BAB
I
PENDAHULUAN
Dalam rentan waktu yang cukup panjang
telah banyak terjadi pemalsuan hadis yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak
bertanggung jawab dan golongan tertentu dengan berbagai tujuan.
Maka tidaklah mengherankan jika umat
Islam sangat memberikan perhatian yang khusus terhadap hadis terutama dalam
usaha pemeliharaan, jangan sampai punah atau hilang bersama dengan hilangnya
generasi Sahabat, mengingat pada sejarah awal Islam, hadis dilarang ditulis
dengan pertimbangan kekhawatiran percampuran antara al-Qur’an dengan hadis
serta pertimbangan lainnya.
Dalam berbagai riwayat menyebutkan
bahwa kalangan sahabat pada masa itu cukup banyak yang menulis hadis secara
pribadi, tetapi kegiatan penulisan tersebut selain dimaksudkan untuk
kepentingan pribadi juga belum bersifat massal.
Atas kenyataan inilah maka ulama hadis
berusaha membukukan hadis Nabi. Dalam proses pembukuan selain harus melakukan
perjalanan untuk menghubungi para periwayat yang tersebar di berbagai daerah
yang jauh, juga harus mengadakan penelitian dan penyelesaian terhadap
suatu hadis yang akan mereka bukukan. Karena itu proses pembukuan
hadis secara menyeluruh mengalami waktu yang sangat panjang.
Adapun sejarah penulisan hadis secara
resmi dan massal dalam arti sebagai kebijakan pemerintah barulah terjadi pada
masa pemerintahan khalifah Umar Bin Abdul Aziz, dengan alasan khawatir
terhadap hilangnya hadis nabi bersamaan dengan meninggalnya para ulama di medan
perang dan juga khawatir akan bercampurnya hadis-hadis sahih dengan
hadis-hadis palsu.
Di pihak lain bahwa dengan semakin
meluasnya daerah kekuasaan Islam, sementara kemampuan antara Tabi’in yang satu
dengan lainnya tidak sama, maka dengan jelas kondisi ini memerlukan adanya
kodofikasi atau pembukuan hadis.
Sepanjang sejarah, hadis-hadis yang
tercantum dalam berbagai kitab hadis, telah melalui proses penelitian yang
sangat rumit, baru kemudian menghasilkan karya yang diinginkan oleh para
penghimpunnya. Sebagai implikasi dari penyeleksian dan pembukuan hadis-hadis
tersebut maka muncullah berbagai kitab hadis.
Salah satu bentuk atau corak kitab-kitab hadis yang muncul pada awal masa pembukuan hadis adalah al-masanid. Berikut ini, penulis akan mencoba membahas mengenai tipologi al-masanid dan segala hal yang berkaitan dengannya. Wallahu al-musta‘an wa a‘lamu bi al-sawwab.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Definisi
al-Masanid
Menurut
bahasa, al-masanid atau al-masanid merupakan bentuk plural (jama‘)
dari kata al-musnad (المسند) yang merupakan ism maf‘ul dari lafal thulathi (سند). Ibnu Faris
menyatakan bahwa makna sanada yaitu:
انضمام الشيء إلى الشيء[1]
“Menggabungkan
sesuatu kepada sesuatu.”
Selain
itu, kata sanada memiliki arti:
ما ارتفع من الأرض[2]
“Sesuatu
yang lebih tinggi dari tanah.”
Jika disebutkan (فلان سند)
artinya mu’tamad (dapat dipercaya). Kemudina kata sanada juga berarti al-raqyu
(naik) dan al-irtifa’ (tinggi). Kalimat (أسند الحديث)
bermakna menyandarkan hadis kepada sang pembicara (رفعه إلى قائله).
Sedangkan menurut istilah kata al-musnad
memiliki dua makna:
1.
Menyandarkan
hadis kepada orang yang mengatakannya (raf’u al-ahadith ila qa’ilihi)
2.
Kitab hadis
yang menghimpun hadis-hadis setiap Sahabat secara tersendiri dengan tanpa
melihat permasalahan atau topik pembicaraan (mawdu’) hadis ataupun
derajatnya. Dan definisi yang kedua inilah yang sesuai dengan pembahasan pada
makalah ini, yaitu membahas mengenai kitab-kitab hadis yang memiliki tipologi al-masanid
(mengumpulkan hadis yang disusun menurut nama rawi pertama yang menerima
hadis dari Nabi, yaitu Sahabat).
Di antara kitab-kitab yang memiliki
tipologi al-masanid sebagai berikut:
1.
Musnad al-H{umaydi
2.
Musnad Ahmad
bin Hanbal
3.
Musnad Abu
Ya’la al-Mawsili
4.
Musnad Abu
Dawud al-T{ayalisi
5.
Musnad Ishaq
bin Rahawayh
6.
Musnad Abu ‘Uwanah
al-Isfara’ayni, dan masih banyak lagi yang lainnya.
Namun, terdapat beberapa kitab-kitab al-musnad
namun susunannya tidak sesuai dengan tipologi susunan al-masanid
(disusun sesuai riwayat Sahabat tertentu), akan tetapi susunannya menggunakan
bab-bab fikih, seperti:
a.
kitab Musnad
al-Darami
b.
Kitab Musnad
al-Shafi’I
c.
Kitab Musnad
‘Abdullah bin al-Mubarak
d.
Kitab al-Jami‘
al-Musnad al-S{ahih al-Mukhtasar min Umuri Rasulillah wa Sunanihi wa Ayyamihi
karya al-Bukhari
e.
Kitab al-Musnad
al-S{ahih al-Mukhtasar min al-Sunan bi Naql al-‘Adl ‘an Rasulillah karya
Muslim bin Hajjaj.[3]
Ada pula kitab al-musnad
yang susunannya sesuai bab-bab adab seperti kitab Musnad al-Shihab karya
Abu ‘Abdillah Muhammad bin Salamah al-Qada’I dan Musnad al-Firdawus
karya Abu al-Mansur al-Daylami.[4]
Kitab-kitab yang dikecualikan
tersebut menggunakan nama al-musnad pada kitabnya meskipun susunannya
tidak berdasarkan riwayat Sahabat secara khusus, dikarenakan penyusun kitab
tersebut bermaksud ingin menyebutkan hadis beserta sanadnya dalam
karyanya, atau menyebutkan hadis-hadis beserta rangkaian sanad-sanadnya
hingga sampai kepada orang yang mengatakan hadis tersebut. Hal ini sesuai
dengan definisi al-musnad yang pertama, yaitu menyandarkan hadis kepada
orang yang mengatakannya (raf’u al-ahadith ila qa’ilihi).
B.
Perkembangan
al-Masanid
Dimulainya kegiatan kodifikasi
hadis memberikan banyak peran terhadap perkembangan keilmuan hadis, terutama
mengenai metode serta corak yang digunakan oleh para ahli hadis dalam
menghimpun hadis-hadis Nabi pada suatu kitab. Berbagai metode, corak ataupun tipologi
bermunculan demi memudahkan generasi setelahnya dalam mengkaji serta meneliti
hadis Nabi, seperti al-muwatta’at, al-masanid, al-musannafat,
al-ma’ajim dan sebagainya.
