Pendahuluan
Keberadaan hadis dalam
proses kodifikasinya sangat berbeda dengan al-Quran yang sejak awal mendapat
perhatian secara khusus baik dari Rasulullah Saw., maupun para sahabat beliau
Saw. berkaitan dengan penulisannya. Bahkan al-Quran telah secara resmi telah
terkodifikasi sejak masa khalifah Abu Bakar al-S}iddiq yang disempurnakan
kemudian oleh khalifah Uthman bin ‘Affan yang merupakan waktu yang relatif
dekat dengan masa Rasulullah Saw.
Sementara itu, perhatian terhadap hadis tidaklah
demikian. Upaya kodifikasi hadis secara resmi[1] baru
dilakukan pada masa pemerintahan Umar bin Abd al-‘Aziz khalifah Bani Umayyah
yang memerintah antara tahun 99-101 Hijriyah,[2] karena
beliau merasakan adanya kebutuhan yang sangat mendesak untuk memelihara
sunnah-sunnah Rasulullah Saw baik dalam bentuk perkataan, perbuatan,
maupun taqrir beliau Saw., termasuk didalamnya sunnah para
sahabat. Untuk itulah beliau mengeluarkan surat perintah ke seluruh
wilayah kekuasaannya agar setiap orang yang hafal Hadith
menuliskan dan membukukannya supaya Hadith tidak hilang pada masa sesudahnya.[3] Waktu pengkodifikasian secara resmi ini relatif jauh
dari masa Rasulullah saw. Kenyataan ini telah memicu berbagai spekulasi
berkaitan dengan otentisitas hadis.
Tadwin hadis atau
kodifikasi hadis merupakan kegiatan pengumpulan hadis dan penulisannya secara besar-besaran yang
disponsori oleh pemerintah (khalifah). Sedangkan kegiatan penulisan hadis sendiri secara tidak resmi telah berlangsung
sejak masa Rasulullah saw masih hidup dan berlanjut terus hingga masa
kodifikasi.
Berdasarkan fakta dan ralitas historis, semangat
ilmiah penulisan dan pekodifikasian hadis Nabi SAW. telah melahirkan berbagai karya yang menghimpun hadis dalam waktu yang berdekatan di
wilayah yang berbeda-beda. Namun
ada silang pendapat tentang siapa yang pertama kali menyusun kitab hadis dan
mensistematisnya sedemikian rupa, di antara ulama hadis yang mengambil bagian
dalam usaha ini adalah: Abd al-Malik ibn Abd
al-‘Aziz (w. 150 H) di Makkah, Malik ibn Anas
(93-179 H)[4] dan
Muhammad ibn Ish}aq (w. 151 H) di Madinah, Muhammad ibn Abd al-Rah}man ibn Dhi’ib (80-158 H) di Makkah, Rabi’ ibn Sabih (-160 H), Sa’id ibn ‘Arubah (-156 H) dan Hammad ibn Salamah (-167 H) di
Basrah, Sufyan al-Thaury (97-161 H) di Kufah, Khalid ibn Jamil al-’Abd dan
Ma’mar ibn Rashid (95-153 H) di Yaman, Abd al-Rah}man ibn ‘Amr al-Auza’i (88-157 H) di Sham, ’Abd Allah ibn
al-Mubarak (118-181 H) di Khurasan, Hashim ibn Bus}air (104-183 H) di Wasit},
Jarir ibn Abdul Hamid (110-188 H) di Rayy, dan Abd Allah ibn Wahb
(125-197 H) di Mesir.[5]
Pada abad III
H, kodifikasi hadis mengalami masa keemasan dengan munculnya beragam kitab
-khususnya Kutub al-Sittah- dengan beragam metode penyusunan, ada
Kitab Musnad, Sahih, Sunan, Mukhtalaf, Mushkil,[6] dan sebagainya. Satu spesifikasi yang secara eksplisit dapat terlihat,
yakni bahwa kitab pada abad ini disusun berdasar permasalahan tertentu yang
dibagi menjadi bab-bab dan sub-sub bab; dipisahkan antara hadis marfu’,
mauquf dan maqtu; dipisahkan kualitas hadis sahih, hasan dan d}a’if.
Masing-masing kitab memiliki kekhasan yang dimiliki penyusunnya. Oleh karenanya
untuk merujuk sebanyak mungkin satu tema hadis tertentu secara komprehensif
adalah dengan mempergunakan sebanyak mungkin informasi dari berbagai kitab
hadis yangqualified (s}ah}ih}).
Pada abad IV
dan V proses kodifikasi hadis semakin mengarah kepada penyempurnaan.
Karya-karya para ulama yang hidup pada abad ini dapat dikategorisasikan dalam
berbagai tipe; (a) diantara para ulama ada yang menyusun karyaanya dengan
menggunakan metode yang ditempuh oleh al-Bukhary dan Muslim –yaitu menghimpun
hadis-hadis yang s}ah}ih} menurut mereka- karya-karya yang
mucul pada abad ini seperti: S}ah}ih} Ibn Khuzaimah (w. 311
H), S}ah}ih} Ibn Hibban (w. 354 H), Sah}ih} Ibn
al-Sakkan (w. 353); (b) ada pula diantara mereka yang menyusun hadiss}ahih} dalam
bentuk Mustdrakat seperti al-Mustadrak ‘Ala al-S}ah}ih}ain karya
Abu ‘Abd Allah al-Hakim (w. 405); (c) corak yang lain adalah penyusunan kitab
hadis yang menghimpun hadis-hadis Rasulullah Saw yang bernuansa fiqhi (hukum)
yang mencakup hadis s}ah}ih} dan selainnya, diantara karya
yang muncul untuk tipologi ini adalah al-Mutaqa karya Ibn
al-Jarud (w. 307 H) dan karya al-Sunan karya al-Daruqut}ny (w.
385 H)[7];
(d) diantara para ulama ada pula yang mengkonsentrasikan diri menelusuri dan
menyusun karya dalam masalah ikhtilaf al-h}adith[8]
dan Mushkil al-Ah}adith, karya yang muncul dalam kajian hadis
pada abad ini dengan tipologi semacam ini diantaranya adalah Sharh Ma’any
al-A<thar dan Mushkil al-A<thar yang keduanya
disusun oleh al-Tah}awy (w. 321 H); (e) tipologi yang lain adalah al-Mustakhrajat yaitu
penyusunan kitab hadis berdasarkan sanad yang dimiliki oleh mustakhrij dan
sanadnya bertemu dengan sanad penyusun kitab, diantara karya dengan tipologi
ini seperti: Mustakraj ‘Ala S}ah}ih} al-Bukhary diantara para
penyusunnya adalah: Abu Bakar Isma’il (w. 371 H), Abu Ahmad al-Ghit}rify (w.
