BAB I
PENDAHULUAN
Kedudukan hadis begitu penting dan tinggi sebagai sumber
hukum dan referensi
tertinggi kedua setelah al-Qur’an dalam sistem hukum Islam (al-Tashri’ al-Islami).[1] Bersama Al-Qur’an, hadis telah menjadi teks
sentral dalam peradaban Islam bukan hanya dalam tataran normatif-teoritis namun
juga terimplementasikan dalam konsensus, dialektika keilmuan dan praktek
keberagaman umat Islam seluruh dunia sepanjang sejarahnya.
Oleh
karena itu, para intelektual muslim di
bidang hadis sangat perhatian terhadap dokumentasi dan penulisan hadis.
Aktivitas al-riwayah dan al-dirayah
hadis serta produknya dapat dibagi dalam tiga tahap yaitu pertama, periode Taqyid; kira-kira semenjak zaman Rasulullah hingga ke akhir abad
pertama hijrah. Kedua, periode Tadwin;
kira-kira dari awal abad kedua sampai pertengahan abad itu.Ketiga, periode Tasnif; kira-kira dari pertengahan abad kedua hingga seterusnya.
Periode
Taqyid adalah periode ketika hadis
dicatat dalam buku-buku kecil (sahifah;
booklet) oleh para Sahabat dan Tabi’in. Jumlah risalah dan catatan kecil
mengenai hadis mencapai ratusan jumlahnya. Periode Tadwin, dimulai dengan perintah ‘Umar bin Abd al-‘Aziz (w. 101 H)
yang menjadi khalifah saat itu untuk mengumpulkan dan mencatatkan hadis-hadis
Rasulullah SAW. Kebanyakan buku dalam periode ini belum diberi nama dan belum
disusun berdasarkan bab-bab tertentu. Adapun periode Tasnif ditandai dengan
munculnya buku-buku hadis yang mempunyai nama sendiri dan disusun berdasarkan bab-bab
tertentu. Contohnya al-Muwatta’ susunan
Imam Malik bin Anas (w. 179 H), al-Musnad
oleh Dawud al-Tayalisi (w. 203 H), al-Musanaf oleh ‘Abd al-Razzaq (w. 211 H), termasuk al-Jami’ al-S{{ahih oleh Imam Bukhari
(w. 256 H), al-Jami’ al-S{{ahih karya
Imam Muslim (w. 261 H) dan Al-Jami’ oleh
Al-Tirmidzi (w. 279 H).[2] Selanjutnya, Abab
ke-3 H (200-300 H) inilah yang menjadi
kurun yang paling cemerlang dalam sejarah pengumpulan dan kodifikasi Sunnah,
penelitian dan kritik hadis serta penyaringan/seleksi periwayatannya. Pada abab
ini muncul para pakar dan ulama besar di bidang hadis, kritik hadis dan lahir
produk-produk keilmuan yang unggul berupa al-kutub
al-sittah dan lainnya yang hampir menghimpun seluruh hadis-hadis yang thabit yang menjadi referensi utama bagi
para ulama di bidang keilmuan Islam lainnya.[3] Gerakan intelektual
yang massif di bidang penulisan kitab-kitab hadis di era tasnif ini membuahkan produk berupa puluhan bahkan ratusan
kitab-kitab sunnah berupa sunan, al-musannafat,
al-jawami’, al-masanid, kitab-kitab tafsir, kitab al-Maghazidan siyar,
maupun berbentuk juz-juz khusus yang mencantumkan hadis-hadis dalam bab-bab
tentang tema-tema tertentu.[4]
Dalam makalah ini akan dibahas secara spesifik tentang
tipologi kitab-kitab hadis yang termasuk dalam al-jawami’. Pembahasan dimulai dari definisi, contoh, tingkat
validitas hadis-hadisnya,hingga karakteristik metodologinya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi
“Al-Jawami’
1. Secara Etimologis
Al-Jawami’ adalah
bentuk plural dari kata al-jami’ (الجامع). [5]Jim-mim-‘ain dalam struktur kata jama’a bermakna mengumpulkan sesuatu dari kondisi terpecah atau
terpisah, yajma’uhu jam’an artinya
mengumpulkannya hingga terhimpun.[6]Al-Jami’ adalah antonim dari
kata al-mutafarriq (sesuatu yang
terpecah belah, berserakan).[7]Jami’ berarti mencakup (comprehensive), meluas (extensive), melebar (broad), umum (general), menyeluruh (universal); mengumpulkan
(collector), menggabungkan
(compiler of a book);
memadukan (compositor).[8]
2. Secara Terminologis
Merujuk pendapat muhadithin, al-Jawami’dapat
didefinisikan sebagai berikut;
كل
كتاب حديثي يوجد فيه من الحديث جميع الأنواع المحتاج إليها من العقائد والأحكام
والرقائق وآداب الطعام والسفر والمُقام وما يتعلق بالتاريخ والسير
Seluruh
kitab hadis yang terdapat di dalamnya hadis dalam berbagai jenis tema yang
dibutuhkan baik dalam masalah akidah, hukum (ah{kam), al-raqa ‘iq, etika makan, (petunjuk saat)
perjalanan jauh (safar), (petunjuk saat)
mukim, (hadis-hadis) yang berkaitan dengan sejarah (al-tarikh wa al-siyar) dan sebagainya.”[9]
Dalam ungkapan yang hampir sama, definisial-Jawami’adalah:
هو
كتاب الحديث المرتب على الأبواب الذي يوجد فيه أحاديث في جميع موضوعات الدين
وأبوابه, وعددها ثمانية أبواب رئيسية هي : العقائد , الأحكام , السير , الآداب ,
التفسير , الفتن , أشراط الساعة , المناقب.
Kitab
yang tersusun atas bab-bab yang mencakup hadis-hadis dalam seluruh tema atau
topik agama dan bab-babnya. Jumlah bab pokok ada delapan yaitu akidah, hukum,
sejarah (siyar), adab, tafsir, al-fitan, perihal kiamat, al-manaqib.[10]\\
Dari definisi di atas dapat disimpulkan
bahwa kitab-kitab hadis yang disusun menggunakan tipe al-jawami’ adalah kitab yang menghimpun hadis–hadis dalam berbagai
aspek masalah keagamaan, bukan hanya terbatas pada bidang fikih saja
sebagaimana kitab-kitab muwatta’, musannaf
dan sunan. Menurut Sayyid Abd al-Majid al-Ghaury, kitab-kitab hadis al-jawami’ tidak jauh berbeda dengan
kitab-kitab hadis sunan. Perbedaannya
adalah pada umumnya kitab-kitab sunan tidak mencantumkan bab-bab hadis tentang
akidah, al-fitan dan al-manaqib.[11]
Sebelum dikompilasikan dalam satu
himpunan kitab hadis, masing-masing delapan tema yang terdapat dalam kitab
hadis bertipe al-jawami’ tersebut
terpisah-pisah dalam satu kitab tersendiri. Misalnya dalam masalah akidah, Ibnu
Khuzaimah menulis kitab hadis “al-Tauhid”, dalam masalah hukum fikih ada sunan
Abu Dawud, Ibn Majah, Al-Nasa’i, dll. Dalam masalah al-Raqaiq, Imam Ahmad menyusun Kitab Al-Zuhd. Dalam masalah Adab, Imam Bukhari menulis Kitab al-Adab al-Mufrad. Untuk hadis-hadis
tafsir, terdapat kitab yang ditulis oleh Ibnu Mardawaih dan Ibn Jarir. Dalam
masalah al-safar wa al-qiyam, Al-Tirmidhi
menulis Kitab al-Shamail. Tentang al-Fitan ditulis oleh Nu’aim bin Hammad,
dll.[12]
Dalam beberapa kitab, istilah al-jawami’ digunakan untuk pengertian
yang lain yaitu untuk kitab-kitab yang dimaksudkan oleh penulisnya untuk menghimpun
(mengkompilasikan) hadis-hadis Nabi secara mutlak atau tanpa batasan kriteria
tertentu seperti kitab al-Jami’ al-Kabir dan
al-Jami’ al-Saghir yang disusun oleh
Al-Suyuti, atau kitab-kitab yang menghimpun hadis-hadis dari kumpulan kitab
hadis tertentu misalnya al-Jami’
al-Usul karya Ibn al-Athir yang
mengkompilasikan kutub al-hadith
al-sittah dan Jami’ al-al-Masanid karya
Ibn Kathir yang menghimpun hadis-hadis dalam kitab hadis yang sepuluh (kutub al-hadith al-‘Asharah).[13]
Padahal, klasifikasi yang tepat untuk tipologi kitab-kitab tersebut adalah al-majami’. Kitab tipe al-majami’ tersebut tidak memiliki atau
mencantumkan jalur sanad periwayatan persatuan hadis yang tersendiri atau
orisinil dari penulis kitabnya, akan tetapi bersifat “copy-paste” dari kitab-kitab
hadis lain seperti kitab-kitab al-jawami’
dan al-sunan. Demikian pula,
pokok-pokok bahasan dan babnya mengikuti kitab-kitab hadis rujukannya.
B.
Karakteristik
Kitab Hadis al-Jawami’
Kitab-kitab
yang disusun menggunakan tipe al-jawami’
mempunyai karakteristik sendiri yang berbeda dengan tipe-tipe yang lain. Karakteristik tipe penyusunan
kitab al-jawami’antara lain sebagai berikut: (1) Penyusunan
kitab topikal berdasarkan bab-bab fiqh; (2) Penyusunan
bab-babnya dilakukan secara sistematis; (3) Kebanyakan
hadis-hadisnya marfu’;(4) Kualitas hadis-hadisnya kebanyakan
sahih; (5) Memuat
hadis-hadis berbagai macam masalah agama seperti akidah, hukum, perbudakan,
tata cara makan dan minum, berpergian dan tinggal di rumah, tafsir, sejarah,
perilaku hidup, pekerti baik dan buruk.[14]
Kitab-kitab
hadis yang disusun dan dikodifikasi menggunakan tipe kitab al-jawami’ jumlahnya relatif banyak, di antaranya adalah:
1.
Kitab karya Muhammad ibn Isma’il
al-Bukhary (w. 256 H) yang berjudul al-Jami’
al-S{ahih al-Musnad al-Mukhtasar min Umur Rasul Allah Salla Allah ‘alayh wa
Sallam wa Sunanih wa Ayyamih atau yang lebih popular dengan nama Kitab al-Jami’ al-S{ahih atau S{ah{ih al-Bukhary.
2.
Kitab al-Jami’ al-S{ah{ih karya Muslim ibn Hajjaj al-Qushairy
al-Naisabury (w. 261 H)
3.
Kitab al-Jami’ al-S{ahih karya Abu ‘I<sa Muhammad ibn ‘I<sa
al-Tirmidzi (w. 279 H)
4.
Kitab al-Jami’ karya Ma’mar ibn Rashid al-Azdy al-Basry (w. 153 H).
5.
Kitab al-Jami’ karya Sufyan al-Thawry (w. 161 H)
6.
Kitab al-Jami’ karya Sufyan ibn ‘Uyainah (w. 198 H).[15]
Dalam pembahasan di makalah ini akan diulas tiga kitab
tipe al-jawami’yang paling popular hingga era kontemporer dewasa yaitu:
(1) Al-Jami’ al-S{ahih karya Imam al-Bukhari, (2) Al-Jami’ al-S{ahih
karya Imam Muslim, dan (3) Al-Jami’
karya Imam al-Tirmidzi yang popular dengan sebutan “Sunan al-Tirmidzi” karena
perhatian khususnya terhadap hadis-hadis hukum.[16]
C. Profil Ringkas Penulis dan Kitab
bertipe al-Jawami’ :
1. Kitab Al-Jami’ al-S{ahih karya
Imam al-Bukhari
a. Profil Penulis
Penulis kitab Al-Jami’ al-S{ahih atau Sahih al-Bukhari bernamalengkap adalah
Abu ‘Abd Allah
Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin Al-Mughirah bin Bardizbah al-Ju’fy (194-256 H).[17]Imam
Bukhari lahir pada hari Jum’at
setelah sholat Jum’at tanggal 13 Syawwal 194 H.[18]
Jumlah
guru al-Bukhari sangatlah banyak, lebih dari seribu orang guru. Daftar panjang
guru-guru al-Bukhari dapat ditemukan dalam catatan biografi beliau dalam
berbagai kitab tarikh dan rijal hadis.Al-Mizzi dalam Kitab Tahzib al-Kamal berusaha untuk menghimpun nama-namanya dan
menyusunnya secara alfabetis.[19]Menurut
penelitian Ibnu Hajar terhadap 1080 yang menjadi guru al-Bukhari semuanya
adalah periwayat hadis.[20]Dari 1080 orang
gurunya tersebut, al-Bukhari menyeleksi hadis mereka dan hanya mencantumkan
hadis dari 289 orang di antara mereka dalam Kitab al-Jami’ al-S{ahih-nya.
Adapun murid-Murid Imam Bukhari yang menjadi tokoh
ulama hadis yaitu; (1) Abu ‘Isa Muhammad bin ‘Isa at-Tirmidzi (w. 279 H), Seorang al-Imam
al-Hafiz dalam ilmu hadis. Penulis banyak kitab di antaranya Jami’
At-Tirmidzy atau terkenal dengan Sunan At-Tirmidzi. (2) Abu Hatim Ar-Razy (w. 277 H), Seorang tokoh di Imam
para al-hafiz{ dan
sangat thiqah. Pakar
di Bidang jarh wa ta’dil(kritik
perawi) dan ‘ilal hadis. (3) Imam Muslim
(w. 261 H). Imam para hafidz, penulis Kitab al-Jami’ al-S{ah{ih yang
terkenal dengan “Sahih Muslim”.
Al-Bukhari
meninggalkan sekitar 20 karya dalam bidang hadis, ilmu hadis, ilmu rijalul
hadis dan bidang keilmuan yang lainnya.Di antara karya al-Bukhari yaitu: (1)
Al-Jami’ al-S{ahih, (2) al-Adab al-Mufrad, (3) Al-Mu’talaf wa al-Mukhtalaf, (4)
al-Tarikh al-Kabir, dll.[21]
b.
Nama
Kitab Al-Jami’ al-S{ahih
Sahih al-Bukhari, inilah nama ringkas yang popular
baik di kalangan ulama maupun di tengah masyarakat umum. Terkadang disebut al-Jami’ al-S{ah{ih. Tentang
nama lengkap kitab ini, terdapat perbedaan penyebutan. Setidaknya ada tiga
versi nama yang beredar di kalangan ulama: (1) Al-Jami’ al-Musnad al-S{ahih
al-Mukhtasar min Umur
Rasulillah S{allallahu
‘alaihi wa sallam wa Sunanihi wa Ayyamihi.[22]
Kedua, Al-Musnad
al-Jami’ al-S{ahih
al-Mukhtasar min Umur
Rasulillah Shollallahu ‘alaihi wa sallam wa Sunanihi wa Ayyamihi.[23](3) Al-Jami’ Al-S{ahih al-Musnad min H{adith
Rasulillah wa Sunanihi wa Ayyamihi.[24]Al-Sharif
Hatim bin ‘Arif al-‘Auny menginformasikan bahwa Syaikh Abdul Fattah Abu Ghuddah
(1418 H) yang telah meneliti dan membahas dalam satu jilid khusus yang berjudul
Tahqiq ismay al-S{ahihain wa ism Jami’
al-Tirmidhi menyimpulkan bahwa nama
yang tepat adalah Al-Jami’ al-Musnad
al-S{ahih al-Mukhtasar min Umur Rasulillah S{allallahu ‘alaihi wa sallam wa
Sunanihi wa Ayyamihi. Al-‘Auny
menyepakati kesimpulan tersebut.[25]
Ada
indikasi makna (dilalah) penting yang
terkadung di balik penamaan tersebut oleh Imam al-Bukhari, sebagai berikut:[26]Al-Jami’,
maksudnya kitab tersebut menghimpun hukum-hukum (al-Ahkam) dan keutamaan berbagai amalan (al-fadho’il), peristiwa sejarah atau kisah-kisah masa lalu dan akan
datang, masalah adab, ar-raqaiq, dan
tafsir. al-S{ahih, maksudnya kitab
tersebut menghindari masuknya hadis-hadis dho’if, sebagaimana riwayat yang
sahih dari Imam Bukhari yang menyatakan: “Saya tidak memasukkan suatu hadis
dalam kitab saya Al-Jami’ kecuali hadis itu sahih”. Al-Musnad, maksudnya objek utama takhrij hadis-hadis dalam kitab
tersebut adalah hadis-hadis yang muttashilsanadnya
melalui shahabat kepada Rasulullah SAW baik berupa perkataan, perbuatan maupun taqrir Nabi SAW. Adapun, jika ada dalam kitab tersebut yang di luar
itu, maka hanya pelengkap (tab’an)
dan paparan penjelas (‘ard{an), bukan
materi pokok (‘aslan) dan tujuan.
Penyebutannya merupakan bukti penguat (istishhad)
dan informasi tambahan (isti’nas)
agar kitab tersebut mampu menghimpun aspek-aspek substantif Islam. Al-Mukhtasar, menunjukkan maksud Imam
Bukhari yang tidak meniatkan untuk menghimpun semua hadis-hadis sahih yang
diketahuinya dalam kitab tersebut.[27]
c.