Para pegiat pengumpul hadis baru mulai
menggunakan metode al-masanid (menghimpun hadis sesuai riwayat dari rawi
al-a‘la atau Sahabat) pada permulaan masa kodifikasi sumber-sumber
literatur hadis, yaitu pada akhir abad kedua hijriyah atau awal abad ketiga
hijriyah. Hal ini dikarenakan para ulama hadis al-mutaqaddimin sangat
giat dan bersungguh-sungguh dalam memisahkan hadis-hadis Nabi berdasarkan
riwayat Sahabat secara khusus. Ibnu Hajar al-‘Asqalani memberikan pernyataan:
رأى بعض الأئمة أن يفرد حديث النبي صلى الله عليه وسلم خاصة, وذلك على رأس
المائتين, فصنف عُبيد الله بن موسى العَبْسي الكوفي مسنداً, وصنف مُسَدَّد بن
مُسَرْهَد البصري مسنداً[5]
“Sebagian
ulama hadis berinisiatif menyendirikan hadis Nabi Saw. secara khusus, dan hal
itu terjadi pada permulaan abad kedua. Maka ‘Ubaydullah bin Musa al-‘Absi al-Kufi
membuat musnad, dan Musaddad bin Musarhad al-Basari juga membuat musnad.”
Namun, ulama hadis berbeda
pendapat mengenai siapa yang pertama kali membuat musnad. Perbedaan
pendapat tersebut terangkum dalam tiga pendapat:
1.
Orang yang
pertama kali membuat musnad adalah ‘Ubaydullah bin Musa al-‘Absi al-Kufi
(w. 213 H) dan Abu Dawud Sulayman bin Dawud al-T{ayalisi al-Basari (w. 203 H).
Pendapat
ini diamini oleh al-Hakim, Ibnu al-Jawzi, Abu al-Sa‘adat Ibnu al-Athir,
al-Zarkashi dan lainnya. Pada pembahasan sebelumnya, Ibnu Hajar al-‘Asqalani
menyebutkan orang yang lebih dahulu membuat musnad adalah ‘Ubaydullah
bin Musa kemudian Musaddad bin Musarhad. Sedangkan Ibnu S{alah menyebutkan
al-T{ayalisi lebih dahulu, ia mengatakan:
كتب المسانيد غير ملتحقة بالكتب الخمسة وما جرى مجراها في الاحتجاج بها...
كمسند أبي داود الطيالسي و مسند عبيد الله بن موسى[6]
“Kitab-kitab al-masanid
yang tidak mengikuti kutub al-khamsah dan yang semisalnya pada
pengambilan hujjah dengannya… seperti Musnad Abu Dawud al-T{ayalisi
dan Musnad ‘Ubaydullah bin Musa.”
2.
Orang yang
pertama kali membuat musnad yaitu Nu‘aym bin Hammad al-Khuza‘I al-Misri
(w. 228 H) dan Asad bin Musa al-Umawi al-Misri yang lebih dikenal dengan Asad
al-Sunnah (w. 213 H).
Ahmad
bin Hanbal menyatakan:
أول من رأيناه
يكتب المسند: نُعيم ابن حماد[7]
“Orang yang pertama kali kami lihat menulis musnad adalah
Nu‘aym bin H{ammad.”
Al-Khatib al-Baghdadi menambahkan
komentar terhadap ungkapan al-Daruqutni yang memberikan pernyataan bahwa orang
yang pertama kali membuat Musnad adalah Nu‘aym. Abu Bakar Al-Khatib
al-Baghdadi memberikan penguat terhadap pernyataan tersebut:
قال أبو الحسن الدارقطني: « وأول من
صنف مسندا وتتبعه نعيم بن حماد » قال أبو بكر : وقد صنف أسد بن موسى المصري مسندا
وكان أسد أكبر من نعيم سنا وأقدم سماعا فيحتمل أن يكون نعيم سبقه إلى تخريج المسند
وتتبع ذلك في حداثته وخرج أسد بعده على كبر سنه[8]
“Abu
al-H{asan al-Daruqutni berkata: Dan orang yang pertama kali membuat musnad
dan menelitinya adalah Nu‘aym bin H{ammad. Abu Bakar berkomentar: Asad bin Musa
al-Misri telah membuat Musnad, dan Asad lebih senior dan lebih dahulu
melakukan sima’ dari pada Nu‘aym. Maka kemungkinan bahwa Nu‘aym
mendahuluinya (Asad) dalam mengeluarkan musnad serta melakukan
penelitian terhadapnya pada usia masih muda, kemudian Asad mengeluarkan musnad
setelahnya (Nu’aym) pada usia yang sudah tua.”
3.
Pelopor musnad
sesuai daerahnya. Mengenai hal ini, Abu Ahmad ‘Abdullah bin ‘Adiy al-Jurjani
menyebutkan:
وليحيى الحِمَّاني مسند صالح ويقال انه أول من صنف المسند بالكوفة وأول من صنف
المسند بالبصرة مسدد وأول من صنف المسند بمصر أسد
السنة وأسد قبلهما وأقدم موتا[9]
“Dan
Yahya al-H{immani memiliki musnad yang S{alih dan dikatakan bahwa
dia (Yahya) adalah orang yang pertama membuat musnad di Kufah, dan orang
pertama membuat musnad di Basrah adalah Musaddad, dan yang pertama
membuat musnad di Mesir yaitu Asad al-Sunnah. Dan Asad lebih dahulu
membuat musnad dari pada Yahya dan Musaddad serta lebih dahulu wafat.”
Dari ketiga pendapat ini, telah dilakukan
penelitian kemudian tarjih (penguatan) yang diungkapkan oleh Dakhil bin
Salih al-Luhaydan terhadap pendapat-pendapat di atas. Tarjih tersebut
memberikan pernyataan bahwa yang pertama kali menulis Musnad adalah:
1. Nu‘aym
bin H{ammad al-Khuza’I al-Misri (w. 228 H)
2. ‘Ubaidullah
bin Musa al-‘Absi (w. 213 H)
3. Asad
al-Sunnah (w. 213 H)[10]
Nu‘aym bin H{ammad menjadi pelopor
pembuatan musnad dengan pertimbangan bahwa Nu‘aym melakukan penelitian
serta menulis musnad ketika masih muda. Kemudian dilihat dari ungkapan
Ahmad bin H{anbal yang menyatakan bahwa:
أول من قدم علينا في أخر عمر هُشَيم يطلب المسند: نُعَيم
بن حماد[11]
“Orang
yang pertama kali mendahului kami di penghujung umur Hushaym yang meminta Musnad
adalah Nu‘aym bin H{ammad.”
جاءنا
نعيم بن حماد ونحن على باب هُشَيم
نتذاكر المقطعات فقال: جمعتم حديث رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: فعُنينا بها منذ يومئذ[12]
“Nu‘aym
bin H{ammad datang kepada kami, dan kami sedang berada di pintu Hushaym sedang mengulang
al-muqatta‘at, kemudian ia (Nu‘aym) berkata: Apakah kalian semua telah
menghimpun hadis Rasulullah Saw? Lalu Ahmad berkata: Sejak saat itu kami sangat
memperhatikan hadis-hadis Nabi.”
Hushaym yang dimaksud di sini adalah Hushaym
Ibnu Bashir al-Wasiti (w. 183 H). Dan Nu‘aym telah menghimpun musnadnya
sebelum masa kematian Hushaym. Sehingga jelaslah bahwa pendapat mengenai Nu‘aym
yang mempelopori penghimpunan musnad bisa diunggulkan. Hal ini juga
menjadi penguat terhadap apa yang telah disebutkan oleh al-Khatib al-Baghdadi
sebelumnya.
Adapun pendapat yang menyatakan
bahwa al-T{ayalisi juga termasuk pelopor penghimpunan musnad, perlu
ditinjau ulang. Karena al-T{ayalisi bukanlah orang yang menghimpun langsung musnadnya.
Abu Nu‘aym al-Asbahani mengatakan:
صنف أبو مسعود الرازي ليونس بن حبيب مسند أبي داود[13]
“Abu Mas‘ud al-Razi
membuat musnad Abu Dawud untuk Yunus bin H{abib.”
