BAB I
PENDAHULUAN
Kebutuhan akan hadis
Nabi Saw. sebagai sandaran hukum maupun sandaran etis umat Islam menuntut
adanya kejelasan otentisitas hadis tersebut dari Nabi Saw. mengingat jauhnya
masa umat (khususnya saat ini) dengan masa Nabi Saw. Maka merujuk kepada
kitab-kitab himpunan hadis yang diakui kredibilitasnya sekaligus mu’tamad dan
mu’tabar merupakan alternatif yang lebih terjamin. Kitab-kitab hadis
tersebut diambil sebagai acuan karena di dalamnya menghimpun hadis-hadis yang
telah dikritisi pengarangnya dengan sejumlah parameter ke-sahih-an hadis
dari kriteria yang sangat ketat hingga yang longgar dan seterusnya.
Secara struktural
maupun fungsional disepakati oleh mayoritas umat Islam dari berbagai madhhab
Islam. Sehingga dengan adanya hadis, ajaran Islam akan menjadi jelas, rinci dan
spesifik. Sepanjang sejarahnya, hadis-hadis yang tercantum dalam berbagai kitab
hadis yang ada telah melalui proses ilmiah yang rumit, sehingga menghasilkan
kualitas hadis yang diinginkan oleh para penghimpunnya. Implikasinya adalah
terdapat berbagai macam kitab-kitab hadis di masa sekarang ini.
Dari beberapa himpunan kitab hadis yang ada, masing-masing memiliki kualitas yang beragam. Ulama pada umumnya sepakat bahwa kriteria Sahih al-Bukhari memiliki kualitas teratas disusul dengan kriteria Sahih Muslim, sehingga terdapat suatu parameter yang banyak diikuti oleh ulama setelahnya. Adapun ulama yang cukup perhatian kepada persyaratan al-Bukhari dan Muslim adalah Imam al-Hakim al-Naysaburi yang bekerja keras dalam menghimpun hadis-hadis yang menurutnya selevel dengan tingkatan Sahih al-Bukhari dan Sahih Muslim dalam kitabnya al-Mustadrak ‘ala Sahihayn.
Sebagai
pakar hadis yang muncul ke permukaan pada abd ke-4 H, ia merupakan tokoh besar
yang tidak bisa dinafikan. Meskipun pamor ketenarannya dibawah pengarang Kutub
al-Sittah. Tetapi sesungguhnya kiprahnya dalam menghadirkan konsep-konsep
teoritis dan praktis tetap memberikan kontribusi yang cukup besar dalam ranah
kajian hadis pada masa berikutnya. Salah satu buah karya al-Hakim adalah al-Mustadrak
‘ala Sahihayn, asumsi dasar al-Hakim dalam menyusun kitab tersebut adalah
ungkapan al-Bukhari bahwa masih banyak hadis-hadis Sahih yang masih berserakan
dan belum terhimpun dalam kitabya. Itulah kiranya alas an al-Hakim dalam
menyusun kitabnya.
Meskipun
kitab tersebut di klaim oleh al-Hakim sebagi kitab yang mempunyai standard dari
Bukhari dan Muslim, tidak berarti para ulama’ puas dengan pernyataan al-Hakim.
Sehingga masih banyak para ulama’ yang masih memberikan kritikan terhadap kitab
al-Hakim yaitu al-Mustadrak ‘ala Sahihayn. Dengan demikian, dirasa
penting pada makalah ini akan membahas tipologi penulisan kitab hadis bertipe al-Mustadrak
dan menjadikan al-Mustadrak ‘ala Sahihayn karya al-Hakim al-Naysaburi
sebagai acuan utama.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
al-Mustadrak
Secara bahasa, al-Mustadrakat
merupakan bentuk jamak dari kata Mustadrak isim fail dari kata Istidrak
yaitu maknanya sesuatu yang disusulkan. Sedangkan secara istilah Mustdarak
adalah setiap kitab yang penulisnya didalamnya mengumpulkan hadis-hadis yang
disusulkan pada kitab yang lain dan tidak dicantumkan oleh kitab tersebut
sesuai dengan syarat kitab tersebut.[1]
Jadi tipe kitab Mustadrak adalah tipe penyusunan kitab hadis yang
dilakukan dengan menyusulkan hadis-hadis yang tidak tercantum dalam suatu kitab
hadis lain.
Namun dalam
penulisan hadis-hadis susulan itu penulis kitab mengikuti persyaratan
periwayatan hadis yang dipakai oleh kitab lain itu. Dengan kata lain, tipe Mustadrak
adalah tipe penyusunan kitab yang menghimpun hadis-hadis yang tidak dimuat
dalam kitab-kitab hadis tertentu sesuai dengan syarat-syaratnya kemudian
dimasukkan sebagai tambahan pada kitab lain.[2]
Dari pengertian diatas adalah arti al-Mustadrak secara umum, sehingga menurut hemat penulis apabila seorang penulis kitab dengan menggunakan tipe al-Mustadrak, maka penulis tersebut berusaha menyusulkan hadis-hadis yang diperoleh dan tidak terdapat dalam kitab hadis yang dibuat acuan tersebut. Dan kriteria atau standard kesahihan yang digunakan mengacu pula pada kiriteria yang digunakan dalam kitab rujukan atau acuannya, meskipun terkadang terdapat perbedaan dalam kriterianya. Klaim-klaim semacam ini telah diterapkan oleh al-Hakim sendiri dalam kitabnya al-Mustadrak ‘ala Sahihayn.
Adapun
karakteristik kitab yang bertipe Mustadrak antara lain:
a.
Menyusulkan
hadis-hadis yang tidak tercantum dalam suatu kitab hadis tertentu.
b.
Dalam penulisan
hadis-hadis susulan itu, penulis kitab mengikuti persyaratan periwayatan hadis
yang dipakai oleh kitab itu.
c.
Kualitas hadis
yang diriwayatkan beragam, adakalanya sahih, hasan dan daif.
Sekalipun
definisi al-Mustadrak tersebut umum sifatnya, tetapi dalam realitasnya al-Mustadrak
yang ada baru bersandar kepada hadis yang memenuhi kriteria sahih
al-Bukhari dan Sahih Muslim yang tidak dihimpun oleh keduanya dalam
kitab sahih-nya. Itulah kiranya al-Mustadrak yang umum didapati
dan masyhur adalah al-Mustadrak ‘ala Sahihayn, lebih spesifik lagi karya
model ini dikenal hanya pada satu nama yaitu al-Hakim al-Naysaburi.
B.
Macam-macam
kitab yang bertipe al-Mustadrak
Adapun macam-macam
dari kitab yang bertipe Mustadrak sebagai berikut:
a.
Mustadrak
al-Hakim al-Naysaburi, penulis Imam Abdullah Muhammad bin
Abdullah bin Muhammad bin Hamduyah bin Nuaim bin al-Bai’ al-Hakim al-Naysaburi
(wafat 405 H). al-Hakim menyusunnya sesuai dengan bab-bab. Dalam
sistematikanya, ia mengikuti susunan kitab asalnya yaitu kitab Bukhari dan
Muslim. Sebagai contoh dalm kitab al-Mustadrak, sebagai berikut:
حَدَّثَنَاهُ عَلِيُّ بْنُ حَمْشَاذَ
الْعَدْلُ، ثنا أَبُو الْمُثَنَّى، ثنا مُسَدَّدٌ، ثنا عَبْدُ الْوَهَّابِ، ثنا
مُحَمَّدُ بْنُ عَمْرِو، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ
نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «أَكْمَلُ
الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا» هَذَا حَدِيثٌ صَحِيحٌ لَمْ
يُخَرَّجْ فِي الصَّحِيحَيْنِ، وَهُوَ صَحِيحٌ عَلَى شَرْطِ مُسْلِمِ بْنِ
الْحَجَّاجِ
Redaksi
hadis diatas terdapat dalam kitab al-Mustadrak al-Hakim, sedangkan
al-Bukhari dan Muslim tidak meriwayatkannya. Namun demikian menurut al-Hakim
bahwa hadis tersebut Sahih menurut syarat Sahih Muslim.
b.