Latar Belakang Penulisan Sahih Bukhari
Menurut
penelusuran Ibnu
Hajar terhadap riwayat-riwayat terkait, ada tiga hal yang menjadi sebab
penyusunan Sahih Bukhari,[28]
yaitu:
1)
Kekurangpuasan terhadap metode penulisan kitab-kitab
hadis yang ada pra-Imam Bukhari. Imam Bukhari menemukan kitab-kitab hadis yang
disusun sebelum masa beliau baru bersifat menghimpun dan mengoleksi hadis
dengan mencampuradukkan berbagai kualitas hadis tanpa dijelaskan kesahihan dan
kedho’ifannya. Metode semacam ini kurang tepat untuk konsumsi publik. Beliau
tergerak minatnya untuk menghimpun hadis-hadis sahih saja yang tidak diragukan
kesahihannya dalam satu kitab.
2)
Saran dari guru al-Bukhari, Amirul
mukminin fi al-hadis wa al-Fiqh Ishaq bin Ibrahim al-Handzaly, yang dikenal
dengan nama Ibnu Rahawaih. Imam Bukhari bercerita: “Ketika kami berada dalam
majlis Ishaq bin Rahawaih, beliau berkata: ‘Alangkah baiknya, seandainya kalian
menghimpun satu kitab yang ringkas untuk riwayat yang sahih dari sunah
Rasulullah SAW’. Maka, terbetiklah niat itu dalam hatiku dan aku pun mulai
mengumpulkan hadis sahih untuk menyusunnya”.
3)
Ilham dari Rasulullah SAW dalam mimpi al-Bukhari. Imam
Bukhari berkata: “Saya mimpi bertemu Rasulullah SAW, seakan saya berdiri di
hadapan beliau. Saat itu di tanganku ada kipas yang aku kibaskankan untuk
melindungi beliau”. Aku bertanya kepada beberapa ahli takwil mimpi, dan
dikatakan kepadaku: ”Kamu akan membela beliau dari kedustaan (atas nama
beliau).” Hal inilah yang mendorongku untuk menulis al-Jami’ al-Sahih”.
Ketiga sebab ini, tidaklah saling bertentangan. Namun,
ketiganya menjadi faktor yang saling
menguatkan motivasi imam Bukhari untuk memulai
proyek penulisan kitab al-Jami’
al-Shohih -nya.
d.
Proses Penulisan dan Publikasi Periwayatan
Imam Bukhari mulai menulis Kitab al-Jami’
al-Shohih saat beliau
berada di Masjidil Haram. Beliau melanjutkan dan melengkapi hadis-hadisnya
hingga selesai penulisan kitab tersebut selama 16 tahun di berbagai tempat yang
dilalui dan disinggahinya.[29]Al-Bukhari berupaya memilih dan menyaring sanad dan
matan hadis-hadis dari hafalan dan catatannya. Al-Bukhari berkata: “Saya
cantumkan hadis-hadis dalam kitab ini—yaitu al-Jami’ al-S{ah{ih—(sebagai seleksi) dari sekitar 600.000 hadis.[30]
Kitab itu menjadi hujjah[31]
antara diriku dengan Allah”.[32]
Imam al-Bukhari menyelenggarakan forum-forum ilmiah
untuk mendiktekan (imla’) hadis-hadis
dalam Kitab al-Jami’ al-Shohih.Muridnya, Al-Farbary, menyebutkan bahwa ada 90.000
orang yang mempelajari langsung dengan mendengar (sima’) periwayatan dari al-Bukhari, dan orang terakhir yang
meriwayatkan secarasima’ di Baghdad
adalah al-Qodhi Husain al-Mahamily.[33]
e. Metodologi Kitabal-Jami’ al-Shohih
1)
Kodifikasi hadis yang digunakan oleh al-Bukhari dalam
penyusunan kitab sahihnya berbentuk fomat dan sistematika fiqh, istinbat al-ahkam serta istidlal bi al-ahadith. Cara yang
sama juga digunakan oleh Imam Malik dalam penyusunan al-Muwat{t{a’, akan tetapi
al-Bukhari menggunakannya dalam skala yang lebih luas, mencakup sekian banyak
tema dan bab-bab pembahasan yang cukup terperinci. Format yang digunakan al-Bukhari ini berbeda
dengan format yang digunakan oleh Muslim bin al-Hajjaj dalam Sahihnya atau
al-Tirmidzi dalam Sunan-nya juga imam hadis lainnya. Imam Muslim dan
al-Tirmidzi berkonsentrasi pada format dan teknik periwayatan dan eksplorasi
sanad hadis serta fawaid al-hadithiyah.[34]qowaid al-hadithiyah. Penekanan pada
elaborasi dan ekplorasi fiqh al-hadis tersebut tercantum dalam perincian bab
dan tarajim al-abwab dalam al-Jami’ al-Sahih.
2)
Al-Bukhari menggunakan metode seleksi (al-Intiqa’) dan merangkum dan meringkas
(al-Ikhtis{ar)[35]
dengan cara menyeleksi hadis-hadis yang akan dicantumkannya dalam al-Jami’ al-Sahih . Dari 100 ribu hadis
shahih yang dihafalnya,[36] Al-Bukhari hanya mencantumkan sebanyak 9082 hadis.[37] Dengan demikian hadis sahih yang tidak tercantum dalam
sahih al-Bukhari lebih banyak karena maksud al-Bukhari bukan untuk menjadikan
kitab sebagai ensiklopedi hadis yang menghimpun seluruh hadis sahih. Dengan
demikian kritikan al-Daraqut{ny dan ulama lain terhadap al-Bukhari yang tidak
memasukkan hadis sahih tertentu dalam al-Jami’ al-Sahih padahal sesuai syarat
al-Bukhari adalah kritikan yang tidak tepat.[38]
3)
Sahih Bukhari
dianggap sebagai karya pertama yang memuat hadits sahih saja.Menurut Al-Hafiz
Ibn Hajar: “Mereka menetapkan demikian karena bertaklid terhadap Al-Hamawiy. Sesudah saya hitung baik-baik dengan
cermat bahwa jumlah hadits al-Bukhari beserta yang berulang-ulang, selain dari
hadits mu`allaq dan mutabi` ada 7397 buah hadits dan yang tidak
berulang-ulang ada 2602 buah. Jumlah yang mu`allaq ada 1341 buah.Jumlah yang
mutabi` ada 344 buah.Jumlah seluruhnya 9082 hadits.Dalam hitungan ini belum termasuk hadits-hadits mauquf dan
hadits-hadits maqthu`. Al-Bukhari membagi kitabnya kedalam 97 kitab dan 4550 bab.[39]
4)
Kitab al-Jami’
disusun dalam sistematika kitab-kitab dan bab-bab. Dimulai dengan Kitab Bud’I al-Wahyi, kemudian Kitab al-Iman, Kitab al-Ilmu, Kitab al-Thoharoh, dan seterusnya
sampai Kitab al-Tauhid. Semuanya terdiri
dari 97 kitab yang kemudian
diperinci dalam bab-bab yang disertai penyebutan sejumlah hadis. Susunan
bab-bab dan penamaannya menunjukkan istinbat
fiqhiyyah, penggalianbutir-butir
penting
pelajaran dan hikmah dari hadis yang tercantum dalam masing-masing bab. Dalam keterangan bab-bab juga disebutkan
ayat-ayat Al-Qur’an untuk menjelaskan keterkaitan hukum dan penafsirannya. Al-Bukhari bukan hanya fokus pada
pencantuman hadis, namun memperkaya kandungan kitabnya dengan
pelajaran-pelajaran fikih dan untaian hikmah dan tafsir ayat dengan penjudulan
dan beragam kutipan dalam tarajim
al-abwab. Dengan demikian, kitab tersebut bukan hanya berkualitas dari
aspek riwayah (dokumentasi) namun
juga berkualitas dari aspek dirayah
(analisa).
5)
Pada umumnya dalam pencantuman hadis di setiap bab, Al-Bukhari mulai dari penyebutan hadis yang
paling sahih.[40]Sebagaimana hal ini umumnya dilakukan
oleh ahli hadis yang menyusun kitab hadis dalam sistematika fiqih. Al-Bukhari mendahulukan hadis yang paling penting
terkait dengan judul bab, dan memiliki korelasi yang jelas dan kandungan
petunjuk dalam matan hadisnya yang saling melengkapi.
6)
Ada perhatian terhadap aspek uluw al-isnad yaitu isnad yang tinggi karena rangkaian perawinya
yang muttasil dengan jumlah perawi
perantara yang sedikit sehingga jarak periwayatan antara mukharrij dengan Nabi SAW sangat dekat. Aspek uluw al-isnadini adalah hal yang penting
menurut ahli hadis karena berpengaruh kepada kekuatan validitas sanad. Jumlah
perawi perantara sampainya hadis yang sedikit berarti lebih menjamin
terbebasnya hadis dari masalah yang menrusak kesahihannya.[41]
Kelebihan Al-Bukhari adalah menggabungkan aspek uluw al-isnad dengan kebersihan sanad dan matannya dari catat.
Dalam sanad hadis sahih al-Bukhari, Jarak terdekat antara Imam al-Bukhari
dengan Rasulullah diperantarai oleh tiga perawi. Inilah yang disebut thulathiyat al-Bukhari. Menurut
penelitian Ibnu Hajar, ada lebih dari 20 hadis dalam sahih al-Bukhari dalam
catatan Ibnu Hajar.[42]
Berikut data perbandingan thulathiyat
dalam beberapa Kitab Hadis:[43]
No |
Nama Kitab |
Jumlah |
Keterangan |
1 |
Musnad Ahmad |
332 |
Paling banyak karena berada di level syaikh |
2 |
Sahih al-Bukhari |
22 |
- |
3 |
Sahih Muslim |
Tidak ada |
- |
4 |
Sunan Abu Dawud |
Tidak ada Tidak ada |
- |
5 |
Sunan At-Tirmidzi |
1 |
Yaitu Dari Ismail bin Musa al-Fazsariyy dari Umar
bin Syakir dari Anas bin Malik |
6 |
Sunan An-Nasa’i |
Tidak ada |
- |
7 |
Sunan Ibnu Majah |
5 |
Dari jalur Jubairah bin al-Mughallis dari Katsir bin
Sulaim dari Anas bin Malik |
8 |
Sunan ad-Darimy |
15 |
- |
Contoh Thulathiyat al-Bukhari: Kitab al-Ilmi Bab man Kadzaba ‘ala al-Nabi SAW, hadis no. 108.[44]
حَدَّثَنَا
مَكِّيُّ بْنُ إِبْرَاهِيمَ قَالَ حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ أَبِي عُبَيْدٍ عَنْ
سَلَمَةَ قَالَ سَمِعْتُ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ يَقُلْ عَلَيَّ مَا
لَمْ أَقُلْ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ
Al-Bukhari
berkata: Telah menceritakan kepada kami Makky
bin Ibrahim, dia berkata, telah menceritakan kepada kami Yazid bin ‘Ubaidillah dari Salamah, dia berkata; Saya mendengar
Nabi SAW bersabda: “Barangsiapa yang mengatakan sesuatu atas namaku padahal aku
tidak pernah mengucapkannya, maka hendaklah dia menyiapkan tempat duduknya
dalam neraka”.
Walaupun
demikian, ada juga sanad terpanjang dalam sahih al-Bukhari yaitu hadis nomor
7135 dalam Kitab al-Fitan Bab Ya’juj wa
Ma’juj.[45]
Hadis ini terdiri dari sembilan (9) perawi perantara atau disebut tusa’iy.
7)
Perhatian al-Bukhari untuk meriwayatka n hadis dari jalur
asah{h{ual-asanid wa al-turuq (sanad
yang terbaik tingkat kesahihannya). Contohnya riwayat dari Abu al-Zinad dari
Abdurrahman bin hurmuz al-A’raj dari Abu Hurairah, sekitar 134 hadis, Muhammad
Syihab Al-Zuhry dari Sa’id bin Musayyib dari Abu Hurairah, sekitar 65 hadis,
Abdurrozzaq dari Ma’mar bin Rasyid dari Hammam bin Munabbih dari Abu Hurairah
RA, sekirar 47 hadis. Sanad ini istimewa karena mereka adalah para
perawi pemilik catatan hadis.[46]Muhammad
bin Syihab al-Zuhry dari Salim bin Abdillah dari Bapaknya (Ibnu Umar RA),
sekitar 136 hadis.
8)
Beragam cara penyajian hadis oleh Al-Bukhari seperti
menyebut hadis secara lengkap sanad dan matannya, menyebut matan tanpa sanad,
memotong sanad dan hanya menyebut fulan ‘an
(dari) Rasulullah atau menyebut hadis secara mu’allaq
baik untuk tujuan menjadikannya sebagai argumen (hujjah) untuk tarjamah bab, atau mengisyaratkan adanya
‘illah dalam hadis itu atau memang
hadis itu telah dicantumkan di tempat lain sebelumnya.
9)
Jenis hadis dalam Kitab Sahih al-Bukhari. Menurut
penelitian Ibnu Hajar, hadis-hadis yang terdapat dalam al-Jami’ al-S{ah{ih ada dapat diklasifikasikan menjadi tiga (3)
macam menurut penempatan dan fungsinya; Pertama,
hadis al-ushul (hadis pokok/utama) yaitu hadis-hadis yang dicantumkan dengan
sanad yang lengkap (musnad) dari al-Bukhari sampai marfu‘ kepada Rasulullah SAW menggunakan ungkapan (sighah) “haddatsana” atau yang setara. Hadis semacam ini kualitasnya sahih dan sesuai syarat
sahihnya yang sejalan dengan penamaan kitabnya “al-Jami’ al-S{ah{ih”. Kedua, hadis-hadis sebagai tarajim hadis-hadis yang tidak termasuk dalam syarat sahih
al-Bukhari walaupun kualitasnya layak untuk dijadikan hujjah. Hadis semacam ini
dicantumkan dalam bentuk pengungkapan yang berbeda dengan kelompok pertama.
Hadis semacam ini dicantumkan dalam bentuk mu’allaqat.
Termasuk juga dalam konteks ini
adalah hadis-hadis yang hanya
dipakai dalam bentukkutipan secara lafadz maupun makna untuk penjudulan bab-bab. Ketiga,
hadis-hadis yang diposisikan sebagai mutaba’at
baik al-Mutaba’atal-musnadah
(hadis-hadis penguat yang dicantumkan dengan sanad yang lengkap (musnad) dan
sampai kepada Rasulullah SAW (marfu‘))
maupun mutaba’at ghair al-musnadah.[47] jumlah hadis al-mutaba’at
sebanyak 344 hadis.[48]
Gbr. Contoh jenis-jenis hadis dalam
Sahih al-Bukhari. [49]
10)
Kecenderungan dan perhatian al-Bukhari dalam penyusunan
al-jami’ al-Sahih kepada aspek fiqh al-hadis,
dapat dibuktikan dari empat realitas dalam kitabnya yaitu (1) Tarajim al-Abwab, (2) al-Ta’liq, (4) al-Tikrar, (4) al-Ikhtishar wa
taqthi’ al-hadith al-wahid.
11) Tarjamah dalam konteks
sahih al-Bukhari adalah kalimat atau pernyataan pembuka yang disebutkan oleh
al-Bukhari sebelum mencantumkan hadis-hadis yang musnad di dalam setiap bab
dari kitab Sahihnya. Termasuk didalamnya adalah teks berupa hadis hadis-hadis marfu‘ atau mauquf atau maqthu’.[50]Contohnya
:[51]
Tarjamah al-Bukhari merupakan manifestasi
fiqh al-Bukhari terhadap berbagai persoalan syariah dengan istidlal-nya dengan menggunakan ayat Al-Quran, hadis, maupun athar. Secara umum, korelasi (kesesuaian) antaratarjamahal-Bab dengan
hadis-hadis yang tercantum ada dua macam: (a) korelasi eksplisit, yaitu korelasi antara maksud tarjamah dengan tekstual hadis yang
tercantum cukup jelas dan dapat langsung dipahami, baik secara lafadz dan makna
atau makna saja. (b). korelasi implisit, yaitu korelasi yang cukup samar antara
maksud tarjamah dengan tekstual hadis
yang tercantum, baik secara lafadz dan makna, kecuali setelah analisa dan
penelitian yang mendalam.Bentuk-bentuk tarjamah
dalam Sahih al-Bukhari yaitu: (1) Tarjamah
dengan teks hadis, meliputi (a) tarjamah
persis dengan teks hadis yang tercantum, (b) tarjamah dengan teks hadis lain yang disebutkannya di tempat lain
dalam Sahihnya, (c) tarjamah dengan teks hadis sahih tetapi tidak sesuai syaratnya, (d)
tarjamah dengan hadis dho’if, (2) tarjamah dengan makna hadis, meliputi: tarjamah dengan makna hadis yang di-tarjamah-kan, tarjamah dengan makna hadis yang tercantum dalam bagian lain dari
Sahihnya, tarjamah dengan makna hadis
sahih yang tidak sesuai syaratnya. (3) Tarjamah
dengan athar yang marfu‘ dan mauquf . Bervariasinya
kualitas hadis-hadis yang tercantum sebagai tarjamahbab.