Abu Mas’ud di sini adalah al-H{afiz
Ahmad bin al-Furat bin Khalid al-Razi al-Asbahani (w. 258 H), ia mendengar
hadis dari Abu Dawud dan lainnya. Sedangkan Yunus bin H{abib al-‘Ajali (w. 267)
adalah orang yang meriwayatkan musnad hadis al-T{ayalisi. Mengenai hal
ini Ibnu Hajar al-‘Asqalani memberikan pernyataan:
وهذا المسند
يسير بالنسبه لما كان عنده فقد كان يحفظ أربعين ألف حديث والسبب في ذلك عدم تصنيفه
هو له إنما تولى جمعه بعض حفاظ الأصبهانيين من حديث يونس بن حبيب[14]
“Musnad
ini sangat sederhana jika dibandingkan dengan banyaknya riwayat darinya
(al-T{ayalisi), ia menghafal 40.000 hadis. Dan sebabnya adalah karena ia tidak
menulis sendiri kitabnya, melainkan ia menyerahkan perkara penulisan riwayatnya
kepad para huffaz al-Asbahani dari hadis Yunus bin H{abib.”
Adapun pendapat yang menyatakan bahwa pelopor
sesuai daerahnya masing-masing, pendapat ini bisa diterima, karena dalam satu
daerah terdapat lebih dari satu orang yang menjadi pelopor pengumpul masanid.
Nu‘aym dan Asad al-Sunnah dari Mesir, ‘Ubaydullah al-‘Absi dan Yahya al-H{imamni
dari Kufah, al-T{ayalisi dan Musaddad dari Basrah, dan semuanya termasuk orang
yang dianggap menjadi pelopor dalam pembuatan masanid.
Dari argumentasi serta penilaian
juga penelitian yang dilakukan oleh Dakhil bin S{alih al-Luhaydan tersebut,
penulis mengamini terhadap apa yang telah diteliti melihat berbagai fakta serta
penelitian di lapangan serta tinjauan historis mengarah kepada pembenaran
terhadap penilaian tersebut. Sehingga,bisa disimpulkan bahwa pendapat yang
diungkapkan oleh Dakhil bin S{alih al-Luhaydan tersebut, benar adanya dan pendekatan-pendekatan
yang dilakukan bisa diterima oleh akal dan di benarkan.
C.
Maratib
al-Masanid
Seperti kebanyakan kitab-kitab
yang merangkum hadis Nabi terdapat maratib mana yang paling sahih,
yang bisa dijadikan hujjah serta yang bercampur antara yang sahih
dengan selainnya, begitu pula kitab-kitab al-masanid. Hadis-hadis dalam al-masanid
ada yang merupakan hadis pilihan pengarangnya, hadis-hadis yang terkena ‘illat
ataupun hadis secara umum. Berikut klasifikasi maratib al-masanid:
1.
Al-Masanid
al-Muntaqah
Al-masanid al-muntaqah
ini dianggap sebagai masanid yang paling sahih, karena pengarang
kitab musnad ini melakukan seleksi terhadap hadis-hadis yang akan
dicantumkan dalam musnadnya. Seleksi tersebut dilakukan dengan melihat
riwayat-riwayat dari Sahabat yang paling sahih dan bagus. Namun,
meskipun mayoritas hadis-hadis pilihan tersebut disebut sabagai asahhu
al-masanid atau asahhu ma fi al-bab, tidaklah melazimkan kesahihan
seluruh musnad itu sendiri ataupun kesahihan hadis yang ada dalam
musnad seperti yang dimaksud dalam definisi hadis sahih pada umumnya.
Zayn al-Din al-‘Iraqi mengatakan:
لا يازم من كونه يُخرج أمثل ما يجد عن الصحابي, أن يكون
جميع ما خرَّجه صحيحاً, بل هو أمثل بالنسبة لما تركه[15]
“tidaklah melazimkan dari kondisi musnad
paling ideal yang diriwayatkan dari Sahabat, menunjukkan bahwa keseluruhan apa
yang dikeluarkan dalam musnad itu sahih, namun riwayat tersebut
hanya paling ideal dibandingkan dengan apa yang ia tinggalkan.”
Kitab masanid yang termasuk
al-masanid al-muntaqah seperti:
a.
Musnad
Ahmad bin Hanbal al-Shaybani (w. 142 H)
b.
Musnad
Ishaq bin Rahuwayh (w.
238 H)
c.
Musnad
Baqiy bin Makhlad al-Andalusi al-Qurtubi
(w. 276 H)
d.
Musnad Abu
Bakar Ahmad bin ‘Amr al-Bazzar atau lebih dikenal al-Bahr
al-Zakhkhar (w. 292 H)
e.
Al-Ahadith
al-Mukhtarah mimma laysa fi al-S{ahihayni karya D{iya’
al-Din Muhammad bin ‘Abd al-Wahid al-H{anbali al-Maqdisi (w. 643 H)[16]
2.
Al-Masanid
al-Mu’allah
Yaitu kitab yang memuat segala
persoalan mengenai ‘ilal yang terjadi pada hadis Nabi namun disusun
berdasarkan al-masanid. karena ada pula kitab ‘ilal hadis yang
disusun berdasarkan urutan bab-bab fikih. Di antara kitab yang memiliki
karakteristik al-masanid al-mu’allah seperti:
a.
Al-Musnad
al-Kabir al-Mu‘allal karya Ya‘qub bin Shaybah al-Sadusi (w. 262 H)
b.
Al-‘Ilal al-Kabir
karya Abu ‘I<sa al-Tirmidhi (w. 279
H)
c.
Al-Bahr
al-Zakhkhar yang
lebih dikenal dengan Musnad al-Bazzar
d.
Musnad
Abu ‘Ali al-Hasan bin Muhammad al-Masarji (w. 365 H)[17]
3.
Al-Masanid
al-‘A<mmah
Maksudnya
adalah kitab musnad yang tidak memperhatikan ‘ilal yang terdapat
dalam hadis, tidak pula dilakukan seleksi sedikitpun terhadap hadis-hadis yang
dicantumkan dalam kitab musnad. Karakteristik al-masani a-‘ammah
ini terlihat dalam beberapa kitab berikut:
a.
Musnad
Abu Bakar ‘Abdullah bin Muhammad bin Abu Shaybah (w. 235 H)
b.
Al-Muntakhab
min Musnad ‘Abd bin H{amid (w.
249 H)
c.
Musnad
Abu Bakar Muhammad bin Harun al-Ruyani (w.
307 H)
d.
Musnad
al-Haytham bin Kalib al-Shashi (w.
335 H)[18]
D.
Macam-macam
Bentuk al-Masanid
Dilihat dari segi cakupannya, al-masanid
terbagi menjadi dua, yaitu:
1.
Al-Masanid
al-Shamilah
Al-masanid al-shamilah
yaitu kitab musnad yang mencakup riwayat-riwayat banyak Sahabat (lebih
dari satu Sahabat). Al-masanid al-shamilah juga disebut dengan al-masanid
al-kawamil. Al-masanid al-shamilah ditinjau dari segi maratib nilai
hadis-hadisnya ada yang berbentuk al-muntaqah, al-mu’allah
ataupun yang al-‘ammah.
2.
Al-Masanid
al-Khassah
Sedangkan al-masanid al-khassah adalah kitab
musnad yang hanya menyebutkan riwayat-riwayat satu Sahabat saja,
riwayat-riwayat beberapa Sahabat, atau sekelompok Sahabat yang tergabung dalam
sifat yang khusus. Ibnu hajar menamai al-masanid al-khassah ini dengan al-masanid
al-mufradat. Contoh masanid satu Sahabat seperti Musnad Abu Bakar
al-S{iddiq, Musnad Umar bin al-Khattab, Musnad Aishah dan
lainnya. Sedangkan masanid yang menghimpun beberapa Sahabat seperti Musnad
al-Arba’ah dan Musnad al-‘Ashrah. Adapun kitab musnad yang
mencakup sekelompok Sahabat yang tergabung dalam sifat tertentu seperti Musnad
al-Muqillin, Musnad al-S{ahabah alladhina nazalu Misr, dan
semisalnya.