377 H), Ibn Abi Dhuhl (w. 378), Ibn Maradwaih (w. 416)[9]: Mustakhraj
‘Ala Sah}ih} Muslim diantara para ulama yang menyusun karya dengan
judul tersebut adalah; Abu ‘Awanah (w. 316 H), Abu al-Fad}l Ah}mad ibn Salamah
(w. 286),[10]
Abu Ja’far al-Hiyary (w. 311), Abu Bakar Muhammad ibn Muhammad ibn Raja’ (w.
286)[11],
Abu Nas}r al-Tusy (w. 344)[12]: Mustakhraj
‘Ala al-S}ah}ih}ain dianatar para ulama yang menyusun karya dengan
tipemustakhraj semacam ini adalah; Ibn al-Akhram (w. 344), Abu
Bakar Ah}mad ibn ‘Abdan al-Shairazy (w. 388), Ibn Manjawaih[13] (w.
428 H), Abu Nu’aim al-As}fahany (w. 430), Abu Dharr ‘Abd ibn Ah}mad al-Harawy
(w. 434 H), dan Abu Muh}ammad al-Hasan bin Muh}ammad al-Khallal (w. 439)[14]
pada abad ini pula para ulama mulai menyusun karya-karya dalam bidang‘Ulum
al-Hadith secara sistematis seperti kitab al-Muh}addith al-Fas}il
karya Abu Muh}ammad al-Ramahurmuzy (360); (g) tipologi kitab hadis lainnya
yang muncul pada abad ini adalah tipe mu’jam seperti
kitab al-Mu’jam al-Kabir, al-Awsat}, dan al-Saghir karya
al-Tabrany (w. 360 H).[15]
Pada Abad V dan
VI diantara tipologi penyusunan kita hadis yang muncul adalah tipe majami’ yaitu
menghimpun hadis-hadis dari dua kitab hadis atau lebih dengan cara meringkas
sanad (ikhtis}ar al-sanad)[16],
hadis-hadis tersebut dihimpun berdasarkan cakupan makna dalam satu bab dan
sub-bab. Diantara karya-karya dengan tipe ini adalah; al-Jam’ Bayn
al-S}ah}ih}ain karya Abu Mas’ud Ibrahim ibn Muhammad al-Dimashqi (w.
401 H), Ibn Furat (w. 414), Abu Bakar al-Barqany (w. 425 H), Abu ‘Abd Allah
Muh}ammad ibn Nas}r al-Humaidy (w. 488 H)[17],
al-Baghawy (w. 516 H), al-Shibly (w. 518), al-Murri (w. 582 H), al-Mus}ily (w.
622 H), dan al-S}aghany (w. 650 H). al-Jam’ Bayn Kutub al-Khamsah dan al-Sittah diantara
karya-karya tersebut adalah; al-Tajrid al-Sah}ih} wa al-Sunan karya
Abu al-Hasan Razin (w. 535 H). al-Jam’u Baina al-Kutub al-Sittah karya
al-Shibly (w. 581 H), Jami’ al-Us}ul Fi Ah}adith al-Rasul karya
Ibn Al-Athir al-Jazary (w. 606 H), danAnwar al-Mis}bah} Fi al-Jami’ Baina
al-Kutub al-Sittah karya Abu ‘Abd Allah al-Tujiby (w. 646).[18]
Setelah proses penyempurnaan pengkodifikasian hadis dan
penelitiannya terus berlanjut hingga abad IX Hijriyah dan terus dilakukan oleh
para ulama Islam hingga saat ini dalam berbagai tipologinya. Fakta-fakta
sejarah dari masa periwayatan (‘as}r al-riwayah) hingga masa
pengkodfikasian hadis (‘as}r al-tadwin) sebagaimana yang terbentang
dalam perjalanan sejarah keilmuan kaum muslimin merupakan bukti nyata bahwa
Allah Swt. senantiasa menjaga al-Sunnah yang merupakan wahyu
kedua setelah al-Qur-an (berdasarkan ijma’ jumhur ‘ulama dari kalangan Ahl
al-Sunnah wa al-Jamah).
Dari uraian reflektif di atas, pada tulisan ini
berusaha menelaah semaksimal kemampuan dan keterbatasan rujukan untuk
menguak manhaj atau metode penyusunan karya hadis yang disusun
dengan menggunakan tipologi majami’ dimana sejarah menyebutkan
bahwa tipologi ini muncul antara abad V dan VI H. Terdapat beberapa karya ulama
yang disusun dengan tipologi ini –sebagaimana yang telah disebutkan terdahulu-,
namun yang menjadi fokus pengkajian dalam tulisan ini adalah karya-karya
tertentu seperti karya Ibn al-Athir al-Jazary (544 – 606 H) dan karya
al-Suyut}i yang merupakan salah seorang ulama hadis yang hidup pada abad VI
Hijriah.
A. Definisi Majami’
Menurut bahasa, al-majami‘ merupakan bentuk plural (jama’)
dari kata majma‘ (مجمع) yang
berarti secara harfian bermakna tempat berhimpun.
Sedangkan menurut istilah ilmu hadis kata al-majami‘ seperti yang
dijelaskan dalam karya Nur al-Din ‘Itr bahwa al-majami‘ adalah:
المجامع:وهي كتب تجمع أحاديث عدة كتب من مصادر
الحديث[19]
Al-Majami’ adalah kitab-kitab yang mengumpulkan hadis-hadis dari
rujukan pokok kitab-kitab hadis.
Menurut
al-T}ahhan dalam kitab Us}ul al-Takhrij bahwa yang dimaksud al-majami‘
secara terminologi adalah metode penyusunan kitab hadis dengan cara
menghimpun hadis-hadis yang berasal dari kitab-kitab yang telah ada sebelumnya.[20]
B.
Tipe Klasifikasi Majami’ [21]:
Sejak abad keempat hijriyyah pengumpulan hadis lebih
banyak dari pada kitab dalam karangan. Dari permasalah ini akhirnya
dijadikanlah sebuah manhaj baru dalam kodifikasi hadis yaitu mengumpulkan hadis
dari kitab hadis induk berdasarkan[22]:
1. Tema atau
bab tertentu seperti kitab Majma’ al-Zawaid karya al-Haythami.