Menurut penelitian Shidiq Hasan Khan, variasinya antara lain: (1) hadis marfu‘ tetapi tidak sesuai syarat
al-Bukhari, pencantumannya hanya sebagai syahid atas syaratnya. (2) tarjamah
dengan hadis marfu‘ yang tidak sesuai
syaratnya untuk tujuan istinbath dari kandungan hadis yang akan dicantumkan
baik yang bersifat eksplisit maupun implisit. (3) tarjamahnya adalah ungkapan dari pendapat madzhab ulama sebelumnya,
tanpa memastikan sikap tarjih-nya
atas pendapat tersebut, (4) tarjamah
dengan masalah yang di-ikhtilaf-kan
disebabkan teks hadis yang beragam. Al-Bukhari mencantumkan hadis-hadis yang mukhtalaf terkait tema tersebut agar
dapat dijadikan referensi kajian bagi orang yang meneliti masalah tersebut.[52]
12) Pengulangan (tikrar) penyebutan hadis. Dalam Sahih al-Bukhari terdapat 3275
hadis yang diulang.[53]
Banyaknya pengulangan ini karena adanya tambahan informasi baik sanad maupun
matan yang terkandung dalam hadis yang diulang. Bahkan kandungan informasi
tambahan yang berbeda dalam matan hadis yang berulang tersebut seperti
kedudukan hadis tersendiri sehingga sulit untuk diabaikan.[54]
Hal ini sejalan dengan metode al-Imam al-Bukhari sangat memprioritaskan
eksplorasi dan elaborasi kandungan hukum
dan hikmah (fiqih hadis) dari suatu matan hadis dalam perincian berbagai
sub-sub judul yang ada dengan menggunakan metode istidlal.[55]
Manfaat lain dari pengulangan pencantuman hadis ini antara lain penjelasan
adanya beberapa shahabat yang meriwayatkan hadis yang sama, atau memaparkan
beberapa variasi sighahtahammul wal ‘ada
seperti satu jalur sanad menggunakan lafadz ‘an’anah
sedangkan yang lain dengan sighah
sima’ (seperti “haddatsana”, “sami’tu”, dll). Jika pengulangan sanad
untuk matan yang sama mulai dari level sahabat berarti menaikkan status hadis
tersebut dari sifat gharib[56].
Di samping itu penyebutan hadis secara tikrar
adalah untuk menginformasikan adanya perbedaan riwayat hadis bersangkutan
antara statusnya maushul atau mursal munqathi’, marfu‘ atau mauquf. Al-Bukhari mentarjih dan
berhujah dengan sanad hadis yang musnad
maushul dan marfu‘ tetapi
menyebutkan sanad lain dari hadis tersebut sesudahnya yang berstatus mursal, munqathi’ atau mauquf untuk mengindikasikan adanya perbedaan riwayat
hadis tersebut. Dengan demikian, kritik sebagian ulama atas keberadaan hadis
dengan sanad mursal, munqathi’ atau
mauquf tersebut tidak berpengaruh
kepada kualitas kesahihan hadisnya.[57]
13) Al-Bukhari menggunakan tahwil al-asanid yaitu mencantunmkan
cabang sanad tertentu yang akan bertemu pada satu perawi tertentu di atasnya
sampai akhir sanad. Tahwil al-isnad ini dilambangkan dengan huruf (ح).
Jumlah hadis dalam Sahih al-Bukhari yang dicantumkan dalam bentuk tahwil al-isnad sebanyak 184 hadis.[58]
Bandingkan dengan dalam Sahih Muslim yang mencapai 1162 hadis dari keseluruhan
hadis yang berjumlah 7388 hadis.[59]
14) Untuk informasi cabang-cabang
variasi sanad dari suatu matan hadis, al-Bukhari juga menggunakan huruf atfwauw
( وَ) yang setara artinya dengan kata
sambung “dan” dalam ungkapan (sighah)
al-tahammul wa al-ada(penerimaan dan
penyampaian hadis) seperti : wa
haddathana (sekitar 27 hadis), wa
haddathany (sekitar 25 hadis), wa
akhbarana (sekitar 6 hadis) wa akhbarany (sekirat 35 hadis), wa sami’tu (sekitar 16 hadis), dll.[60]
15) Untuk menghindari adanya pengulangan
penyebutan matan dari beberapa sanad hadis yang difungsikan sebagai i’tibar dalam satu bab tertentu, al-Bukhari
menggunakan ungkapan مِثْلَهُ
atau نَحْوَهُ.
Ungkapan مِثْلَهُ mengisyaratkan adanya kesamaan atau kemiripan
secara lafaz dari matan. Jumlahnya sekitar 100-an hadis. Sementara ungkapan نَحْوَهُ mengisyaratkan adanya kesamaan secara makna
dan jumlahnya sekitar 60-an hadis.[61]
16) Dibandingkan dengan Muslim bin al-Hajjaj, Al-Bukhari sedikit sekali memberi keterangan
tentang adanya perbedaan atau ragam lafal dari para perawi yang disatukan
penyebutan sanadnya. Imam Muslim sering menginformasikan tentang siapa pemilik
lafaz yang secara tekstual dicantumkannya. Hal sama juga dilakukan oleh
An-Nasai dan Imam al-Tirmidzi dan Abu Dawud tetapi dalam jumlah yang relatif
sedikit.
Ungkapan |
B |
M |
AD |
T |
N |
IM |
A |
الْمَعْنَى
وَاحِدٌ |
- |
- |
18 |
23 |
- |
- |
1 |
وَاللَّفْظُلِفُلان |
2 |
627 |
2 |
6 |
137 |
2 |
5 |
وَتَقَارَبَا
فِي اللَّفْظِ |
- |
18 |
- |
- |
- |
- |
- |
وَتَقَارَبُوا
فِي اللَّفْظِ |
- |
1 |
- |
- |
- |
- |
- |
يُقَارِبُهُ
فِي اللَّفْظِ |
- |
1 |
- |
- |
- |
- |
- |
وَاتَّفَقُوا
فِي اللَّفْظِ |
- |
1 |
- |
- |
- |
- |
- |
وَأَلْفَاظُهُمْ
مُتَقَارِبَةٌ |
- |
17 |
- |
- |
- |
- |
- |
Dari data di atas dapat diketahui bahwa Imam Muslim
adalah penulis kitab hadis yang paling perhatian dengan teknik periwayatan
sanad dan matan hadis (al-sina’ah
al-hadithiyah).
Sementara Imam al-Bukhari tidak terlalu fokus dari aspek ini, namun beliau
unggul dari aspek al-istinbat al-hadithiyyah
dan istidlal fiqhiyyah. Menurut Nur al-Din ‘Itr, al-Tirmidzi termasuk ulama hadis yang mengikuti
jejak Imam Muslim. Dari penelusuran dengan al-Maktabah
al-Shamilah dapat diketahui bahwa selain data di atas, ungkapan
al-Tirmidzi dalam mengelaborasi
informasi sanad dan matan yang beragam maupun yang gharib antara lain la na’rifu
hadha al-hadith ‘ala hadha al-lafz illa min hadha al-wajh, atau la na’rifu ‘ala dhalika al-lafz, atau tafarrada fulan ‘ala dhalika al-lafz.
17) Al-Bukhari cukup banyak meringkas
sanad hadis dalam bentuk hadis mu’allaq.
Hadis mu’allaq yaitu hadis yang marfu‘
(sampai kepada Rasulullah SAW) akan tetapi tidak disebutkan sanadnya yang
bersambung secara lengkap oleh al-Bukhari. Sebagiannya ada yang karena sudah
disebutkan di bagian lain dari kitabnya. Namun ada juga yang sama sekali tidak
ditemukan sanad lengkapnya dalam kitab Sahihnya.[62]
Jumlah hadis Mu’allaqat dalam shahih
al-Bukhari sebanyak 1341 hadis.[63]Di
antaranya berupa mutaba’at dan penjelasan adanya ragam riwayat sebanyak 384
hadis.[64]Al-Bukhari
melakukan ta’liq untuk tujuan meringkas uraian sanad hadis
dan menjauhi adanya pengulangan (repetisi) karena mayoritas hadis-hadis mu’allaqat tersebut telah disebutkan
sanad lengkapnya (mausul) di tempat
lain dalam Kitab Sahihnya.[65]
Al-Bukhari mengindari repetisi kecuali untuk sesuatu yang ada faidahnya.
Apabila suatu matan mengandung berbagai kandungan hukum, maka al-Bukhari
mengulang penyebutannya dalam bab-bab terkait baik secara lengkap ataupun
mengutip sebagiannya. Apabila terjadi repetisi, al-Bukhari menghindari
penyebutan ulang sanad yang sama tapi beralih kepada jalur sanad yang lain baik
perubahan itu itu dari perawi tabaqah
gurunya atau guru dari gurunya. Apabila dalam kondisi tertentu tidak ada
alternatif jalur sanad yang lain karena hadis tersebut hanya punya satu sanad
tetapi kandungan matannya mencakup beberapa petunjuk hukum sehingga perlu ada
pengulangan, maka al-Bukhari meringkas sanadnya ataupun meringkas matannya
(hanya menyebut matan yang berkaitan dengan bab).[66]
Hal inilah yang menyebabkan al-Bukhari melakukan ta’liq terhadap hadis yang
sanadnya maushul di bagian lain kitabnya. Adapun hadis yang tidak disebutkan
sanad lengkap bersambung (mausul)
oleh al-Bukhari di tempat lain dalam Sahihnya sebanyak 170 hadis.[67]
Ibnu Hajar al-Asqalany menyusun kitab khusus yang menyebutkan sanad lengkap
hadis-hadis tersebut dalam kitabnya “Taghliq
al-Ta’liq”.
18) Dari aspek validitas (kesahihan)nya,
Ibnu Hajar menyebutkan klasifikasinya: (1) Hadis-hadis mu’allaqat dengan
ungkapan (sighah) jazm (indikasi yang tegas dan pasti)
yang sahih sesuai dengan syarat al-Bukhari. Al-Bukhari men-ta’liq
hadis semacam ini, bisa jadi karena tidak langsung didengarnya (as-sima) tetapi
diperoleh dengan cara al-mudhakarah
atau al-ijazah (2) Hadis-hadis mu’allaqat dengan ungkapan (sighah) jazm akan tetapi tidak sesuai syarat al-Bukhari. (3) Hadis-hadis mu’allaqat dengan ungkapan (sighah) jazm dan nilainya dha’if karena sanadnya terputus (al-inqita’), (4) Hadis-hadis mu’allaqat dengan ungkapan (sighah) tamrid (indikasi yang tidak tegas dan pasti), nilainya sahih tetapi
tidak sesuai syarat al-Bukhari, (5) Hadis-hadis mu’allaqat dengan ungkapan tamridyang
nilainya hasan, (6) Hadis-hadis mu’allaqat
dengan ungkapan (sighah) tamrid yang nilainya dho’if. Hadis yang
kualitasnya dho’if ini ada yang dho’if dengan penguat (yunjabar) sehingga dapat naik ke level hasan, namun ada pula yang
dho’if tanpa penguat sehingga tidak dapat naik level. Al-Bukhari menyebutkan
hadis model terakhir ini dalam konteks kritik validitasnya dengan
mengisyaratkan secara eksplisit kedho’ifannya.[68]
Menurut penelitian al-Hafiz Ibnu Hajar, jumlah hadis mu’allaq dengan sighat jazm
yang berkualitas sahih tetapi tidak memenuhi syarat al-Bukhari cukup banyak
dalam Sahih al-Bukhari. Sementara hadis mu’allaq
dengan shighat tamrid yang dipaparkan
dalam konteks dijadikan hujah, pendalilan dan bukti (ihtijaj dan istishhad)
oleh al-Bukhari, maka hukumnya sahih atau hasan atau dho’if dengan penguat.
Adapun, hadis mu’allaqtamridh ini
yang disebutkan dalam konteks kritik dan penolakan (ar-radd) maka hadis tersebut dho’if menurut al-Bukhari.[69]
2. Kitab Al-Jami’ al-S{ahih atau Sahih Muslim
a. Nama Penulis
Penulisnya adalah seorang al-Imam, al-Hafiz, kritikus
hadis, Abu al-Husain Muslim Ibn al-Hajjaj Ibn Muslim al-Qushairy al-Naisabuwry.
Beliau lahir tahun 204 H dan meninggal tahun 261 H.[70]
Beliau belajar hadis dengan melakukan rihlah untuk
menemui banyak guru sehingga beliau mencapai level tinggi ulama hadis dunia. Di antara guru-guru penting dan terbanyak periwayatan
hadisnya oleh Imam Muslim; Abu Bakar Ibn Abi Shaibah (sebanyak 1450 hadis),
Zuhair Ibn Harb Abu Khaithumah (1281), Muhammad Ibn al-Muthanna (772 hadis),
Yahya bin Yahya Ibn Bakr al-Naisabury (689 hadis), Qutaibah Ibn Sa’id (668
hadis).[71]Termasuk di antara gurunya adalah Imam al-Bukhari.
Adapun di antara murid-muridnya adalah Muhammad bin Makhlad ibn Hafs al-Dawry,
Abu ‘Awanah al-Isfarainy dan Muhammad bin ‘I<sa bin Surah al-Tirmidhi atau
yang lebih dikenal dengan Imam al-Tirmidhi.[72]
Banyak pengakuan ulama di masanya dan sesudah zamannya
atas integritas dan kapasitas keilmuan hadisnya. Di antaranya Ahmad bin Salamah
berkata: “Saya melihat Abu Zur’ah dan Abu Hatim mengunggulkan Muslim bin
al-Hajjaj atas para ulama (mashaikh) di masa mereka”.[73] Muhammad bin Abd al-Wahhab al-Farra’ berkata: “Muslim
bin al-Hajjaj adalah salah seorang ulama dunia dan wadah ensiklopedi ilmu”.[74]
b. Nama Kitab
Ulama berbeda pendapat dalam menyebutkan dan
menetapkan nama Kitab ini. Ada yang hanya menyebutkan
“al-Sahih” saja tanpa atribut yang lain. Seperti pendapat Ibn al-Nadim, Ibn
‘Asakir, Ibn Kathir, al-Dhahaby, Ibn al-Jazry, al-Yafi’y, dll. Ada yang
menyebutkan “al-Jami’ al-Sahih”. Ada pula yang hanya menyebut “Kitab Muslim”
seperti pernyataan Abu ‘Aly al-Naisabury dan riwayat dari Ibn ‘Atiyah “Kitab
Muslim Ibn al-Hajjaj al-Sahih”, “Kitab Muslim Ibn al-Hajjaj al-Musnad”.
Sementara Nama yang populer di kalangan
ulama adalah Sahih Muslim. Ibn S{alah meriwayatkan pernyataan dari Imam Muslim
sendiri yang menyatakan:
صنفت هذا "المسند الصحيح" من ثلاثمائة ألف حديث مسموعة.
“Saya menyusun Kitab al-Musnad al-S{ahih ini dari tiga
ratus ribu hadis yang saya dengar (dari guru saya)”.[75]
Menurut
al-Qanujy dan dalam riwayat kedua dari Ibnu Kathir, namanya adalah S{ahih
Muslim. Adapun menurut penelitian Musaddiq Amin ‘Atiyyah al-Dawry, penamaan
dengan “Al-Musnad al-S{ahih al-Mukhtas{ar min al-Sunan” dan “Al-Musnad
al-S{ahih al-Mukhtasar min al-Sunan bi al-Naql al-‘Adl ‘an al-‘Adl ‘an Rasul
Allah S{alla Allah ‘Alaih wa Sallam” adalah hal yang aneh. Dengan demikian
nama yang asli (orisinil) menurut Musaddiq Amin ‘Atiyyah al-Dawry dan Muhammad
‘Abd al-Rahman T{awalibah adalah “al-Musnad al-S{ahih” dan yang populer di
masyarakat adalah “S{ahih Muslim”.[76]
c. Motivasi dan Proses Penulisannya
Ada dua faktor yang disebutkan sendiri oleh Imam
Muslim bin al-HajjajSebagaimana tersebut
pengantar Kitab Sahih Muslim, yaitu:
1)
Menjawab permintaan dari salah
seorang muridnya.
2)
Banyaknya kitab-kitab yang ditulis pada
masa itu yang dipenuhi oleh hadis-hadis yang lemah, munkar dan palsu sementara kitab-kitab itu menyebar luas di tengah
masyarakat umum.[77]
Imam Muslim
menyusun Kitab Sahihnya tersebut selama lima belas (15) tahun dengan menyeleksi
dari 300 ribu hadis-hadis sahih yang dikumpulkan dan dihafalnya.[78] Kemudian Kitab tersebut disodorkan untuk dikoreksi
dan mendapatkan pengakuan dari ulama hadis di zamannya di antaranya Imam Abu
Zur’ah al-Razy. Abu Zur’ah membantu mengoreksi dan menunjukkan beberapa hadis
yang terdapat ‘illat-nya dan Imam Muslim kemudian membuangnya dari Kitab
Sahihnya.[79]Imam Muslim berkata tentang Kitabnya ini: “Seandainya
para ahli hadis mencatat hadis selama dua ratus tahun, maka porosnya adalah
seputar pada hadis-hadis dalam (Kitab) Musnad ini”.[80]
d. Tingkatan Perawi Hadis dalam Sahih
Muslim
Sebagaimana disebutkan sendiri oleh Imam Muslim, dalam
Kitab Sahihnya terdapat 3 jenis perawi,
yaitu (1) Para perawi di level huffaz
danmutqinin yang lurus dn kokoh
ke-dabit-annya dalam periwayatan hadis dan tanpa cacat dalam periwayatan. (2)
Para perawi dikenal dengan sifat jujur
dalam periwayatan (s{idq) namun
berada di level menengah (di bawah level pertama) dalam kekuatan hafalan dan
ketepatan (itqan) riwayat, (3) Para
perawi yang dinyatakan lemah (du’afa’)
dan ditinggalkan hadisnya (matrukin)dan
mayoritas hadisnya munkar.[81]Secara
eksplisit, Imam Muslim menyatakan bahwa beliau mencantumkan hadis-hadis dari
para perawi jenis pertama kemudian diikuti dengan pencantuman para level kedua.
Adapun perawi level atau jenis ketiga, Imam Muslim menghindarinya.[82]Jika
diteliti lebih lanjut, perawi level kedua, hadis-hadisnya dijadikan sebagai mutaba’at dan shawahid oleh Imam Muslim.