E.
Penyusunan
al-Masanid
1.
Secara global (Ijmal)[19]
a.
Susunan
nama-nama Sahabat
1)
Sesuai urutan
Sahabat yang pertama memeluk Islam
(a)
Al-‘Ashrah
al-mubashshirun bi al-jannah (Abu Bakar, Umar,
Uthman, Ali, al-Zubayr bin al-‘Awwam, T{alhah bin ‘Ubaydillah, ‘Abd al-Rahman
bin Awuf, Sa‘ad bin Abi Waqqas, Sa’id bin Zayd, Abu ‘Ubaydan bin al-Jarrah)
(b)
Ahlu
Badr
(c)
Orang yang
masuk Islam dan hijrah antara masa al-Hudaybiyyah dan Fathu Makkah
(d)
Orang yang
masuk Islam ketika Fathu Makkah
(e)
Anak-anak kecil
Kemudian dalam
penyebutan S{ahabiyyat, biasanya susunannya didahului Ummahat
al-mu’minin (Aisyah binti Abu Bakar, H{afsah binti ‘Umar, Ummu
Salamah/Hindun binti Abu Umayyah, Ummu H{abibah binti Abu Sufyan, Zaynab binti
Jahsh, Maymunah binti al-H{arith, S{afiyyah binti H{uyay, dan Sawdah binti
Zam’ah).
2)
Sesuai urutan
Kabilah dengan mendahulukan Bani Hashim kemudian yang terdekat nasabnya kepada
Rasulullah, yang dekat dan seterusnya (al-aqrab fa al-aqrab).
3)
Sesuai urutan huruf
hijaiyyah. Metode ini disebut juga dengan istilah al-mu’jam seperti al-Mu’jam
al-Kabir karya al-T{abrani.
4) Tidak
tersusun atas nama-nama Sahabat, ataupun susunan bab tertentu. Namun sedikit
sekali kitab musnad yang menggunakan metode ini seperti kitab Musnad
al-H{arith bin Muhammad bin Abu Usamah al-Tamimi al-Baghdadi. Namun, kitab
ini telah disusun sesuai bab fikih oleh ‘Ali bin Abu Bakar al-Haythami dan
diberi nama “Bughyah al-Bahith ‘an Zawa’id Musnad al-H{arith”.
Secara umum, mayoritas kitab masanid
memiliki kriteria atau karakteristik sebagai berikut:
1)
Susunan awal
Sahabat, mendahulukan al-‘Ashrah al-mubashshirun bi al-jannah yang
susunannya dimulai dari empat al-khalifah al-rashidah.
2)
Mendahulukan Ummahat
al-Mu’minin dari pada Sahabiyyat lainnya. Terkadang ada yang lebih
mendahulukan Fatimah binti Rasulullah dari yang lainnya seperti yang tertulis
pada Musnad Abu Dawud al-T{ayalisi.
3)
Mengumpulkan musnad-musnad
Sahabat perempuan di antara musnad Sahabat laki-laki. Terkadang ada pula
yang meletakan musnad Sahabat perempuan seluruhnya di akhir musnad
Sahabat laki-laki, seperti yang dilakukan oleh ‘Abd bin H{umayd dalam kitab al-Muntakhab
min Musnad ‘Abd bin H{umayd.
4) Membagi
musnad Sahabat yang banyak meriwayatkan hadis (al-Mukthirin) atas
tarajum (sesuai perawi yang meriwayatkan dari Sahabat tersebut). Susunan
tarajum tersebut ada yang berbentuk riwayat Sahabat lain dari Sahabat yang
sedang dibahas atau sesuai tabaqatnya.
b.
Susunan
riwayat-riwayat (marwiyyat) setiap Sahabat
1)
Riwayat-riwayat
satu Sahabat disusun sesuai dengan tarajum.
2)
Riwayat-riwayat
satu Sahabat disusun sesuai bab-bab fikih
3)
Langsung
menyebutkan seluruh riwayat dari satu Sahabat tanpa ada susunan tertentu.
2.
Secara
terperinci (Tafsil)[20]
a.
Musnad
al-H{umaydi
Dalam kitab musnadnya,
Al-H{umaydi meriwayatkan dari 180 Sahabat, namun ia tidak mencantumkan hadis-hadis
T{alhah bin ‘Abdullah, padahal T{alhah adalah salah satu orang yang dijanjikan
masuk syurga (al-mubashshirun bi al-jannah).
Jumlah hadis yang ada dalam Musnad
al-H{umaydi adalah 1300 (sesuai dengan perhitungan muhaqqiq Musnad
al-H{umaydi, H{abib al-Rahman al-A‘zami).[21]
Jumlah ini dihitung dengan perhitungan hadis secara berulang-ulang (bi
al-mukarrar). Jumlah ini juga mencakup hadis al-marfu’, al-mursal,
al-mawquf, al-maqtu’, dan lainnya. Dalam menyebutkan riwayat-riwayat
Sahabat dalam kitab musnadnya, al-H{umaydi kebanyakan membatasi
riwayat-riwayat tersebut sebatas riwayat dari shaykhnya Sufyan bin
‘Uyaynah, kemudian ia menjelaskan ‘ilalnya serta ikhtilaf al-ruwat
di dalamnya. Sehingga ada benarnya jika diklaim bahwa al-H{umaydi membuat kitab
musnad bertujuan untuk menyusun riwayat-riwayat shaykhnya
tersebut sesuai dengan urutan masanid Sahabat, karena mayoritas riwayat
yang ada dalam Musnad al-H{umaydi dari shaykhnya, Sufyan. Adapun riwayat
selain Sufyan berjumlah 48 hadis saja. Jumlah ini sangat sedikit jika dibandingkan
dengan jumlah keseluruhannya (1300 hadis), perbandingannya hanya sekitar kurang
3 % dari jumlah keseluruhan hadis dalam musnad tersebut.
Al-H{umaydi
menyusun riwayat-riwayat sesuai dengan susunan musnad Sahabat, dan
menyusun Sahabat yang banyak memiliki riwayat hadis (al-mukthirin) dengan
susunan perbab. Secara rinci susunan Musnad al-H{umaydi sebagai berikut:
1)
Riwayat yang
ada dalam Musnad al-H{umaydi disusun sesuai dengan musnad
Sahabat. Terkadang riwayat Sahabat tertentu diletakkan pada riwayat Sahabat
yang lainnya karena memiliki hubungan matannya, atau cerita yang
berkaitan dengan sanad. Dalam penyebutan riwayat Sahabat tertentu,
al-H{umaydi tidak banyak mencantumkannya, bahkan meskipun Sahabat tersebut
termasuk al-mukthirin fi al-riwayah, hanya beberapa riwayat yang
dicantumkan oleh al-H{umaydi dalam musnadnya.
2)
Hadis-hadis al-mukthirin
mayoritas disusun berdasarkan bab-bab fikih, seperti yang ada pada riwayat
Aishah, Ibnu ‘Abbas dan lainnya.