2. Abjad atau
alfabetis seperti kitab Al-Jami’ al-S}aghir karya al-Suyut}i.
3. Dua manhaj
(berdasarkan tema hadis dan abjad) seperti kitab Jami’ al-Us}ul fi
Ah}adith al-Rasul karya Ibn Athir .
4. Nama sahabat
yang meriwayatkan hadis kemudian membagi lagi pada perawi yang meriwayatkan
dari sahabat tersebut dari kalangan tabi’in yang disesuaikan berdasarkan huruf
hijaiyyah dan menyebutkan mukharrij-nya, seperti kitab Tuhfat
al-Ashraf karya al-Mizzi
C.
Kegunaan
kitab hadis majami’
Dilihat dari
tipe kodifikasi kitab hadis majami’ di atas dapat diambil kesumpulan
untuk kegunaan nya yaitu:
1.
Memudahkan untuk mencari hadis
yang hanya ingat sepenggal atau potongan awal hadis.
2.
Dapat mencari hadis berdasarkan
perawi yang meriwayatkan hadis tersebut
3.
Serta dapat mencari hadis
berdasarkan tema-tema tertentu.
D. Kitab-kitab hadis majami’
Kitab-Kitab majami’ yang akan disebutkan ini
akan diklasifikasikan berdasarkan tahun terbitnya kitab, yaitu dari abad V
Hijriyah sampai X Hijriyah dan XI Hijriyyah sampai sekarang, sehingga
kitab-kitab ini dibagi menjadi dua kelompok:
1.
Kitab hadis majami’ klasik
a.
Al-Jam’ bayn al-S}ah}ih}ayn
al-Bukhari wa Muslim karya al-Jawzaqi (w 388 H.), Abu Bakar Muhammad ibn Abd
Allah Ibn Muhammad al-Naysaburi.
b.
Al-Jam’ bayn al-S}ah}ih}ayn karya
al-Qarrab (w. 414 H.), Abi Muhammad Isma’il ibn Ibrahim ibn Muhammad
al-Sarkhasi.
c.
Al-Jam’ al-S}ah}ih}ayn karya
al-Humaydi (w. 488 H.), Abu Abd Allah, Muhammad ibn Abi Nas}r Fatuh ibn Abd
Allah al-Azdi al-Andalusi al-Qurtuby
d.
Bahr al-Asanid fi S}ah}ih} al Masanid karya Imam al-Hafiz} Muhammad Ahmad
al-Samarqandi (W. 491 H). Al-Dhahabi menyebutkan: “… dalam kitab ini
dikumpulkan sebanyak 100.000 hadis dalam 800 juz, jika dikategorikan niscaya
tidak ada dalam Islam yang sepertinya.”
e.
Al-Jam’ Bayn al-S}ah}ih}ayn karya al-Baghawi (w. 516 H.), Abi
Muhammad al-Husayn Mas’ud ibn Muhammad ibn al-Farra’ al-Shafi’i.
f.
Jami’ al-Us}ul min Ah}adith
al-Rasul karya Ibn Athir (w. 606 H.)
g.
Ja}mi’ al-Masanid wa Sunan
al-Hadi li Aqwam al-Sunan karya al-H}afiz} Ibn Kathir (W. 774 H). Kitab ini
menggabungkan hadis-hadis yang ada dalam kutubul ‘ashrah.[23] Ibn Kathir wafat sebelum menyelesaikan
penyusunan kitab tersebut.
h.
Majma al-Zawaid Wa Manba’ al-Fawaid karya al-H}afiz} Nuruddin al-Haithami
(W. 807 H).
i.
Ithaf al-Khairah al-Maharrah Bi Zawaidi
al-Masanid al-‘Asharah karya al-Hafiz} al-Bushiri (W. 840
H).
j.
Ithaf al-Sadah al-Khairah
al-Maharrah Bi At}raf al-Kutub al-‘Ashrah karya al Hafiz} Ibn Hajar (W. 852
H).
k.
Al-Jami’ al-Kabir karya al-Hafiz} Jalal al-Din al-Suyut}i (W. 911 H)
l.
Ziya}dah al-Jami’ al-S}aghir karya al-Suyut}i, kitab ini adalah
tambahan terhadap kitab al-Jami’
al-S}aghir.
m.
Kanz al-‘Umal Fi Sunan al-Aqwal Wa
al-Af’al karya al Hindi (W. 985 H). kitab ini
adalah tartib (susunan) baru
dari 3 kitab al Jami’ milik al-Suyut}i dengan corak fikih.
n.
Al-Jami’ al -Azhar min H}adith al-Nabiy al-Anwar karya al-H}afiz} al Manawi (W. 1031 H).
2.
Kitab majami’ kontemporer
a.
Al-Taj
al-Jami’ Li al-Us}ul Fi Ah}adith al-Rasul
Saw karya
Muhammad ‘Ali Nasif (W. 1371 H). kitab ini merupakan gabungan dari kutub
al-sittah.
b.
Al-Lu’lu’
wa al-Marjan Fima Ittafaq al-Shaikhan karya
Muhammad Fuad abd al Baaqi’ (199-1388 H).
c.
Mausu’ah
al-Hadith al-Nabawi karya
Abd al Malik Abu Bakar Qadhi.
d.
Al-Musnad
al-Jami’ karya
Abu al-Mu’at}i al-Nuri, Ahmad ‘Iid, Aiman al Zamili, dan Mahmud Khalil.
e.
Al-Jami’
Bayn al-S}ah}ih}ain Li al-Imamain al-Bukhari
Wa Muslim karya
S}alih Ahmad Shami.
f.
Jawahir
al-Bihar
Fi al-Ah}adith al-S}ah}ih}ah al-Qas}r karya
Abdullah bin Abd Qadir at Taliidi.
g.
Mausu’ah
al-Ah}adith Wa al-Athar adh D}’ifah Wa al –Mawd}u’ah karya
Ali al Halabi, Ibrahim al Qisi, dan Hamdi Murad.
h.
Al-Mut’ah
Fi Bayan al-Ah}adith Allati Ittafaq ’Alaih al-Sab’ah karya
Ibrahim bin Abd Allah
al-Hazimi.
i.
S}ah}ih}
al-Huffaz} Mimma Ittafaq ’Alaih al-Aimmah al-Sittah karya
‘Iwad Khalaf.