Sementara ada sedikit hadis di level ketiga yang dicantumkan baik karena sanad
riwayatnya ‘aly seperti perawi Suwaid
bin Sa’id atau karena adanya riwayat-riwayat lain dari para perawi thiqat yang menguatkan validitasnya.
e. Metodologi Penulisan
1) Hadis-hadis disusun secara sistematis dalam “kitab-kitab”
dan pasal-pasal tematis fikih (abwab fiqhiyyah). Akan tetapi,
berbeda dengan kitab jawami’ yang lain, Kitab ini tidak menyertakan
penetapan hukum (istinbat) dan
pendapat-pendapat fikih. Demikian pula tidak mencantumkan penjelasan ringkas (tarjamah)
masing-masing bab yang terkait akidah dan juga tidak menakwilkannya.Dalam masing-masing bab, pencantuman hadis dimulai
dari hadis yang diriwayatkan perawi yang paling thiqah dan mutqin
kemudian hadis dari perawi di bawah level itu. Muslim juga memperbanyak
hadis-hadis mutaba’at dan shawahid.[83]
2) Aspek teknik pencantuman sanad (sina’ah al-asanid).
a)
Imam Muslim mengkombinasikan upaya
peringkasan (Ikhtisar) dan
penghimpunan seluas-luasnya (isti’ab)
terhadap riwayat-riwayat terkait dengan tema bab. Hal ini dilakukan dengan (i)
menggunakan cara pengalihan sanad (tahwil
al-sanad) dengan kode hurufح. Jumlah hadis yang tercantum tahwil sanad ini sebanyak 1236 hadis. (ii) Menggambungkan
penyebutan para perawi yang menjadi gurunya (jam’ al-Shuyukh). Hal ini bila suatu hadis didengar atau
diterimanya melalui lebih dari satu orang guru. Demikian pula untuk para guru
dari gurunya pada level perawi di atasnya (shaikh
shaikhihi). (iii) Mengisyaratkan adanya variasi sanad. Hal ini dengan cara
menyebutkan suatu hadis dengan sanad dan matan yang lengkap kemudian
menyebutkan berbagai variasi jalur sanad sampai titik temu percabangan sanad
dengan mengisyaratkan lanjutannya. Hal ini bila ada tambahan informasi yang
dianggap penting dalam riwayat tersebut seperti perbedaan redaksi lambang
periwayatan (siyagh al-ada’).[84]Contoh:
حَدَّثَنَا
قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ، حَدَّثَنَا اللَّيْثُ، عَنِ ابْنِ الْهَادِ، عَنْ سَعْدِ
بْنِ إِبْرَاهِيمَ، عَنْ حُمَيْدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ عَبْدِ اللهِ
بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ: «مِنَ الْكَبَائِرِ شَتْمُ الرَّجُلِ وَالِدَيْهِ» قَالُوا: يَا رَسُولَ
اللهِ، وَهَلْ يَشْتِمُ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ؟ قَالَ: «نَعَمْ يَسُبُّ أَبَا
الرَّجُلِ فَيَسُبُّ أَبَاهُ، وَيَسُبُّ أُمَّهُ فَيَسُبُّ أُمَّهُ»
وَحَدَّثَنَا
أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، وَمُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى، وَابْنُ
بَشَّارٍ جَمِيعًا، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ جَعْفَرٍ، عَنْ شُعْبَةَ، ح وَحَدَّثَنِي
مُحَمَّدُ بْنُ حَاتِمٍ، حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ،
كِلَاهُمَا عَنْ سَعْدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ، بِهَذَا الْإِسْنَادِ مِثْلَهُ.
[85]
(iv)
Mengisyaratkan adanya variasi pada
matan. Seperti hadis berikut:
وَحَدَّثَنَاهُ
زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ، حَدَّثَنَا يَحْيَى وَهُوَ الْقَطَّانُ، ح وحَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى بْنِ مِهْرَانَ الْقُطَعِيُّ، حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ
عُمَرَ، جَمِيعًا عَنْ شُعْبَةَ، ح وَحَدَّثَنَاهُ أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي
شَيْبَةَ، حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ مُسْهِرٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي عَرُوبَةَ،
كِلَاهُمَا عَنْ قَتَادَةَ، بِإِسْنَادِ هَمَّامٍ سَوَاءً، غَيْرَ أَنَّ حَدِيثَ
شُعْبَةَ، انْتَهَى عِنْدَ قَوْلِهِ: «ابْنَةُ أَخِي مِنَ الرَّضَاعَةِ»،
وَفِي حَدِيثِ سَعِيدٍ ": وَإِنَّهُ يَحْرُمُ مِنَ الرَّضَاعَةِ مَا
يَحْرُمُ مِنَ النَّسَبِ "، وَفِي رِوَايَةِ بِشْرِ بْنِ عُمَرَ:
سَمِعْتُ جَابِرَ بْنَ زَيْدٍ[86]
b)
Metode dalam pengulangan hadis
(al-Tikrar). Jika hadis memiliki tambahan informasi baik sanad maupun matan
maka dilakukan tikrar agar tampilan
variasi jalur sanad banyak (ta’addud
al-turuq) dan mengindari masalah gharabah.
Kebiasaan Imam Muslim adalah menghindari pengulangan hadis di berbagai
tempat. Beliau hanya menyebutkan pengulangan riwayat pada satu tempat tertentu
dan tidak mengulangnya di tempat lain, walaupun substansi makna berkaitan hukum
fikih yang beragam.[87]
c)
Membedakan antara ungkapan redaksi
lambang periwayatan tertentu (siyagh
al-ada). Yaitu antara haddathanadan
akhbarana. Hal ini karena keduanya
dianggap memiliki indikasi cara tahammul
yang berbeda. haddathanamelambangkan al-sama’ dan akhbarana melambangkan al-‘ard.
Hal ini disebutkan oleh Muslim dalam hadis berikut:
حَدَّثَنَا
يَحْيَى بْنُ يَحْيَى، وَأَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، وَأَبُو كُرَيْبٍ،
وَإِسْحَاقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، قَالَ أَبُو بَكْرٍ، وَأَبُو كُرَيْبٍ:
حَدَّثَنَا، وقَالَ الْآخَرَانِ: أَخْبَرَنَاأَبُو مُعَاوِيَةَ، عَنِ
الْأَعْمَشِ، عَنْ أَبِي سُفْيَانَ، عَنْ جَابِرٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «طَعَامُ الْوَاحِدِ يَكْفِي الِاثْنَيْنِ،
وَطَعَامُ الِاثْنَيْنِ يَكْفِي الْأَرْبَعَةَ»[88]
3)
Aspek teknik pencantuman matan.
Imam
Muslim menyebutkan jalur-jalur sanad dan mengulangnya karena adanya perbedaan
redaksi matan. Juga, mengisyaratkan adanya tambahan faidah hukum di dalamnya.
Contohnya, Imam Muslim menyebut empat variasi matan dalam hadis berikut:
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى التَّمِيمِيُّ، أَخْبَرَنَا أَبُو
خَيْثَمَةَ، عَنْ أَشْعَثَ بْنِ أَبِي الشَّعْثَاءِ، ح وحَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ
عَبْدِ اللهِ بْنِ يُونُسَ، حَدَّثَنَا زُهَيْرٌ، حَدَّثَنَا أَشْعَثُ، حَدَّثَنِي
مُعَاوِيَةُ بْنُ سُوَيْدِ بْنِ مُقَرِّنٍ، قَالَ: دَخَلْتُ عَلَى الْبَرَاءِ بْنِ
عَازِبٍ، فَسَمِعْتُهُ يَقُولُ: أَمَرَنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ بِسَبْعٍ، وَنَهَانَا عَنْ سَبْعٍ: «أَمَرَنَا بِعِيَادَةِ الْمَرِيضِ،
وَاتِّبَاعِ الْجَنَازَةِ، وَتَشْمِيتِ الْعَاطِسِ، وَإِبْرَارِ الْقَسَمِ، أَوِ
الْمُقْسِمِ، وَنَصْرِ الْمَظْلُومِ، وَإِجَابَةِ الدَّاعِي، وَإِفْشَاءِ
السَّلَامِ، وَنَهَانَا عَنْ خَوَاتِيمَ - أَوْ عَنْ تَخَتُّمٍ - بِالذَّهَبِ،
وَعَنْ شُرْبٍ بِالْفِضَّةِ، وَعَنِ الْمَيَاثِرِ، وَعَنِ الْقَسِّيِّ، وَعَنْ
لُبْسِ الْحَرِيرِ وَالْإِسْتَبْرَقِ وَالدِّيبَاجِ»،[89]
حَدَّثَنَا أَبُو الرَّبِيعِ الْعَتَكِيُّ، حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ، عَنْ
أَشْعَثَ بْنِ سُلَيْمٍ، بِهَذَا الْإِسْنَادِ مِثْلَهُ، إِلَّا قَوْلَهُ:
وَإِبْرَارِ الْقَسَمِ، أَوِ الْمُقْسِمِ، فَإِنَّهُ لَمْ يَذْكُرْ هَذَا
الْحَرْفَ فِي الْحَدِيثِ، وَجَعَلَ مَكَانَهُ وَإِنْشَادِ الضَّالِّ،
وحَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ
مُسْهِرٍ، ح وحَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، حَدَّثَنَا جَرِيرٌ،
كِلَاهُمَا عَنِ الشَّيْبَانِيِّ، عَنْ أَشْعَثَ بْنِ أَبِي الشَّعْثَاءِ، بِهَذَا
الْإِسْنَادِ مِثْلَ حَدِيثِ زُهَيْرٍ، وَقَالَ: إِبْرَارِ الْقَسَمِ مِنْ غَيْرِ
شَكٍّ، وَزَادَ فِي الْحَدِيثِ، وَعَنِ الشُّرْبِ فِي الْفِضَّةِ، فَإِنَّهُ مَنْ
شَرِبَ فِيهَا فِي الدُّنْيَا لَمْ يَشْرَبْ فِيهَا فِي الْآخِرَةِ،
وَحَدَّثَنَاهُ أَبُو كُرَيْبٍ، حَدَّثَنَا ابْنُ إِدْرِيسَ، أَخْبَرَنَا
أَبُو إِسْحَاقَ الشَّيْبَانِيُّ، وَلَيْثُ بْنُ أَبِي سُلَيْمٍ، عَنْ أَشْعَثَ
بْنِ أَبِي الشَّعْثَاءِ، بِإِسْنَادِهِمْ وَلَمْ يَذْكُرْ زِيَادَةَ جَرِيرٍ،
وَابْنِ مُسْهِرٍ، ح وحَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى، وَابْنُ بَشَّارٍ،
قَالَا: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ، ح وحَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللهِ بْنُ
مُعَاذٍ، حَدَّثَنَا أَبِي، ح وحَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ،
أَخْبَرَنَا أَبُو عَامِرٍ الْعَقَدِيُّ، ح وحَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ
بِشْرٍ، حَدَّثَنِي بَهْزٌ، قَالُوا جَمِيعًا: حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ أَشْعَثَ
بْنِ سُلَيْمٍ، بِإِسْنَادِهِمْ وَمَعْنَى حَدِيثِهِمْ، إِلَّا قَوْلَهُ:
وَإِفْشَاءِ السَّلَامِ، فَإِنَّهُ قَالَ: بَدَلَهَا وَرَدِّ السَّلَامِ، وَقَالَ:
نَهَانَا عَنْ خَاتَمِ الذَّهَبِ أَوْ حَلْقَةِ الذَّهَبِ[90]
4) Aspek terkait hadis-hadis yang tidak bersambung sanadnya sampai
Rasulullah SAW (muttashil).
Pada
prinsipnya Imam Muslim sangat menghindari adanya hadis-hadis yang tidak
bersambung sanadnya sampai Rasulullah SAW (muttashil),
seperti hadis-hadis mu’allaqat, mauqufat dan
maqtu’at. Walaupun demikian, terdapat
juga hadis-hadis kategori tersebut dengan jumlah yang sangat sedikit dalam
Kitab Sahihnya. Menurut al-Hafiz Abu Ya’la al-Ghassany, terdapat 14 hadis yang mu’allaq dalam Sahih Muslim. Di antara
contohnya, Imam Muslim berkata:
وَرَوَى
اللَّيْثُ بْنُ سَعْدٍ، عَنْ جَعْفَرِ بْنِ رَبِيعَةَ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ
بْنِ هُرْمُزَ، عَنْ عُمَيْرٍ، مَوْلَى ابْنِ عَبَّاسٍ، أَنَّهُ سَمِعَهُ يَقُولُ:
أَقْبَلْتُ أَنَا وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ يَسَارٍ، مَوْلَى مَيْمُونَةَ زَوْجِ
النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. حَتَّى دَخَلْنَا عَلَى أَبِي
الْجَهْمِ بْنِ الْحَارِثِ بْنِ الصِّمَّةِ الْأَنْصَارِيِّ، فَقَالَ أَبُو
الْجَهْمِ: «أَقْبَلَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ نَحْوِ
بِئْرِ جَمَلٍ، فَلَقِيَهُ رَجُلٌ فَسَلَّمَ عَلَيْهِ، فَلَمْ يَرُدَّ رَسُولُ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْهِ، حَتَّى أَقْبَلَ عَلَى
الْجِدَارِ فَمَسَحَ وَجْهَهُ وَيَدَيْهِ، ثُمَّ رَدَّ عَلَيْهِ السَّلَامُ»[91]
Dalam
hadis di atas ada pemotongan sanad sehingga terjadi mu’allaq antara Imam Muslim
(204 H-261 H) dengan al-Laith bin Sa’ad (135 H-199 H) dengan mengihilangkan
seorang perawi yaitu Yahya bin Bukair yang menjadi guru Imam Muslim.[92]
Adapun hadis-hadis yang berkategori mauqufat dan maqtu’at
hanya terdapat dalam pengantar (muqaddimah)
Kitab Sahihnya. Contohnya:
وحَدَّثَنِي أَبُو الطَّاهِرِ، وَحَرْمَلَةُ بْنُ يَحْيَى، قَالَا:
أَخْبَرَنَا ابْنُ وَهْبٍ، قَالَ: أَخْبَرَنِي يُونُسُ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ
عُبَيْدِ اللهِ بْنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُتْبَةَ، أَنَّ عَبْدَ اللهِ بْنَ
مَسْعُودٍ، قَالَ: «مَا أَنْتَ بِمُحَدِّثٍ قَوْمًا حَدِيثًا لَا تَبْلُغُهُ
عُقُولُهُمْ، إِلَّا كَانَ لِبَعْضِهِمْ فِتْنَةً»[93]
Hadis di atas adalah hadis mauquf pada Sahabat Abdullah
Ibn Mas’ud.
حَدَّثَنَا أَبُو جَعْفَرٍ مُحَمَّدُ بْنُ الصَّبَّاحِ، حَدَّثَنَا
إِسْمَاعِيلُ بْنُ زَكَرِيَّاءَ، عَنْ عَاصِمٍ الْأَحْوَلِ، عَنِ ابْنِ سِيرِينَ،
قَالَ: " لَمْ يَكُونُوا يَسْأَلُونَ عَنِ الْإِسْنَادِ، فَلَمَّا وَقَعَتِ
الْفِتْنَةُ، قَالُوا: سَمُّوا لَنَا رِجَالَكُمْ، فَيُنْظَرُ إِلَى أَهْلِ
السُّنَّةِ فَيُؤْخَذُ حَدِيثُهُمْ، وَيُنْظَرُ إِلَى أَهْلِ الْبِدَعِ فَلَا
يُؤْخَذُ حَدِيثُهُمْ " حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ
الْحَنْظَلِيُّ، أَخْبَرَنَا عِيسَى وَهُوَ ابْنُ يُونُسَ، حَدَّثَنَا
الْأَوْزَاعِيُّ، عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ مُوسَى، قَالَ: لَقِيتُ طَاوُسًا
فَقُلْتُ: حَدَّثَنِي فُلَانٌ كَيْتَ وَكَيْتَ، قَالَ: «إِنْ كَانَ صَاحِبُكَ
مَلِيًّا، فَخُذْ عَنْهُ»
Hadis di atas adalah hadis maqtu’ pada Tabi’in bernama Muhammad bin Sirin.[94]
f. Perbandingan antara Sahih Muslim
dengan Sahih Bukhari
Mayoritas
ulama hadis menyepakati bahwa kitab yang paling sahih setelah Al-Quran adalah sahih al-Bukhari dan Muslim. Sementara, di
antara kedua kitab sahih tersebut, sahih al-Bukhari paling unggul dan paling
banyak faidah ilmiyahnya.[95]
Adapun pendapat selain itu, seperti riwayat dari Imam as-Syafi’I yang
menyatakan bahwa kitab yang paling sahih setelah Al-Quran adalah al-Muwatta’ Imam Malik, dijawab oleh Ibnu Sholah bahwa pendapat tersebut
disampaikan Imam al-Syafi’i karena Kitab sahih
al-Bukhari dan Muslim belum muncul (ditulis).[96]
Demikian pula, dari penelitian para ulama hadis bahwa Imam Malik tidak
bermaksud secara khusus mengumpulkan hadis-hadis sahih, karena di dalamnya
terdapat hadis-hadis mursal, munqathi’ bahkan balaghah (ungkapan-ungkapan sastra).[97]
Menurut Nur al-din ‘Itr; Imam Malik mencampur hadis
dengan perkataan shahabat dan tabi’in dan mencantumkannya dalam bentuk (siyaq) yang sama. Hadisnya tidak khusus
untuk hadis marfu‘. Adapun sahih
al-Bukhari, membedakan antara hadis marfu‘
dengan perkataan shahabat, dan tabi’in dan mencantumkannya ditempat khusus
yaitu pada tarojim al-bab. Kitab sahih al-Bukhari adalah kitab yang secara
khusus menghimpun hadis-hadis sahih yang marfu‘.
