HOME

06 November, 2022

MAKALAH MASYARAKAT PEDESAAN DAN MASYARAKAT PERKOTAAN

 

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

DAFTAR ISI . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

BAB I PENDAHULUAN

         A.  Alasan pemilihan judul. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

         B.  Latar Belakang masalah . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

BAB II PEMBAHASAN

         A.  Sekilas tentang definisi masyarakat . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

         B.  Masyarakat desa . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

         C.  Masyarakat kota . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

         D.  Perbedaan Masyarakat Kota dan Desa . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

         E.  Hubungan Desa dan Kota . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

BAB III PENUTUP

A.   Kesimpulan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

B.   Saran-saran . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

DAFTAR PUSTAKA . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

 

BAB I

PENDAHULUAN

A.  Alasan pemilihan Judul

Melihat dari berbagai aspek yang ada, baik kita lihat secara langsung ataupun melalui media informasi, baik cetak maupun media elektronik, bahwa betapa fenomena hidup yang ada dipedesaan mulai mengalami pergeseran nilai, norma serta adat istiadat  yang tidak lagi dihiraukan oleh banyak penduduk desa yang ingin merasa kehidupannya berubah, baik ekonomi maupun status sosialnya. Serta fenomena kehidupan perkotaan yang mempunyai motto hidup “Biar tekor asal Tersohor” menjadi sebuah gaya hidup serba boleh, walaupun itu melabrak norma-norma hukum lebih-lebih norma agama.

 

B.  Latar Belakang Pemilihan Judul

Masyarakat (sebagai terjemahan istilah society) adalah sekelompok orang yang membentuk sebuah sistem semi tertutup (atau semi terbuka), dimana sebagian besar interaksi adalah antara individu-individu yang berada dalam kelompok tersebut. Lebih abstraknya, sebuah masyarakat adalah suatu jaringan hubungan-hubungan antar entitas-entitas. Masyarakat adalah sebuah komunitas yang interdependen (saling tergantung satu sama lain). Umumnya, istilah masyarakat digunakan untuk mengacu sekelompok orang yang hidup bersama dalam satu komunitas yang teratur.

Masyarakat (society) merupakan istilah yang digunakan untuk menerangkan komuniti manusia yang tinggal bersama-sama. Boleh juga dikatakan masyarakat itu merupakan jaringan perhubungan antara pelbagai individu. Dari segi perlaksaan, ia bermaksud sesuatu yang dibuat - atau tidak dibuat - oleh kumpulan orang itu. Masyarakat merupakan subjek utama dalam pengkajian sains sosial.

 

Perkataan society datang daripada bahasa Latin societas, "perhubungan baik dengan orang lain". Perkataan societas diambil dari socius yang bererti "teman", maka makna masyarakat itu adalah berkait rapat dengan apa yang dikatakan sosial. Ini bermakna telah tersirat dalam kata masyarakat bahawa ahli-ahlinya mempunyai kepentingan dan matlamat yang sama. Maka, masyarakat selalu digunakan untuk menggambarkan rakyat sesebuah negara.[1]

Walaupun setiap masyarakat itu berbeza, namun cara ia musnah adalah selalunya sama: penipuan, pencurian, keganasan, peperangan dan juga kadangkala penghapusan etnik jika perasaan perkauman itu timbul. Masyarakat yang baru akan muncul daripada sesiapa yang masih bersama, ataupun daripada sesiapa yang tinggal.


BAB II

PEMBAHASAN

A.   Definisi Masyarakat

Dalam Bahasa Inggris disebut  Society, asal katanya Socius yang berarti “kawan”. Kata “Masyarakat” berasal dari bahasa Arab, yaitu Syiek, artinya “bergaul”. Adanya saling bergaul ini tentu karena ada bentuk – bentuk akhiran  hidup, yang bukan disebabkan oleh manusia sebagai pribadi melainkan oleh unsur – unsur kekuatan lain dalam lingkungan sosial yang merupakan kesatuan[2]

   

B.  Masyarakat Pedesaan (masyarakat tradisional)

a.    Pengertian desa/pedesaan

Yang dimaksud dengan desa menurut Sutardjo Kartodikusuma mengemukakan sebagai berikut: Desa adalah suatu kesatuan hukum dimana bertempat tinggal suatu masyarakat pemerintahan tersendiri[3]

Menurut Bintaro, desa merupakan perwujudan atau kesatuan goegrafi ,sosial, ekonomi, politik dan kultur yang terdapat ditempat itu (suatu daerah), dalam hubungan dan pengaruhnya secara timbal balik dengan daerah lain.