3)
Musnad
al-H{umaydi dimulai dengan menyebutkan al-‘ashrah
al-mubashshirun bi al-jannah kecuali T{alhah bin ‘Ubaydillah. Kemungkinan
hal tersebut dikarenakan al-H{umaydi tidak memiliki riwayat dari T{alhah yang
ia anggap relefan untuk dicantumkan dalam musnadnya, atau riwayat dari Shaykhnya
(Sufyan bin ‘Uyaynah) dari T{alhah yang dianggap bagus. Kemudian al-H{umaydi
menyebutkan musnad Sahabat lainnya beserta riwayat-riwayatnya, namun
tidak secara menyeluruh. Dalam penyebutan musnad Sahabiyyat, al-H{umaydi
menyebutkannya di tengah-tengah Sahabat laki-laki dan dimulai dengan penyebutan
Ummahat al-mu’minin, lalu Sahabiyyat lainnya, namun tidak secara
keseluruhan.
b.
Musnad Ahmad
bin H{anbal
Imam Ahmad menyusun
kitab musnadnya sesuai dengan urutan musnad Sahabat dan
membaginya menjadi beberapa kelompok musnad utama atau kelompok musnad
tertentu. Ibnu H{ajar menyabutkan bahwa ada sekitar 17 atau 18 musnad
utama (al-masanid al-ra’isiyyah) dalam Musnad Ahmad.[22]
Sedangkan Muhammad Jabir al-Wadi A<shi mengungkapkan bahwa jumlah musnad
dalam kitab Musnad Ahmad sebanyak 16 musnad. Musnad utama
tersebut oleh Ahmad bin H{anbal dijadikan judul atau tarajum. Misalnya “Musnad
Bani Hashim”, dalam musnad ini terdapat banyak Sahabat yang berada
dalam kategori musnad bani hashim tersebut. Namun hal ini tidak bisa dipukul
rata, karena terdapat penyebutan satu Sahabat saja, jika Sahabat tersebut
termasuk al-mukthirin.
Adapun jumlah masanid
secara keseluruhan sebanyak 1056 musnad, menurut ‘Ali bin al-Husayn bin
‘Asakir.[23] Ahl
al-‘ilm menyebutkan bahwa Musnad Ahmad meliputi 30.000 hadis tanpa
diulang-ulang, dan 40.000 hadis secara berulang-ulang (bi al-mukarrar),
serta 300 hadis thulathiyyah al-isnad (hadis yang hanya memiliki tiga
sanad).[24]
Akan tetapi, dalam beberapa kitab musnad Ahmad yang telah dicetak,
jumlah tersebut mengalami kekurangan karena banyak faktor, seperti misalnya teks
atau naskah yang menjadi pedoman dalam percetakan sudah berkurang, atau
sekumpulan hadis yang ada dalam musnad tertentu berkurang karena hilang
atau rusak dan sebagainya.
Dalam Musnad Ahmad tidak
hanya meliputi riwayat-riwayat Imam Ah{mad saja dalam musnadnya, akan
tetapi juga terdapat hadis-hadis yang dinukil oleh anaknya, ‘Abdullah dari Imam
Ahmad, kemudian digabungkan dalam kitab Musnad Ahmad. Namun, riwayat
seperti ini tidaklah banyak dalam Musnad Ahmad. Sebagai contoh riwayat
yang merupakan tambahan Abdullah atas Musnad Ahmad:
حدثني أبي حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ ثَابِتٍ الْجَزَرِيُّ عَنْ
نَاصِحٍ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ عَنْ سِمَاكِ بْنِ حَرْبٍ عَنْ جَابِرِ بْنِ
سَمُرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لَأَنْ يُؤَدِّبَ الرَّجُلُ وَلَدَهُ ....الحديث
قَالَ
عَبْد اللَّهِ وَهَذَا الْحَدِيثُ لَمْ يُخَرِّجْهُ أَبِي فِي مُسْنَدِهِ مِنْ
أَجْلِ نَاصِحٍ لِأَنَّهُ ضَعِيفٌ فِي الْحَدِيثِ وَأَمْلَاهُ عَلَيَّ فِي
النَّوَادِرِ[25]
“Telah menceritakan kepadaku ayahku,
telah menceritakan kepada kami ‘Ali bin Thabit al-Jazri, dari Abu ‘Abdillah,
dari Sammak bin H{arb, dari Jabir bin Samrah, bahwasanya Nabi Saw. bersabda: ”Seorang
lelaki yang mendidik anaknya…(hadis)”
‘Abdullah
berkata: Hadits ini tidak dikeluarkan oleh ayahku dalam kitab musnadnya,
sebab ada seorang bernama Nashih, dia lemah dalam masalah hadis, sementara
ayahku jarang mendiktekannya kepadaku.”
Musnad Ahmad
tidak hanya memuat riwayat-riwayat Ahmad, namun juga mencakup tambahan-tambahan
riwayat yang tidak diriwayatlan oleh Imam Ahmad, tambahan tersebut dicantumkan oleh
anaknya, Abdullah. Akan tetapi jumlah tambahan riwayat tersebut sedikit sekali
jika dibandingkan dengan jumlah asli riwayat Imam Ahmad.
Secara
umum, dapat disimpulkan bahwa Musnad Ahmad memiliki karakteristik
sebagai berikut:
1.
Musnad Ahmad
mengelompokkan masanid kepada beberapa kelompok utama, misalnya: musnad
al-‘ashrah wa ma ma’ahu atau musnad Ahl al-bayt dan lainnya. Kelompok
musnad utama tersebut mencakup banyak musnad para Sahabat. Namun
ada pula yang hanya diberi judul musnad satu orang Sahabat saja,
misalnya: Musnad Ibnu Mas’ud atau Musnad Abu Hurayrah. Hal ini
dilakukan jika musnad tersebut adalah Sahabat yang banyak memiliki riwayat
hadis (al-mukthirin fi al-riwayah).
2.
Penyebutan
Sahabat dimulai dengan al-‘ashrah al-mubashshirun bi al-jannah dengan
mendahulukan khalifah yang empat, kemudian menyebutkan sisanya sesuai dengan
daerah (buldan) masing-masing, seperti: musnad al-Bashariyyin, musnad
al-Makkiyyin, musnad al-Madaniyyin dan lainnya, atau disebutkan
menurut kabilahnya, ahl al-bayt, al-Ansar dan lainnya.
3.
Terkadang
riwayat satu orang Sahabat diebutkan secara berulang-ulang di banyak tempat,
terkadang sesuai daerah, atau kabilah, atau terdahulu masuk Islam. Misalnya
riwayat H{arith bin Uqays disebutkan pada masanid al-Ansar dan musnad
al-Shamiyyin.
4.
Musnad
al-muqillin pada awalnya tidak disusun secara rapi
oleh Imam Ahmad, namun kemudian disusun oleh anaknya, ‘Abdullah. Ibn H{ajar
berkata:
لم يرتب –يعني الإمام أحمد- مسانيد المقلين, فرتبها ولده
عبد الله, فوقع منه إغفال كبير من جعل المدني في الشامي, ونحو ذلك[26]
“Imam Ahmad tidak
menyususn masanid al-muqillin, kemudian disusun oleh puteranya,
‘Abdullah. Maka terjadilah kelalaian (kerancuan) yang besar dengan meletakkan al-madani pada tempat al-Shami dan semisalnya.”
5.
Adapun riwayat
para Sahabiyyat, kebanyakan dikelompokkan dan diletakkan pada akhir musnad
Sahabat. Dalam penyebutannya didahului penyabutan Aishah, kemudian Fatimah, lalu
ummahat al-mu’minin lainnya serta Sahabiyyat yang lain.
6.
Selain itu,
Imam Ahmad juga menyebutkan hadis-hadis al-mubhamin dan al-mubhamat
dan diletakkan di akhir musnad, setelah musnad Sahabiyyat. misalnya:
hadith rajul min ashab al-Nabi.
c.