Sehingga pantas diunggulkan. Namun juga ‘Itr juga setuju jika dikatakan
bahwa al-Muwatta’ karya Imam malik
adalah kitab sahih yang pertama kali ada.[98]
Di
samping itu, kalaupun dikatakan bahwa al-Muwatta’
adalah kitab sahih, maka sebagimana dijelaskan oleh Ibnu Hajar bahwa kitab al-Muwatta’ Imam Malik hanya diakui sahih terbatas
dikalangan pengikut mazhabnya dan sementara ulama yang berpendapat bolehnya
berhujjah dengan hadis-hadis mursal
dan munqathi’ dan sebaigainya, bukan
dinilai dari sisi persyaratan hadis sahih.[99]
Walaupun dalam sahih al-Bukhari terdapat hadis-hadis munqathi’, namun hal itu berbeda dengan
yang terdapat dalam al-Muwatta’. Yang terdapat dalam al-Muwatta’, pada
umumnya adalah hadis yang memang asli hadis itu demikian didengar Imam Malik
dari guru hadisnya dan baginya, hadis tersebut adalah hujjah. Adapun adanya
hadis munqathi’ dalam sahih
al-Bukhari lantaran disengaja dibuang sanadnya oleh al-Bukhari, baik dengan
tujuan untuk meringkas, karena telah disebutkan secara maushul di tempat lain
dari kitabnya atau dengan tujuan untuk mengindikasikan bahwa hadis itu tidak
sesuai syarat sahihnya dan membedakan jenis hadis itu dengan hadis lain yang
sesuai syaratnya sehingga jelas bagi yang meneliti bahwa hadis tersebut di luar
konteks batasan kitabnya yang menghimpun hadis sahih yang musnad. Pencamtuman
jenis hadis tersebut dalam sahih al-Bukhari mengandung faidah sebagai tanbih, istishha<d, isti’nas dan tafsir atas sebagian ayat-ayat al-Quran, dalam
lain-lain.[100]
Di antara kalangan ulama hadis ada pula
yang mengunggulkan sahih Muslim
di atas sahih Bukhari,seperti Abu
Ali an-Naisaburi, guru Imam al-Hakim.[101]
Namun, pendapat ini bertentangan dengan pendapat jumhur ulama hadis yang menetapkan bahwa Sahih al-Bukhari lebih unggul dibanding
Sahih Muslim.[102]
Keunggulan ini dapat dilihat dari beberapa aspek berikut:[103]
1.
Keunggulan
sebagai pioner/perintis. Kitab Sahih Bukhari adalah kitab hadis pertama yang
secara khusus menghimpun hadis-hadis sahih. Adapun sahih Muslim, misalnya
sebagai “saingan” terdekat sahih al-Bukhari baru muncul kemudian, apalagi kitab-kitab hadis lain
seperti kitab sunan dan musnad. Bahkan, Al-Hafiz Abu al-Hasan al-Daruquthny berpendapat:“Seandainya
bukan karena Imam Bukhari, maka tidak ada karya Imam Muslim. Sesungguhnya
Muslim merujuk Kitab Sahih al-Bukhari dan menjadikannya sebagai mustakrajan dan menambah sejumlah
hadis.”[104] Hal
senada juga dikatakan oleh al-Hakim.[105]
2.
Keunggulan
dari aspek standar persyaratan kesahihan. Bukhari memiliki syarat yang lebih
ketat dari Imam Muslim dari aspek ittishol
sanad. Al-Bukhari mensyaratkan thubut al-Talaqqi antar perawi yang menjadi guru-murid walaupun hanya
sekali. Sementara Muslim mencukupkan adanya kepastian mu’as{arahantarperawi. Dalam hal ini, Imam Bukhari lebih ih{tiyat{(hati-hati) dan tathabbut (cermat dan teliti).
3.
Keunggulan
sebagai kitab hadis yang paling sedikit dikritik. Hadis-hadis yang dikritik
dalam sahih Bukhari lebih sedikit dibandingkan dalam kitab Sahih Muslim. Dari 210 hadis yang dikritik oleh Al-Daraquthni,
sebanyak 78 hadis khusus terdapat dalam Sahih al-Bukhari dan 100 hadis terdapat
dalam Sahih Muslim, sementara 32 hadis sama-sama terdapat dalam kedua kitab
tersebut. Itu pun, mayoritas hadis-hadis al-Bukhari yang dikritik terjawab oleh
Ibnu Hajar dalam Hadyu as-Sary dan Fath al-Bary.
4.
Keunggulan dari tingkat kepercayaan terhadap para
perawinya. Perawi hadis yang dipermasalahkan dalam Sahih al-bukhari lebih
sedikit dibandingkan sahih Muslim. Riwayat perawi hadis yang bermasalah yang
secara tersendiri dipakai oleh al-Bukhari dan tidak dipakai oleh Muslim, lebih
sedikit dikritik dibandingkan sebaliknya pada sahih Muslim. Dari 435 perawi al-Bukhari yang tidak ada periwayatannya
dalam Sahih Muslim terdapat 80 orang perawi yang dikritik atau sebanyak 18, 39
%, sementara dari 620 perawi khusus perawi Muslim tanpa ada riwayatnya dalam Sahih al-Bukhari terdapat 160 oarng
perawi yang dkritik atau sebanyak 25, 81 %. [106]
Mayoritas para perawi yang dikritik adalah guru-guru
al-Bukhari sendiri yang pernah dijumpainya, bermajelis dan berdiskusi
dengannya, diketahui persis keadaannya dan telah diteliti periwayatannya
sehingga dapat diseleksi hadisnya yang kuat dari periwayatannya yang waham (berdasar dugaan yang berpotensi
keliru).[107]
Al-Bukhari juga tidak terlalu banyak mencantumkan hadis-hadis
mereka. Hal ini berbeda dengan Imam Muslim.[108]
5.
Keunggulan dari aspek kekayaan kandungan ilmunya.
Sebagaimana dinyatakan oleh An-Nawawi bahwa Sahih
al-Bukhari adalah kitab yang paling banyak memberikan faedah keilmuan mengingat
didalamnya terkandung penjelasan istinbath
fiqih, dan intisari hikmah dan lain-lainnya.
6.
Keunggulan pengakuan ulama hadis. Imam as-Suyuthi
menegaskan bahwa jumhur ulama hadis menetapkan bahwa Kitab yang paling sahih
adalah sahih al-Bukhari karena paling ketat dalam persyaratan ittisal sanad dan paling itqan dalam aspek perawi (rijal) hadisnya. Imam Nawawi dan Ibnu Hajar sebagaimana
dikutip oleh Imam al-Suyuthi berpendapat bahwa ulama sepakat untuk mengunggulkan
al-Bukhari di atas Muslim dari aspek keluasan dan kedalaman ilmu hadisnya. Imam
Muslim adalah muridnya dan mengambil ilmu hadis darinya serta memanfaatkan
hal-hal positif dari kitab gurunya, sahih al-Bukhari dan mengikuti jejaknya
dalam metode penulisan kitab hadis.[109]
Tentu saja, keunggulan-keunggulan
di atas tidak bersifat mutlak untuk
setiap hadis dalam al-Bukhari atas Muslim.Namun, penilaian tersebut hanya bersifat global.
Karena—sebagaimana pendapat Az-Zarkasy—bahwa ada beberapa hadis dalam sahih
Muslim lebih sahih daripada dalam Kitab al-Bukhari.[110]Demikian pula, dari sisi sistematika dan metodologi
penulisan riwayat hadis—menurutsebagian ulama—Sahih Muslim lebih unggul dari Sahih al-Bukhari.[111]
g.
Syarat Sahih Al-Bukhari dan Muslim
Imam Bukhari diakui memakai standard tinggi dalam
seleksi hadis shohih yang dicantumkannya dalam kitab al-Jami’ as-Sahih.[112]
Namun sayangnya, Imam Bukhari sendiri
tidak menjelaskan tentang
kriteria, standar atau syarat kesahihan hadis-hadisnya baik dalam kitab al-Jami’
as-Sahih maupun kitab-kitabnya yang lain.[113] Di sisi
lain, banyak kitab-kitab hadis dan takhrij
yang menggunakan
istilah ‘ala shart al-Bukhari.
Padahal, rumusan
istilah ini masih merupakan sesuatu yang kontroversial. Apakah sebenarnya
yang dimaksud dengan ‘ala shart al-Bukhari tersebut? Jelas,
istilah shart al-Bukhari belumlah
dikenal sebelum zaman al-Bukhari, atau pada masa beliau sendiri, bahkan
beberapa waktu setelah zaman beliau.Abu Mu’adz Thariq bin ‘Audhillah
berpendapat bahwa orang yang pertama kali memperkenalkan istilah ini adalah
Imam Al-Daruqutny (w. 385 H) dalam kitabnya “Al-Ilzamat”.[114]
Imam
al-Hakim (w. 405 H) adalah ulama hadis yang mempopulerkan istilah ‘ala shart al-Bukhari, ‘ala shart Muslim,
‘ala shart al-Bukhari wa Muslim, atau ‘ala
shartihima .Istilah tersebut banyak dipakai dalam kitabnya “Al-Mustadrak
‘ala al-S{ahihain”.[115]
Para peneliti hadis cukup antusias untuk meneliti dan merumuskan apa yang
menjadi syarat Imam al-Bukhari. Metode yang digunakan para ulama adalah metode
induktif yaitu meneliti hadis-hadis al-Shohih al-Jami’ untuk menentukan syarat
shohihnya. Di antaranya pendapat Al-Hazimy (w. 584 H). Al-Hazimimenyusun Kitab Shurut
al-Aimmah dan menyampaikan teorinya tentang syarat al-Bukhari dan Muslim. Menurut al-Hazimy, syarat al-Bukhari adalah
mencantumkan hadis-hadis yang ittishol sanad oleh para perawi tsiqah yang mutqin (teliti dan cermat) dan multazim
(berguru dengan menyertainya dalam setiap keadaan) kepada orang yang diambil
periwayatan hadis itu dalam waktu yang lama. Terkadang juga menggunakan
periwayatan hadis dari perawi pada tingkatan yang lebih rendah dalam hal itqon
dan lebih singkat masa mulazamah-nya.
Syarat perawi yang lebih rendah dari itu dicantumkan oleh al-Bukhari hanya
sebagai syawahid dan mutaba’ah.[116]
Menurut al-Hazimy, target utama al-Bukhari dalam seleksi hadisnya adalah
riwayat dari para perawi terbaik dari level pertama dalam hal ke-thiqah-an, namun dalam kondisi tertentu
al-Bukhari menurunkan standar kriterianya. Bahkan, al-Bukhari juga menampilkan
hadis dari beberapa perawi yang dinilai ada unsur kedhoifannya. Akan tetapi
tidak sampai sangat dho’if yang tertolak semua hadisnya. Apalagi, aspek keda’ifan sangat beragam dan para ulama
berbeda dalam menetapkan penyebabnya.[117]
Sementara,
menurut Imam an-Nawawi (w. 676 H)[118]
berpendapat bahwa yang dimaksud dengan syarat shohih al-Bukhari adalah rijal al-isnad yang terdapat dalam kitab
shohih-nya.Karena al-Bukhari tidak menjelaskan syarat shohihnya baik dalam
kitab shohihnya maupun kitab lainnya.[119]Konsep
syarat shohih al-Bukhari dengan hanya mengacu kepada perawi yang disebutkan
oleh al-Bukhari dalam kitab shohihnya, memiliki kelemahan. Secara aplikasi,
dengan perspektif semacam itu, al-Hakim dianggap tasahul dalam mengklaim kesahihan suatu hadis sebagai ‘ala syart{ asy-Syaikhani atau ‘ala syarth al-Bukhari, dst.
3. Kitab Al-Jami’ al-Tirmidhi
a. Nama Penulis
Muhammad ibn ‘Isa ibn Shuwrah Ibn Musa Ibn al-D{ahhak
al-Sulamy al-Turmudhy. Lahir di penghujung tahun 210 H. Sebagian pakar sejarah
menyatakan bahwa Beliau lahir dalam keadaan buta. Namun, yang tepat Beliau
ditimpa kebutaan pada usia tua setelah masa rihlah
menuntut ilmu dan pendokumentasian ilmunya. [120]
Beliau berguru kepada Imam al-Bukhari bahkan mendapat
pujian yang tingi dari guunya tersebut: “manfaat ilmu yang saya peroleh darimu
lebh banyak daripada apa yang kamu dapatkan dari saya”. [121]Beliau juga belajar kepada Imam Muslim Ibn al-Hajjaj,
akan tetapi hadis yang diriwayatkan dari Imam Muslim hanya satu hadis saja,
yaitu hadis:
«أَحْصُوا هِلَالَ شَعْبَانَ
لِرَمَضَانَ»
“Hitunglah
munculnya hilal Bulan Sha’ban untuk Bulan Ramadhan”[122]
Al-Tirmidhi juga berjumpa dengan Imam Abu Dawud
Sulaiman Ibn al-Ash’ab al-Sijistany dan Abd al-Rahman al-Daramy, Abu Zur’ah
al-Razy. Namun yang paling besar pengaruhnya dan paling lama mulazamah (belajar bersama) gurunya
adalah amir al-mu’minin fi al-hadith
Muhammad Ibn Isma’il al-Bukhary. Al-Tirmidhi bukan hanya belajar
periwayatan dan ‘ulum al-hadith-nya namun
juga fikih hadisnya.[123]
b. Nama Kitab
Ada beberapa nama yang dikenal oleh para ulama atas Kitab tersebut, antara lain (1) “Sahih al-Tirmidhi”. Sebagaimana yang dipakai oleh al-Khatib al-Baghdady, (2)“Al-Jami’ al-S{ahih”. sebagaimana disebut oleh al-Hakim. Namun kedua nama ini kurang tepat karena secara faktual, Imam al-Tirmidhi sendiri mengakui bahwa di samping hadis-hadis sahih dan hasan, kitabnya mencantumkan juga kualitas di bawah level itu. (3) “al-Jami’ al-Kabir”, sebagimana disebutkan oleh al-Kattany dalam Kitabnya al-Risalah al-Mustatrafah, namun nama ini juga jarang dikenal. (4) “al-Sunan”. Nama ini cukup populer dan biasanya digandengkan dengan nama penulisnya menjadi “Sunan al-Tirmidhi” untuk membedakan dengan kitab sunan yang lain. Penamaan dengan sunan karena kitab tersebut meliputi hadis-hadis hukum yang disusun dengan sistematika bab-bab fikih. (5) “al-Jami’”. inilah nama yang paling populer dan paling banyak dipakai dengan menyertakan atribut nama penulisnya menjadi “al-Jami’ al-Tirmidhi”. Penamaan kitab tersebut dengan al-Jami’ lebih diterima oleh para ahli hadis karena hadis-hadisnya mencakup 8 tema besar dalam kategori kitab al-jawami’.[124]
c. Posisi Kitab al-Jami’
Abu ‘I<sa al-Tirmidhy berkata:
صَنَّفْتُ هَذَا الكِتَابَ،
وَعَرَضْتُهُ عَلَى عُلَمَاءِ الحِجَازِ، وَالعِرَاقِ وَخُرَاسَانَ، فَرَضُوا بِه،
وَمَنْ كَانَ هَذَا الكِتَابُ -يَعْنِي: (الجَامِعُ) - فِي بَيْتِهِ، فَكَأَنَّمَا
فِي بَيْتِهِ نَبِيٌّ يَتَكَلَّمُ
Saya menyusun kitab al-Jami’dan saya sodorkan kepada
para ulama negeri Hijaz, Iraq dan Khurasan, kemudian mereka menyepakati dan
merekomendasikanya. Barangsiapa yang dalam rumahnya memiliki kitab (al-Jami’)
ini maka seakan-akan di dalam rumahnya ada Nabi yang sedang berbicara”. [125]
Al-Dhahaby mengakui bahwa dalam Kitab al-Jami’
terdapat ilmu yang bermanfaat dan faidah yang banyak dan menghimpun pokok-pokok
permasalahan agama. Bahkan kitab tersebut menjadi salah satu dari
pondasi-pondasi Islam. Akan tetapi, yang keberadaan sebagian hadis-hadis yang
lemah bahkan palsu mengotorinya. Kebanyakan hadis semaca ini terdapat dalam
masalah fad{a’il.[126]
Menurutpenulis Kitab Kashf al-Z{unun bahwa Ktab al-Jami’ al-Tirmidhi merupakan kitab
urutan ketiga dari al-kutub al-sittah.
[127]Namun, Imam al-Dhahaby berpendapat bahwa level Kitab
Jami’ al-Tirmidhi lebih rendah peringkatnya dibanding Kitab Sunan Abi Dawud dan
Nasa’I karena mencantumkan hadis-hadis yang riwayatkan oleh al-Maslub dan
al-Kalby dan semisalnya.[128]Sementara itu, jika dipahami dari pengkodean dalam
Kitab Tahdhib al-Kamal, Tahdhib al-Tahdhib, Taqrib dan Tadkirah al-Huffaz bahwa
peringkat (rutbah) Jami’ al-Tirmidhi
sesudah Kitab Sunan Abi Dawud, dan sebelum Sunan Nasa’i.[129]
d. Keunggulan Kitab al-Jami’ :
1. Dari aspek susunan yang baik dan tanpa pengulangan.
2. Dari aspek penyebutan mazhab-mazhab para ahli fikih dan
segi istidlal dari setiap pendapat ulama mazhab.