Mustadrak ‘ala
Sahihayn karya Abi Dharr al-Harawi, Ibn Ahmad bin Muhammad
bin Abdullah bin ‘Ufair al-Ansari (wafat 434 H).
c.
Ilzamat,
karya Imam Abi al-Husein Ali bin Umar al-Daruqutni (wafat 385 H). al-Daruqutni
mengumpulkan hadis-hadis yang perawinya sesuai dengan syarat Bukhari dan Muslim
atau salah satunya. Dan tidak diriwayatkan oleh keduanya, dalam artian memiliki
jalur sanad yang berbeda. Hadisnya sekitar 70 hadis. kitab ini mirip dengan
tipologi kitab Musnad, karena disesuaikan dengan nama sahabat. Sebagai contoh
dalam kitab Ilzamat:
أخرج البخاري ومسلم حديث عبد
الأعلى عن معمر عن سعيد ابن المسيب عن أبي هريرة قال: قال رسول (صلى الله عليه
وسلم) : "يتقارب الزمان ويلقى الشح
ويكثر الفتي ويكثر الهرج".
قلت: وقد تابع حماد بن زيد
عبد الأعلى وقد خالفهما عبد الرزاق فلم يذكر أبا هريرة وأرسله، ويقال إن معمراً
حدث به بالبصرة (من حفظه بأحاديث وهم في بعضها وقد
خالفه فيه شعيب ويونس والليث بن سعد وابن أخي الزهري رووه عن الزهري عن حميد عن
أبي هريرة) . وقد أخرجا جميعاً حديث حميد أيضاً.[3]
Matan hadis diatas
juga terdapat dalam Sahih al-Bukhari dan Muslim, sebagaimana berikut:
Redaksi
dalam Kitab Sahih al-Bukhari:
حَدَّثَنَا أَبُو اليَمَانِ، قَالَ:
أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ، قَالَ: أَخْبَرَنَا أَبُو الزِّنَادِ، عَنْ عَبْدِ
الرَّحْمَنِ الأَعْرَجِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يُقْبَضَ العِلْمُ،
وَتَكْثُرَ الزَّلاَزِلُ، وَيَتَقَارَبَ الزَّمَانُ، وَتَظْهَرَ الفِتَنُ،
وَيَكْثُرَ الهَرْجُ
Sedangkan
redaksi dalam kitab Sahih Muslim:
حَدَّثَنِي حَرْمَلَةُ بْنُ يَحْيَى،
أَخْبَرَنَا ابْنُ وَهْبٍ، أَخْبَرَنِي يُونُسُ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، حَدَّثَنِي
حُمَيْدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ، أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ، قَالَ:
قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «يَتَقَارَبُ الزَّمَانُ،
وَيُقْبَضُ الْعِلْمُ، وَتَظْهَرُ الْفِتَنُ، وَيُلْقَى الشُّحُّ، وَيَكْثُرُ
الْهَرْجُ»
Adapun
matan hadis diatas juga diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim, namun
perbedaan disini al-Daruqutni meneliti kembali bahwa menurutnya hadis ini mutabaah
nya dari Hammad bin Zaid tetapi riwayat tersebut berbeda dengan riwayat Abd al-Razaq.
Dan menurut al-Daruqutni sesungguhnya Ma’mar menyampaikan hadis tersebut di
Bashrah. Dengan demikian tujuan al-Daruqutni dalam menulis Ilzamat adalah
hanya meneliti para perawi hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim
atau salah satunya dan bahkan di mutabaah kan terhadap perawi-perawi
yang telah diambil dari perawi dari sanad al-Daruqutni.
d.
Kitab Al-Mukhtarah[4]
yang disebut juga “al- Ahadith al-Mukhtarah” yaitu hadis-hadis yang tidak
dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim dalam kitab Sahihnya. Kitab ini ditulis
oleh al-Hafid Abi Abdillah Muhammad Abd al-Wahid bin Ahmad bin Abddurrahman
al-Sa’diy al-Dimashqi. Dikenal dengan al-Diya’ al-Maqdisi (wafat 643 H). Penulis
kitab ini mensyaratkan untuk tidak meriwayatkan hadis-hadis kecuali hadis-hadis
yang diterima dan layak untuk dijadikan
hujjah sebagai hukum shari’ah.
Setelah
melakukan penelusuran, dari keempat kitab hadis yang bertipe al-Mustadrak
diatas, penulis hanya menemukan dua kitab, yaitu al-Mustadrak ‘ala Sahihayn karya
al-Hakim al-Naysaburi dan Kitab al-Ilzamat karya Imam Abi al-Husein Ali
bin Umar al-Daruqutni.
C.
Mustadrak
‘ala Sahihayn al-Hakim al-Naysaburi
1.
Biografi
al-Hakim al-Naysaburi (321 – 405 H)
Al-Hakim al-Naysaburi nama lengkapnya adalah Abu
Abdullah Muhammad bin Abdullah bin Muhammad bin Hamdun bin Hakam bin Nu’aim bin
al-Bayyi’ al-Dabbi al-Tahmani al-Naysaburi. Dilahirkan di Naysabur pada hari
senin 12 Rabi’ul awwal 321 H. Beliau sering disebut dengan Abu Abdullah
al-Hakim al-Naysaburi atau Ibn Bayyi’[5]
dan al-Hakim Abu Abdullah, untuk menghindari kekeliruan nama al-Hakim lain yang
sama seperti Abu Ahmad al-Hakim, Abu Ali al-Hakim al-Kabir (guru Abu Abdullah
al-Hakim) atau khalifah Fatimiyyah di Mesir, al-Hakim bin Amrullah.[6]
Ayahnya adalah seorang pejuang yang dermawan dan
ahli ibadah serta sangat loyal terhadap penguasa Bani Saman yang menguasai
daerah Samaniyah. Dalam catatan sejarah, daerah Samaniyah pada abad 3 H
telah melahirkan tokoh-tokoh hadis kenamaan seperti, al-Bukhari, Imam Muslim,
Abu Dawud, al-Tirmidhi, al-Nasa’i serta Ibn Majah.[7]
Di tempat inilah al-Hakim lahir dan dibesarkan. Dan kondisi seperti ini pula
yang sedikit banyak mempengaruhi kemunculan al-Hakim sebagai seorang pakar
hadis pada abad ke 4 H.
Pada masa kanak-kanak al-Hakim dibawah bimbingan
dan pengawasan dari paman dan ayahnya sendiri. Baru pada usia yang ke 13 tahun,
ia secara spesifik berguru kepada ahli hadis yaitu Abu Khatim bin Hibban dan
ulama-ulama lainnya. Kemudian al-Hakim menambah pengetahuannya dengan melakukan
pelawatan ilmiah ke beberapa wilayah seperti Khurasan, Iraq, Transoxiana dan
Hijaz. [8]
Adapun kehadiran al-Hakim di berbagai tempat untuk dapat berguru langsung
dengan para ahli hadis yang ada, agar sanad yang diterimanya memiliki nilai sanad
yang ‘ali (unggul).
Dalam perjalanan hidupnya selama 84
tahun, al-Hakim telah memberikan kontribusi atau sumbangsih yang cukup besar
dalam bidang hadis dengan melalui karya monumentalnya yaitu al-Mustadrak
‘ala Sahihayn. Namun pada bulan Safar 405 H, atas ketentuan sang Pencipta,
al-Hakim menghembuskan nafas terakhirnya.[9]
2.
