiyyat yang dihimpun dari S{ahih al-Bukhari, Sunan al-Tirmidhi, Sunan al-Darimi, Sunan Ibn Majah, Musnad ‘Abd bin H{umayd dan al-Mu‘jam al-S{aghir al-T{abrani.
Model penulisan kitab ini diawali dengan penulisan biografi singkat dari al-Bukhari, al-Tirmidhi, al-Darimi, Ibnu Majah, ‘Abd bin H{umayd dan al-T{abrani serta menyebutkan karya-karya mereka. Tahap selanjutnya adalah dengan menampilkan hadis-hadis thulathiyyat yang terdapat dalam S{ahih al-Bukhari, Sunan al-Tirmidhi, Sunan al-Darimi, Sunan Ibn Majah, Musnad ‘Abd bin H{umayd dan al-Mu‘jam al-S{aghir al-T{abrani. Ketika menampilkan hadis-hadis itu penulis memberi catatan kaki yang berupa penilaian hadis, takhrij hadis dan komentar terhadap rawi-rawinya. Berikut contohnya:
D.
Kedudukan Hadis Bersanad Thulathiyyat
Sebagaimana kedudukan Hadis عالي (‘ali), apabila ditinjau dari segi prioritas kehujjahannya dibandingkan dengan Hadis bersanad نازل (nazil), mayoritas ulama menilai Hadis yang bersanad ثلاثيات (thulathiyyat) lebih utama daripada selainnya. Hal ini disebabkan karena ia lebih dekat jaraknya kepada Nabi Saw. Segi kedekatan jarak kepada Nabi Saw ini menjadi faktor tersendiri yang mengantarkan sanad tersebut mempunyai nilai lebih. Di samping itu upaya para ulama pengumpul Hadis bersanad demikian dijadikannya sekaligus sebagai upaya pendekatan diri kepada Allah Swt. oleh ulama yang bersangkutan.[48] Selain itu menurut Mahmud al-T{ahhan, Hadis bersanad demikian akan jauh dari kemungkinan-kemungkinan cacat. Mahmud al-T{ahhan selanjutnya mengutip pernyataan Ibn al-Madini berikut ini:
النزول شؤم، وهذا إذا تساوى الإسنادان في القوة. [49]
“Sanad Nazil itu tercela. Ini jika sama-sama kuat sanadnya.”
Kendati demikian tidak serta merta jika sebuah hadis mempunyai sanad ‘A<li memastikan bahwa hadis tersebut adalah sahih, karena penilaian sahih tidaknya hadis tidak tergantung pada sanad ‘A<li mapun Nazil. Penilaian kesahihan hadis hanya tergantung pada lima syarat sahih yang telah ditetapkan oleh para ahli hadis. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hadis-hadis yang mempunyai sanad ‘A<li atau dalam hal ini adalah hadis-hadis thulathiyyat tidak selamanya berkualitas sahih. Ini dapat dilihat dari hadis-hadis thulathiyyat riwayat Ibn Majah di atas.
Dalam konteks uraian di atas, oleh karena situasi tertentu, para ulama ahli Hadis tidak mengunggulkan Hadis bersanad ‘a<li apabila Hadis nazil disertai hal-hal yang dapat menutup kekurangannya dan memberinya kelebihan atas Hadis ‘a<li seperti dalam Hadis nazil terdapat tambahan yang diriwayatkan oleh rawi thiqah atau para rawi Hadis nazil lebih tinggi daya hafalnya atau lebih faqih.
Sehubungan dengan uraian di atas, terdapat dialog antara Waqi‘ bin al-Jarrah dengan murid-muridnya. Mereka mendiskusikan perbandingan kualitas antara dua Hadis yakni Hadis bersanad ‘a<li yang diriwayatkan oleh para rawi yang diterima Hadisnya dengan Hadis bersanad nazil yang diriwayatkan oleh para rawi yang sama namun kualitasnya lebih unggul dari para rawi Hadis bersanad ‘a<li dimaksud. Berikut di bawah ini isi dialog mereka, yakni:
Waqi‘ bin al-Jarrah : “Mana yang lebih menarik menurutmu, aku meriwayatkan Hadis kepadamu melalui jalur Sulayman al-A‘mashi dari Abi Wa’il dari ‘Abdullah bin Mas‘ud dari Nabi Saw ataukah aku meriwayatkan Hadis kepadamu melalui jalur Sufyan al-Thawri dari Mansur dari Ibrahim dari ‘Alqamah dari ‘Abdullah bin Mas‘ud dari Nabi Saw?”