3. Dari aspek penjelasan dan penilaian tentang hadis baik sahih, hasan, da’if, gharib, ‘illat, dll
4. Dari aspek penjelasan nama-nama perawi dan julukan (laqab) dan panggilan (kunyah), dll yang
bermanfaat dalam kaitannya dengan ilmu rijal. Sementara di bagian akhir Kitab
al-Jami’ disebutkan Kitab Al-‘Ilal yang juga cukup penting dan bermanfaat. [130]
Karena
itu dikatakan bahwa Kitab tersebut “cukup menjadi pegangan bagi mujtahid dan muqallid”.Bahkan Abu Isma’il al-Harawy, Kitab tersebut lebih
bermanfaat daripada Kitab al-S{ahihain. Alasannya karena setiap orang bisa
mendapatkan faidah darinya, sementara kedua kitab Sahih tersebut hanya mampu
diraih oleh seorang alim yang luas ilmunya.[131]
Imam Al-Tirmidhy menegaskan bahwa semua hadis yang
terdapat dalam kitanya adalah hadis yang diamalkan (ma’mul bih). Sebagian ulama mengambilnya (sebagai hujjah) kecuali
dua hadis saja yaitu hadis Ibn Abbas yang berbunyi (جَمَعَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالعَصْرِ،
وَبَيْنَ المَغْرِبِ وَ`العِشَاءِ بِالمَدِينَةِ مِنْ غَيْرِ خَوْفٍ وَلَا
مَطَرٍ).[132]Dan hadis (مَنْ شَرِبَ الخَمْرَ
فَاجْلِدُوهُ، فَإِنْ عَادَ فِي الرَّابِعَةِ فَاقْتُلُوهُ).[133]
e. Metodologi Kitab al-Jami’ :
1. Tersusun secara sistematis mengikuti pola pembahasan
fiqih (abwab fiqhiyyah)seperti Sunan
Abi Dawud. Dibuka dengan Bab al-T{aharah,
kemudian Al-S{alah dan seterusnya. Di
bagian akhir ditutup dengan Bab Tafsir
al-Quran, al-Da’awat dan al-Manaqib.
2. Dalam masing-masing bab, disebutkan satu atau beberapa
hadis terkait dengan disertai penjelasan status kesahihannya. Terkadang ada
pembahasan tentang sanadnya atau sebagian perawi (rijal)nya dari aspek jarh wa
ta’adil. Contoh:
حَدَّثَنَا
قُتَيْبَةُ، وَهَنَّادٌ، وَمَحْمُودُ بْنُ غَيْلَانَ، قَالُوا: حَدَّثَنَا
وَكِيعٌ، عَنْ سُفْيَانَ، ح وحَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ قَالَ:
حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ قَالَ: حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ
عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عَقِيلٍ، عَنْ مُحَمَّدِ ابْنِ
الْحَنَفِيَّةِ، عَنْ عَلِيٍّ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ، قَالَ: «مِفْتَاحُ الصَّلَاةِ الطُّهُورُ، وَتَحْرِيمُهَا
التَّكْبِيرُ، وَتَحْلِيلُهَا التَّسْلِيمُ». هَذَا الْحَدِيثُ أَصَحُّ شَيْءٍ
فِي هَذَا الْبَابِ وَأَحْسَنُ. وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ عَقِيلٍ
هُوَ صَدُوقٌ، وَقَدْ تَكَلَّمَ فِيهِ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ مِنْ قِبَلِ
حِفْظِهِ. وسَمِعْت مُحَمَّدَ بْنَ إِسْمَاعِيلَ، يَقُولُ: كَانَ أَحْمَدُ بْنُ
حَنْبَلٍ، وَإِسْحَاقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، وَالْحُمَيْدِيُّ، يَحْتَجُّونَ
بِحَدِيثِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عَقِيلٍ، قَالَ مُحَمَّدٌ: وَهُوَ
مُقَارِبُ الْحَدِيثِ. وَفِي الْبَابِ عَنْ جَابِرٍ، وَأَبِي سَعِيدٍ[134]
3. Jika dalam suatu bab terdapat hadis yang memiliki
beberapa jalur (T{uruq) periwayatan,
al-Tirmidhi meringkasnya dengan menyebut satau atau lebih hadis terkait bab
tersebut kemudian selebihnya dikomentari dengan:
وفي الباب عن فلان وفلان…..
Contoh :
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ قَالَ: أَخْبَرَنَا أَبُو عَوَانَةَ،
عَنْ سِمَاكِ بْنِ حَرْبٍ، ح وحَدَّثَنَا هَنَّادٌ قَالَ: حَدَّثَنَا وَكِيعٌ،
عَنْ إِسْرَائِيلَ، عَنْ سِمَاكٍ، عَنْ مُصْعَبِ بْنِ سَعْدٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ،
عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «لَا تُقْبَلُ صَلَاةٌ
بِغَيْرِ طُهُورٍ وَلَا صَدَقَةٌ مِنْ غُلُولٍ»، قَالَ هَنَّادٌ فِي حَدِيثِهِ:
«إِلَّا بِطُهُورٍ». هَذَا الْحَدِيثُ أَصَحُّ شَيْءٍ فِي هَذَا الْبَابِ
وَأَحْسَنُ. وَفِي الْبَابِ عَنْ أَبِي الْمَلِيحِ، عَنْ أَبِيهِ، وَأَبِي
هُرَيْرَةَ، وَأَنَسٍ. وَأَبُو الْمَلِيحِ بْنُ أُسَامَةَ اسْمُهُ عَامِرٌ،
وَيُقَالُ: زَيْدُ بْنُ أُسَامَةَ بْنِ عُمَيْرٍ الْهُذَلِيُّ[135] .
4. Penyebutan pendapat-pendapat mazhab fikih dari para
sahabat atau tabi’in dan ulama fiqih di masa Imam al-Tirmidhi. Contohnya :
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ قَالَ: حَدَّثَنَا بَكْرُ بْنُ مُضَرَ، عَنِ ابْنِ
عَجْلَانَ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عَقِيلٍ، عَنِ الرُّبَيِّعِ
بِنْتِ مُعَوِّذِ ابْنِ عَفْرَاءَ، أَنَّهَا رَأَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَوَضَّأُ، قَالَتْ: «مَسَحَ رَأْسَهُ، وَمَسَحَ مَا
أَقْبَلَ مِنْهُ، وَمَا أَدْبَرَ، وَصُدْغَيْهِ، وَأُذُنَيْهِ مَرَّةً وَاحِدَةً».
وَفِي الْبَابِ، عَنْ عَلِيٍّ، وَجَدِّ طَلْحَةَ بْنِ مُصَرِّفِ. حَدِيثُ
الرُّبَيِّعِ حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ، وَقَدْ رُوِيَ مِنْ غَيْرِ وَجْهٍ عَنِ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ مَسَحَ بِرَأْسِهِ مَرَّةً.
وَالْعَمَلُ عَلَى هَذَا عِنْدَ أَكْثَرِ أَهْلِ الْعِلْمِ مِنْ أَصْحَابِ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَنْ بَعْدَهُمْ وَبِهِ يَقُولُ:
جَعْفَرُ بْنُ مُحَمَّدٍ، وَسُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ، وَابْنُ الْمُبَارَكِ،
وَالشَّافِعِيُّ، وَأَحْمَدُ، وَإِسْحَاقُ، رَأَوْا مَسْحَ الرَّأْسِ مَرَّةً
وَاحِدَةً.[136]
5. Terkadang dalam suatu bab tertentu, terdapat penyebutan
hadis lain yang menyelisihi (mukhalafah)dengan
hadis yang tercantum dalam bab tersebut dengan menyebutkan ulama tertentu yang
ber-hujjah dengan hadis tersebut atau untuk menjelaskan bahwa hadis tersebut
terabrogasi (mansukh).
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مَنِيعٍ قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ
عَيَّاشٍ قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو حَصِينٍ، عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ السُّلَمِيِّ،
قَالَ: قَالَ لَنَا عُمَرُ بْنُ الخَطَّابِ: «إِنَّ الرُّكَبَ سُنَّتْ لَكُمْ،
فَخُذُوا بِالرُّكَبِ». وَفِي البَابِ عَنْ سَعْدٍ، وَأَنَسٍ، وَأَبِي حُمَيْدٍ،
وَأَبِي أُسَيْدٍ، وَسَهْلِ بْنِ سَعْدٍ، وَمُحَمَّدِ بْنِ مَسْلَمَةَ، وَأَبِي
مَسْعُودٍ. حَدِيثُ عُمَرَ حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ، وَالعَمَلُ عَلَى هَذَا
عِنْدَ أَهْلِ العِلْمِ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ، وَالتَّابِعِينَ، وَمَنْ بَعْدَهُمْ، لَا اخْتِلَافَ بَيْنَهُمْ فِي
ذَلِكَ، إِلَّا مَا رُوِيَ عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ وَبَعْضِ أَصْحَابِهِ، أَنَّهُمْ
كَانُوا يُطَبِّقُونَ وَالتَّطْبِيقُ مَنْسُوخٌ عِنْدَ أَهْلِ العِلْمِ.[137]
- TIPOLOGI KITAB HADIS MUSALSAL
- TIPOLOGI KITAB HADIS AL MARASIL
- TIPOLOGI KITAB HADIS AL MASANID
- TIPOLOGI KODIFIKASI KITAB HADIS الموطأ (AL-MUWATTA’)
- TIPOLOGI KODIFIKASI HADIS AL THULATHIYYAT
- TIPOLOGI KODIFIKASI KITAB HADIS AL MA’AJIM
- TIPOLOGI KITAB HADIS AL JAWAMI’
BAB III
KESIMPULAN
1. Kitab al-Jami’ adalah kitab hadis yang memuat
berbagai permasalahan pokok agama, di antaranya yaitu; al-aqa’id (tentang
tauhid), al-ahkam (tentang hukum), al-riqaq (tentang budi luhur), al-adab (tentang etika), al-tafsir
(tentang tafsir al-Qur’an), al-tarikhwaal-siyar (tentang sejarah dan sejarah jihad Nabi SAW.), al-shama’il
(tabi’t), al-fitan (tentang terjadinya fitnah dan malapetaka), dan al-manaqibwaal-masalib (tentang biografi sahabat dan
tabi’in).
2. Kitab-Kitab yang termasuk kategori al-Jawami’ yang
paling popular hingga saat ini ada tiga yaitu: (1) Al-Jami’ al-S{ahih karya Imam al-Bukhari, (2) Al-Jami’ al-S{ahih karya Imam Muslim, dan (3) Al-Jami’ karya Imam al-Tirmidhi yang popular pula dengan sebutan
“Sunan al-Tirmidhi” karena perhatian khususnya terhadap hadis-hadis hukum.
Ketiga penulis kitab tersebut memiliki hubungan “guru-murid” dan masing-masing
kitab al-jami’ yang mereka tulis memiliki karakter spesifik yang menjadi
keunggulannya tersendiri.
3. Secara umum, kitab-kitab yang termasuk kategori al-Jawami’
memiliki keunggulan dari aspek kualitas validitas hadis, metodologi penyusunan
bab dan perinciannya serta teknik pencantuman hadis.
DAFTAR PUSTAKA
‘Auny (al), Al-Sharif Hatim ‘Arif. al-‘Unwan
al-S{ahih li al-Kitab : Ta’rifuhu wa Ahamiyyatuhu wa Wasail Ma’rifatihi wa
Ihkamihi Amthilah li al-Akhta’ fih. Makkah al-Mukarramah: Dar ‘Alam
al-Fawa’id, 1419 H.
‘Itr, Nur al-Din. al-Imam al-Tirmidhy wa
al-Muwazanah Baina Jami’ih wa baina al-S{ahihain (T.tp: T{aba’ah al-Lajnah
al-Ta’lif wa al-Tarjamah wa Nashr, cet. 1, 1390 H/1970 M.
. Manhaj al-Naqd fi ‘Ulum al-H{adith. Damaskus : Dar al-Fikr, Cet. 3, 1418
H/1997 M.
A<bady,
Al-Fairuz. Al-Qamus al-Muhit. ed.
Muhammad Nu’aim al-‘Arqususy Beirut: Muassasah al-Risalah, cet. 2, 1426 H/2005
M
Abu Shuhbah, Muhammad Muhammad dan Abd al-Ghany, Difa’ ‘an al-Sunnah wa Radd Syubh
al-Mushtariqin wa al-Kitab al-Mu’as{irin- wa yalihi al-Radd ‘ala Man Yunkir
Hujjiyyah al-Sunnah. Kairo: Maktabah al-Sunnah, cet. 1, 1989 M.
____, Fi Rihab al-Sunnah al-Kutub al-Sihah al-Sittah. Kairo: Silsilah
al-Buhuth al-Islamiyah li al-Azhar, 1415 H/1995 M.
Ash Shiddieqy, Hasbi. Pokok-Pokok Ilmu Diroyah
Hadis, jilid I. Jakarta: Bulan Bintang, 1981.
Asqalany (al), Ibn Hajar.al-Nukat ‘ala Kitab Ibn S{alah, Vol. 1, ed. DR. Rabi’ bin
Hady ‘Umair. Riyadh : Daral-Rayah, cet. 3, 1415 H/1994 M.
____.Hadyu al-Sary Muqaddimah Fath al-Bary, ed. Syaikh ‘Abd al-Qadir Syaibah al-Hamd. Riyadh:
Maktabah al-Malik Fahd al-Wat{oniyyah, cet. 1, 1421 H/ 2001 M
_____. Taghliq al-Ta’liq, ed. Sa’id ‘Abdurrahman
al-Qazuqy Beirut: al-Maktab al-Islamy dan Dar ‘Ummar, cet. 1, 1405 H.
_____. Tahdhib
al-Tahdhib, vol. 9 (India: Mat{ba’ah Da’irah al-Ma’arif al-Nizamiyah, ct. 1, 1326 H)
Biqa’I, Ali Nayef.Manahij al-Muhaddithin al-‘A<mmah wa al-Khassah. Beirut: Dar al-Bashair al-Islamiyah,
cet. 2, 1430 H.
Bukhari
(al), Muhammad bin Isma’il. Al-Jami’ Al-Musnad al-S{ahih. Vol. 1 Beirut:
Dar T{uruq al-Najah, cet. 1, 1422 H.
Daruqutny (al). Al-Ilzamat wa At-Tatabu’, Ed. Muqbil
bin Hadi al-Wadi’y. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah. Cet. 2. 1405 H/1985 M.
Dawry
(al), Musaddiq Amin ‘Atiyyah. “Riwayah
Sahih Muslim min T{ariq Ibn Mahan Muqaranah bi Riwayah Ibn Sufyan”, Tesis,
Kuliyah Tarbiyah Qism al-Hadith al-Nabawy al-Sharif, Jami’ah Takrit, 2010 M.
Dhahaby (al), Shams al-Din Muhammad bin Ahmad. Siyar A’lam
Nubala’, Vol. 10. Beirut: Muassasah
ar-Risalah, cet. 9, 1413 H/1993 M.
_____. Siyar A’lam al-Nubala’,
Vol.12.
Beirut : Muassasah al-Risalah, cet. 9, 1413 H/1993M
_____.Tarikh
al-Islam wa wafiyat al-Mashahir wa al-A’lam, vol. 3, ed. Bashar ‘Awwad
Ma’ruf. t.tp: Dar al-Gharb al-Islamy, cet. 1, 2003 .
_____. Tadhkirah al-Huffaz{, vol.
2. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah,cet. 1, 1419 H.
Farid, Ahmad. Min A’lam
al-Salaf, vol. 2. Iskandariyah: Dar al-I<man, cet. 1, 1418 H.
Ghaury (al), Sayyid Abd al-Majid. Al-Wajiz fi Ta’rif Kutub
al-Hadith. Beirut: Dar Ibn Kathir, cet. 1, 1430 H/2009 M
Hans,
Wehr. A Dictionary of Modern Written
Arabic. London: Goerge Allen & Unwin Ltd., 1970
Husaini (al), ‘Abd al-Majid Hasyim.Al-Imam al-Bukhary: Muhaddithan wa Faqihan. Kairo: Mashr al-‘Arabiyah li al-Nasyr wa al-Tauzi’, t.th.
Idri. Studi
Hadis. Jakarta: Kencana Prenada Media grup,Cet. Ke-2, 2013.
Jasim (al), ‘Abdul ‘Aziz
Ahmad. “Al-Waziz ila ma fi Tarajim
al-Bukhari min H{adith”, Majalah Jami’ah al-Malik Su’ud, ed. 17, al-‘Ulum
al-Tarbiyah wa al-Dirasah al-Islamiyah (1), (1425 H/2004 M).
Kathir, Ibn.Al-Bidayah wa
al-Nihayah, ed. Abdullah bin Abdul Muhsin al-Turky (Kairo: Dar
Hijrah, cet. 1, 1417 H/1997 M
Kattany (al), Abu ‘Abd Allah Muhammad bin Abi
al-Faidh. Al-Risalah al-Mustatrafah li
bayan mashhur Kutub al-Sunnah al-Musharrafah, ed. Muhammad al-Muntasir
al-Zamzamy. Beirut: Dar al-Bashair al-Islamiyah, cet. 6, 1421 H/2000 M
Khalifah, H{ajy. Kashf
al-Z{unun ‘An Usama al-Kutub wa al-Funun, vol. 1. Baghdad: Maktabah
al-Muthanna, 1941 M.
Khumaishy (al), Abd al-Rahman bin
Ibrahim. Mu’jam ‘Ulum al-H{adith
al-Nabawy.Jeddah: Dar
al-Andalus al-Khadra’, t.th.
Kiby (al), Sa’aduddin bin Muhammad. Muqaddimah al-Nawawi fi ‘Ulum al-Hadith. Beirut: Al-Maktab
al-Islamy, cet. 1, 1417 H/1997 M.
Mizzy (al), Abu
al-Hajjaj bin Abdurrahman.