Sedang menurut Paul H. Landis :Desa adalah pendudunya kurang dari 2.500 jiwa. Dengan ciri ciri sebagai berikut :

a)    mempunyai pergaulan hidup yang saling kenal mengenal antara ribuan jiwa.

b)    Ada pertalian perasaan yang sama  tentang kesukaan terhadap kebiasaan

c)   Cara berusaha (ekonomi)adalah agraris yang paling umum yang sangat dipengaruhi alam seperti : iklim, keadaan alam ,kekayaan alam, sedangkan pekerjaan yang bukan agraris adalah bersifat sambilan

Dalam kamus sosiologi kata tradisional dari bahasa Inggris, Tradition artinya Adat istiadat dan kepercayaan yang turun menurun dipelihara, dan ada beberapa pendapat yang ditinjau dari berbagai segi bahwa, pengertian desa itu sendiri mengandung kompleksitas yang saling berkaitan satu sama lain diantara unsur-unsurnya, yang sebenarnya desa masih dianggap sebagai standar dan pemelihara sistem kehidupan bermasyarakat dan kebudayaan asli seperti tolong menolong, keguyuban, persaudaraan, gotong royong, kepribadian dalam berpakaian, adat istiadat , kesenian kehidupan moral susila dan lain-lain yang mempunyai ciri yang jelas.

Dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 disebutkan pengertian desa sebagai kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah, yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam system pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dari defenisi tersebut, sebetulnya desa merupakan bagian vital bagi keberadaan bangsa Indonesia. Vital karena desa merupakan satuan terkecil dari bangsa ini yang menunjukkan keragaman Indonesia. Selama ini terbukti keragaman tersebut telah menjadi kekuatan penyokong bagi tegak dan eksisnya bangsa. Dengan demikian penguatan desa menjadi hal yang tak bisa ditawar dan tak bisa dipisahkan dari pembangunan bangsa ini secara menyeluruh.

Memang hampir semua kebijakan pemerintah yang berkenaan dengan pembangunan desa mengedepankan sederet tujuan mulia, seperti mengentaskan rakyat miskin, mengubah wajah fisik desa, meningkatkan pendapatan dan taraf hidup masyarakat, memberikan layanan social desa, hingga memperdayakan masyarakat dan membuat pemerintahan desa lebih modern. Sayangnya sederet tujuan tersebut mandek diatas kertas.

Karena pada kenyataannya desa sekedar dijadikan obyek pembangunan, yang keuntungannya direguk oleh actor yang melaksanakan pembangunan di desa tersebut : bisa elite kabupaten, provinsi, bahkan pusat.[4] Di desa, pembangunan fisik menjadi indicator keberhasilan pembangunan. Karena itu, Program Pengembangan Kecamatan (PPK) yang ada sejak tahun 2000 dan secara teoritis memberi kesempatan pada desa untuk menentukan arah pembangunan dengan menggunakan dana PPK, orientasi penggunaan dananyapun lebih untuk pembangunan fisik. Bahkan, di Sumenep (Madura), karena kuatnya peran kepala desa (disana disebut klebun) dalam mengarahkan dana PPK untuk pembangunan fisik semata, istilah PPK sering dipelesetkan menjadi proyek para klebun.

 Menyimak realitas diatas, memang benar bahwa yang selama ini terjadi sesungguhnya adalah “Pembangunan di desa” dan bukan pembangunan untuk, dari dan oleh desa. Desa adalah unsur bagi tegak dan eksisnya sebuah bangsa (nation) bernama Indonesia.

Kalaupun derap pembangunan merupakan sebuah program yang diterapkan sampai kedesa-desa, alangkah baiknya jika menerapkan konsep :”Membangun desa, menumbuhkan kota”. Konsep ini, meski sudah sering dilontarkan oleh banyak kalangan,

tetapi belum dituangkan ke dalam buku yang khusus dan lengkap. Inilah tantangan yang harus segera dijawab.

b.    Ciri-ciri Masyarakat desa (karakteristik)

Dalam buku Sosiologi karangan Ruman Sumadilaga seorang ahli Sosiologi “Talcot Parsons” menggambarkan masyarakat desa sebagai masyarakat tradisional (Gemeinschaft) yang mebngenal ciri-ciri sebagai berikut :

a.   Afektifitas ada hubungannya dengan perasaan kasih sayang, cinta , kesetiaan dan kemesraan. Perwujudannya dalam sikap dan perbuatan  tolong menolong, menyatakan simpati terhadap musibah yang diderita orang lain  dan menolongnya tanpa pamrih.

b.    Orientasi kolektif  sifat ini merupakan konsekuensi dari Afektifitas, yaitu mereka mementingkan kebersamaan , tidak suka menonjolkan diri, tidak suka akan orang yang berbeda pendapat, intinya semua harus memperlihatkan keseragaman persamaan.

c.    Partikularisme  pada dasarnya adalah semua hal yang ada hubungannya dengan keberlakuan khusus untuk suatu tempat atau daerah tertentu. Perasaan subyektif, perasaan kebersamaan sesungguhnya yang hanya berlaku untuk kelompok tertentu saja.(lawannya Universalisme)

d.    Askripsi  yaitu berhubungan dengan mutu atau sifat khusus yang tidak diperoleh berdasarkan suatu usaha yang tidak disengaja, tetapi merupakan suatu keadaan yang sudah merupakan kebiasaan atau keturunan.(lawanya prestasi).

e.    Kekabaran (diffuseness). Sesuatu yang tidak jelas terutama dalam hubungan antara pribadi tanpa ketegasan yang dinyatakan eksplisit. Masyarakat desa menggunakan bahasa tidak langsung, untuk menunjukkan sesuatu. Dari uraian tersebut (pendapat Talcott Parson) dapat terlihat pada desa-desa yang masih murni masyarakatnya tanpa pengaruh dari luar.[5]