Para murid : “Kami lebih senang dari jalur jalur Sulayman al-A‘mashi karena jalurnya lebih dekat.”
Waqi‘ bin al-Jarrah : “Celaka kamu. Sulayman al-A‘mashi adalah syaikh, tetapi Sufyan al-Thawri dari Mansur dari Ibrahim dari ‘Alqamah adalah faqih dari faqih dari faqih dari faqih.[50]
Sebagaimana dilaporkan oleh al-Sakhawi, pandangan Waqi‘ bin al-Jarrah itu seirama dengan pandangan Ibn al-Mubarak melalui pernyataannya berikut ini:
لَيْسَ
جَوْدَةُ الْحَدِيثِ قُرْبَ الْإِسْنَادِ، جَوْدَةُ الْحَدِيثِ صِحَّةُ
الرِّجَالِ.[51]
Kualitas suatu Hadis itu tidak ditentukan oleh dekatnya sanad melainkan oleh faktor ke-sahih-an para rawi.
Senada dengan itu, al-Suyuti mengetengahkan pendapat al-Salafi yang mengajukan pandangannya sebagai berikut:
الْأَصْلُ
الْأَخْذُ عَنِ الْعُلَمَاءِ، فَنُزُولُهُمْ أَوْلَى مِنَ الْعُلُوِّ عَنِ
الْجَهَلَةِ عَلَى مَذْهَبِ الْمُحَقِّقِينَ مِنَ النَّقَلَةِ.[52]
Pada dasarnya yang paling menentukan adalah pengambilan dari para ulama. Maka Hadis nazil dari para ulama itu lebih utama daripada Hadis ‘a<li dari orang-orang bodoh. Demikian ini menurut para ahli riwayat ulama Hadis.
BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN:
- TIPOLOGI KITAB HADIS MUSALSAL
- TIPOLOGI KITAB HADIS AL MARASIL
- TIPOLOGI KITAB HADIS AL MASANID
- TIPOLOGI KODIFIKASI KITAB HADIS الموطأ (AL-MUWATTA’)
- TIPOLOGI KODIFIKASI HADIS AL THULATHIYYAT
- TIPOLOGI KODIFIKASI KITAB HADIS AL MA’AJIM
- TIPOLOGI KITAB HADIS AL JAWAMI’
BAB
III
KESIMPULAN
Al-Thulathiyyat yang dikehendaki oleh para ulama hadis adakalanya hadisnya itu sendiri yang terdiri dari tiga rawi antara mukharrijnya dan Nabi Saw. dan adakalanya pula kitab-kitab hadis yang mengumpulkan hadis-hadis yang terdiri dari tiga rawi antara mukharrijnya dan Nabi Saw.
Hadis-hadis yang mempunyai sanad ‘A<li atau dalam hal ini adalah hadis-hadis thulathiyyat tidak selamanya berkualitas sahih, karena penilaian kesahihan hadis hanya tergantung pada lima syarat sahih yang telah ditetapkan oleh para ahli hadis.
DAFTAR
PUSTAKA
‘Abdullah, ‘Ali Rida.
dan Ahmad al-Bazrah. Thulathiyyat al-A’immah al-Bukhari, al-Tirmidhi, al-Darimi,
Ibnu Majah, ‘Abd bin H{umayd, al-T{abrani. Damaskus: Dar al-Ma’mun li
al-Turath, t.th.
Asbahi (al), Malik bin
Anas. al-Muwatta’ riwayat Yahya al-Laythi, vol. 1. Mesir: Dar Ihya’
al-Turath al-‘Arabi, t.th.
Baghdadi (al), al-Khatib.
al-Kifayah fi ‘Ilm al-Riwayah. Madinah: al-Maktabah al-‘Ilmiyah, t.th.
_______. al-Jami‘
li Akhlaq al-Rawi wa A<dab al-Sami‘, Vol. 1. Riyad: Maktabah al-Ma‘arif,
t.th..
Bayhaqi (al), Muhammad
bin al-H{usayn. Ma‘rifat al-Sunan wa al-A<thar, vol. 1. Damaskus: Dar
Qutaybah, 1991.
Bayquni (al), ‘Umar
bin Muhammad. al-Manzumah al-Bayquniyyah. t.t.: Dar al-Mughni, 1420 H.