Musnad
Abu Ya’la al-Mauwsili
Musnad al-Mawsili
memiliki dua riwayat, yaitu:
1)
Riwayat yang
pendek atau ringkas (al-riwayah al-mukhtasarah), yaitu riwayat Abu ‘Amr
Muhammad bin Ahmad bin H{amdan al-H{iyari (w. 376 H) dari Abu Ya’la al-Mawsili.
Dan riwayat inilah yang dijadikan pedoman oleh ‘Ali bin Abu Bakar al-Haythami
(w. 807 H) dalam kitabnya “Majma’ al-Zawa’id wa Manba’ al-Fawa’id”.
2)
Riwayat yang
panjang (al-mutawwilah) yang dinamai al-Musnad al-Kabir, yaitu
riwayat Abu Bakar Muhammad bin Ibrahim al-Muqri’ al-Asbahani (w. 381 H) dari
Abu Ya’la al-Mawsili. Riwayat ini juga dijadikan pegangan oleh al-Haythami
dalam kitab “al-Maqsad al-‘ali fi Zawa’id Abi Ya’la al-Mawsili”, juga dijadikan
pedoman oleh Abu a-‘Abbas Ahmad bin Abu Bakar al-Busiri (w. 840 H) dalam
kitabnya “Ittihaf al-Sadah al-Mahrah bi Zawa’id al-Masanid al-‘Ashrah”,
begitu pula Ibnu Hajar dalam meneliti riwayat al-Mawsili yang luput dari
jangkauan al-Haythami berpedoman kepada riwayat panjang ini dan disebutkan
dalam kitabnya “al-Matalib al-‘A<liyah bi Zawa’id al-Masanid al-Thamaniyyah”.
Al- Mawsili dalam musnadnya
meriwayatkan hadis dari 210 Sahabat dengan jumlah keseluruhan hadisnya mencapai
7555 hadis yang kebanyakan hadis al-marfu’. Riwayat-riwayat tersebut
disusun berdasarkan susunan masanid Sahabat. Riwayat-riwayat dari al-mukthirin
disusun berdasarkan tarajum. Adapun urutan dalam penyusunan musnad
Sahabat dapat diklasifikasi sebagai berikut:
1)
Pada permulaan musnad
didahulukan musnad al-‘ashrah al-mubashshirun bi al-jannah dengan
mendahulukan khulafa’ al-rashidah kecuali Uthman bin Affan tidak
dicantumkan dalam musnad ini.
2)
Kemudian
riwayat para Sahabat yang memiliki sedikit riwayat (al-muqillin)
3)
Lalu
dilanjutkan dengan musnad al-mukthirin (Jabir bin ‘Abdullah, ‘Abdullah
bin ‘Abbas, Anas bin Malik, Aishar, ‘Abdullah bin Mas’ud, Ibn ‘Umar, dan Abu
Hurayrah). Riwayat al-mukthirin ini disusun berdasarkan tarajum (perawi
yang meriwayatkan dari Sahabat al-mukthirin tersebut), seperti yang
dilakukan pada musnad Anas bin Malik
4)
Kemudian
menyebutkan sanak kerabat Rasulullah dan Ahl al-bayt (al-Fadl bin ‘Abbas,
Fatimah, al-H{asan, al-H{usayn, ‘Abdullah bin Ja’far, dan ‘Abdullah bin Zubayr)
5)
Selanjutnya
sekelompok al-muqillin yang termasuk kabilah terdekat dengan Nabi
6)
Dilanjutkan
dengan penyebutan al-mubhamin min al-rijal seperti “rajul ghayr
musamma ‘an al-Nabi”.
7)
Kemudian Sahabiyyat
yang didahului ummahat al-mu’minin, selanjutnya mubhamat min al-nisa’
8)
Terakhir,
al-H{umaydi menyebutkan kembali musnad Sahabat laki-laki yang belum
disebutkan sebelumnya.
d.
Musnad
Abu Dawud al-T{ayalisi
Sudah disebutkan pada pembahasan
sebelumnya bahwa Musnad al-T{ayalisi tidak disusun oleh al-T{ayalisi
langsung, melainkan murid-murid al-T{ayalisi yang menyusun musnad
berdasarkan riwayat dari al-T{ayalisi. Penghimpun Musnad al-T{ayalisi
(Abu Mas’ud al-Razi) sangat perhatian terhadap riwayat-riwayat al-T{ayalisi
dari Shu’bah. Jumlah Sahabat yang tercantum dalam Musnad al-T{ayalisi
mencapai 267 Sahabat, namun sekitar 10 musnad Sahabat dianggap hilang ketika
proses percetakan.
Jumlah hadis
pada Musnad al-T{ayalisi sebanyak 2767 hadis, namun ada pula hadis yang
tidak diberi nomer. Hadis-hadis ini disusun berdasarkan musnad Sahabat. Secara
rinci, susunan Musnad al-T{ayalisi adalah:
1)
Susunan pertama
dimulai dengan al-‘ashrah al-mubashshirun bi al-jannah yang didahului al-khulafa’
al-rashidah.
2)
Al-mutawassitin
dan al-muqillin
3)
Riwayat al-A<had
(perawi yang hanya memiliki satu atau dua hadis)
4)
Sahabiyyat
5)
Al-mukthirin
yang disusun berdasarkan tarajum (orang yang meriwayatkan dari Sahabat
tertentu) dan dimulai dengan riwayat Sahabat laki-laki, kemudian al-afrad,
dan Sahabiyyat.
Terkadang riwayat seorang Sahabat
disebutkan pula di tempat Sahabat yang lain jika memiliki kaitan dengan matan
atau cerita mengenai sanadnya. Begitu pula terkadang satu Sahabat
disebutkan pada lebih dari satu tempat.
Penyebutan Sahabiyyat
terdapat pada satu tempat, di tengah-tengan Sahabat laki-laki, antara riwayat
al-ahad dan al-mukthirin. penyebutan Sahabiyyat ini didahului Fatimah
binti Rasulullah kemudian ummahat al-mu’minin dan Sahabiyyat lainnya.
F.
Kedudukan
al-Masanid di antara Kitab-kitab Hadis dari segi kesahihannya
Karya-karya al-masanid
dianggap memiliki kedudukan atau posisi di bawah karya-karya yang disusun
berdasarkan perbab (al-abwab) atau al-sunan dilihat dari sisi
keasliannya (al-asl). al-Khatib al-baghdadi menyatakan:
ومما يتلو الصحيحين: سنن أبي داود السجستاني و أبي عبد
الرحمن النَّسَوي, وأبي عيسى الترمذي, وكتاب محمد بن إسحاق ابن خزيمة النيسابوري,
الذي شرط فيه على نفسه إخراج ما اتصل سنده بنقل العدل عن العدل إلى النبي صلى الله
عليه وسلم, ثم كتب المسانيد الكبار[27]
“Dan karya di
bawah al-sahihayn: Sunan Abu Dawud al-Sijistani, Abu ‘Abd al-Rahman
al-Nasawi, Abu ‘I<sa al-Tirmidhi, dan kitab Muhammad bin Ishaq Ibn Khuzaymah
al-Naysaburi, yang memberikan syarat atas dirinya untuk mengeluarkan hadis yang
bersambung sanadnya, dinukil oleh
orang yang ‘adil dari yang ‘adil sampai kepada Nabi Saw.,
kemudian kitab-kitab al-masanid yang besar.”
Hal ini disebabkan karena tujuan
asal penyusunan al-masanid adalah mengumpulkan riwayat-riwayat semua
Sahabat, tanpa melihat thubut atau tidaknya riwayat tersebut. Oleh
karena itu Abi ‘Abdillah al-H{akim mengatakan:
هذه
المسانيد التي صنفت في الإسلام على روايات الصحابة مشتملة على رواية المعدلين من
الرواة وغيرهم من المجروحين[28]
“Inilah
al-masanid yang disusun dalam Islam menurut riwayat-riwayat Sahabat yang
mencakup di dalamnya riwayat perawi yang dianggap ‘adil begitu pula
perawi yang terkena cacat (jarh).”