S}afwah
al-Ah}adith al-Nabawiyyah al-Sharifah: al- Ah}adith Allati Ittafaq ‘Ala
S}ihhatih ‘Adad Min Aimmah al-Hadith karya
Abd al-Qadir Muhammad al Maki al Kattani.
E.
Telaah kitab hadis majami’
1. Jami’ al-Us}ul Fi Ah}adith al-Rasul karya Ibn Athir.
Kitab Jami’ al-Us}ul Fi Ah}adith al-Rasul adalah
kitab yang menghimpun hadis-hadis kutub Us}ul al-Sittah (S}ah}ih}
al-Bukhari, S}ah}ih}
Muslim, al-Muwat}t}a’, Sunan Abu Dawud, Sunan al-Tirmidhi, dan Sunan
al-Nasa’i), Ibn al-Athir menyusun hadis-hadis tersebut sesuai dengan makna
dan kandungan dari hadis-hadis tersebut agar memudahkan para penuntut ilmu
untuk mencari hadis-hadis yang diinginkannya, dan makna hadis yang menunjukkan
atasnya, serta menjelaskan lafal-lafal yang gharib yang terdapat dalam setiap hadis dan menjelaskan
kandungan maknanya secara ringkas.[24]
Kitab ini memiliki hubungan yang sangat erat dengan
kitab al-Tajrid al-Sah}ih} wa al-Sunan karya Abu Al-Hasan Razin
(w. 535 H) dimana Ibn al-Athir menyatakan:
“Ketika sampai kepadaku beberapa karya (yang
menghimpun kitab-kitab hadis) aku melihat bahwa karya-karya tersebut disusun
dengan sangat baik dan rapi, dan aku melihat kepada kitab Razin yang dia adalah
yang peling besar dan paling lengkap (dari kitab-kitab yang menghimpun kutub
al-sittah), dimana kitab ini mencakup kutub al-sittah yang
merupakan induk kitab-kitab hadis,…Saat itu, aku pun berkeinginan untuk
menyibukkan diri (menelaah) kitab himpunan dari kitab s}ah}ih ini,
dan berusaha untuk bersandar kepadanya, meskipun hanya sekedar membacanya atau
menyalinnya, ketika saya menelitinya aku menemukan –di dalamnya dari hasil jerih
payahnya-dia meninggalkan banyak bab, dimana bab-bab tersebut lebih utama untuk
dimasukkan, dan melakukan banyak pengulangan hadis dalam setiap bab, dan
meninggalkan banyak hadis pula dalam setiap bab. Kemudian aku membandingkan
antara susunannya (Razin) dengan kitab-kitab standar yang hadis-hadisnya dia
sajikan didalam susunannya tersebut, aku menemukan bahwa hadis-hadis yang cukup
banyak yang tidak dia sebutkan dalam kitabnya baik dalam bentuk mukhtas}ar atau
sekedar memberikan betunjuk. Pada bagian lain aku menemukan dalam kitabnya
hadis-hadis yang tidak terdapat dalam al-us}ul yang aku baca,
telah aku dengarkan dan telah aku nukil, hal itu lebih disebabkan pada
perbedaan naskah dan jalur (sanad). Pada sisi yang lain aku melihat (Razin)
menyusun kitab berdasarkan susunan bab yang terdapatS}ah}ih} al-Bukhari,
lalu dia menyebutkan sebahagian dan meninggalkan sebahagian lainnya. Kemudian
aku membisikkan dalam hatiku untuk memperbaiki kitabnya, menertibkan susunan
babnya, menyelaraskan tujuannya, mempermudah pencariannya, dan aku memasukkan
didalanya hadis-hadis pokok yang dia tinggalkan, lalu aku ikutkan didalamnya
beberapa penjelasan seputar gharib, i’rab, dan
kandungan makna hadis, dan selainnya yang dapat memberikan tambahan
penjelasan…”.[25]
Manhaj atau metode penulisan dari kitab ini
telah diuraikan secara terperinci oleh Imam Ibn al-Athir dalam bab dua
dari muqaddimah-nya.[26] Dalam
pada itu, uraian tersebut dapat dijelaskan secara ringkas sebagi berikut:
1) Ia membuang sanad hadis, dan tidak menetapkan sanadnya
kecuali nama sahabat jika hadis tersebut berstatus marfu’, atau
menetapkan nama periwayat dari kalangan tabi’in yang meriwayatkan dari sahabat
apabila hadis tersebut mawquf. Adapun biografi para periwayat
hadis, beliau uraikan dalam bab khusus pada bagian akhir dari kitabnya dengan
menyusunnya berdasarkan susunan huruf hijaiyyah.
2) Untuk matan hadis beliau tidak memasukkan kecuali
hadis dari Rasulullah Saw dan athar dari sahabat. Adapun
perkataan para tabi’in dan generasi setelah mereka, maka beliau tidak
mencantumkannya kecuali sesekali saja. Metode ini beliau kutip dari metode yang
diterapkan oleh al-Humaydi dalam al-Jam’
Bayn al-S}ah}ih}ayn. Hadis-hadis yang tardapat dalam karya al-Humaydi tersebut
menjadi acuan dalam penukilan hadis-hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. Adapun empat kitab yang lain, maka beliau nukil dari
kitab-kitab aslinya yang telah beliau baca dan dengarkan, dan menyatukannya
dengan al-S}ah}ih}ayn jika memiliki kesamaan cakupan makna.
Dalam memasukkan matan-matan dari hadis tersebut, beliau senantiasa
mendahulukan matan hadis al-S}ah}ih}ayn dari selainnya, jika
terdapat penambahan dalam matan atau penjelasan terhadap matan yang tidak
terdapat dalam kedua kitab tersebut, maka beliau menelusurinya dari ummahat
al-kutub dan memasukkannya kedalam bagian yang sesuai dengannya.
Adapun matan hadis yang tedapat dalam kitab susunan Razin dan tidak terdapat
dalam kutub al-us}ul, maka beliau menukilnya dari sebagaimana yang
termaktub dalam kitab Razin dan membiarkannya tanpa petunjuk tentang siapa yang
mengeluarkannya. Namun apabila beliau temukan mukharrij dari hadis yang
bersangkutan, maka beliau hanya menyebutkannya pada bagian akhir dari hadis
tersebut.