 

C.  Masyarakat Perkotaan

a.   Pengertian Kota

Seperti halnya desa, kota juga mempunyai pengertian yang bermacam-macam seperti pendapat beberapa ahli berikut ini.

               i.       Wirth

Kota adalah suatu pemilihan yang cukup besar, padat dan permanen, dihuni oleh orang-orang yang heterogen kedudukan sosialnya.

ii.   Max Weber

Kota menurutnya, apabila penghuni setempatnya dapat memenuhi sebagian besar kebutuhan ekonominya dipasar lokal.         

iii.  Dwigth Sanderson

Kota ialah tempat yang berpenduduk sepuluh ribu orang atau lebih.

Dari beberapa pendapat secara umum dapat dikatakan mempunyani ciri-ciri mendasar yang sama. Pengertian kota dapat dikenakan pada daerah atau lingkungan komunitas tertentu dengan tingkatan dalam struktur pemerintahan.

Menurut konsep Sosiologik sebagian Jakarta dapat disebut  Kota,[6] karena memang gaya hidupnya yang cenderung bersifat individualistik. Marilah sekarang kita meminjam lagi teori Talcott Parsons mengenai tipe masyarakat kota yang diantaranya mempunyai ciri-ciri  :

a).   Netral Afektif

Masyarakat Kota memperlihatkan sifat yang lebih mementingkat Rasionalitas dan sifat rasional ini erat hubungannya dengan konsep Gesellschaft atau Association. Mereka tidak mau mencampuradukan hal-hal yang bersifat emosional atau yang menyangkut perasaan pada umumnya dengan hal-hal yang bersifat rasional, itulah sebabnya tipe masyarakat itu disebut netral dalam perasaannya.

b).   Orientasi Diri

Manusia dengan kekuatannya sendiri harus dapat mempertahankan dirinya sendiri, pada umumnya dikota tetangga itu bukan orang yang mempunyai hubungan kekeluargaan dengan kita oleh karena itu setiap orang dikota terbiasa hidup tanpa menggantungkan diri pada orang lain, mereka cenderung untuk individualistik.

c).   Universalisme

Berhubungan dengan semua hal yang berlaku umum, oleh karena itu pemikiran rasional merupakan dasar yang sangat penting untuk Universalisme.

d).   Prestasi

 Mutu atau prestasi seseorang akan dapat menyebabkan orang itu diterima  berdasarkan kepandaian atau keahlian yang dimilikinya.

e).   Heterogenitas

Masyarakat kota lebih memperlihatkan sifat Heterogen, artinya terdiri dari lebih banyak komponen dalam susunan penduduknya.

b.    Ciri-ciri masyarakat Perkotaan 

Ada beberapa ciri yang menonjol pada masyarakat perkotaan, yaitu :

               i.       Kehidupan keagamaannya berkurang, kadangkala tidak terlalu dipikirkan karena memang kehidupan yang cenderung kearah keduniaan saja.

              ii.       Orang kota pada umumnya dapat mengurus dirinya sendiri tanpa harus berdantung pada orang lain (Individualisme).

            iii.       Pembagian kerja diantara warga-warga kota juga lebih tegas dan mempunyai batas-batas yang nyata.

            iv.       Kemungkinan-kemungkinan untuk mendapatkan pekerjaan juga lebih banyak diperoleh warga kota.

              v.       Jalan kehidupan yang cepat dikota-kota, mengakibatkan pentingnya faktor waktu bagi warga kota, sehingga pembagian waktu yang teliti sangat penting, intuk dapat mengejar kebutuhan-kebutuhan seorang individu.

            vi.       Perubahan-perubahan tampak nyata  dikota-kota, sebab kota-kota biasanya terbuka dalam menerima pengaruh-pengaruh dari luar.

  

D.  Perbedaan antara desa dan kota

Dalam masyarakat modern, sering dibedakan antara masyarakat pedesaan (rural community) dan masyarakat perkotaan (urban community). Menurut Soekanto (1994), per-bedaan tersebut sebenarnya tidak mempunyai hubungan dengan pengertian masyarakat sederhana, karena dalam masyarakat modern, betapa pun kecilnya suatu desa, pasti ada pengaruh-pengaruh dari kota. Perbedaan masyarakat pedesaan dan masyarakat perkotaan, pada hakekatnya bersifat gradual.