Guru-gurunya
Catatan
sejarah mengatakan bahwa al-Hakim telah berguru kepada 1000 orang lebih
diantara guru-gurunya yang berada diberbagai daerah adalah: Muhammad bin Ali
al-Mudhakkir, Muhammad bin Ya’qub al-A’sham, Muhammad bin Ya’qub al-Shaibani,
Muhammad bin Ahmad bin Balawaih al-Jallab, Abu Ja’far Muhammad bin Ahmad bin
Said al-Razi, Muhammad bin Abdillah bin Ahmad al-Saffar Ali bin Abdillah
al-Hakam, Muhammad bin Mu’ammal al-Majarisi, Muhammad bin Ahmad bin Mahlub, al-Qasim
bin Abi al-Qasim al-Yasar, iMuhammad bin Ahmad al-Shaibi, Husein bin Hasan al-Tusi,
Muhammad bin Khatim bin Khuzaimah dan lain sebagainya.[10]
Diantara guru-guru al-Hakim tersebut, al-Daruqutni, Ibn Hibban dan Abu ‘Ali
al-Naysaburi yang memiliki kedudukan tersendiri di mata al-Hakim, disamping
karena intensitas pertemuannya dengan al-Hakim namun juga karena kapasitas
intelektualnya yang cukup handal.[11]
3.
Murid-muridnya
Al-Hakim
juga memiliki banyak murid yang meriwayatkan hadus darinya, diantaranya; Abu
al-Falh bin Ubay bin al-Fawari, Abu al-‘Ala al-Wasiti, Muhammad bin Ahmab bin
Ya’qub, Abu Dharr al-Hirawi, Abu Ya’la al-Khalili, Abu Bakar al-Bayhaqi, Abu
al-Qasim a;-Qushairi, Abu Salih al-Mu’adhin, Zakki Abu Hamid al-Bahiri,
Mu’ammal bin Muhammad bin Walid, Uthman bin Muhammad al-Mahmi, Abu Bakr
Muhammad bin ‘Ali bin Khalaf al-Shirazi dan sebagainya.[12]
4.
Karya-karyanya
Al-Hakim termasuk tokoh yang intelektual Muslim
abad ke 4 H yang memegang komitmen keilmuannya. Ia tidak hanya menelurkan karya
ilmiah dibidang hadis dengan menyusun kitab hadis tetapi juga menyusun dan
membangun teori-teori, konsep-konsep kesahihan suatu hadis dan menyusun
kitab-kitab yang terkait dengannya. Seperti kitab ‘ulum al-Hadith, Rijal
al-Hadith, maupun kitab Illal al-Hadith.
Adapun diatara kitab-kitab yang pernah
al-Hakim tulis adalah Takhrij al-Sahihayn, Tarikh al-Naysabur, Fadail Imam
al-Shafi’i, Fadail al-Shuyukh, al-Illal, Tarikh Ulama’ al-Naysabur, al-Madhkal
Ila Ilm al-Sahih, al-Madkhal Ma;rifah Ulum al-Hadith, al-Muzakkira li Ruwat
al-Akhbar, al-Madkhal Ila al- Iklil, al-Mustadrak ‘ala Sahihayn. Namun
sebagian besar karya tersebut tidak dapat ditemukan. Diantara buah karyanya
yang ada pada sekarang ini adalah al-Mustadrak ‘ala Sahihayn, Ma;rifah Ulum
al-Hadith dan al-Madkhal Ila al- Iklil.
D.
Kitab
Mustadrak ‘ala al-Sahihayn
Al-Hakim tidak
menyebutkan secara eksplisit tentang latarbelakang penyusunan kitab al-Mustadrak
‘ala Sahihayn, yang mulai disusun pada tahun 373 H (52 tahun). Namun secara
implisit dapat terekam,bahwa inisiatif penulisan tersebut berangkat dari faktor
internal, yakni asumsi al-Hakim bahwa masih banyak hadis sahih yang berserakan,
baik yang belum dicatat oleh para ulama, maupun yang sudah tercantum dalam
beberapa kitab hadis yang ada. Disamping penegasan pengarang Sahihayn, Bukhari
dan Muslim yang menyatakan bahwa tidak semua hadis sahih telah terangkum
dalam kitab sahih-nya. Dua hal tersebut yang mendorong al-Hakim menyusun
kitabnya berdasar kaidah-kaidah ilmiah dalam menentukan keabsahan sanad dan
matan.[13]
Adapun faktor
eksternal yang mempengaruhi al-Hakim adalah kondisi politik, intelektual dan
ekonomi. Dari segi politik, pada abad ke 4 H adalah masa disintegrasi dimana
wilayah Islam terpecah kedalam 3 kekuasaan besar yaitu Bani Fatimiyyah di
Mesir, Bani Umayyah di Cordova dan Bani Abbasiyah di Baghdad. Hanya saja
instabilitas dibidang politik tidak mempengaruhi minat para intelektual dalam
berkarya. Khususnya para ilmuwan yang berada di wilayah Samaniyah. Penguasa
Saman secara spesifik memberi atensi yang cukup besar dalam merespon
pengembangan ilmu pengetahuan.[14]
Pada saat kitab
tersebut tertulis, al-Hakim berada pada masa transisi Dinasti Samani yang
bermadhhab Shi’ah ke Dinasti Ghaznawi yang bermadhhab Sunni. Meskipun pada abad
ke 4 H ini tingkat kemajuan intelektual du dunia Islam secara umum mengalami
kemerosotan dibanding pada abad ke 3 H. Hal tersebut justru memacu al-Hakim
untuk membangun paradigma baru khususnya dalam ranah keilmuan hadis.[15]
Adapun kitab tulisan
al-Hakim dinamakan al-Mustadrak yang artinya ditambahkan atau disusulkan
atas al-Sahihayn. Al-Hakim menamakan demikian, karena berasumsi bahwa
hadis-hadis yang disusun dalam kitabnya merupakan hadis-hadis sahih yang atau
memenuhi syarat kesahihan Bukhari dan Muslim, dan belum tercantum dalam Sahih
al-Bukhari dan Sahih Muslim.
Dengan
demikian kandungan hadis dalam al-Mustadrak memiliki beberapa
kemungkinan[16]:
1.
Hadis-hadis
tersebut tidak terdapat dalam Sahihayn, baik secara lafal ataupun makna,
namun terdapat dalam kitab lain.[17]
Seperti hadis tentang akhlak. Sebagaimana berikut:
حَدَّثَنَاهُ عَلِيُّ بْنُ حَمْشَاذَ الْعَدْلُ، ثنا أَبُو
الْمُثَنَّى، ثنا مُسَدَّدٌ، ثنا عَبْدُ الْوَهَّابِ، ثنا مُحَمَّدُ بْنُ عَمْرِو،
عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ
خُلُقًا» هَذَا حَدِيثٌ صَحِيحٌ لَمْ يُخَرَّجْ فِي الصَّحِيحَيْنِ، وَهُوَ
صَحِيحٌ عَلَى شَرْطِ مُسْلِمِ بْنِ الْحَجَّاجِ[18]
Setelah
dilakukan penelusuran ternyata hadis diatas tidak dikeluarkan oleh al-Bukhari dan
Muslim dalam kitabnya, namun terdapat dalam kitab Sunan Abi Dawud dan Sunan
al-Turmudi dengan redaksi yang sama. Dan hadis tersebut tidak diriwayatkan
oleh al-Bukharid dan Muslim. Dalam al-Mustadrak al- Hakim dijelaskan
bahwa redaksi hadis diatas sahih sesuai dengan persyaratan kesahihan
Muslim bin al-Hajjaj.
2.