Ibnu al-S{alah juga memberikan komentar
mengenai hal ini:
عادتهم
فيها –يعني أصحاب المسانيد- :أن يجرجوا في مسند كل صحابي ما رووه من حديثه, غير
متقيدين بأن يكون حديثا محتجاً به, فلهذا تأخرت مرتبته –وإن جلَّت لجلالة مؤلفها-
عم مرتبة الكتب الخمسة, وما التحق بها من الكتب المصنفة على الأبواب, والله أعلم[29]
“Biasanya
pemilik al-masanid pada musnad setiap Sahabat mengeluarkan apa
yang diriwayatkan dari Sahabat tersebut, tanpa terikat dengan kondisi hadis tersebut
bisa dijadikan hujjah atau tidak, oleh karena itu kedudukannya
terbelakang –meskipun pengarangnya terkenal- dari derajat kutub al-khamsah,
juga kitab-kitab semisalnya yang disusun berdasarkan bab.”
Permasalahan
ini juga tidak luput dari perhatian Ibnu Hajar yang juga memberikan pernyataan:
ومَن
يُصَنَّف على المسانيد فإن ظاهر قصده: جمع حديث كل صحابي على حِدة سواء أكان يصلح
للإحتجاج به أم لا
[30]
“Dan
orang yang menyusun al-masanid tujuan jelasnya adalah: menghimpun hadis
semua Sahabat dalam satu kesatuan, meskipun hadis tersebut bisa dijadikan hujjah
atau tidak.”
Dan ungkapan menggunakan kata “al-asl”
menunjukkan bahwa terdapat karya-karya yang menyalahi ketentuan asli tersebut
atau tidak memenuhi persyaratan al-asl. Artinya, terdapat karya musnad
yang telah dilakukan seleksi terhadap riwayat-riwayat dalam musnadnya
atau hanya mencantumkan hadis yang sahih saja sesuai dengan kriteria sahih
menurutnya. Ibnu Hajar mengatakan:
بعض
من صنف على المسانيد انتقى أحاديث كل صحابي فأخرج ما وجد من حديثه[31]
“Sebagian
orang yang menyusun al-masanid melakukan seleksi terhadap hadis-hadis
setiap Sahabat, kemudian mengeluarkan apa yang ada pada hadis Sahabat
tersebut.”
Namun, meskipun demikian seleksi
hadis dan klaim dengan menggunakan kata “asahhu min ghayrihi” atau “asahhu
ma fi al-bab”, tidak melazimkan bahwa musnad tersebut sahih
secara keseluruhan. Karena da’if lebih sahih dari al-mawdu’
dan keduanya sama-sama hadis yang mardud. oleh karena itu, di dalam al-masanid
terdapat hadis yang sahih juga yang da‘if. Meskipun terdapat masanid yang telah diseleksi
(al-muntaqah), namun dalam pengambilan hujjah dengan hadis dari al-masanid
al-muntaqah tersebut haruslah dilakukan tinjauan terlebih dahulu terhadap
syarat-syarat ihtijaj atau kriteria hadis yang maqbul.
Pada intinya bahwa kedudukan atau
posisi al-masanid berada setelah karya-karya yang disusun perbab atau al-sunan
melihat asal usul (tujuan) pembuatan musnad itu sendiri. Hal ini
disebabkan karena al-musnad disusun memiliki tujuan asal yaitu
mengumpulkan riwayat-riwayat Sahabat saja, tanpa memandang kriteria kesahihan
hadis.
G.
Perbedaan
antara al-Masanid dengan al-Atraf, dan al-Masanid dengan al-Ma’ajim
1.
Perbedaan al-Masanid
dengan al-Atraf
Antara
al-atraf dengan al-masanid memiliki kesamaan, yaitu sama-sama
memiliki susunan berdasarkan Sahabat, bukan susunan bab fikih atau lainnya.
Sehingga di dalam al-atraf maupun al-masanid hadis yang berkaitan
dengan salat disebutkan setelah hadis tentang jihad ataupun
sebaliknya. Namun meskipun demikian, terdapat pula beberapa poin yang menjadi
perbedaan antara al-atraf dengan al-masanid, yaitu:
a.
Kitab-kitab al-Masanid
menyebutkan teks hadis secara sempurna. Berbeda dengan al-atraf yang
hanya menyebutkan sebagian teks hadis, kebanyakan bagian awal saja dari teks
hadis yang disebutkan.
b.
Dalam al-masanid
nama-nama Sahabat disusun berdasarkan afdaliyyah (paling utama), nasab
(keturunan), atau kathrah al-riwayat (banyak riwayat), sedangkan al-atraf
nama-nama Sahabat disusun berdasarkan huruf
abjad.
c.
Al-Masanid
menyebutkan riwayat satu kitab saja, adapun al-atraf menyebutkan riwayat
lebih dari satu kitab kemudian disandarkan kepada kitab yang riwayatnya dirujuk
dalam al-atraf.[32]
2.
Perbedaan al-Masanid
dengan al-Ma’ajim
Pada al-masanid
dengan al-mu’jam sama-sama disusun sesuai urutan Sahabat (rawi
al-a’la) yang memiliki riwayat hadis. Namun, ada beberapa karakteristik
yang membedakan antara al-mu’jam dengan
al-masanid, seperti:
a.
Dalam musnad
hanya menyebutkan riwayat musnad Sahabat saja, ma’ajim tidak
hanya Sahabat saja namun juga mencantumkan riwayat selain Sahabat, seperti
riwayat shaykh pemilik mu’jam tertentu.
b.
Nama-nama
Sahabat dalam Mu’jam disusun
sesuai huruf abjad, sedangkan Musnad kebanyakan disusun sesuai al-sabaq
fi al-Islam (terdahulu masuk Islam), afdaliyyah (paling utama
kedudukannya), nasab (keturunan) atau kabilah.
H.
Kegunaan
atau Fungsi al-Masanid
Tidak diragukan lagi bahwa al-masanid
memiliki kedudukan yang penting di antara literatur sumber hadis yang asli.
Berikut kegunaan atau fungsi al-masanid di antaranya:
1.
Merupakan
sumber hadis yang asli (al-masadir al-hadithiyyah al-asliyyah) yang
menyebutkan hadis beserta sanadnya.
2.
Sebagai
referensi untuk melakukan proses pengumpulan jalur-jalur sanad (jam’u
turuq al-hadith)
3.
Memudahkan
dalam proses pencarian shawahid atau tawabi’
4.
Mengenal para Sabahat
yang memiliki riwayat hadis
5.
Mengetahui Sahabat
yang banyak atau sedikit meriwayatkan hadis.[33]
- TIPOLOGI KITAB HADIS MUSALSAL
- TIPOLOGI KITAB HADIS AL MARASIL
- TIPOLOGI KITAB HADIS AL MASANID
- TIPOLOGI KODIFIKASI KITAB HADIS الموطأ (AL-MUWATTA’)
- TIPOLOGI KODIFIKASI HADIS AL THULATHIYYAT
- TIPOLOGI KODIFIKASI KITAB HADIS AL MA’AJIM
- TIPOLOGI KITAB HADIS AL JAWAMI’
BAB III
PENUTUP
Dari pemaparan di atas, dapat
disimpulkan bahwa al-masanid adalah kitab yang merangkum di dalamnya
riwayat-riwayat dari Sahabat secara khusus. Namun tidak semua kitab musnad
memiliki tipologi tersebut, ada pula kitab musnad yang disusun
berdasarkan urutan bab-bab fikih dan lainnya.