3) Penyusunan bab yang dilakukan oleh Imam Ibn al-Athir
didasarkan pada makna-makna yang dikandung oleh hadis. Dengan demikian, setiap
hadis yang menunjukkan satu makna yang sama, maka beliau menyatukannya dalam
satu bab tersendiri. Hadis-hadis yang memiliki cakupan makna lebih dari satu,
maka beliau memasukkannya dalam bagian khusus dari kitab yang beliau berinama
dengan kitab al-lawah}iq yang dibagi ke dalam berbagai bab,
dimana dalam setiap bab mencakup hadis-hadis yang memiliki makna lebih dari
satu dan sejenis. Namun apabila terdapat hadis yang memiliki cakupan makna
lebih dari satu, tetapi memiliki satu makna yang lebih dominan dari yang
lain, maka beliau memasukkan hadis-hadis yang seperti itu dalam bab berdasarkan
cakupan makna yang dominan darinya seperti hadis-hadis tentang Iman dan Islam.
4) Imam Ibn al-Athir menyusun karyanya ini dengan
menggunakan sistem Kitab (contoh Kitab Fi
al-I<man wa al-Islam), dalam setiap kitab terperinci ke dalam bab, dalam
setiap bab terperinci ke dalam pasal, dalam setiap pasal terperinci ke dalam
macam (anwa’), dalam setiap macam terperinci ke dalam cabang, dan dalam
setiap cabang terperinci ke dalam pembagian (aqsam). Beliau menyadari
akan konsekuensi penyusunan dengan model ini, dimana dalam setiap judul Kitab
terdapat berbagai hadis yang memiliki berbagai makna yang selaras dengan judul
kitab tersebut seperti yang berhubungan dengan kewajiban, rukun dan hakikatnya,
sunnah-sunnahnya, syarat-syaratnya, anjuran untuk melaksanakannya, dan
keutamaannya.[27] Hadis-hadis
dalam setiap bagian dalam satu judul kitab adalah hadis-hadis yang beredaksi
sama, mirip atau yang mendekatinya, ini dilakukan dengan tujuan agar para
pencari hadis jika menemukan hadis dalam bab, pasal, dan cabang pembahasan
tertentu, maka dia tidak lagi akan menemukan hadis yang mirip atau yang
mendekati maknanya pada pasal-pasal yang lain kecuali hal itu sangat jarang.
5) Nama-nama judul kitab beliau susun berdasarkan urutan
huruf hijaiyyah, penempatan judul-judul tersebut disesuaikan dengan huruf awal
dari setiap kata baik huruf tersebut adalah huruf asli atau imbuhan, mislanya
kata al-I<man dan al-I<slam beliau letakkan pada huruf Hamzah sebab
kata-kata tersebut diawali dengan huruf alif asli, adapun
untuk imbuhan seperti kata al-I’tis}am beliau letakkan dalam
rangkain huruf hamzah dimana seharusnya berada dalam huruf ’ain demikan
pula halnya dengan kata Ih}ya’ al-Mawat yang seharusnya berda dalam
huruf h}a’ tetapi beliau memasukkannya dalam rangkaian huruf hamzah.
Menurut beliau, ini bertujuan untuk memudahkan para pencari hadis dalam
menemukan hadis-hadis yang mereka butuhkan dari Kutub al-Us}ul
al-Sittah. Pada sisi lain terdapat satu bab yang memiliki hubungan dengan
berbagai permasalah yang terpisah secara harfiahseperti kata al-Jihad diletakkan
pada huruf jim, dan hukum-hukum yang berkaitan dengannya
diantaranya adalah al-ghanimah, al-ghulul keduanya diawali dengan
huruf ghain, demikian pula dengan al-khumus diawali
dengan huruf kha’ kesemua kata tersebut seharusnya diletakkan
pada hurfnya masing-masing, tetapi beliau menyebutkanya dalam rangkaian
huruf jim dari kata al-Jihad dengan asumsi
bahwa apabila seluruh permasalahan tersebut ditempatkan sesuai pada tempatnya,
maka akan memberikan kesan bahwa pembahasan tentang jihad terbagi-bagi.
Demikianlah beliau memperlakukan setiap huruf yang terdapat dalam susunan kitab
ini.
6) Dalam setiap awal hadis beliau terlebih dahulu
menempatkan nama mukahrij dalam bentuk rumus dan periwayat dari
kalangan sahabat (jika itu adalah hadis marfu’) atau tabi’in (jika
itu adalah hadis mawquf). rumuz dan nama tersebut beliau tempatkan dalam
kurung atau dalam istilah beliau “al-hamish”. Adapun rumus-rumus yang beliau gunakan untuk
setipa mukharrij dalam kitabnya ini adalah:
خ : البخاري م :
مسلم ط :
الموطأ
ت : الترمذي د : أبو
داود
س : النسائي
Contoh hadis dalam kitab Al-Jami’ al-Us}ul fi Ah}adith al-Rasul,
1- (خ م ت س) عبد الله بن
عمر: قال: قال رسولُ الله صلى الله عليه وسلم: «بُنِي الإسلامُ على خَمْسٍ: شهادةِ
أن لا إله إلا الله، وأنَّ محمدًا عبْدُهُ ورسولُهُ، وإقامِ الصلاةِ وإيتاءِ
الزّكاةِ، وحَجِّ البيت، وصومِ رمضان» .
وفي رواية أنَّ رَجُلاً قال له: ألا تَغْزُو؟ فقال له:
إني سمعتُ رسولَ الله صلى الله عليه وسلم
يقول: «إنَّ الإسلامَ بُنيَ على خمسٍ ... » وذكَرَ الحديثَ.
وفي أخرى: «بُنِيَ الإسلام على خَمْسَةٍ: على أنْ
يُوَحَّدَ اللهُ، وإقامِ الصلاةِ، وإيتاءِ الزكاةِ، وصيامِ رمضان، والحجِّ» ، فقال
رجل: الحجِّ وصيامِ رمضان؟ قال: «لا، صيام رمضان والحجِّ» ، هكذا سمعته من رسول
الله صلى الله عليه وسلم.