Hadis-hadis
tersebut terdapat dalam Sahihayn, tetapi dengan lafal yang berbeda
meskipun maknanya sama sebagai contoh, dalam Sahih Muslim:
حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ أَبِي
شَيْبَةَ، حَدَّثَنَا جَرِيرٌ، عَنْ مُغِيرَةَ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ، عَنْ سَهْمِ
بْنِ مِنْجَابٍ، عَنْ قَزَعَةَ، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ، قَالَ: قَالَ
رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَا تُسَافِرِ الْمَرْأَةُ
ثَلَاثًا إِلَّا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ»[19]
”Menceritakan
kepada Uthman bin Abi Shaibah, menceritakan kepada kami Jarir dari Mughirah
dari Ibrahim dari Sahm bin Minjab dari Qaza’ah dari Abi said al-Khudriy
berkata, Rasulullah Saw bersabda: “Janganlah seorang perempuan mengadakan
perjalanan selama tiga hari, melainkan bersama muhrimnya”.
Sedangkan dalam al-Mustadrak
dengan makna yang sama menyebutkan,
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ
الصَّيْدَلَانِيُّ، ثنا مُحَمَّدُ بْنُ أَيُّوبَ، أَنْبَأَ يَحْيَى بْنُ
الْمُغِيرَةِ، ثنا جَرِيرٌ، عَنْ سُهَيْلِ بْنِ أَبِي صَالِحٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ
أَبِي سَعِيدٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَا تُسَافِرُ الْمَرْأَةُ
بَرِيدًا إِلَّا وَمَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ» هَذَا حَدِيثٌ صَحِيحٌ عَلَى شَرْطِ
مُسْلِمٍ، وَلَمْ يُخَرِّجَاهُ بِهَذَا اللَّفْظِ "[20]
“Menceritakan kepada kami Abdullah bin Muhammad al-Shaidalaniy,
menceritakan kepada kami Muhammad bin Ayyub, memberitakan kepada kami Yahya bin
Muhgirah, menceritakan kepada kami Jarir dari Suhail bin Abi Salih dari Abi
Said dari Abi Hurairah ra berkata: Rasulullah Saw bersabda: “janganlah seorang
perempuan mengadakan perjalanan yang memerlukan waktu satu malam, melainkan
bersama muhrimnya”. Hadis ini Sahih sesuai syarat Muslim dan tidak dikeluarkan
olehnya dengan lafad ini.[21]
Dari
kedua redaksi diatas berbeda secara lafad namun sama secara maknanya. Ini
terlihat pada redaksi pertama yaitu riwayat Muslim disebutkan larangan seorang
perempuan untuk tidak mengadakan perjalanan panjang selama tiga hari melainkan
bersama muhrimnya. Sedangkan pada redkasi yang kedua dalam al-Mustadrak dijelaskan
bahwa larangan perempuan untuk tidak mengadakan perjalanan jauh dalam keadaan
dingin tanpa dibarengi dengan mahramnya..
3.
Hadis-hadis
tersebut melengkapi lafal hadis yang terdapat dalam Sahihayn, seperti hadis
tentang perintah mandi pada waktu hendak menunaikan ibadah shalat jum’at.
Meskipun dengan makna yang sama ada penambahan keterangan yang cukup rinci dan
signifikan tentang latar belakang mengapa Nabi memerintahkan untuk mandi pada
hari jum’at.[22]
Adapun redaksinya sebagai berikut:
Riwayat al-Bukhari:
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ
يُوسُفَ، قَالَ: أَخْبَرَنَا مَالِكٌ، عَنْ نَافِعٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ
عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ: «إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمُ الجُمُعَةَ، فَلْيَغْتَسِلْ»[23]
Sedangkan
redaksi dalam kitab al-Mustadrak sebagai berikut:
أَخْبَرَنَا أَبُو الْعَبَّاسِ
مُحَمَّدُ بْنُ يَعْقُوبَ، ثنا الرَّبِيعُ بْنُ سُلَيْمَانَ، ثنا ابْنُ وَهْبٍ،
ثنا سُلَيْمَانُ بْنُ بِلَالٍ، عَنْ عَمْرِو بْنِ أَبِي عَمْرٍو، مَوْلَى
الْمُطَّلِبِ، عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، أَنَّ رَجُلَيْنِ مِنْ
أَهْلِ الْعِرَاقِ أَتَيَاهُ فَسَأَلَا عَنِ الْغُسْلِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَوَاجِبٌ
هُوَ؟ فَقَالَ لَهُمَا ابْنُ عَبَّاسٍ: مَنِ اغْتَسَلَ فَهُوَ أَحْسَنُ
وَأَطْهَرُ، وَسَأُخْبِرُكُمَا: لَمَّا بَدَأَ الْغُسْلُ كَانَ النَّاسُ فِي
عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُحْتَاجِينَ يَلْبَسُونَ
الصُّوفَ، يَسْقُونَ النَّخْلَ عَلَى ظُهُورِهِمْ، وَكَانَ الْمَسْجِدُ ضَيِّقًا
مُقَارِبَ السَّقْفِ، فَخَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَوْمَ الْجُمُعَةِ فِي يَوْمٍ صَائِفٍ شَدِيدِ الْحَرِّ، وَمِنْبَرُهُ قَصِيرٌ،
إِنَّمَا هُوَ ثَلَاثُ دَرَجَاتٍ فَخَطَبَ النَّاسَ فَعَرِقَ النَّاسُ فِي
الصُّوفِ، فَثَارَتْ أَبْدَانُهُمْ رِيحَ الْعَرَقِ وَالصُّوفِ حَتَّى كَادَ
يُؤْذِيَ بَعْضُهُمْ بَعْضًا حَتَّى بَلَغَتْ أَرْوَاحُهُمْ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ عَلَى الْمِنْبَرِ، فَقَالَ: «أَيُّهَا
النَّاسُ إِذَا كَانَ هَذَا الْيَوْمُ فَاغْتَسِلُوا، وَلْيَمَسَنَّ أَحَدُكُمْ
أَطْيَبَ مَا يَجِدُ مِنْ طِيبِهِ أَوْ دُهْنِهِ» هَذَا حَدِيثٌ صَحِيحٌ عَلَى
شَرْطِ الْبُخَارِيِّ "[24]
Redaksi yang pertama yaitu riwayat dari
al-Bukhari hanya menjelaskan tentang anjuran untuk mandi ketika akan
melaksanakan shalat jum’at. Sedangkan redaksi yang terdapat dalam al-Mustadrak
menjelaskan tentang latar belakang mengapa Nabi Saw. memerintahkan untuk
mandi ketika akan menunaikan shalat jum’at sebagaimana redaksi diatas. Dan
menurut al-Hakim hadis tersebut Sahih menurut syarat al-Bukhari,
4.
Hadis-hadis
tersebut terdapat dalam Sahihayn tetapi al-Hakim menggunakan sanad yang
berbeda.[25]
Sedangkan menurut Mahmud al-Tahhan, menyebutkan
terdapat tiga macamhadis yang dihimpun didalam al-Mustadrak, antara
lain;
a.
Hadis-hadis
sahih menurut syarat al-Bukhari dan syarat Muslim atau salah sati diantara
keduanya, tetapi keduanya tidak meriwayatkan dalam kitab sahih-nya..
b.
Hadis-hadis
sahih menurut al-Hakim sekalipun tidak sesuai dengan syarat al-Bukhari dan syarat
Muslim ataupun salah satu dari keduanya yang ia istilahkan dengan sahih
al-Isnad.
c.
Hadis-hadis
yang tidak sahih menurut al-Hakim tetapi beliau jelaskan sebab ketidak
sahihan-nya.[26]
E.