Kita dapat membedakan antara masya-rakat desa dan masyarakat kota yang masing-masing punya karakteristik tersendiri. Masing-masing punya sistem yang mandiri, dengan fungsi-fungsi sosial, struktur serta proses-proses sosial yang sangat berbeda, bahkan kadang-kadang dikatakan "berlawanan" pula. Perbedaan ciri antara kedua sistem tersebut dapat diungkapkan secara singkat menurut Poplin (1972) sebagai berikut:  

Masyarakat Pedesaan

Masyarakat Kota

Perilaku homogen

Perilaku yang dilandasi oleh konsep kekeluargaan dan kebersamaan

Perilaku yang berorientasi pada tradisi dan status

Isolasi sosial, sehingga statik

Kesatuan dan keutuhan kultural

Banyak ritual dan nilai-nilai sakral

Kolektivisme

Perilaku heterogen

Perilaku yang dilandasi oleh konsep pengandalan diri dan kelembagaan

                                                      Perilaku yang berorientasi pada rasionalitas dan fungsi

Mobilitas sosial, sehingga dinamik

Kebauran dan diversifikasi kultural

Birokrasi fungsional dan nilai-nilai sekular                                    Individualisme

Warga suatu masyarakat pedesaan mempunyai hubungan yang lebih erat dan lebih mendalam ketimbang hubungan mereka dengan warga masyarakat pedesaan lainnya. Sistem kehidupan biasanya berkelompok atas dasar sistem kekeluargaan (Soekanto, 1994). Selanjutnya Pudjiwati (1985), menjelaskan ciri-ciri relasi sosial yang ada di desa itu, adalah pertama-tama, hubungan kekerabatan. Sistem kekerabatan dan kelompok kekerabatan masih memegang peranan penting. Penduduk masyarakat pedesaan pada umumnya hidup dari pertanian, walaupun terlihat adanya tukang kayu, tukang genteng dan bata, tukang membuat gula, akan tetapi inti pekerjaan penduduk adalah pertanian. Pekerjaan-pekerjaan di samping pertanian, hanya merupakan pekerjaan sambilan saja[7].

Golongan orang-orang tua pada masyarakat pedesaan umumnya memegang peranan penting. Orang akan selalu meminta nasihat kepada mereka apabila ada kesulitan-kesulitan yang dihadapi. Nimpoeno (1992) menyatakan bahwa di daerah pedesaan kekuasaan-kekuasaan pada umumnya terpusat pada individu seorang kiyai, ajengan, lurah dan sebagainya.

Ada beberapa ciri yang dapat dipergunakan  sebagai petunjuk untuk membedakan antara desa dan kota. Dengan melihat perbedaan perbedaan yang ada mudah mudahan akan dapat mengurangi kesulitan dalam menentukan apakah suatu masyarakat dapat disebut sebagi masyarakat pedeasaan atau masyarakat perkotaan.

Ciri ciri tersebut antara lain :

1)    jumlah dan kepadatan penduduk

2)    lingkungan hidup

3)    mata pencaharian

4)    corak kehidupan sosial

5)    stratifiksi sosial

6)    mobilitas sosial

7)    pola interaksi sosial

8)    solidaritas sosial

9)    kedudukan dalam hierarki sistem administrasi nasional

 

E.  Hubungan Desa-kota, hubungan pedesaan-perkotaan.

Masyarakat pedesaan dan perkotaan bukanlah dua komonitas yang terpisah sama sekali satu sama lain. Bahkan dalam keadaan yang wajar diantara keduanya terdapat hubungan yang erat. Bersifat ketergantungan, karena diantara mereka saling membutuhkan. Kota tergantung pada dalam memenuhi kebutuhan warganya akan bahan bahan pangan seperti beras sayur mayur , daging dan ikan. Desa juga merupakan sumber tenaga kasar bagi bagi jenis jenis pekerjaan tertentu dikota. Misalnya saja buruh bangunan dalam proyek proyek perumahan. Proyek pembangunan atau perbaikan jalan raya atau jembatan dan tukang becak. Mereka ini biasanya adalah pekerja pekerja musiman. Pada saat musim tanam mereka, sibuk bekerja di sawah. Bila pekerjaan dibidang pertanian mulai menyurut, sementara menunggu masa panen mereka merantau ke kota terdekat untuk melakukan pekerjaan apa saja yang tersedia.

“Interface”, dapat diartikan adanya kawasan perkotaan yang tumpang-tindih dengan kawasan perdesaan, nampaknya persoalan tersebut sederhana, bukankah telah ada alat transportasi, pelayanan kesehatan, fasilitas pendidikan, pasar, dan rumah makan dan lain sebagainya, yang mempertemukan kebutuhan serta sifat kedesaan dan kekotaan.

Hubungan kota-desa cenderung terjadi secara alami yaitu yang kuat akan menang, karena itu dalam hubungan desa-kota, makin besar suatu kota makin berpengaruh dan makin menentukan kehidupan perdesaan.

Secara teoristik, kota merubah atau paling mempengaruhi desa melalui beberapa caar, seperti: (i) Ekspansi kota ke desa, atau boleh dibilang perluasan kawasan perkotaan dengan merubah atau mengambil kawasan perdesaan. Ini terjadi di semua kawasan perkotaan dengan besaran dan kecepatan yang beraneka ragam; (ii) Invasi kota , pembangunan kota baru seperti misalnya Batam dan banyak kota baru sekitar Jakarta merubah perdesaan menjadi perkotaan. Sifat kedesaan lenyap atau hilang dan sepenuhnya diganti dengan perkotaan; (iii) Penetrasi kota ke desa, masuknya produk, prilaku dan nilai kekotaan ke desa. Proses ini yang sesungguhnya banyak terjadi; (iv) ko-operasi kota-desa, pada umumnya berupa pengangkatan produk yang bersifat kedesaan ke kota. Dari keempat hubungan desa-kota tersebut kesemuanya diprakarsai pihak dan orang kota. Proses sebaliknya hampir tidak pernah terjadi, oleh karena itulah berbagai permasalahan dan gagasan yang dikembangkan pada umumnya dikaitkan dalam kehidupan dunia yang memang akan mengkota.