Tahdhib al-Kamal, Vol. 24, ed. Basyar ‘Awwad Ma’ruf. Beirut:
Muassasah al-Risalah, cet. 2, 1403 H/1983 M.
Minshawy
(al), Muhammad S{iddiq. Qamus Mustalah{at al-Hadith al-Nabawy.
(al-Qahirah: Dar al-Fad{ilah, tth),
Mulakhatar, Khalil Ibrahim. Makanah
S{ahihain. Kairo: al-Mathba’ah al-‘Arabiyah al-Hadithah, cet. 1, 1402 H
Murshy(al) Abu al-Hasan
‘Ali bin Isma’il. Al-Muhkam wa al-Muhit
al-A’zam. Vol. 1, ed. ‘Abd al-H{amid
Hindawy. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, cet. 1, 1421 H/2000 M
Mustafa, Ibrahim, et al. Mu’jam al-Wasit.Vol. 1. Kairo: Dar al-Da’wah, t.th.
Mut{allib (al), Rif’at Fauzy ‘Abd. Manahij al-Muhaddithin: al-Usus wa
al-Tatbiq. Kairo: Dar al-Salam, cet. 1, 2008 M).
Naisabury
(al), Muslim bin al-Hajjaj al-Qushairy. al-Musnad al-S{ahih al-Mukhtasar bi
Naql al-‘Adl ‘an al-‘Adl Ila Rasul Allah S{alla Allah ‘Alaihi wa Sallam atau Sahih Muslim. Vol. 1. Ed.Muhammad
Fu’ad Abd al-Baqy Beirut: Dar Ihya’ al-Turath al-‘Araby, t.th.
Naisabury (al), Muhammad bin Abdillah Al-Hakim.al-Mustadrak ‘ala
Shohihain, Vol. 1, ed. Muqbil bin Hadi al-Wad’iy. Kairo: Dar al-Haramain, Cet. 1, 1417 H/1997 M.
Qary (al),‘Ali bin Sult{an
Muhammad Abu al-Hasan Nur al-Din Al-Mala. Mirqah al-Mafatih Sharh Mishkah
al-Mas{abih, vol. 1.Beirut: Dar al-Fikr, cet. 1, 1422 H/2002 M.
Qanujy (al), Siddiq Hasan.Al-Hit{tah fi Dhikrial-Sihhah al-Sittah, ed. Ali Hasan al-Halaby. Beirut: Dar al-Jail, t.th.
Qudah (al), Amin Muhammad dan Sharf Mahmud al-Qudah,
“Manhaj al-Imam Muslim fi Sahihihi”, Makalah—Kulliyah al-Shari’ah, Jami’ah
al-Urduniyyah, t.th.
S{alih (al), S{ubhi. Ulum al-Hadith wa Musthalahuhu-Ardhun wa Dirasatun.
Beirut: Dar al-‘Ilm al-Malayin, cet. 15, 1984 M.
S{alah,Abu ‘Amr
Uthman
Ibn. ‘Ulum al-Hadith (Muqaddimah Ibn Al-S{alah),
ed. Nuruddin ‘Itr. Beirut: Dar al-Fikr, cet. 3, 1418 H.
_____. S{iyanah S{ah{ih Muslim Min al-Ikhlal wa
al-Ghalat wa Himayatih min al-Isqat wa al-Saqt, ed. Muwaffiq
‘Abd Allah ‘Abd al-Qadir. Beirut: Dar al-Gharb al-Islamy, cet. 2, 1408 H.
Shamaly(al), Yasir. Al-Wadih
fi Manahij al-Muhaddithin (‘Amman: Dar wa maktabah al-Hamid, cet. 3, 1427
H)
Suharto, Ugi.Peranan Tulisan
Dalam Periwayatan Hadith (Majalah Islamia, Thn. I No. 2/Juni-Agustus, 2004).
Suyuty (al). Tadrib al-Rawy fi Sharh Taqrib al-Nawawy, ed. Abu Mu’adz
Thoriq bin ‘Aud Allah bin Muhammad. Riyadh: Dar
al-‘Ashimah, 1423 H.
_____.Tadrib al-Rawy fi Syarh Taqrib al-Nawawy. Ed. Muhammad
Aiman bin Abdullah Al-Shibrawy. Kairo: Dar al-Hadith, 1431 H/2010 M.
Tirmidhi (al), Muhammad bin ‘I<sa. Sunan
al-Tirmidhi, Vol. 3, ed. Ahmad Muhammad Shakir dan Muhammad Fu’ad ‘Abd
al-Baqy. Mesir: Shirkah Maktabah wa Matba’ah Mustafa al-Halaby, Cet. 2, 1395
H/1975 M.
Zahrany (al), Abu Yasir Muhammad bin Matr A<lu Matr. Tadwin al-Sunnah al-Nabawiyah; Nash’atuhu wa
tatawwuruhu min al-Qarn al-Awwal ila
Nihayah al-Qarn al-Tasi’ al-Hijry. Riyadh: Dar al-Hijrah, cet. 1, 1417
H/1996 M
Zuhaily (al), Wahbah.al-Wajiz fi Usul al-Fiqh . Damaskus : Dar al-Fikr, Cet. 1, 1419 H.
[1]Mayoritas ulama sepakat bahwa
kedudukan (manzilah) sunnah dalam adillah ash-shar’yyah menempati
posisi kedua setelah Al-Quran karena (1) al-Quran bersifat qat}’iy al-thubut,
sementara sunnah bersifat z}anniyah al-thubut, sehingga yang qat}’iy
diutamakan daripada yang z}anny, (2) karena sunnah berfungsi sebagai bayan
bagi Al-Quran, sementara kedudukan penjelas (al-bayan) adalah tabi’ (pengikut) bagi yang dijelaskan (al-mubayyan),
(3) secara normatif, Rasulullah SAW secara taqriry menetapkan hal
tersebut dalam hadis Mu’adz tatkala diutus ke Yaman. Lihat
Wahbah al-Zuhaily, al-Wajiz fi
Us}ul al-Fiqh (Damaskus : Dar al-Fikr, Cet. 1,
1419 H), 37-38
[2]Ugi Suharto, Peranan Tulisan Dalam Periwayatan Hadith (Majalah Islamia, Thn. I
No. 2/Juni-Agustus, 2004), 82-84
[3]Muhammad Muhammad Abu Syuhbah dan
Abd al-Ghany, Difa’ ‘an al-Sunnah wa Radd
Syubh al-Mushtariqin wa al-Kitab al-Mu’as{irin- wa yalihi al-Radd ‘ala Man
Yunkir Hujjiyyah al-Sunnah (Kairo: Maktabah al-Sunnah, cet. 1, 1989 M), 26
[4] Ugi, Peranan..,
83-84
[5]
Ibrahim Mustafa, et al. Mu’jam al-Wasit}.
Juz 1(Kairo: Dar al-Da’wah, tth), 135
[6]
Abu al-Hasan ‘Ali bin Isma’il al-Mursy. Al-Muhkam
wa al-Muh}it} al-A’z}am. Vol. 1, ed. ‘Abd al-H{amid Hindawy (Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyah, cet. 1, 1421 H/2000 M), 347
[7]
Al-Fairuz abady. Al-Qamus al-Muhit}.
ed. Muhammad Nu’aim al-‘Arqususy (Beirut: Muassasah al-Risalah, cet. 2, 1426
H/2005 M), 710
[8]
Hans, Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic (London: Goerge Allen
& Unwin Ltd., 1970), 990
[9] Muhammad S{iddiq al-Minshawy. Qamus Must}alah{at al-Hadith al-Nabawy.
(al-Qahirah: Dar al-Fad{ilah, tth), 49. Al-Kattany, Abu ‘Abd Allah Muhammad bin Abi
al-Faidh. Al-Risalah al-Mustat}rafah li
bayan mashhur Kutub al-Sunnah al-Musharrafah. Ed. Muhammad al-Muntas}ir
al-Zamzamy(Beirut: Dar al-Bashair al-Islamiyah, cet. 6, 1421 H/2000 M), 42, Abd al-Rahman bin
Ibrahim al-Khumaisy. Mu’jam ‘Ulum
al-H{adith al-Nabawy (Jeddah: Dar
al-Andalus al-Khadra’, tth), 83
[10]Nur
al-Din ‘Itr, Manh}aj al-Naqd
fi ‘Ulum al-H{adith (Damaskus : Dar al-Fikr, Cet. 3, 1418 H/1997
M), 198-199
[11]Sayyid Abd al-Majid al-Ghaury, Al-Wajiz fi Ta’rif Kutub
al-Hadith (Beirut: Dar Ibn Kathir, cet. 1, 1430 H/2009 M), 19
[12]S{ubhi Al-S{alih, Ulum
al-Hadith wa Musthalahuhu-Ardhun wa Dirasatun (Beirut: Dar al-‘Ilm
al-Malayin, cet. 15, 1984 M), dalam foot note hal 122-123
[13]Lihat Abu Yasir Muhammad bin Mat}r A<lu Mat}r al-Zahrany, Tadwin al-Sunnah al-Nabawiyah; Nash’atuhu wa
tat}awwuruhu min al-Qarn al-Awwal ila
Nihayah al-Qarn al-Tasi’ al-Hijry (Riyadh: Dar al-Hijrah, cet. 1, 1417
H/1996 M), 248.
[14]
Idri. Studi Hadis (Jakarta: Kencana Prenada Media grup,Cet. Ke-2, 2013),
121
[15]
Ibid, 121, Sayyid Abd al-Majid al-Ghaury, Al-Wajiz..,
19-20
[16]‘Itr,
Manhaj al-Naqd..., 199
[17]Al-Dhahaby, Siyar A’lam al-Nubala’,
Vol.12
(Beirut : Muassasah al-Risalah, cet. 9, 1413 H/1993M), 392. Adapun tentang nisbat kepada al-Bukhari karena beliau
berasal dari negeri yang bernama Bukhara, kota terbesar di wilayah Transaxonia-wilayah
di seberang sungai Jeihun- yang sekarang masuk wilayah Uzbekistan di Asia
Tengah. Lihat Al-Husaini ‘Abd al-Majid Hasyim, al-Imam al-Bukhary :
Muh}addithan wa Faqihan (Kairo: Mashr al-‘Arabiyah li al-Nasyr wa
al-Tauzi’, t.th.), 23
[18]Al-Dhahaby, Siyar A’lam, 12/393. Ibnu Kathir, Al-Bidayah wa
al-Nihayah, ed. Abdullah bin Abdul Muhsin al-Turky (Kairo: Dar Hijrah, cet.
1, 1417 H/1997 M), 14/527. Ibnu Hajar, Taghliq al-Ta’liq, ed. Sa’id
‘Abdurrahman al-Qazuqy (Beirut: al-Maktab al-Islamy dan Dar ‘Ummar, cet. 1,
1405 H), 5/385
[19] Abu
al-Hajjaj bin Abdurrahman al-Mizzy, Tahdhib al-Kamal, Vol. 24,
ed. Basyar ‘Awwad Ma’ruf (Beirut: Muassasah al-Risalah, cet. 2, 1403 H/1983 M) , 431-434
[20]Ibnu
Hajar, Hadyu al-Sary Muqaddimah Fath} al-Bary, ed. Syaikh ‘Abd al-Qadir
Syaibah al-Hamd (Riyadh: Maktabah al-Malik Fahd al-Wat{oniyyah, cet. 1, 1421 H/
2001 M), 503, Ibnu Hajar, Taghliq al-Ta’liq, Vol. 5, 391
[21]Ibid., Vol. 2,
1314
[22]Ibnu S{alah. Ulum
al-Hadis.., 22, Muhammad Muhammad Abu Syaibah, Fi Rih}ab al-Sunnah
al-Kutub al-S}ih}ah al-Sittah (Kairo: Silsilah al-Buhuth al-Islamiyah li
al-Azhar, 1415 H/1995 M), 75,
[23]Siddiq
Hasan Al-Qonujy, Al-Hitthah fi Dzikri as-Sihhah as-Sittah, ed. Ali Hasan
al-,aby (Beirut: Dar al-Jail, tt.), 294
[24]Ibnu
Hajar, Hadyu al-Sary Muqaddimah Fath} al-Bary.., 10
[25] Al-Sharif Hatim
‘Arif al’Auny, al-‘Unwan al-S{ahih li al-Kitab : Ta’rifuhu wa Ahamiyyatuhu
wa Wasail Ma’rifatihi wa Ihkamihi Amthilah li al-Akht}a’ fih (Makkah
al-Mukarramah: Dar ‘Alam al-Fawa’id, 1419 H), 50
[26]Ibid., 50-51, Khalil Ibrahim
Mulakhatar, Makanah S{ah}ih}ain (Kairo: al-Mathba’ah al-‘Arabiyah
al-Hadithah, cet. 1, 1402 H), 43
[27]Khalil Ibrahim
Mulakhatar, Makanah S{ah}ih}ain…, 34
[28]Ibn Hajar, Al-Hadyu…, 311-312
[29] Terdapat perbedaan riwayatan tentang
tempat penulisan as-sahih ini, namun dapat dikompromikan, Khalil Ibrahim
Mulakhatar, Makanah S{ah}ih}ain, 36-38. Lihat Ibnu Hajar, Hadyu as-Sary, Vol.
2, 479. Ibnu
Hajar, Taghliq al-Ta’liq, Vol. 5, 418
[30] Ada yang heran
dengan angka 600.000 hadis ini dan meragukan pernyataan al-Bukhari dengan
logika; “Kalau benar jumlah hadis demikian, berarti Nabi adalah orang yang
banyak berkata-kata”; Bantahan terhadap kesalahpahaman terhadap maksud
al-Bukhari, bahwa maksud al-Bukhari adalah (1) cara perhitungan hadis. Jumlah yang
banyak tersebut mencakup keseluruhan hadis baik yang berulang (mukarrar)
sanadnya, satu hadis yang diriwayatkan dengan dua jalur dihitung sebagai dua
hadis. (2) hadis yang dimaksud bukan hanya hadis marfu’ kepada Nabi SAW tetapi
juga hadis mauquf dan maqt}u’ berupa athar shahabat dan
tabi’in.(3). Hadis Nabi bukan hanya berbentuk perkataan, tapi juga berbuatan
dan taqrir (persetujuan) Nabi SAW. Demikian juga mencakup seluruh
peristiwa dan aktivitas kehidupan Nabi dan Shahabat.Yang dimaksud dengan 600.000 hadis di sini—suatu
angka yang besar—adalah dihitung bersama semua versi sanad periwayatan
hadis-hadis yang memiliki matan yang sama atau serupa. Misalnya hadis: “man
yurid Allahu bihi khairan yufaqqihu fi al-din”, diriwayatkan
dari beberapa shahabat, maka masing-masing sanad dihitung sebagai hadis yang
berbeda. Demikian pula variasi di tingkat thabaqoh selanjutnya. (lihat Abu
‘Amr Uthman Ibn S{alah, ‘Ulum al-Hadith (Muqaddimah Ibn Al-S{alah),
ed. Nuruddin ‘Itr (Beirut: Dar al-Fikr, cet. 3, 1418 H), 20-21
[31] Hujjah adalah jawaban ketika ditanyakan
landasan setiap amal perbuatan pada Yaumul Mizan nanti.. Sebagaimana ayat” wala
taqfu ma laisa laka bihi ilmun….”.Setiap perkataan dan perbuatan hendaklah
dilandasi dengan ilmu. Imam Bukhari menulis bab “al-‘ilmu qabla al-qaul wal-‘amal”.
Ilmu syari’at landasannya adalah Al-Qur’an dan Al-Hadis.
[32]Ibnu
Hajar, Hadyu al-Sary.. , 9
[33]Al-Dhahaby, Siyar
A’lam, Vol. 12, 433
[34]Nur
al-Din ‘Itr, Al-Imam al-Tirmidzi wa al-Muwazanah baina Jami’ihi wa
al-S}ahihain (ttp: al-Lajnah al-ta’lif wa al-tarjamah wa al-nasyr, cet. 1,
1390 H/1970 M), 26
[35]Yasir al-Shamaly, Al-Wad}ih fi
Manahij al-Muhaddithin(‘Amman: Dar wa maktabah
al-Hamid, cet. 3, 1427 H), 48
[36]
Ibid., 49. Ada sebagian orang yang salah paham dengan angka hadis sahih yang
demikian besar yang dihafal oleh al-Bukhari karena seluruh hadis yang terdapat
seluruh kitab hadis tidak akan mencapai angka 100.000 hadis. Menurut al-Iraqy,
kemungkinan maksud al-Bukhari adalah keseluruhan hadis-hadis yang mencakup
hadis yang sanadnya diulang-ulang dalam berbagai variasi sanad dan matan, juga
hadis-hadis mauquf (sanadnya hanya sampai kepada Sahabat Nabi SAW). LihatAl-Suyut}y,Tadrib al-Rawy fi Syarh Taqrib
al-Nawawy. Ed. Muhammad
Aiman bin Abdullah Al-Shibrawy (Kairo: Dar al-Hadith, 1431 H/2010 M), 74
[37]
Sayyid Abd al-Majid
al-Ghaury. Al-Wajiz fi Ta’rif Kutub…, 10. Hadis-hadis tersebut dapat ditemukan dalam
kitab-kitab hadis yang lain. Kitab-Kitab al-mustadrakat dan mustakrajaat adalah
kitab-kitab yang menghimpun hadis-hadis terkait dengan Kitab Sahih al-Bukhari
secara sanad maupun matan.