Metode,
Kriteria dan Sistematika al-Hakim
Bagaimanapun
juga harus diakui bahwa, seorang ulama hadis yang memiliki kriteria ataupun
prinsip-prinsip tersendiri dalam menempatkan status kesahihan suatu hadis.
diantara prinsip yang dipegangi al-Hakim adalah ijtihad, status sanad dan
status matan.[27]
Dalam menentukan suatu kesahihan suatu hadis diperlukan ijtihad. Prinsip ini
sebenarnya bukan hal yang baru, al-Ramahurmuzi, al-Baghdadi dan Ibn Athir sudah
menerapkan ini sebelumnya. Dalam Mustadrak al-Hakim menyatakan sebagai
berikut:
أَنَا أَسْتَعِينُ اللَّهَ عَلَى إِخْرَاجِ أَحَادِيثَ
رُوَاتُهَا ثِقَاتٌ، قَدِ احْتَجَّ بِمِثْلِهَا الشَّيْخَانِ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُمَا أَوْ أَحَدُهُمَا، وَهَذَا شَرْطُ الصَّحِيحِ عِنْدَ كَافَّةِ فُقَهَاءِ
أَهْلِ الْإِسْلَامِ أَنَّ الزِّيَادَةَ فِي الْأَساَنِيدِ وَالْمُتُونِ مِنَ
الثِّقَاتِ مَقْبُولَة[28]
“Aku memohon pertolongan Allah
untuk meriwayatkan hadis-hadis yang para perawinta thiqah. Al-Bukhari, Muslim
atau salah seorang diantara mereka telah menggunakan para rawi semacam itu
untuk berhujjah dengannya. Ini adalah syarat hadis sahih menurut segenap
fuqaha, bahwa sesungguhnya tambahan dalam sanad-sanad dan matan-matan dari
orang-orang terpercaya dan dapat diterima.
Dari pernyataan diatas
memberikan indikator bahwa al-Hakim bermaksud menghimpun hadis-hadisya dari
rawi yang ‘adil dan dabt (thiqah). Dan dari pernyataan diatas
pula, beberapa catatan yang dikemukakan oleh Abdurrahaman[29],
bahwa rawi yang thiqah yakni rawi yang memiliki kriteria sifat adil (Islam,
tidak berbuat bid’ah dan tidak maksiat) serta dabt (dapat menerima,
menyampaikan dan menyampaikan kembali hadis yang didengarnya dengan baik)
Sedangkan makna bimithliha,
ditafsirkan ulama hadis yang benar-benar mengacu pada orang-orang yang menjadi
persyaratan Sahihayn, tetapi ada juga yang berpandangan disamping rijal
yang memenuhi syarat sahihayn, sifat-sifat yang sama dengan rijal yang
digunakan sahihayn secara bersamaan atau sendiri-sendiri.
Adapun kriteria menurut fuqaha al-Hakim tidak
menjelaskan mengenai hal ini, hanya saja dalam al-Madkhal dan Ma’rifah
nya kata-kata fuqaha sering disebut al-Hakim, padahal dalam jumhur
ulama ada perbedaan yang mendasar antara fuqaha dan ahlu hadis. Ahli
hadis cenderung lebih ketat dalam menentukan status hadis sementara ahli fiqih
lebih longgar. Adapun pengertian ziyadah al-Thiqah, bahwa adanya
tambahan dalam hadis yang tidaka ada pada hadis lain, padahal diambil dari guru
yang sama.
Dalam menentukan
status hadis, al-Hakim menerapkan double standard yakni tashaddud (ketat)
terhadap hadis-hadis yang terkait dengan aqidah dan shari’ah (hukum halal,
haram, muamalah, nikah) dan tasahhul (longgar) terhadap hadis-hadis yang
terkait dengan fadai’il al-‘amal, sejarah rasul dan sahabat. Hal ini
sesuai dengan apa yang dinyatakan al-Hakim sebagai berikut:
Aku dalam hal do’a
akan memperlakukan sesuai dengan madhhab Abd al-Rahman bin al-Mahdi, yaitu yang
mengatakan,’bila kami meriwayatkan tentang halal dan haram, kami bertindak
ketat dalam menilai rijal dan bila kami meriwayatkan tentang keutamaan
amal dan yang mubah kami longgar dalam menilai sanad-sanad.
Menurut al-Hakim
meneliti hadis tidak hanya pada aspek sanadnya saj, akan tetapi juga perlu
meneliti pada aspek matan yang melahirkan berbagai konsep rajih-marjuh,
nasikh-mansukh, mukhtalif al-Hadith, maqlub, mudtarib, mudraj dan
ta’arud untuk menentukan dan membedakan hadis yang ma’mul bih dan ghair
ma’mul bih.
Berbeda dengan
ulama’-ulama’ lain sebelumnya (pasca Imam al-Turmudi), al-Hakim tidak
mengklasifikasikan hadis menjadi sahih, hasan dan daif. Secara eksplisit
al-Hakim membagi hadis menjadi dua, yakni hadis sahih dan daif.
Hadis sahih itu bertingkat-tingkat, ada yang disepakati kesahihannya dan
ada pula yng tidak disepakati (hasan). Dengan demikian dalam pandangan
al-Hakim, hadis hasan masuk dalam kategoro\i sahih. Meskipun al-Hakim pernah
menyebut gharib hasan, namun tidak dijelaskan apa maksud al-Hakim dengan
pernyataan itu.[30]
Selain
itu, al-Hakim juga berbeda dengan para ulama’ hadis pra al-Turmudi yang
sama-sama mengklasifikasikan kualitas hadis menjadi sahih daif dan memasukkan
hasan pada daif yang masih bisa diamalkan. Fenomena inilah yang nampaknya
mendasari penilaian terlalu lonngarnya al-Hakim dalam memasukkan hadis hasan ke
dalam hadis sahih. Untuk mengetahui kualitas kesahihan hadis dalam al-Mustadrak
ada beberapa klasifikasi yang ditampilkan para ulama’ hadis setelah
meneliti kitab al-Hakim, diantaranya;
a.
Berdasarkan
syarat rawi
Berdasarkan
penilaian al-Dhahabi, jumlah hadis dalam al-Mustadrak berjumlah 1930
hadis\, dan yang memenuhi kriteria Sahihayn mencapai 985 hadis, 113 hadis
memenuhi kriteria al-Bukhari, 571 hadis memenuhi kriteria memenuhi kriteria
Muslim, 3447 hadis yang dinilai sahih al-Isnad, sedangkan yang lain
tidak dinilai oleh al-Dhahabi.[31] Adapun
klasifikasi hadis al-Mustadrak berdasarkan rawi dapat
dikelompokkan dalam lima bagian sebagaimana terdapat di bawah ini:
1.
Hadis yang
sesuai dengan syarat Sahihayn[32]
Secara lugas
al-Hakim menggunakan lafal هـذا
حديث صحيح على شرط الشيخين ولم يخرجاه (hadis ini memenuhi
persyaratan shaykhayn tetapi mereka tidak meriwayatkannya). Adapun
jumlah hadis yang memenuhi persyaratan al-Bukhari dan Muslim sebanyak 985
hadis. dalam talkhis-nya seringkali al-Dhahabi sering menunjukkan
kekeliruan yang dilakukan al-Hakim, semisal al-Hakim menyebut rawi tertentu
sebagai rijal Muslim, tetapi setelah diteliti Muslim samasekali tidak
menggunakan rijal tersebut.
2.
Hadis yang sesuai dengan
syarat al-Bukhari saja[33]
Hadis yang memenuhi kriteria
al-Bukhârî dinyatakan oleh al-Hakim dengan ungkapan: هـذا حـديـث
عـلى شرط البخارى ولم يخرجاه (hadis ini berdasarkan syarat al-Bukhari namun
mereka tidak meriwayatkannya). Dalam hal ini al-Hakim tidak memberikan rincian
lebih lanjut terhadap pernyataan tersebut.