وفي أخرى «بُنِيَ الإسلام على خمس: على أن
يُعْبَدَ اللهُ ويُكْفَرَ بما دُونه، وإقامِ الصلاة، وإيتاءِ الزكاةِ، وحجِّ
البيت، وصومِ رمضان» أخرَجَ طُرُقَهُ جميعَها مسلمٌ، ووافَقَه على الأولى:
الترمذي، وعلى الثانية: البخاريّ والنسائيّ.[28]
Hadis yang yang disebutkan di atas adalah hadis yang
dikategorikan pada huruf hamzah. Namun redaksi hadis ini tidak berawalan
huruf hamzah. Tapi yang dimaksudkan oleh penulis kitab ini adalah kandungan
dari hadis itu sendiri. Hadis ini mengandung makna atau dapat dikategorikan
pada topik Islam, dan kata islam merupakan kosa kata yang didahului dengan
huruf hamzah. Jadi dapat diambil kesimpulan bahwa hadis tersebut
merupakan hadis yang dikumpulkan dengan tema tertentu, dan tema tersebut
dikumpulkan berdasarkan abjad hijaiyyah.
Seperti yang disebutkan di atas bahwa penulisan hadis
ini tidak disertai dengan sanad. Hanya saja menyantumkan sanad pertama, yaitu
sahabat yang menyandarkan perkataannya pada Rasulullah.
Setelah menyebutkan redaksi hadis, Ibn Athir juga
mencantumkan riwayat lain yang setema dengan hadis tersebut dan menjelaskan mukharrij
hadis yang sepakat dengan redaksi hadis yang disebutkan di atas.
2. Al-Jami’ al-S}aghir karya
al-Suyut}i
Nama panjang dari kitab Al-Jami’
Al-Saghir adalah Al-Jami’ Al-S}aghir Fi
Ah}adith Al-Bashir Al-Nadhir. Alasan
Imam Al-Suyut}i menamai kitab ini dengan nama tersebut karna kitab hadits ini
adalah ringkasan dari kitab karya Imam Al-Suyut}i sebelumnya yang diberi nama al-Jam’
al-Jawami’ dimana kitab ini dimaksudkan untuk mengumpulkan seluruh hadits
yang diriwayatkan dari Rasulullah saw.[29]
Berikut beberapa keteragan tentang kitab Jami’
al-S}aghir
- Kitab Al-Jami’
Al-S}aghir ditulis oleh Jalal al-Din al-Suyut}i,
seorang ulama bermadhab Shafi’iyah dari Mesir yang wafat sekitar tahun 911
H.
- Dalam
bukunya ini, Imam as-Suyut}i mengumpulkan sekitar 10.000 hadis. Atau
dengan angka lebih pasti, 10.031 hadis, berdasarkan penomoran dalam versi
cetaknya.
- Sebenarnya, Al-Jami’
Al-S}aghir adalah ringkasan dari
kitab a-Suyut}i sebelumnya, yang berjudul Jaml al-Jawami’.
- Beliau
pilih hadis-hadis di Jami’ al-Jawami’ dan beliau susun berdasarkan
urutan huruf hijaiyyah pada awal hadis. Sehingga memudahkan bagi
pembaca untuk menemukan hadis dalam waktu cepat.
- Beliau
pilih hadis-hadis yang ringkas dan tidak banyak mencantumkan hadis tentang
hukum.
- Beliau
juga menghidari hadis yang dalam sanadnya ada perawi pemalsu hadis atau
pendusta, yang sendirian, menurut penilaian beliau. Namun beliau masukkan
dalam kitabnya, hadis s}ah}ih}, hasan, dan d}a’if dengan
berbagai macamnya.
Metode yang diterapkan al-Suyut}i dalam membawakan hadis di al-Jami’
al-S}aghir[30]:
1) Tidak
mencantumkan sanad hadis, hingga nama sahabat pun tidak beliau sebutkan.
2) Hanya
menyebutkan matan hadis.
3) Setelah
menyebutkan menyebutkan nama kitab hadis yang meriwayatkan hadis tersebut
dengan kode dan nama sahabat yang membawakan hadis ini.
4) Kemudian beliau
menyebutkan kode derajat hadis, apakah s}ah}ih}, ataukah d}a’if.
Sebagai contoh, al-Suyut}i menyebutkan satu hadis di
no. 1035:
آيَةُ مَا
بَيْنَنا وَبَيْنَ المُنافِقِينَ أنَّهُمْ لاَ يتضلعون من زمزم
)تخ هـ ك) عن ابن عباس
(صح(
Kitab
al-Jami’ al-S}aghir
termasuk salah satu kitab hadis yang banyak dijadikan rujukan. Ada beberapa
alasan yang menyebabkan kitab ini banyak digunakan,
a.
Metode
penyusunan hadis yang sangat memudahkan bagi pengguna untuk mencari hadis.
Karena diurutkan sesuai huruf hijaiyah, mengacu pada huruf pertama hadis.
b.
Hanya
berisi matan, sehingga memudahkan pengguna untuk mencari matan hadis
c.
Matan
hadis ringkas-ringkas, sehingga mudah digunakan untuk pendalilan.
d.
Dicantumkan
nama kitab induk yang meriwayatkan hadis.
e.
Dicantumkan
penilaian status hadis
f.
Penulis,
Imam al-Suyut}i dikenal dengan
kapabilitas dan kemampuannya
dalam berbagai disiplin ilmu.
Beberapa catatan tentang al-Jami’ al-S}aghir
1.
Para
ulama hadis mengatakan, ada unsur terlalu longgar untuk penilaian al-Suyut}i terhadap derajat
hadis.[31]
2.
Karena
itu, al-Munawi dalam Sharh
al-Jami’ al-S}aghir
banyak memberikan catatan hadis dan penilaian yang berbeda dengan as-Suyuthi,
disertai penjelasan mengapa beliau berbeda.
3.
Disamping
al-Munawi, ulama hadis kontemporer yang meneliti ulang penilaian al-Suyut}}i
terhadap hadis adalah Imam Muhammad Nashiruddin al-Albani. Beliau meneliti
status hadis di al-Jami’ al-S}aghir, dan membagi menjadi dua yaitu S}ah}ih}
Jami’ al-S}aghir dan d}a’if Jami’ al-S}aghir
Kitab Al-Jami’ Al-Saghir memiliki beberapa
keunggulan yang tidak dimiliki oleh kitab-sebelumnya. Antara lain adalah bahwa
kitab hadis adalah ringkasan dari kitab al-Jam’ al-Jawami’, yang
di dalamnya mengandung ribuan
hadis yang bersumber dari Rasulullah saw. Pengarang telah menjanjikan dalam muqaddimah-nya bahwa dalam menyusunnya
beliau sangat berhati-hati dari kemungkinan masuknya hadis-hadis yang berasal
dari orang-orang pendusta. Susunan kitab ini sangat memudahkan seseorang dalam
mencari sebuah hadis. Hadis-hadis di dalamnya diambil dari kitab-kitab induk
seperti Kutub al-Sittah dan beberapa kitab hadis lainnya, dan telah
dibuatkan rumus untuk mempermudah mencarinya di dalam kitab-kitab rujuakan
tadi.