Salah satu bentuk hubungan antara kota dan desa adalah :

a). Urbanisasi dan Urbanisme

Dengan adanya hubungan Masyarakat Desa dan Kota  yang saling ketergantungan dan saling membutuhkan tersebut maka timbulah masalah baru yakni ; Urbanisasi yaitu suatu proses berpindahnya penduduk dari desa ke kota atau dapat pula dikatakan bahwa urbanisasi merupakan proses terjadinya masyarakat perkotaan. (soekanto,1969:123 ).[8]

b)    Sebab-sebab Urbanisasi

1.)   Faktor-faktor yang mendorong penduduk desa untuk meninggalkan daerah kediamannya (Push factors)

2.)   Faktor-faktor yang ada dikota yang menarik penduduk desa untuk pindah dan menetap dikota (pull factors)

·         Hal – hal yang termasuk push factor antara lain :

a.    Bertambahnya penduduk sehingga tidak seimbang dengan persediaan lahan pertanian,

b.    Terdesaknya kerajinan rumah di desa oleh produk industri modern.

c.    Penduduk desa, terutama kaum muda, merasa tertekan oleh oleh adat istiadat yang ketat sehingga mengakibatkan suatu cara hidup yang monoton.

d.    Didesa tidak banyak kesempatan untuk menambah ilmu pengetahuan.

e.    Kegagalan panen yang disebabkan oleh berbagai hal, seperti banjir, serangan hama, kemarau panjang, dsb. Sehingga memaksa penduduk desa untuk mencari penghidupan lain dikota.

·         Hal – hal yang termasuk pull factor antara lain :

a.    Penduduk desa kebanyakan beranggapan bahwa dikota  banyak pekerjaan dan lebih mudah untuk mendapatkan penghasilan

b.    Dikota lebih banyak kesempatan untuk mengembangkan usaha kerajinan rumah menjadi industri kerajinan.

c.    Pendidikan terutama pendidikan lanjutan, lebih banyak dikota dan lebih mudah didapat.

d.    Kota dianggap mempunyai tingkat kebudayaan yang lebih tinggi dan merupakan tempat pergaulan dengan segala macam kultur manusianya.

e.    Kota memberi kesempatan untuk menghindarkan diri dari kontrol sosial yang ketat atau untuk mengangkat diri dari posisi sosial yang rendah ( Soekanti, 1969 : 124-125 ).

BAB III

PENUTUP

A.  Kesimpulan

Manusia menjalani  kehidupan didunia ini tidaklah bisa hanya mengandalkan dirinya sendiri dalam artian butuh bantuan dan pertolongan orang lain , maka dari itu manusia disebut makhluk sosial, sesuai dengan Firman Allah SWT yang artinya : “ Wahai manusia! Sungguh Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal ( bersosialisasi ).....” (Al-Hujurat :13 ). Oleh karena itu kehidupan bermasyarakat hendaklah menjadi sebuah pendorong  atau sumber kekuatan untuk mencapai cita-cita kehidupan yang harmonis, baik itu kehidupan didesa maupun diperkotaan. Tentunya itulah harapan kita bersama, tetapi fenomena apa yang kita saksikan sekarang ini, jauh sekali dari harapan dan tujuan pembangunan Nasional negara ini, kesenjangan Sosial,  yang kaya makin Kaya dan yang Miskin tambah melarat , mutu pendidikan yang masih rendah, orang mudah sekali membunuh saudaranya (dekadensi moral ) hanya karena hal sepele saja, dan masih banyak lagi fenomena kehidupan tersebut diatas yang kita rasakan bersama, mungkin juga fenomena itu ada pada lingkungan dimana kita tinggal.

Sehubungan dengan itu, barangkali kita berprasangka atau mengira fenomena-fenomena yang terjadi diatas hanya terjadi dikota saja, ternyata problem yang tidak jauh beda ada didesa, yang kita sangka adalah tempat yang aman, tenang  dan berakhlak (manusiawi), ternyata telah tersusupi oleh kehidupan kota yang serba boleh dan bebas itu disatu pihak masalah urbanisasi menjadi masalah serius bagi kota dan desa, karena masyarakat desa yang berurbanisasi ke kota menjadi masyarakat marjinal dan bagi desa pengaruh urbanisasi menjadikan sumber daya manusia yang produktif di desa menjadi berkurang yang membuat sebuah desa tak maju bahkan cenderung tertinggal.