3.
Hadis tersebut sesuai dengan
syarat Muslim[34]
Hadis yang sesuai dengan
syarat Muslim dinyatakan oleh al-Hâkim dengan ungkapan, هـذا حـديـث
عـلى شرط مسلم ولم يخرجاه (hadis
ini sahih berdasarkan syarat Muslim tetapi mreka tidak meriwayatkannya).
4.
Hadis yang
sesuai dengan syarat al-Hakim
Hadis yang sesuai dengan
syarat al-Hakim sendiri dinyatakan oleh al-Hakim dalam al-Mustadrak
dengan ungkapan, هـذا
حـديـث صحيح الاسـناد ولم يخرجاه (hadis ini sahih sanad-nya dan al-Bukhari dan Muslim tidak
meriwayatkannya). Menurut al-Hakim sendiri, ketiga pernyataan yang telah
dikemukakan diatas tidak memberikan penjelasan lebih detail, sehingga para
ulama’ berupaya mnginterpretasikan maksud pernyataan al-Hakim. Adapun menurut
beberapa ulama’, hadis yang dimaksud adalah hadis sahih yang dalam
pandangan al-Hakim dan akan diteliti ulang, namun kematian menjempunya lebih
awal. Dengan demikian, berdasarkan penelitian ulama’ berikutya terhadap hadis-hadis tersebut ada
yang bernilai sahih dan ada yang bernilai daif.[35]
5.
Hadis yang tidak dinilai
al-Hakim
Menurut al-San’ani, hadis tersebut belum sempat dievaluasi ulang oleh al-Hakim dan belum sempat mengemukakan komentarnya dalam al-Mustadrak-nya, karena kematian yang menjemputnya. Dengan demikian, tidak semua hadis dalam al-Mustadrak dinilai oleh al-Hakim. Itu berarti al-Hakim sendiri mengakui bahwa hadis-hadis yang dihimpunnya secara keseluruhan tidak sama statusnya atau dengan kata lain tidak semuanya sahih. Sehingga, dikarenakan belum semua hadis al-Hakim dievaluasi ulang, maka anjuran al-Hakim agar al-Mustadrak-nya diteliti kembali menjadi relevan untuk dilakukan.[36]
b.
Berdasarkan
kualitas Rawi
` Al-Dhahabi menggunakan 63 istilah jarh (cacat)
terhadap hadis yang terdapat dalam al-Mustadrak, mulai dari daif, layyin, sampai
tingkat kadhdhab yad’u al-Hadith (pendusta yang memalsukan hadis). Rawi
yang berstatus jarh sampai ke tingkat mawdu’ terdapat pada setiap
jilid dalam al-Mustadrak.
Pada jilid I, dari 1805 hadis
terdapat 45 hadis yang diduga lemah dengan menggunakan sighat mawdu’ (palsu),
munkar (ditolak), matruk (rawi tertuduh dusta) dan laysa
thabit (tidak konsisten). Sedangkan pada jilid II, ada 66 hadis yang tidak
layak digunakan. Adapun sighat yang dipakai untuk menunjukkan kelemahan
hadisnya adalah mawdu’, matruk, kadhdhab (pendusta), kana yada’u
al-hadith (dia pemalsu hadis), la ‘arifu jayyidan (aku tidak
mengenalnya dengan baik), la yu’raf (tidak dikenal), batil (hadis
batil) dan lamyasihhu(dia tidak men-sahih-kannya).
Pada jilid III terdapat 47 hadis yang tidak layak digunakan. Ungkapan yang digunakan adalah mawdu’, qabbaha Allahu Raidiyyan iftarau’, ahsibu mawdu’an (aku menduga palsu), wa azhunnu mawdu’an (aku kira palsu), shibhu mawdu’ (sepertinya palsu), ayna shihhah wa haramun fihi, munkar[37] dan matruk.[38] Pada jilid IV terdapat 109 hadis yang dinilai lemah, lafal yang digunakan untuk menunjukan kelemahan itu adalah la ashlalahu (tidak ada dasarnya), halik (rusak), la ihtajja bihi ahadun (tak ada yang berhujjah dengannya), la hujjata (tidak bisa dijadikan hujjah), matruk, mawdu’’, munkar, muttaham talif (tertuduh dusta lagi rusak) dan nazharun (dipertimbangkan lagi). Secara keseluruhan hadis yang dianggap tidak layak dan memiliki kelemahan fatal ada 267 hadis dari 8690 hadis dalam al-Mustadrak (3,072%).[39]
Dari jumlah itu hadis sahih
pada al-Mustadrak sebenarnya masih jauh lebih banyak dari jumlah hadis
yang dinilai lemah dan tidak layak. Secara ringkas penilaian al-Dhahabi
terhadap hadis-hadis al-Mustadrak adalah ada 87 hadis mawdu’, munkar
101 hadis, matruk 60 hadis dan da’if mencapai 930 hadis. Namun
ada 359 hadis yang tidak dinilai sama sekali oleh al-Dhahabi.[40]
Kitab al-Mustadrak ‘ala
al-Sahihayn terdiri atas 4 jilid besar yang jumlah halamannya kurang
lebih 2561 halaman dan bermuatan 8.690 hadis. Adapun pokok bahasannya sekitar
50 bahasan yang disebut kitâb (bab). Kitab ini ditulis oleh al-Hakim ketika ia
menjelang usia tua, yaitu tahun 373 H ketika ia berusia 52 tahun. Kitab ini
disebut al-Mustadrak ‘ala al-Sahihayn berarti yang ditambahkan atau
disusulkan atas Sahihayn.
Adapun rincian jumlah hadis
dikaitkan dengan temanya sebagaiamana berikut; tentang aqidah 251 hadis, ibadah
memuat 1277 hadis, sedangkan hukum halal haram 2519 hadis, takwil mimpi 32
hadis, pengobatan 73 hadis, tentang rasul-rasul 141 hadis, hadis tentang
biografi sahabat memuat 1218 hadis, peperanga 347 hadis, tentang hari kiamat
911 hadis, peperangan Nabi dan al-Fitan 733 hadis dan fadail al-Qur’an
memuat 70 hadis.[41]
Dalam sistematika kitabnya, al-Hakim mengikuti model yang dipakai oleh al-Bukhari atau Muslim, dengan membahas berbagai aspek materi dan membaginya dalam kitab-kitab atau tema tertentu dan sub-subnya. Adapun rinciannya sebagai berikut:
Topik-topik al-Mustadrak
No |
Nama Topik (kitab) |
No |
Nama Topik (kitab) |
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 |
Kitab al-Iman Kitab al-Ilm Kitab al-Taharah Kitab al-Salat Kitab al-Jum’ah Kitab shalat al-‘Idayn Kitab al-witr Min kitâb al-Tatawwu’ Kitab al-Sahwi Kitab Salat al-Istisqa` Kitab Salat al-kusûf Kitab salat al-khawf Kitab al-Janaiz Kitab al-zakah Kitab al-shawm Awwal kitab al-manasik Kitab al-du’a wa al-takbir Kitab fadail al-Qur’an Kitab al-buyu’ Kitab al-jihad Kitab qism al-fay` Kitab qatl ahl al-baghy Kitab al-nikah Kitab al-talaq Kitab al-‘itq Kitab al-makatib |
27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 |
Kitab al-tafsir Kitabtawarikh al-mutaqaddimîn Kitabal-hijrah Kitab al-maghazi wa al-saraya Kitab ma’rifah al-Sahabah Kitab al-ahkam Kitab al-At’imah Kitab al-ashribah Kitab al-birr wa al-silah Kitab al-libas Kitab al-Tibb Kitab al-adhaha Kitab al-dzabaih Kitab al-tawbat wa al-inabah Kitab al-adab Kitab al-ayman wa al-nuzur Kitab al-Nuzur Kitab al-riqaq Kitab al-faraidh Kitab al-hudud Kitab ta’bir al-ruya Kitab al-Tibb Kitab al-ruqy wa al-tamaim Kitab al-fitan wa al-malahim Kitab al-ahwal |
F.