Beberapa kekurangan yang terkandung dalam kitab
ini antara lain dikarenakan hadis yang terdapat di dalamnya tidak semuanya
sahih atau hasan, pengarang juga mencantumkan hadis d}a’if ke dalamnya.
Tidak terdapat sanad hadis utuh, hal ini agak merepotkan pembaca karena harus mencarinya lagi pada
kitab asalnya.
Penutup
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa majami’ merupakan metode penyusunan kitab hadis dengan cara menghimpun hadis-hadis yang berasal dari kitab-kitab yang telah ada sebelumnya.
Dilihat dari sudut satu sudut
pandang mungkin kitab ini kurang terlihat manfaatnya, karena hadis-hadis yang
terdapat dalam kitab ini merupakan hadis yang telah ditulis oleh ulama
sebelumnya artinya kitab tipe ini merupakan kitab pengulangan dari kitab zaman
dulu. Namun disisi lain tipe hadis ini sangat memiliki banyak keunggulan,
karena suatu saat seseorang terkadang lupa akan redaksai hadas yang terlalu
panjang, sehingga dengan adanya kodifikasi kitab hadis ini memudahkan untuk
mencari matan dan sanadnya serta mukharrij yang mengeluarkan hadis ini.
Kemunculannya
dimulai antara abad V dan VI. Hadis-hadis yang dihimpun berdasarkan
cakupan makna dalam satu bab dan sub-bab. Kodifikasi
kitab hadis majami’ ini memiliki tipe, yaitu mengumpulkan hadis dari
kitab induk berdasarkan tema tertentu, berdasarkan abjad dan berdasar dua
manhaj (berdasarkan tema dan abjad) serta berdasarkan nama sahabat. Diantara
kegunaan tipologi pengumpulan hadis metode majami’ adalah memudahkan
pencarian matan hadis.
BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN:
- TIPOLOGI KODIFIKASI HADIS MASHHUR
- TIPOLOGI KITAB HADIS MAJAMI’
- TIPOLOGI KITAB HADIS QUDSI
- TIPOLOGI KITAB HADIS AL MUSTAKHRAJ
- TIPOLOGI KITAB HADIS AL-ATRAF
- TIPOLOGI KODIFIKASI KITAB HADIS AL-MUSTADRAKAT
DAFTAR PUSTAKA
Asqalani (al), Ahmad ibn Ali ibn Hajar. Fath} al-Bari, vol. 1. ttp : Dar al-Fikr wa Maktabat al-Salafiyyah. t.t.
Bahansawi (al), Salim
Ali. Rekayasa As-Sunnah, terj. Abdul
Basith Junaidi. Jakarta: Ittaqa Press, 2001.
Goldziher, Ignaz. Muslim Studies, Vol. 1. London : Goerge Alen, t.th.
‘Itr, Nur al-Din. Manhaj al-Naqd fi ‘Ulum al-Hadith. Suria: Dar al-fikr, 1997.
Jazary (al), Abu al-Sa’adat al-Mubarak ibn Muh}ammad Ibn al-Athir. Jami’ al-Us}ul Fi Ah}adith al-Rasul, Juz. 1. Beirut: Dar al-Fikr, 1403 H/1983 M.
Mara’shili (al), Yusuf ibn Abd al-Rahman. Mas}adir al-DIrasat al-Islamiyyah wa Niz}am al-Maktabat wa al-Ma’lumat, juz 1, Beirut: Dar al-Bashair al-Islamiyyah, 2006.
Suyut}i (al), Abd Rahman ibn Abi Bakar. Tadrib al-Rawi fi Sharh} Taqrib al-Nawawy, vol. 2. al-Riyad}: Maktabah al-Riyad} al-Hadis|ah, t.th.
_______, Al-Jami’ Al-Shaghir Fi Ah}adith
Al-Bashir Al-Nadhir, Beirut : Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2010.
T}ahhan, Mahmud. Us}ul
al-Takhrij.
Zahrany (al), Muh}ammad. Ensiklopedi Kitab-kitab Rujukan Hadis, terj. Muhammad Rum et-al. Jakarta: Darul Haq, 2011.
Zaqzuq, Mah}mud Hamdy. Mausu’ah
‘Ulum al-Hadith al-Sharif. Mesir: Wiazarat
al-Awqaf Jumhuriyyat Mis}r, 1428 H / 2007 M
[1]Sebenarnya Khalifah ‘Umar bin al-Khattab pada masa pemerintahannya pernah berkeinginan membukukan hadis secara resmi, setelah beliau melakukan diskusi dengan sahabat-sahabat yang lain, para sahabat yang hadir pada saat itu pun setuju dengan hal tersebut, tetapi ‘Umar ber-istikhara (meminta petunjuk kepada Allah) selama sebulan dan akhirnya memutuskan untuk tidak membukukan hadis dengan alasan bahwa umat terdahulu pernah melakukan pembukuan ucapan para nabi mereka lalu melupakan kitab Allah. Lihat: Abd Rahman ibn Abi Bakar al-Suyuti, Tadrib al-Rawi fi Sharh Taqrib al-Nawawy, vol. 2 (al-Riyad: Maktabah al-Riyad al-Hadis|ah, t.th.), 68.
[2]Keinginan tersebut sesungguhnya telah muncul ketika masih menjabat sebagai Gubernur di Madinah (86-93 H), pada masa pemerintahan al-Walid bin Abd al-Malik (86-96 H).
[3]Surat itu dikirim ke seluruh pejabat dan ulama di berbagai daerah pada sekitar akhir tahun 100 H. Lihat. Ahmad bin Ali bin Hajar al-‘Asqalani, Fath al-Bari, vol. 1 (ttp : Dar al-Fikr wa Maktabat al-Salafiyyah, 600 H.), 194-195.