B.  Saran - saran

      Pembangunan Wilayah perkotaan seharusnya berbanding lurus dengan pengembangan wilayah desa yang berpengaruh besar terhadap pembangunan kota. Masalah yang terjadi di kota tidak terlepas karena adanya problem masalah yang terjadi di desa, kurangnya sumber daya manusia yang produktif akibat urbanisasi menjadi masalah yang pokok untuk diselesaikan dan paradigma yang sempit bahwa dengan mengadu nasib dikota maka kehidupan menjadi bahagia dan sejahtera menjadi masalah serius.  Problem itu tidak akan menjadi masalah serius apabila pemerintah lebih fokus terhadap perkembangan dan pembangunan desa tertinggal dengan membuka lapangan pekerjaan dipedesaan sekaligus mengalirnya investasi dari kota dan juga menerapkan desentralisasi otonomi daerah yang memberikan keleluasaan kepada seluruh daerah untuk mengembangkan potensinya menjadi lebih baik, sehingga kota dan desa saling mendukung dalam segala aspek kehidupan.


BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN;

 

DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, Abu, Drs. 2003. Ilmu Sosial Dasar. Jakarta: Rineke Cipta.

Kosim, H, E. 1996. Bandung: Sekolah Tinggi Bahasa Asing Yapari

Marwanto, 12 November 2006. Jangan bunuh desa kami. Jakarta:Kompas

_______, 1994. Sosiologi 3 SMU. Jakarta: Yudistira



[1] http://ms.wikipedia.org/wiki/Masyarakat

[2] Sosiologi 3 SMU 1994, hal. 68

[3] Drs. H. Abu Ahmadi, Ilmu Sosial Dasar, 2003, Hal.241

[4] Kompas, Minggu 12 November 2006 (Jangan bunuh desa kami) oleh Marwanto

[5] Sosiologi 3 SMU 1994, hal. 70

[6] H..E Kosim, STBA Yapari Bandung, 1996, Hal. 97

[7] Rr. Tjahjani Busono, MS Barliana, dan Johar Maknun, Perubahan Sosial di Desa Asal Migran Tenaga Kerja Wanita, Hal. 2-3

[8] H.E Kosim, STBA Yapari Bandung, 1996, Hal. 99

 

MAKALAH KATA SERAPAN DAN ARABISASI


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I

PENDAHULUAN

A.... Latar Belakang

B.... Rumusan Masalah

C.    Tujuan


BAB II

PEMBAHASAN

A.... Pengertian Kata Serapan

B.... Pengertian Arabisasi

C.    Kata Serapan dalam Bahasa Arab


BAB III

PENUTUP

A.... Kesimpulan

DAFTAR PUSTAKA

 

BAB I

PENDAHULUAN

A.     Latar belakang

Sejarah menunjukkan bahwa bahasa Arab adalah salah satu bahasa utama di dunia.  Bahasa Arab diakui sebagai bahasa Internasional dan merupakan salah satu bahasa terbaik di dunia. Ini memainkan peran penting dalam pengembangan masyarakat muslim Arab. Fungsi utama bahasa adalah komunikasi, begitu juga bahasa Arab. Bahasa ini digunakan oleh orang Arab dalam berbagai interaksi. Masyarakat dapat menciptakan bahasa untuk berkomunikasi agar dapat menghasilkan ragam bahasa yang sesuai dengan keadaan masyarakat tempat ia dilahirkan (Mu`in, 2004: 19). Oleh karena itu, bahasa dianggap sebagai makhluk yang lahir, hidup, turun, dan mati , serta bersentuhan dan bersinggungan dengan bahasa lain (Masluh, 2004: 273).

Hal yang sama terjadi ketika bahasa Arab berperan sebagai alat komunikasi dalam bidang agama, ilmu pengetahuan, politik, ekonomi, sosial dan budaya. Bahasa Arab sejak itu menjadi bahasa resmi berbagai organisasi yang terkait dengan Islam dan negara-negara Arab, termasuk Rābitahal`Ālamal Islam, Organisasi Konferensi Islam (OKI), dan Liga Arab (Hadi, 2005: 23).

Seiring dengan perkembangannya, bahasa Arab sangat dipengaruhi oleh bahasa-bahasa lain. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di Barat menjadi salah satu penyebab adaptasi bahasa Arab terhadap istilah-istilah baru yang terkandung dalam penemuan - penemuan ilmiah baru tersebut. Akibatnya, beberapa lembaga bahasa Arab harus menerjemahkan, membuat istilah baru, menggabungkannya, dan menyesuaikannya dengan aturan bahasa Arab. Hasilnya adalah istilah ta`rib atau Arabisasi. Ada beberapa kamus model baru dalam bahasa Arab (Hadi, 2005: 6).

Karena ta`rib adalah pembahasan kata pinjaman dan dianggap sebagai evolusi makna dalam bahasa Arab, penulis pertama-tama menjelaskan kata pinjaman (dakhil) dan evolusinya, istilah, dan munculnya taulid, dan kemudian Kami akan membahas ta`rib. Kami akan memajukan penyebab terjadinya dan aturan pembentukannya sehingga model kosa kata dan teori leksikal bahasa Arab terbaru diketahui.