Bukhari (al), Abu
‘Abdillah Muh{ammad bin Isma‘il. al-Jami‘ al-S{ah{ih, Vol. 1. Kairo:
al-Matba‘ah al-Salafiyyah, 1400 H.
_______. al-Jami‘
al-S{ah{ih, Vol. 3. Kairo: al-Matba‘ah al-Salafiyyah, 1400 H.
_______. al-Jami‘
al-S{ah{ih, Vol. 4. Kairo: al-Matba‘ah al-Salafiyyah, 1400 H.
_______. al-Jami‘
al-S{ah{ih, Vol. 9. Kairo: al-Matba‘ah al-Salafiyyah, 1400 H.
Darimi (al), ‘Abdullah
bin ‘Abdirrahman. Sunan al-Darimi, vol. 2. Beirut: Dar al-Kitab
al-‘Arabi, t.th.
Dhahabi (al), Muhammad
bin Ahmad. Siyar A‘lam al-Nubala’, vol. 11. t.t.: Mu’assasah al-Risalah,
1985.
Ghawri (al), Sayyid
‘Abd al-Majid. Mawsu‘ah ‘Ulum al-H{adith wa Fununih, vol. 1 (Damaskus:
Dar Ibn Kathir, 2007), 586. Lihat juga Mahmud al-T{ahhan, Taysir Mustalah
al-H{adith (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.
H{alibi (al), Nur
al-Din ‘Itr. Manhaj al-Naqd fi ‘Ulum al-H{adith. Damaskus: Dar al-Fikr,
1418 H.
H{anbal, Ahmad bin. Musnad
Ahmad bin H{anbal, vol. 2. Kairo: Mu’assasah Qurtubah, t.th.
Kattani (al), Muhammad
bin Ja‘far. al-Risalah al-Mustatrafah li Bayan Mashhur Kutub al-Sunnah
al-Musannafah, vol. 1. Beirut: Dar Basha’ir al-Islamiyyah, 1986.
Kissi (al), ‘Abd bin
H{umayd. al-Muntakhab min Musnad ‘Abd bin H{umayd. t.t.: ‘A<lam
al-Kutub, t.th.
Qahtani (al), ‘Abdullah
bin ‘Abd al-Hadi. Manhaj al-Saffarini fi Sharhih al-Musamma “Nafathat
S{adr al-Mukmad wa Qurrat ‘Ain al-Armad li Sharh Thulathiyyat Musnad al-Imam Ahmad”.
Makalah Kulliyah al-Tarbiyah Universitas King Sa’ud Saudi Arabia. 1987.
Qanuji (al), S{adiq
H{asan. al-H{ittah fi Dhikr al-S{ihhah al-Sittah. Beirut: Dar al-Kutub
al-Ta‘limiyyah, 1985.
Qazwayni (al), Muhammad
bin Yazid. Sunan Ibn Majah, vol. 4. t.t.: Maktabah Abi al-Ma‘ati, t.th.
_______. Sunan Ibn
Majah, vol. 5. t.t.: Maktabah Abi al-Ma‘ati, t.th.
Saffarini (al), Muhammad
bin Ahmad. Nafathat S{adr al-Mukmad wa Qurrat ‘Ain al-Armad li Sharh Thulathiyyat
Musnad al-Imam Ahmad, vol. 1 (Beirut: al-Maktab al-Islami, 2005.
Sakhawi (al), Shams
al-Din. Fath al-Mughith, Vol. 3. Mesir: Maktabah al-Sunnah, 1424 H.
Salafi (al), Muhammad
Luqman. Ihtimam al-Muhaddithin. Riyad: Dar al-Da‘i, 1420 H.
Shafi‘i (al), Muhammad
bin Idris. Musnad al-Shafi‘i. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.th.
T{abrani (al), Sulayman
bin Ahmad. al-Mu‘jam al-S{aghir, vol. 2. Beirut: al-Maktab al-Islami,
1985.
T{ahhan (al), Mahmud. Taysir
Mustalah al-H{adith. Maktabah al-Ma‘arif, 1425 H.
Taymiyyah, Taqiyy
al-Din Ibn. Majmu‘ al-Fatawa, vol. 1. Madinah: Mama‘ al-Mulk, 1416 H.
Tirmidhi (al), Muhammad
bin ‘I<sa. Sunan al-Tirmidhi, vol. 4. Beirut: Dar Ihya’ al-Turath
al-‘Arabi., t.th.