Penilaian
dan Kritik Terhadap al-Mustadrak al-Hakim
Sebagaimana
karya-karya monumental lainnya, karya al-Hakim tidak lepas dari kritik yang
menyanjung dan ada pula kritik yang menghujat. Pujian yang ditujukan kepada
al-Hakim terbukti dari gelar yang dinisbahkan kepadanya oleh para muridnya dan
para ahli hadis yang semasa dan sesudahnya, yaitu dengan menyebut al-Hakim sebagai
al-Hafiz al-Kabir al-Naqid, al-Shaikh al-Muhaddithin dan sebagainya.
Sedangkan para ulama’ yang menghujat sebagai berikut[42]:
a.
Al-Baihaqi yang merupakan
murid al-Hakim, bahwa ia tidak sepakat sepenuhnya bahwa al-Mustadrak merangkum
hadis yang memenuhi persyaratan Sahihayn al-Bukhari dan Muslim.
b.
Abu Said al-Malini, ia
mengatakan bahwa dalam al-Mustadrak tidak ada hadis sahih yang memenuhi
syarat kesahihan Bukhari dan Muslim, sebagaimana pernyataannya” Aku telah
meneliti al-Mustadrak dari awal sampai akhir dan ternyata tidak ada
satupun hadis yang memenuhi syarat Sahihayn.
c.
Al-Dhahabi, meski juga
mengkritik al-Hakim tetapi menganggap kritikan al-Malini terlalu berlebihan.
Berdasarkan penilaian al-Dhahabi, kurang lebih setengahnya yang memenuhi
persyaratan al-Bukhari dan Muslim atau Bukharid atau Muslim saja.
d.
Muhammad bin Tahir menilai
bahwa al-Hakim adalah rafidi khabith (pengikut shi’ah Rafidah yang
jahat), pura-pura sunni, padahal pengikut Ali yang fanatik dan tidak menyukai
Mu’awiyah.
e.
Abdullah Ismail bin Muhammad
al-Ansari, menilai al-Hakim adalah rawi yang thiqah, faqih. Hafiz, rafidi
khabith.
Secara
global pada umumnya para ulama’ hadis yang semasa dan pasca al-Hakim banyak
mengkritik kelonggaran al-Hakim dalam menilai kesahihan suatu hadis. juga
berdasar penelitian al-Dhahabi yang melihat al-Hakim seringkali melakukan
kekeliruan, semisal dinyatakan sesuai srata Sahihayn padahal setelah
diteliti sesuai dengan syarat Bukhari saja.
Terlepas
dari kelebihan dan kekurangan kitab al-Mustadrak ‘ala Sahihayn dan
terlepas dari pujian dan kritikan yang dilontarkan kepadanya, langkah al-Hakim
merupakan keberanian besar sebagai seorang pakar hadis untuk memberikan
kontribusi dan wacana baru dalam ranah hadis dan ‘ulu al-Hadith bagi
pengkaji hadis berikutnya.
Sementara
celaan terhadap dirinya juga banyak dialamatkan padanya seperti tuduhan bahwa
ia adalah rafidhi khabith (pengikut rafidah yang jahat), berpura-pura
ahl al-sunnah atau berpenampilan sunni padahal ia condong ke Shi’ah. Ia juga
dinilai kurang cermat dan tasahul (longgar dalam menentukan status
hadis). Ulama sunni menganggapnya tokoh sunni disebabkan karena mayoritas
guru-gurunya adalah sunni, pengagum imam al-Shafi’i (w. 204 H/820 M) dan
bermadzhab Shafi’i serta pernah menjadi hakim mewakili pemerintahan sunnî.
Sedangkan
orang yang menilainya Shi’ah karena dalam karyanya, al-Mustadrak, ia banyak
men-sahih-kan hadis yang membela ahl al-bayt, padahal ulama
lainnya menilainya mawdhu’Walaupun begitu, Abu Bakar al-Khathib (463
H/1071 M), al-Dhahabi (748 H/1347 M) dan al-Subki serta ulama lainnya menilai
al-Hakim thiqah dan dhabith dalam masalah hadis. Selain
itu, al-Dzahabî dan al-Subkî cenderung menilai al-Hakim
adalah seorang sunni.
BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN:
- TIPOLOGI KODIFIKASI HADIS MASHHUR
- TIPOLOGI KITAB HADIS MAJAMI’
- TIPOLOGI KITAB HADIS QUDSI
- TIPOLOGI KITAB HADIS AL MUSTAKHRAJ
- TIPOLOGI KITAB HADIS AL-ATRAF
- TIPOLOGI KODIFIKASI KITAB HADIS AL-MUSTADRAKAT
BAB III
KESIMPULAN
Tipologi kitab
Mustadrak adalah tipe penyusunan kitab hadis yang dilakukan dengan
menyusulkan hadis-hadis yang tidak tercantum dalam suatu kitab hadis lain.
Dalam penulisan hadis-hadis susulan itu penulis kitab mengikuti persyaratan
periwayatan hadis yang dipakai oleh kitab lain itu. Dengan kata lain, tipe Mustadrak
adalah tipe penyusunan kitab yang menghimpun hadis-hadis yang tidak dimuat
dalam kitab-kitab hadis tertentu sesuai dengan syarat-syaratnya kemudian
dimasukkan sebagai tambahan pada kitab lain.
Adapun
macam-macam kitab yang bertipe al-Mustadrak adalah Mustadrak Sahihayn
al-Hakim al-Naysaburi, penulis Imam Abdullah Muhammad bin Abdullah bin
Muhammad bin Hamduyah bin Nuaim bin al-Bai’ al-Hakim al-Naysaburi (wafat 405
H). Mustadrak ‘ala Sahihayn karya Abi Dharr al-Harawi, Ibn Ahmad bin
Muhammad bin Abdullah bin ‘Ufair al-Ansari (wafat 434 H). Ilzamat, karya
Imam Abi al-Husein Ali bin Umar al-Daruqutni (wafat 385 H), Kitab
Al-Mukhtarah yang disebut juga “al- Ahadith al-Mukhtarah”. Kitab ini
ditulis oleh al-Hafid Abi Abdillah Muhammad Abd al-Wahid bin Ahmad bin
Abddurrahman al-Sa’diy al-Dimashqi. Dikenal dengan al-Diya’ al-Maqdisi (wafat
643 H).
Kitab al-Mustadrak
‘ala Sahihayn karya al-Hakim al-Naysaburi merupakan kitab bertipe Mustadrak
yang mashhur. Dan kitab ini menimbulkan beberapa pujian dan kritikan. Namun
demikian, harus diakui bahwa al-Hakim memberikan kontribusi besar dalam
keilmuan hadis.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, Hasjim. Kodifikasi
Hadis Dalam Kitab Mu’tabar. Surabaya: IAIN Sunan Ampel, 2003.
Abdurrahman M, Pergeseran
Pemikiran Hadis Ijtihad Hakim Dalam Menentukan Status Hadis. Jakarta:
Paramadina, 2000.
Asqalani (al),
Ibn Hajar. Bulugh al-Maram. Mesir: Dar al-Kutub al-‘Arabiyah, t.th.
Daruqutni (al),
Abu al-Hasan ‘Ali bin Umar Ilzamat wa Tatabbu’ al-Daruqutni, vol 1. Beirut:
Dar al-Kutb al-Ilmiyah, 1405 H/1985 M.
Dhahabi (al). al-Mu’in
Fi Tabaqah al-Muhaddithin. tk: Dar al-Shahwat, 1987.