[38]
Yaitu dalam Kitab al-Daraquthny yang berjudul al-Ilzamat yang kemudian
dicetak bersama al-Tatabu’. Lihat Al-Daruqut}ny, Al-Ilzamat wa
At-Tatabu’, Ed. Muqbil
bin Hadi al-Wadi’y (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah. Cet. 2. 1405 H/1985 M)
[39]Menurut Hasbi ash Shiddieqy
bab-nya berjumlah 3521. Pokok-Pokok Ilmu Diroyah Hadis, jilid I
(Jakarta: Bulan Bintang, 1981), 208-211
[40]Ali
Nayef Biqa’I,Manahij
al-Muhaddithin al-‘A<mmah
wa al-Khas}s}ah(Beirut: Dar al-Bashair
al-Islamiyah, cet. 2, 1430 H), 117
[41]Nuruddin
‘Itr,Manhaj al-Naqd…,
358
[42]Ibnu
Hajar, Fath
al-Bary, Tahqiq Abdul Qadir Hamd, Vol. 1, 243
[43]Lihat
Nuruddin ‘Itr dalam Disertasinya Muwazanah
baina al-Tirmidzi wa as-Sahihain…, 16 dan penelusuran penulis dengan
bantuan al-Maktabah al-Syamilah.
[44] Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, Al-Jami’ Al-Musnad al-S{ahih. Vol. 1 (Beirut: Dar T{uruq al-Najah, cet. 1, 1422 H), 33 Kitab al-Ilmi Bab man Kadzaba ‘ala al-Nabi SAW, hadis nomor 109. Dalam makalah ini, Kitab tersebut kadang ditulis Sahih al-Bukhari atau al-Jami’ al-S{ahih.
[45]Al-Bukhari,
al-Jami’ al-Sah}ih, Tahqiq Abdul Qodir al-Hamd, Juz 4, 327
[46]Lihat
Ugi Suharto. “Peranan
Tulisan..,
74-84
[47]Ibn Hajar, Hadyu al-Sary..., 6
[48]
Sayyid Abdul Majid al-Ghaury. Al-Wajiz fi Ta’rif Kutub al-Hadith.., 10
[49]Muhammad
bin Isma’il al-Bukhari, S}ahih al-Bukhari..,
Vol. 4, 22
[50] ‘Abdul ‘Aziz Ahmad al-Jasim.
Al-Waziz ila ma fi Tarajim al-Bukhari min H{adith. (Majalah Jami’ah al-Malik
Su’ud, ed. 17, al-‘Ulum al-Tarbiyah wa al-Dirasah al-Islamiyah (1), 1425 H/2004
M), 432
[51]Muhammad
bin Isma’il al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Vol. 8, 30
[52]Siddiq
Hasan Al-Qanujy,
Al-Hitthah.., 302-306
[53]Perhitungan Ibnu Salah yang
disepakati Imam al-Nawawi bahwa dalam Sahih al-Bukhari terdapat 7275 hadis
termasuk yang diulang (mukarrar) dan jika tanpa menghitung yang diulang
sebanyak 4000 hadis. Lihat Al-Suyuthi. Tadrib al-Rawy fi Syarh Taqrib al-Nawawy... , 77
[54]Sebagaimana
keterangan murid al-Bukhari yaitu Imam Muslim tentang sebab adanya tikrar
dalam Muqaddimah Sahih Muslim,
3.
[55]
Ibnu Hajar,Hadyu
al-Sary, 17. Nur
al-Din ‘Itr. Al-Muwazanah…, 78 dan 112
[56]Hadis
ahad yang di antara salah satu atau beberapa t}abaqat
dari rangkaian sanad perawinya hanya diriwayatkan oleh satu orang perawi.
[57]idem
[58]Hasil penelusuran dengan
menggunakan al-Maktabah al-Shamilah
[59]Jumlah
hadis Muslim menurut penomoran Fu’ad Abdul Baqy. Lihat al-Wajiz fi Ta’rif
Kutub al-Hadith,
11
[60]Penelusuran dengan bantuan
Program al-Maktabah al-Shamilah. Data jumlah hadis tersebut termasuk hadis dalam tarajim al-abwab,
al-us}ul maupun al-mutaba’at.
[61] Penelusuran dengan bantuan
Program al-Maktabah al-Shamilah
[62]Ibn
Hajar, al-Nukat ‘ala Kitab Ibn S{alah, Vol. 1, ed. DR.
Rabi’ bin Hady ‘Umair (Riyadh : Daral-Rayah, cet. 3, 1415 H/1994 M), 325
[63]
Bandingkan dengan Sahih Muslim yang hanya terdapat 12 hadis mu’allaq yaitu satu
hadis yang di-ta’liq tanpa di-washl-kannya di bagian lain, tetapi di-washl-kan
oleh penyusun kitab hadis lain yaitu hadis dalam Kitab al-Haidh bab
al-tayammum dari al-Laits bin Sa’ad. Lihat Al-Suyut}i. Tadrib Rawy ,
88-89
[64]Ibid., 77.
Bandingkan dengan jumlah mutaba’at dan shawahid
dalam Sahih Muslim sebanyak 1618. Lihat Sayyid Abdul Majid al-Ghaury. Al-Wajiz
fi Ta’rif Kutub al-Hadith, 11
[65]Ibn
Hajar, Al-Nukat, Vol. 1, 325, ‘Ali Nayef Biqa’I, Manahij
al-Muhaddithin al-‘A<mmah wa al-Khas}s}ah, 125
[66]Ibid., Vol. 1, 325
[67]
Al-Suyut}y. Tadrib
al-Rawy... ,
89.
[68]Ibn
Hajar, al-Nukat…,Vol. 1, 325-326.
Contoh-contoh hadis dalam al-Bukhari sesuai klasifikasi di atas dapat dilihat
dalam Kitab
tersebut
[69]Ibid., 342
[70]Abu Yasir Muhammad
bin Mat}r A<lu Mat}r al-Zahrany, Tadwi<n al-Sunnah, 125
[71]Mus}addiq Amin ‘At}iyyah
al-Dawry, “Riwayah S}ahih Muslim min T{ariq Ibn Mahan Muqaranah bi Riwayah Ibn
Sufyan” (Tesis, Kuliyah Tarbiyah Qism al-Hadith al-Nabawy al-Sharif, Jami’ah
Takrit, 2010 M), 18
[72]Ibid.,
26
[73]Ahmad
Farid, Min A’lam al-Salaf, Vol. 2, 308
[74]Ibid.,
310
[75]‘Uthman
Ibn ‘Abd al-Rahman Ibn al-S{alah, S{iyanah S{ah{ih Muslim Min al-Ikhlal wa
al-Ghalat} wa Himayatih min al-Isqat} wa al-Saqt}, ed. Muwaffiq ‘Abd Allah
‘Abd al-Qadir (Beirut: Dar al-Gharb al-Islamy, cet. 2, 1408 H), 67
[76]Mus}addiq Amin ‘At}iyyah
al-Dawry, “Riwayah S}ahih Muslim.., 34-35
[77]Muslim
bin al-Hajjaj al-Qushairy Al-Naisabury, al-Musnad al-S{ahih al-Mukhtas}ar bi
Naql al-‘Adl ‘an al-‘Adl Ila Rasul Allah S{alla Allah ‘Alaihi wa Sallam atau Sahih Muslim. Vol. 1. Ed.Muhammad
Fu’ad Abd al-Baqy (Beirut: Dar Ihya’ al-Turath al-‘Araby, tth), 7
[78]Muhammad
Muhammad Abu Syaibah, Fi Rih}ab al-Sunnah…,
109-110
[79]Ibid.,
111
[80]‘Uthman
Ibn ‘Abd al-Rahman Ibn al-S{alah, S{iyanah S{ah{ih Muslim Min al-Ikhlal wa
al-Ghalat} wa Himayatih min al-Isqat} wa al-Saqt}, ed. Muwaffiq ‘Abd Allah
‘Abd al-Qadir (Beirut: Dar al-Gharb al-Islamy, cet. 2, 1408 H), 67
[81]Muslim
bin al-Hajjaj al-Qushairy Al-Naisabury, al-Musnad al-S{ahih al-Mukhtas}ar bi
Naql al-‘Adl ‘an al-‘Adl Ila Rasul Allah S{alla Allah ‘Alaihi wa Sallam atau Sahih Muslim. Vol. 1. Ed.Muhammad
Fu’ad Abd al-Baqy (Beirut: Dar Ihya’ al-Turath al-‘Araby, tth), 4-5
[82]Ibid.,
5-6
[83]Mus}addiq Amin ‘At}iyyah
al-Dawry, “Riwayah S}ahih Muslim.., 40
[84]Amin
Muhammad al-Qud}ah dan Sharf Mahmud al-Qud}ah, “Manhaj al-Imam Muslim fi
S}ahihihi”(Makalah—Kulliyah al-Shari’ah, Jami’ah al-Urduniyyah, t.th.), 13-14
[85]Muslim bin al-Hajjaj al-Qushairy,S}ahih Muslim. Vol. 1, 92
[86]Ibid.,Vol. 2, 1071
[87]Amin
Muhammad al-Qud}ah dan Sharf Mahmud al-Qud}ah, “Manhaj al-Imam Muslim, 13-14
[88]Muslim bin al-Hajjaj al-Qushairy, S}ahih Muslim. Vol. 3,
1630
[89]Ibid.,Vol. 3, 1635
[90]Muslim bin al-Hajjaj al-Qushairy, S}ahih Muslim. Vol. 3,
1636
[91]Muslim bin al-Hajjaj al-Qushairy, S}ahih Muslim. Vol. 1,
281
[92]Amin
Muhammad al-Qud}ah dan Sharf Mahmud al-Qud}ah, “Manhaj al-Imam Muslim fi
S}ahihihi”(Makalah—Kulliyah al-Shari’ah, Jami’ah al-Urduniyyah, t.th.), 13-14
[93]Muslim bin al-Hajjaj al-Qushairy, S}ahih Muslim. Vol. 1, 1
[94]Ibid.,
15
[95]Ibn Salah,‘Ulum
al-Hadith (Muqaddimah Ibn Al-S{alah), 18, Al-Suyuthi. Tadrib
al-Rawy fi Sharh Taqrib al-Nawawy, ed. Abu Mu’adz Thoriq bin ‘Aud} Allah
bin Muhammad (Riyadh: Dar al-‘Ashimah, 1423 H), 1/121
[96]Ibn
S{alah,‘Ulum al-Hadith (Muqaddimah
Ibn Al-S{alah), 18
[97]Ibid.
[98] Ibid.
[99]Ibn
Hajar, al-Nukat ‘ala Kitab Ibn S{alah,Vol. 1, 277-278
[100]Al-Suyut}y,Tadrib al-Rawy, Vol. 1, 120
[101]Ibn
Salah,‘Ulum al-Hadith…, 18-19
[102]Al-Suyuthi.Tadrib
al-Rawy, Vol.1, 122, Sa’aduddin
bin Muhammad al-Kiby. Muqaddimah al-Nawawi fi ‘Ulum al-Hadith(Al-Maktab
al-Islamy, Beirut, cet. 1, 1417 H/1997 M) , 12
[103]Al-Suyuthi. Tadrib al-Rawy..,
Vol. 1, 122-dst, Khalil
Ibrahim Mulakhatar, Makanah S{ah}ih}ain..., 88-90, Ibnu Hajar, An-Nukat,
Vol. 1, 283-189
[104]Ibn
Hajar. Hadyu al-Sary, 14
[105]
Idem.
[106] Yasir al-Shamaly, Al-Wad}ih fi
Manahij al-Muhaddithin,
58
[107]Idem.
[108]Idem.,60
[109]Ibn
Hajar,
Hadyu as-Sary (Kairo : Dar al-Royyan, cet. 1), 514
[110]lihat Al-Suyut}y. Tadrib…,Vol. 1, 172
[111] Nur al-Din ‘itr, Manh}aj
al-Naqd….,257-258. Footnoot komentar DR. ‘Itr dalam Ibnu S{alah,‘Ulum
al-Hadith.., 19
[112]Sebagaimana
disebutkan dalam berbagai kitab ‘ulumul hadis. Yang menjelaskan tentang
peringkat kesahihan hadis.
[113]Shams al-Din Muhammad bin Ahmad Al-Dhahaby. Siyar
A’lam Nubala’, Vol. 10 (Beirut:
Muassasah ar-Risalah, cet. 9, 1413 H/1993 M), 96
[114] Komentar atas
Kitab Tadrib al-Rawy, Vol. 1, 179, Dalam kitab tersebut, al-Daruqut}ny menyebutkan tentang
adanya hadis-hadis yang sebenarnya sesuai dengan syarat al-Bukhari maupun
muslim tetapi tidak dikeluarkan oleh keduanya dalam kitab shohih masing-masing.
Al-Daruquthny juga mengkritisi hadis-hadis al-Bukhari
dalam al-Jami’ As-S{ahih yang tidak sesuai dengan syarat tersebut karena
adanya illat. Al-Daruquthny. Al-Ilzamat
wa Tatabu’, 56
[115] Lihat Muhammad
bin Abdillah Al-Hakim an-Naisabury, al-Mustadrak ‘ala Shohihain, Vol. 1, ed. Muqbil bin Hadi
al-Wad’iy (Kairo: Dar al-Haromain, Cet. 1, 1417 H/1997 M), 41. Penggunaan
istilah-istilah tersebut oleh al-Hakim dalam mengklaim tingkat keshohihan
hadis-hadis dalam al-Mustadrak banyak mengundang kritikan bahkan protes pedas
dari ulama hadis lain. Hal ini karena terbukti al-Hakim banyak mengklaim suatu
hadis sebagai hadis sahih. Lihat
Ibid.,Vol1, 144.
[116]Al-Suyut}y dalam Tadrib al-Rawy, Vol, 1, 175. Al-Hazimi memberi contoh lima
tingkatan (t}abaqat) senioritas dan kapabilitas murid-murid al-Zuhri.
Al-Bukhari memilih tingkatan tertinggi perawi al-Zuhri sebagai perawi sahih
karena menghimpun kemampuan hafalan (hifz}), sifat itqon dan lamanya
mulazamah (menyertai dan berguru) kpd al-Zuhri.
[117]Al-Hazimy.
Syurut al-‘Aimmah as-Sittah, 70-71
[118]Pendapat al-Nawawi tentang syarat
shohih al-Bukhari ini tidak dibahas oleh Muhibbin dalam disertasinya.
[119]Al-Suyut}i, Tadrib 1/175
[120]Ahmad
Farid, Min A’lam al-Salaf, vol. 2 (Iskandariyah: Dar al-I<man, cet.
1, 1418 H), 363
[121]Ibid.,
Vol. 2, 365
[122]Muhammad bin ‘I<sa al-Tirmidhi. Sunan
al-Tirmidhi, Vol. 3, ed. Ahmad Muhammad Shakir dan Muhammad Fu’ad ‘Abd
al-Baqy (Mesir: Shirkah Maktabah wa Mat}ba’ah Must}afa al-Halaby, Cet. 2, 1395
H/1975 M), 62
[123]Nur
al-Din ‘Itr, al-Imam al-Tirmidhy wa al-Muwazanah Baina Jami’ih wa baina
al-S{ahihain (T.tp: T{aba’ah al-Lajnah al-Ta’lif wa al-Tarjamah wa
Nashr, cet. 1, 1390 H/1970 M), 16-17
[124]‘Itr, Muwazanah…,
58
[125]Ibn
Hajar al-Asqalany, Tahdhib al-Tahdhib, vol. 9 (India: Mat{ba’ah Da’irah
al-Ma’arif al-Niz}amiyah, ct. 1, 1326 H), 389
[126]Al-Dhahaby,
Tadhkirah al-Huffaz{, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah,cet. 1,
1419 H), 254
[127]H{ajy
Khalifah, Kashf al-Z{unun ‘An Usama al-Kutub wa al-Funun, vol. 1
(Baghdad: Maktabah al-Muthanna, 1941 M), 559
[128]Sham
al-Din al-Dhahaby, Tarikh al-Islam wa wafiyat al-Mashahir wa al-A’lam, vol.
3, ed. Bashar ‘Awwad Ma’ruf (t.t: Dar al-Gharb al-Islamy, cet. 1, 2003 M), 961
[129]Abu
Yasir Muhammad Ibn Mat}r al-Zahrany, Tadwin al-Sunnah al-Nabawiyyah:
Nash’atuhu wa Tatawwuruhu min al-Qarn al-Awwal Ila Nihayah al-Qarn al-Tasi’
al-Hijry (Riyadh: Dar al-Hijrah, cet. 1, 1417 H), 138
[130]Al-Hittah fi Dhikry al-S{ihhah al-Sittah , 372
[131]‘Ali
bin Sult{an Muhammad Abu al-Hasan Nur al-Din Al-Mala al-Qary atau lebih populer
dengan ‘Mulla ‘Aly al-Qary, Mirqah al-Mafatih Sharh Mishkah al-Mas{abih, vol.
1 (Beirut: Dar al-Fikr, cet. 1, 1422 H/2002 M), 24
[132]Muhammad bin ‘I<sa al-Tirmidhi. Sunan
al-Tirmidhi, Vol. 1. Ed. Ahmad Muhammad Shakir dan Muhammad Fu’ad ‘Abd
al-Baqy (Mesir: Shirkah Maktabah wa Mat}ba’ah Must}afa al-Halaby, Cet. 2, 1395
H/1975 M), 354. Hadis nomor 187
[133]Muhammad bin ‘I<sa al-Tirmidhi. Sunan
al-Tirmidhi, Vol. 4, 48. hadis nomor 1444
[134]Muhammad bin ‘I<sa al-Tirmidhi. Sunan
al-Tirmidhi, Vol. 1, 8
[135]Ibid., 5
[136]Muhammad bin ‘I<sa al-Tirmidhi. Sunan
al-Tirmidhi, Vol. 1, 49
[137]Ibid., Vol.
2, 43