Farraj, Ahmad. Thulathiyat Kutub al-Sittah dalam http://www.elsalafia.com/index.php/articles/438-2013-07-14-07-32-22 (1 Desember 2014)
[1] Muhammad Luqman al-Salafi, Ihtimam al-Muhaddithin (Riyad: Dar al-Da‘i, 1420 H.), 159.
[2] Taqiyy al-Din Ibn Taymiyyah, Majmu‘ al-Fatawa, Vol. 1 (Madinah: Mama‘ al-Mulk, 1416 H), 9.
[3] Mahmud al-Tahhan, Taysir Mustalah al-Hadith (t.tp.: Maktabah al-Ma‘arif, 1425 H), 224. Lihat juga al-Kifayah fi ‘Ilm al-Riwayah (Madinah: al-Maktabah al-‘Ilmiyah, t.th.), 393.
[4] Sayyid ‘Abd al-Majid al-Ghawri, Mawsu‘ah ‘Ulum al-Hadith wa Fununih, vol. 1 (Damaskus: Dar Ibn Kathir, 2007), 586. Lihat juga Mahmud al-Tahhan, Taysir Mustalah al-Hadith (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), 151.
[5] ‘Ali Rida ‘Abdullah dan Ahmad al-Bazrah, Thulathiyyat al-A’immah al-Bukhari, al-Tirmidhi, al-Darimi, Ibnu Majah, ‘Abd bin Humayd, al-Tabrani (Damaskus: Dar al-Ma’mun li al-Turath, t.th.), 6.
[6] Mahmud al-Tahhan, Taysir Mustalah al-Hadith (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), 151.
[7] Muhammad bin Ahmad al-Saffarini, Nafathat Sadr al-Mukmad wa Qurrat ‘Ain al-Armad li Sharh Thulathiyyat Musnad al-Imam Ahmad, vol. 1 (Beirut: al-Maktab al-Islami, 2005), 32.
[8] ‘Umar bin Muhammad al-Bayquni, al-Manzumah al-Bayquniyyah (t.t.: Dar al-Mughni, 1420 H), 9.
[9] Al-Khatib al-Baghdadi, al-Jami‘ li Akhlaq al-Rawi wa A<dab al-Sami‘, Vol. 1 (Riyad: Maktabah al-Ma‘arif, t.th.), 123.
[10] Lihat Shams al-Din al-Sakhawi, Fath al-Mughith, Vol. 3 (Mesir: Maktabah al-Sunnah, 1424 H), 332.
[11] Abu ‘Abdillah Muhammad bin Isma‘il al-Bukhari, al-Jami‘ al-Sahih, Vol. 1 (Kairo: al-Matba‘ah al-Salafiyyah, 1400 H), 39.
[12] Sayyid ‘Abd al-Majid al-Ghawri, Mawsu‘ah ‘Ulum al-Hadith wa Fununih, 588.
[13]Ahmad Farraj, Thulathiyat Kutub al-Sittah dalam http://www.elsalafia.com/index.php/articles/438-2013-07-14-07-32-22 (1 Desember 2014)
[14] Malik bin Anas al-Asbahi, al-Muwatta’ riwayat Yahya al-Laythi, vol. 1 (Mesir: Dar Ihya’ al-Turath al-‘Arabi, t.th.), 5.
[15] Ibid., 6.
[16] Ibid., 16.
[17] Muhammad bin Ja‘far al-Kattani, al-Risalah al-Mustatrafah li Bayan Mashhur Kutub al-Sunnah al-Musannafah, vol. 1 (Beirut: Dar Basha’ir al-Islamiyyah, 1986), 63. Lihat juga Sayyid ‘Abd al-Majid al-Ghawri, Mawsu‘ah ‘Ulum al-Hadith wa Fununih, 586.
[18] Mahmud al-Tahhan, Taysir Mustalah al-Hadith, 32.
[19] Muhammad bin Idris al-Shafi‘i, Musnad al-Shafi‘i (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.th.), 66.
[20] Ibid., 120.
[21] Ibid., 342.
[22] Muhammad bin al-Husayn al-Bayhaqi, Ma‘rifat al-Sunan wa al-A<thar, vol. 1 (Damaskus: Dar Qutaybah, 1991), 385.
[23] Muhammad bin Idris al-Shafi‘i, Musnad al-Shafi‘i, 6.
[24] Ibid., 177.