[4]Karya Malik bin Anas yang dikenal dengan nama al-Muwatta’ tersebut sampai sekarang masih ada. Di dalamnya terdapat 1726 hadis dari Nabi, sahabat dan tabi’in. Menurut hasil penelitian dari jumlah hadis itu terdapat 600 musnad, 228 mursal, 613 mauquf dan 285 maqtu’. Dari segi sanad, hadis yang terkandung di dalamnya ada yang sahih, hasan dan da’if. Kemudian bila dikonfirmasikan dengan hadis yang ditulis Bukhari dan Muslim, maka diketahui bahwa matan al-Muwatta’ itu sahih. Ignas Goldziher tidak menyetujui karya Malik itu sebagai kitab hadis, dengan alasan antara lain; 1) belum mencakup seluruh hadis yang ada, 2) lebih menekankan pada hukum dan pelaksanaan ibadah, serta kurang mengarah kepada penyelidikan dan penghimpunan hadis, dan 3) tidak hanya berisi hadis semata, tetapi juga berisi fatwa sahabat (fatawa al-tabi’in) dan konsensus masyarakat Islam di Madinah (ijama’ ahl al-Madinah atau ‘amal ahl al-Madinah). Lihat Ignaz Goldziher, Muslim Studies, Vol. 1 (London : Goerge Alen, tth), 195-196.
[5]Salim Ali al-Bahanasawi, Rekayasa As-Sunnah, terj. Abdul Basith Junaidi (Jakarta: Ittaqa Press, 2001), 40-41.
[6]Muhammad al-Zahrany, Ensiklopedi Kitab-kitab Rujukan Hadis, terj. Muhammad Rum et al (Jakarta: Darul Haq, 2011), 109.
[7]Al-Zahrany dalam karyanya Tadwin al-Sunnah Nash-atuhu wa Tatawwuruhu mencantumkan kitab al-Sunan karya al-Baihaqy (w. 458 H) termasuk diantara karya-karya yang muncul pada abad ke-4 padahal al-Baihaqy tergolong ulama yang hidup pada sekitar awal abad ke-5. Al-Zahrany menyatakan bahwa al-Baihaqy wafat agak terakhir tetapi dimunginkan untuk mengkategorikannya ke dalam abad ke-4 karena kedekatan tipologi karyanya dengan karya-karya yang muncul pada abad ke-4. Lihat. Ibid., 155.
[8]Kajian terhadap Mukhtalaf al-Hadith telah dimulai sejak abad ke-3 dimana al-Shafi’y, Ibn Qutaibah, dan Ibn Hazm al-Zahiry kesemuanya telah menyusun karya yang berhubungan dengan hal tersebut.
[9] Seluruh penyusun yang disebutkan telah menyusun karya al-Mustakhraj ‘ala Sahih al-Bukahary secara individual dengan sanad mereka masing-masing yang bersambung dan bertemu dengan sanad milik al-Bukhary.
[10]Dia merupakan salah satu diantara teman Imam Muslim bin Hajjaj ketika mengadakan perjalanan mencari hadis ke kota Balkh dan Basrah.
[11]Dia banyak menyamai Muslim bin Hajjaj dalam berguru kepada mayoritas gurunya (dalam isnad).
[12]Al-Zahrany, Ensiklopedia Kitab-Kitab Rujukan Hadits…, 186.
[13]Atau Ibn Manjuyah.
[14] Dia telah men-takhrij Musnad Ahmad ‘Ala Sahih Muslim. Al-Zahrany, Ensiklopedia Kitab-Kitab Rujukan Hadits…, 187.
[15]Ibid., 156.
[16] Maksudnya adalah hanya menyebutkan periwayat tertinggi (al-rawy al-a’la) dari kalangan sahabat saja dan tidak menyebutkan sanad secara utuh sebagaimana yang terdapat dalam kitab rujukan utamanya. Demikian pula halnya jika hal tersebut hanyalah merupakan perkataan (pendapat) sahabat atau tabi’in.
[17]Dalam karyanya tersebut beliau tidak hanya menyebutkan hadis-hadis sebagiaman yang terdapat dalam Sahih Muslim tetapi beliau juga memiliki tambahan (ziyadat) dari apa yang terdapat dalam karya yang disusun oleh Muslim.
[18]Al-Zahrany, Ensiklopedi Rujukan Kitab-Kitab Hadith…, 190-191.
[19]Nur al-Din ‘Itr, Manhaj al-Naqd fi ‘Ulum al-Hadith (Suria: Dar al-fikr, 1997), 205.
[20]Mahmud Tahhan, Usul al-Takhrij…, 103.
[21] Nur al-Din ‘Itr, manhaj al-Naqd fi ‘Ulum al-Hadith…, 205-206.
[22]Yusuf ibn Abd al-Rahman al-Mara’shili, Masadir al-DIrasat al-Islamiyyah wa Nizam al-Maktabat wa al-Ma’lumat, juz 1, (Beirut: Dar al-Bashair al-Islamiyyah, 2006), 235.
[23]Kutub al-sittah ditambah Musnad Ahmad, Musnad al-Bazzar, Musnad Ya’la al-Maushuli, dan Mu’jam al-Kabir al-Tabrani.
[24]Muhammad Mustafa Abu ‘Ammarah, Manahij al-Muhaddithin Fi Muntasaf al-Qarn al-Rabi’ Ila Muntasaf al-Qarn al-Sabi’ Min 350-650 H, dalam Mahmud Hamdy Zaqzuq, Mausu’ah ‘Ulum al-Hadith al-Sharif (Mesir: Wiazarat al-Awqaf Jumhuriyyat Misr, 1428 H / 2007 M), 938. Al-Zahrany, Ensiklopedia Kitab-Kitab Rujukan Hadits…, 200.
[25]Abu al-Sa’adat al-Mubarak bin Muhammad Ibn al-Athir al-Jazary (544-606 H), Jami’ al-Usul Fi Ahadith al-Rasul, Juz. 1 (Beirut: Dar al-Fikr, 1403 H / 1983 M), 49-50.
[26] Ibid., Juz. 1, 53-59.
[27]Unutk hadis-hadis tentang keutamaan tokoh dan suatu permasalahan, Imam Ibn al-Athir menyatukannya dalam satu kitab khusu yang diberi nama Kitab al-Fadail wa al-Manaqib. Lihat pernyataannya dalam Ibid., 58-59.
[28]Ibn Athir, al-Jami’ al-Usul fi Ahadith al-Rasul…, vol.1, 217.
[29]Al-Imam Jalaluddin Bin Abi Bakar al-Suyuti, Al-Jami’ Al-Shaghir Fi Ahadith Al-Bashir Al-Nadhir, (Beirut : Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 2010), 5.
[30] Mahmud Tahhan, Ushul Takhrij…, 72–73
[31]Mahmud Thahan, Usul al-Takhrij…, 74