Kemunculan al-masanid
dimulai antara akhir abad kedua atau permulaan abad ketiga hijriyah. Hal
tersebut ditandai munculnya ulama hadis yang menulis musnad. Dalam
perkembangannya, terdapat musnad yang telah diseleksi, yang mencakup ‘ilal
hadis maupun yang umum. Selain itu, ada pula musnad yang al-shamilah
ataupun yang al-khassah.
Susunan musnad biasanya
diterapkan dengan berdasarkan afdaliyyah (paling utama), nasab (keturunan),
atau kathrah al-riwayat (banyak riwayat) dan lainnya.
Posisi musnad jika ditinjau
dari segi kualitas hadisnya, berada pada posisi di bawah kutub al-sittah.
Hal ini dikarenakan pembuatan musnad memiliki tujuan asal yaitu menghimpun
riwayat-riwayat Sahabat dalam satu kesatuan tanpa melihat kualitas dari riwayat
tersebut.
Kitab yang bercorak musnad
banyak memiliki kegunaan, diantaranya sangat membantu dalam proses pengumpulan
riwayat dan meneliti riwayat dari para Sahabat.
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmad,
Abu al-H{usayn bin Faris bin Zakariya. Mu’jam Maqayis al-Lughah. Beirut:
Dar al-Fikr, 1979.
Azhari (al). Tahdhib al-Lughah. t.t:
maktabah al-shamilah, t.th.
Luhaydan (al), Dakhil bin Salih. “al-Masanid
Nash’atuha wa Anwa’uha wa Tariqah Tartibiha”, dalam http://www.forsanhaq.com, 2.
Asqalani (al), Abu Fadl Ibnu Hajar. Hadi’ al-Sari.
t.t: Maktabah al-Shamilah, t.th.
----------------. Tajrid Asanid al-Kutum
al-Mashhurah wa al-Ajza’ al-Manthurah. Beirut: Mu’assasah al-Risalah, 1998.
----------------. Al-Nukat ‘ala Kitab Ibn
al-S{alah. Madinah al-Munawwarah: Maktabah al-Madaniyyah, 1984.
Shahruzuri (al), Ibnu al-S{alah. Muqaddimah Ibn
al-S{alah. t.t: Maktabah al-Farabi, 1984.
Sulami (al), Muhammad bin al-H{usayn. Su’alat
al-Sulami li al-Daruqutni. t.t: Multaqa Ahl al-Hadith, t.th.
Baghdadi (al), Abu Bakar al-Khatib. Al-Jami’ li
Akhlaq al-Rawi wa Adab al-Sami’. (Riyad: Maktabah al-Ma’arif, 1403 H), vol.
5/177.
----------------. Tarikh Baghdad. Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.th.
Jurjani (al), Abdullah bin ‘Adiy. Al-Kamil fi
D{u’afa’ al-Rijal. Beirut: Dar al-Fikr, 1988.
Sakhawi (al), Shams al-Din. Fath al-Mughith
Sharh Alfiyah al-Hadith. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1403 H.
‘Iraqi (al), Zaynuddin. al-Taqyid wa al-I<dah
Sharh Muqaddimah Ibn al-S{alah. Madinah al-Munawwarah: Maktabah
al-Salafiyyah, 1969.
H{akim (al), Muhammad bin ‘Abdullah. Al-Madkhal
ila Kitab al-Iklil. Alexandria: Dar al-Da’wah, t.th.
Mawsu’ah al-hadithiyyah. Kairo: Wizarah al-Awqaf Majlis al-A’la, 2008.
[1] Abu al-H{usayn Ah}mad bin Faris
bin Zakariya. Mu’jam Maqayis al-Lughah. (Beirut: Dar al-Fikr, 1979),
vol. 3/105.
[2] Al-Azhari, Tahdhib
al-Lughah. (t.t: maktabah al-shamilah, t.th), vol. 3/460.
[3] Dakhil bin S}alih} al-Luh}aydan,
“al-Masanid Nash’atuha wa Anwa’uha wa T}ariqah Tartibiha”, dalam http://www.forsanhaq.com/showthread.php?t=186563, 2.
[4]
Ibid.
[5] Ibnu Hajar al-Asqalani, Hadi’
al-Sari. (t.t: Maktabah al-Shamilah, t.th), vol. ¼.
[6]
Ibnu al-S{alah} al-Shahrzuri. Muqaddimah Ibn al-S{alah}. (t.t:
Maktabah al-Farabi, 1984), 20.
[7] Muhammad bin al-H{usayn
al-Sulami, Su’alat al-Sulami li al-Daruqut}ni. (t.t: Multaqa Ahl al-Hadith,
t.th).
[8]
Abu Bakar al-Khat}ib al-Baghdadi, Al-Jami’ li Akhlaq al-Rawi wa Adab
al-Sami’. (Riyad: Maktabah al-Ma’arif, 1403 H), vol. 5/177.
[9]
Abdullah bin ‘Adiy al-Jurjani, Al-Kamil fi D{u’afa’ al-Rijal.
(Beirut: Dar al-Fikr, 1988), vol. 7/239.
[10]
Dakhil bin S}alih} al-Luh}aydan, “al-Masanid Nash’atuha wa Anwa’uha wa
T}ariqah Tartibiha”…, 3.
[11]
Ibid.
[12]
Abu Bakar al-Khat}ib al-Baghdadi, Tarikh Baghdad. (Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.th), vol. 13/306.
[13]
Ibid.
[14] Shams
al-Din al-Sakhawi, Fath al-Mughith Sharh Alfiyah al-Hadith. (Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1403 H), vol. 2/385.
[15]
Zaynuddin al-‘Iraqi, al-Taqyid wa al-I<d}ah Sharh} Muqaddimah Ibn
al-S{alah}. (Madinah al-Munawwarah: Maktabah al-Salafiyyah, 1969), 58.
[16]
Dakhil bin S}alih} al-Luh}aydan, “al-Masanid Nash’atuha wa Anwa’uha wa
T}ariqah Tartibiha”…, 4.
[17]
Ibid., 5.
[18]
Ibid.
[19]
Ibid., 6.
[20]
Ibid., 7.
[21] Dakhil bin S}alih} al-Luh}aydan,
“al-Masanid Nash’atuha wa Anwa’uha wa T}ariqah Tartibiha”, 7.
[22] Ibid.
[23] Ibid.
[24] Ibid.
[25]
Ibid., 8.
[26] Abu al-Fad}l Ibn H{ajar
al-‘Asqalani, Tajrid Asanid al-Kutum al-Mashhurah wa al-Ajza’ al-Manthurah.
(Beirut: Mu’assasah al-Risalah, 1998), 129.
[27] Abu Bakar al-Khat}ib al-Baghdadi,
Al-Jami’ li Akhlaq al-Rawi wa Adab al-Sami’…, vol. 2/185.
[28] Muhammad bin ‘Abdullah al-H{akim,
Al-Madkhal ila Kitab al-Iklil. (Alexandria: Dar al-Da’wah, t.th), 30.
[29] Ibnu al-S{alah} al-Shahrzuri. Muqaddimah
Ibn al-S{alah}…, 20.
[30]
Ibn H{ajar al-‘Asqalani. Al-Nukat ‘ala Kitab Ibn al-S{alah}.
(Madinah al-Munawwarah: Maktabah al-Madaniyyah, 1984), Vol. 1/447.
[31] Ibid., vol. 1/73.
[32]
Mawsu’ah al-hadithiyyah. (Kairo: Wizarah al-Awqaf Majlis al-A’la,
2008), 96.
[33]
Dakhil bin S}alih} al-Luh}aydan, “al-Masanid Nash’atuha wa Anwa’uha wa
T}ariqah Tartibiha”…, 1.