[25] Sayyid ‘Abd al-Majid al-Ghawri, Mawsu‘ah ‘Ulum al-Hadith wa Fununih, vol. 1 (Damaskus: Dar Ibn Kathir, 2007), 587.
[26] ‘Abdullah bin ‘Abd al-Hadi al-Qahtani, Manhaj al-Saffarini fi Sharhih al-Musamma “Nafathat Sadr al-Mukmad wa Qurrat ‘Ain al-Armad li Sharh Thulathiyyat Musnad al-Imam Ahmad” (Makalah Kulliyah al-Tarbiyah Universitas King Sa’ud Saudi Arabia)
[27] Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, vol. 2 (Kairo: Mu’assasah Qurtubah, t.th.), 9.
[28] Sayyid ‘Abd al-Majid al-Ghawri, Mawsu‘ah ‘Ulum al-Hadith wa Fununih, 587. Lihat juga Ahmad Farraj, Thulathiyat Kutub al-Sittah dalam http://www.elsalafia.com/index.php/articles/438-2013-07-14-07-32-22 (1 Desember 2014)
[29] ‘Abd bin Humayd al-Kissi, al-Muntakhab min Musnad ‘Abd bin Humayd (t.t.: ‘A<lam al-Kutub, t.th.), 149.
[30] Ibid., 332.
[31] Sadiq Hasan al-Qanuji, al-Hittah fi Dhikr al-Sihhah al-Sittah (Beirut: Dar al-Kutub al-Ta‘limiyyah, 1985), 166.
[32] Sayyid ‘Abd al-Majid al-Ghawri, Mawsu‘ah ‘Ulum al-Hadith wa Fununih, vol. 1 (Damaskus: Dar Ibn Kathir, 2007), 586.
[33] Muhammad bin Isma‘il al-Bukhari, al-Jami‘ al-Sahih, vol. 1 (Kairo: Dar al-Sha‘b, 1987), 38.
[34] Muhammad bin Isma‘il al-Bukhari, al-Jami‘ al-Sahih, vol. 3 (Kairo: Dar al-Sha‘b, 1987), 38.
[35] Ibid., 243.
[36] Muhammad bin Isma‘il al-Bukhari, al-Jami‘ al-Sahih, vol. 4 (Kairo: Dar al-Sha‘b, 1987), 227.
[37] Muhammad bin Isma‘il al-Bukhari, al-Jami‘ al-Sahih, vol. 9 (Kairo: Dar al-Sha‘b, 1987), 152.
[38] Muhammad bin ‘I<sa al-Tirmidhi, Sunan al-Tirmidhi, vol. 4 (Beirut: Dar Ihya’ al-Turath al-‘Arabi., t.th.), 526.
[39] Muhammad bin Ahmad al-Dhahabi, Siyar A‘lam al-Nubala’, vol. 11 (t.t.: Mu’assasah al-Risalah, 1985), 151.
[40] Muhammad bin Yazid al-Qazwayni, Sunan Ibn Majah, vol. 4 (t.t.: Maktabah Abi al-Ma‘ati, t.th.), 402.
[41] Ibid., 428.
[42] Ibid., 452.
[43] Ibid., 526.
[44] Muhammad bin Yazid al-Qazwayni, Sunan Ibn Majah, vol. 5 (t.t.: Maktabah Abi al-Ma‘ati, t.th.), 351.
[45] Lihat ‘Ali Rida ‘Abdillah dan Ahmad al-Bazrah, al-Thulathiyyat (Damaskus: Dar al-Ma’mun li al-Turath, t.th.), 47-58.
[46] ‘Abdullah bin ‘Abdirrahman al-Darimi, Sunan al-Darimi, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, t.th.), 96.
[47] Sulayman bin Ahmad al-Tabrani, al-Mu‘jam al-Saghir, vol. 2 (Beirut: al-Maktab al-Islami, 1985), 104.
[48] Nur al-Din ‘Itr al-Halibi, Manhaj al-Naqd fi ‘Ulum al-Hadith (Damaskus: Dar al-Fikr, 1418 H), 359.
[49] Mahmud Tuhhan, Taysir Mustalah….., 228.
[50] Nur al-Din ‘Itr al-Halibi, Manhaj al-Naqd….., 363.
[51] Shams al-Din al-Sakhawi, Fath al-Mughith, Vol. 3, 361.
[52] Jalal al-Suyuti, Tadrib al-Rawi, Vol. 2 (t.tp.: Dar Tayyibah, t.th.), 620.