Dosen Tafsir
Hadis Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga. Studi Kitab Hadis. Yogyakarta:
Teras, 2003.
Ghawriy (al), Sayyid
Abd al-Majid. Mausu’ah Ulum al-Hadith wa Fununuhu, vol 3. Beirut: Dar
Ibn Kathir, 2007.
.
al-Wajiz fi Ta’rif Kutub al-Hadith. Beirut: Dar Ibn Kathir, 2009.
Idri, Studi
Hadis. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013.
Kathir, Ibn, al-Bidayah
wa al-Nihayah. Beirut: Dar al-Fikr, 1977.
Khattib (al), Muhammad ‘Ajjâj. Usul
al-hadiths ‘Ulumuh wa Mushthalahuh. Beirut: Dâr al-Fikr, 1989.
Naysaburi(al),
Abu al-Husain Muslim bin al-Hajaj bin Muslim bin Qusairi. Sahih Muslim, vol
5. Beirut: Dar al-Turath al-‘Arabiy, t.th.
Naysaburi (al),
Hakim. al-Mustadrak ‘ala Sahihayn, vol 4. Beirut:Dar al-Kutb al-Ilmiyah,
1990.
. al-Madkhal ila Kitab al-Iklil. Iskandariyah: Dar al-Da’wah, t.th.
Subki (al), Imam Tajuddin Abd al-Wahhab
bin Al. Qaidah fi al-Jarh wa al-Ta’dil. Kairo: Makatabal al-Matbuah
al-Islamiyyah, 1984.
Tahhan (al),
Mahmud. Usul al-Takhrij wa Dirasah al-Asanid. Beirut: Dar al-Qur’an
al-Karim, 1979 M.
Ulama’i, Hasan Ash’ari Membedah Kitab
Tafsir-Hadis. Semarang: Walisongo Press, 2008.
Zainul Arifin, Studi
Kitab Hadis. Surabaya: al-Muna, 2010.
[1]Sayyid Abd al-Majid al-Ghawriy, Mausu’ah Ulum al-Hadith wa Fununuhu, vol 3 (Beirut: Dar Ibn Kathir, 2007), 305
[2]Mahmud al-Tahhan, Usul al-Takhrij wa Dirasah al-Asanid (Beirut: Dar al-Qur’an al-Karim, 1979 M), 115-116. Lihat juga Idri, Studi Hadis (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013), 124-125.
[3]Abu al-Hasan ‘Ali bin Umar al-Daruqutni, Ilzamat wa Tatabbu’ al-Daruqutni, vol 1 (Beirut: Dar al-Kutb al-Ilmiyah, 1405 H/1985 M), 121.
[4] al-Ghawriy, al-Wajiz fi Ta’rif Kutub al-Hadith (Beirut: Dar Ibn Kathir, 2009), 90.
[5]Imam Tajuddin Abd al-Wahhab bin Ali al-Subki, Qaidah fi al-Jarh wa al-Ta’dil (Kairo: Makatabal al-Matbuah al-Islamiyyah, 1984), 105.
[6]al-Dhahabi, al-Mu’in Fi Tabaqah al-Muhaddithin (tk: Dar al-Shahwat, 1987), 173-178.
[7]M. Abdurrahman, Pergeseran Pemikiran Hadis Ijtihad Hakim Dalam Menentukan Status Hadis (Jakarta: Paramadina, 2000), 29.
[8]Zainul Arifin, Studi Kitab Hadis (Surabaya: al-Muna, 2010), 178.
[9]Dosen Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga, Studi Kitab Hadis (Yogyakarta: Teras, 2003), 241. Lihat juga Hasjim Abbas, Kodifikasi Hadis Dalam Kitab Mu’tabar (Surabaya: IAIN Sunan Ampel, 2003), 103..
[10] 241-242.
[11]Abdurrahman, Pergeseran Pemikiran Hadis Ijtihad Hakim Dalam Menentukan Status Hadis, 33-34.
[12]Dosen Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga, Studi Kitab Hadis, 242.
[13]Arifin, Studi Kitab Hadis (Surabaya: al-Muna, 2010), 181.
[14] Ibn Kathir, al-Bidayah wa al-Nihayah (Beirut: Dar al-Fikr, 1977), 2-3.
[15] Dosen Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga, Studi Kitab Hadis, 244.
[16]Abdurrahman, Pergeseran Pemikiran Hadis Ijtihad Hakim Dalam Menentukan Status Hadis, 57-61.
[17]Ibid., 57-58. Lihat juga Ibn Hajar al-Asqalani, Bulugh al-Maram (Mesir: Dar al-Kutub al-‘Arabiyah, t.th.), 14-15. dan 7 yang tidak tercantum dalam Sahihayn tetapi termaktub dalam Sunan Abu Dawud, Sunan al-TurmudI, Sunan al-Nasa’i, Sunan Ibn Majah, Musnad Ahmad bin Hanbal, al-Mustadrak al-Hakim dan sebagainya.
[18]Al-Hakim al-Naysaburi, al-Mustadrak ‘ala Sahihayn vol 1 (Beirut: Dar al-Kutb al-Ilmiyah, 1990), 43.
[19]Abu al-Husain Muslim bin al-Hajaj bin Muslim bin Qusairi al-Naisaburi, Sahih Muslim, vol 5 (Beirut: Dar al-Turath al-‘Arabiy, t.th), 976.
[20]Al-Hakim al-Naysaburi, al-Mustadrak ‘ala Sahihayn, vol 4 (Beirut:Dar al-Kutb al-Ilmiyah, 1990), 610.
[21]Abdurrahman, Pergeseran Pemikiran Hadis Ijtihad Hakim Dalam Menentukan Status Hadis,58-59.
[22] Ibid.
[23] Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Sahih al-Bukhari vol 9 (tt: Dar al-Tuq al-Najjah, t.th), 877.
[24] Al-Naysaburi, al-Mustadrak ‘ala Sahihayn, 416.
[25] Ibid, 60-62.
[26] al-Tahhan, Usul al-Takhrij wa Dirasah al-Asanid, 116. Lihat juga Hasan Ash’ari Ulama’i, Membedah Kitab Tafsir-Hadis (Semarang: Walisongo Press, 2008),143-144.
[27] Ibid., 89-116.
[28] Al-Hakim al-Naysaburi, al-Madkhal ila Kitab al-Iklil (Iskandariyah: Dar al-Da’wah, t.th), 2.
[29] Abdurrahman, Pergeseran Pemikiran Hadis Ijtihad Hakim Dalam Menentukan Status Hadis, 93-104.
[30] Arifin, Studi Kitab Hadis, 186-187.
[31] Abdurrahman, Pergeseran Pemikiran Hadis Ijtihad Hakim Dalam Menentukan Status Hadis, 217.
[32] Ibid.
[33] Ibid., 219-220.
[34] Ibid., 220-221.
[35] Ibid.
[36] Ibid., 233.
[37]Hadis munkar adalah hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang lemah dan menyalahi riwayat râwî yang thiqah. Muhammad ‘Ajjâj al-Khathib, Usul al-hadiths ‘Ulumuh wa Mushthalahuh, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1989), h. 348.
[38] Hadis matruk adalah hadis yang diantara perawinya adalah seorang pendusta dalam hadis atau sangat pendusta dalam perkataannya, atau nampak kefasiqannya baik perkataan maupun perbuatan, atau sangat jelek kesalahannya dan banyak lupanya.
[39]Abdurrahman, Pergeseran., 224-227.
[40]Ibid., 228.
[41] Arifin, Studi Kitab Hadis, 191-192.
[42] Dosen Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga, Studi Kitab Hadis,, 255. Lihat Juga Arifin, Studi Kitab Hadis,195