B.     Rumusan masalah

1.      Apa pengertian kata serapan ?

2.      Apa pengertian arabisasi ?

3.      Bagaimana kata serapan dalam bahasa Arab ?


C.      Tujuan

1.      Menguraikan pengertian kata serapan.

2.      Menguraikan pengertian arabisasi.

3.      Menjelaskan kata serapan dalam bahasa Arab.


BAB II

PEMBAHASAN

A.     Pengertian Kata Serapan

Kata serapan adalah kata-kata yang berasal dari bahasa asing dan diintegrasikan ke dalam bentuk bahasa yang diterima secara umum. Arti kata serapan dalam bahasa Indonesia adalah kata-kata yang berasal dari bahasa daerah atau bahasa asing, yang ejaan, ucapan, dan penulisannya telah disesuaikan dengan penggunaan tradisional oleh masyarakat umum.[1]

Setiap masyarakat memiliki cara dan bahasanya sendiri untuk mengekspresikan ide dan perasaan dan untuk merujuk pada hal-hal di sekitar mereka. Sampai titik tertentu, bahasa yang dihasilkan dari kesepakatan masyarakat itu sendiri dapat memenuhi kebutuhan ini. Namun seiring berjalannya waktu, akan banyak ide, konsep, atau elemen baru yang datang dari luar budaya masyarakat. Oleh karena itu, kita membutuhkan kata baru. Salah  satunya  adalah  memasukkan   kata-kata   yang   digunakan   di   dunia   luar  ke dalam bahasa Indonesia yang benar.

Bahasa Indonesia telah memasukkan unsur dan kata bahasa lain seperti bahasa daerah dan bahasa asing dalam perkembangannya. Dalam bahasa Indonesia, banyak kata dalam bahasa dan daerah asing yang sudah digunakan. Kata-kata tersebut sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia, baik dalam pengucapan maupun penulisannya. Kata-kata seperti itu disebut kata serapan.


B.  Pengertian Arabisasi

Arabisasi atau dalam bahasa Arab disebut dengan ta’rib (تعريب) adalah proses pembentukan kata dalam bahasa Arab, perlu ditekankan bahwa proses pembentukan kata baru di sebuah kata baru atau morfem lainnya yang mungkin berupa akar atau dasar (kata dasar). Seperti kata maktab (مكتب) dari kataba (كتب) atau kata madrasah (مدرسة) dari darasa (درس). Bukan dari sesuatu yang tidak ada asalnya dalam bahasa Arab. Cara pembentukan kata yang sumbernya dari bahasa non Arab. Seperti kata ­istirojiyyah (إستراتيجية) dari strategi, kata baroghimatiyyah (براغماتية) dari pragmatism, dan istad (استاد) dari stadion. Proses pembentukan itu disebut ta’rib, arabisasi atau serapan. Hasilnya disebut muarrab atau dakhil. Yang perlu diingat bahwa dalam proses pembentukan ini dapat melibatkan proses perubahan bunyi atau juga perubahan bentuk.[2]

Ta'rib dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu ta'rib makna dan ta'rib isti'mal.

1.         Ta'rib makna: membuat isim Arabi sebagai pengganti isim a'jami. Ini ta'rib yang masyhur dan mudah dipahami, dan dilakukan oleh kamus-kamus dan lembaga-lembaga bahasa. Ini pula yang terlintas dalam pikiran orang banyak kala mendengar kata ta'rib. Misalnya, Windows diarabkan menjadi النوافذ dan Microsoft menjadi الدقيق اللطيف

2.         Ta'rib isti'mal: penggunaan isim 'ajam dalam pola arab. Yakni memprosesnya menurut cara bahasa Arab, membentuknya dan memperlakukannya menurut wazan, binyah, dan kaidah-kaidahnya, dst. hingga bercorak dan bertabiat Arab yang fasih, sekalipun berasal dari 'ajam. Ta'rib seperti ini banyak dalam bahasa Arab misalnya lafal-falaf dalam al-Qur`an yang mempunyai asal-usulnya sendiri dalam bahasa 'ajamnya seperti istabraq, dll. untuk contoh-contoh klasik. Dan lafal-lafal seperti istilah-istilah الحاسوب dan الانترنت baik berupa isim 'alam seperti nama-nama situs, program, dan bahasa pemrograman; maupun isim jins atau makna seperti nama komputer, hausabah, tahmil, tahlil, tanzil, dll.[3]

At-Tawwab (1994: 364) menjelaskan dalam bukunya Fuṣȗl Fī Fiqh Al-Lughoh, bahwa iqtiróḍ dibagi menjadi dua bagian, yaitu arabisasi atau ta’rib dan penerjemahan. Dalam proses arabisasi, perkembangan bahasa terjadi dalam wujud rilnya, yaitu penanda (signifier) yang tercakup di dalamnya bunyi dan bentuk kata itu sendiri. Adapun dalam proses penerjemahan, perkembangan bahasa terjadi dalam segi konsep atau petandanya (signified). Ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Versteegh (1997: 179) dalam bukunya The Arabic Language, terkait dengan perkembangan bahasa Arab. Ia menyebutkan bahwasannya ada beberapa metode yang digunakan oleh masyarakat Arab untuk melahirkan sebuah kata baru, di antaranya yaitu:

1.  Meminjam istilah atau kata asing.

2.  Menggabungkan istilah atau kata asing tersebut dengan pola bahasa Arab baik secara morfologis maupun fonologis.

3.  Mengembangkan kata yang sudah ada.

4.  Menerjemahkan istilah atau kata asing tersebut.

5.  Memperluas makna kata.

Muhammad Syahin (1993: 147) menjelaskan bahwa dalam proses pemindahan kata dari bahasa Asing ke dalam bahasa Arab, dapat terjadi perubahan yang kemudian menyesuaikan dengan kosakata bahasa Arab dan dapat pula tidak ditemukan perubahan, dengan kata lain tetap. Abd At-Tawwab (1994: 364) menjelaskan bahwa dalam proses arabisasi atau ta’rib lebih difokuskan pada bunyi dan bentuk kata dalam sebuah bahasa. Dalam bukunya pula dijelaskan bahwa ada beberapa kaidah atau metode yang digunakan oleh masyarakat Arab dalam proses arabisasi kata dalam bahasa asing ini, di antaranya yaitu:

1.   Mengubah bunyi bahasa asing dengan titik artikulasi yang paling dekat dalam bahasa Arab.

2.   Mengubah konstruksi bahasa asing ke dalam bahasa Arab (menyesuaikan dengan konstruksi dalam bahasa Arab).

3.   Menanggalkan segala bentuk kata asing.

Adapun menurut Ibrahim Anis (1990:39) menjelaskan bahwa bunyi vokal dalam bahasa Arab diantaranya terdapat enam macam yaitu:

1.  /a/ pendek seperti dalam kata:

anta (أنت), masaha (مسح), lamisa (لمس)

2.  /i/ pendek seperti dalam kata:

alima (علم), kutiba (كتب), yajlisu (يجلس)

3.  /u/ pendek seperti dalam kata:

kutiba (كتب), ursilu (أرسل), syahura (شهر)

4.  /a/ panjang seperti dalam kata:

kătibun (كاتب), lămisun (لامس), qălă (قالا)

5.  /i/ panjang seperti dalam kata:

alίmun (عليم), habίbun (حبيب),  mίlun (ميل)

6.  /u/ panjang seperti dalam kata:

yasykủ (يشكو), sujủdun (سجود),  bủya’u (بويع)

Setelah mengetahui bunyi vokal dalam bahasa Arab begitu pula dengan konsonan bahasa Arab adalah bunyi yang mengalami atau mendapat hambatan atau penyempitan. Konsonan bahasa Arab akan menyangkut dua hal, yaitu tempat artikulasi dan cara artikulasi . tempat artikulasi dikenal dengan istilah Makhârijul Hurȗf. Sedangkan cara artikulasi dikenal dengan istilah ṣifatul hurȗf. (Dayudin, 2015: 60).


C.  Kata Serapan dalam Bahasa Arab

Secara etimologi, ta’rib berasal dari bahasa Arab yang memiliki makna   penerjemahan ke dalam bahasa Arab (Ali, 1998: 515), atau memindahkan bahasa asing ke dalam bahasa Arab (Ma'luf, 2005: 495 dan Ibrahim, 2001: 129). Adapun secara terminologi, beberapa tokoh memberikan definisinya, antara lain ta‘rib adalah  penyerapan  unsur- unsur asing, baik berupa kata maupun istilah (Hadi, 2002: 77). Syauqi Daif menyatakan bahwa ta‘rib adalah  pembentukan  kata  dalam   bahasa Arab setelah dipindahkan  dari bahasa asing ke dalam bahasa Arab (Al-‘Arabiyyah, 2005: 591). Ahmad Bek Isa memberikan   pengertian bahwa ta‘rib adalah cara lain  yang dilakukan dalam memindahkan kata (dari bahasa lain ke dalam bahasa Arab) manakala tidak ada dalam kosa kata bahasa Arab, baik dengan cara menerjemahkan dari kosa kata bahasa asing, membentuk kata atau kata kerja, membuat majaz, maupun menyingkat kata (Isa, t.t : 125). Definisi yang terakhir ini lebih menitikberatkan pada cara-cara pembentukan kata atau istilah   dalam ta‘rib. Tawwab menjelaskan bahwa ta‘rib adalah masuknya kata asing ke dalam bahasa Arab setelah mengalami perubahan  pada lafalnya, dan wazannya mengikuti pola atau kaidah dalam bahasa Arab (Tawwab, 1997: 358-359).[4]

Pengaruh yang dirasakan dari persilangan ini adalah substitusi antar bahasa dan adopsi atau adopsi bahasa lain. Yang paling terlihat adalah aspek verbal. Bahasa Arab mengambil kata-kata dari bahasa lain yang dekat dengannya. Ini disebut aralkimātalmu`arrabah (Arab), tetapi pendekatan ini disebut ta`rib (Arabisasi). Artinya, kata-kata yang digunakan dalam bahasa Arab tidak sama. Meskipun dalam bentuk aslinya, orang-orang Arab membentuknya menurut kaidah bahasanya dari segi bunyi (alaswāt) dan penempatan (albinyah) (Khalil, 1985: 358359). Ia kemudian menjadi cikal bakal terbentuknya ta’rib dalam bidang linguistik bahasa Arab.

Bahasa yang dirasakan memiliki pengaruh besar terhadap bahasa Arab adalah bahasa Latin dan bahasa Yunani pada masa Daulah Umayyah dan Abbasiyah, di samping bahasa-bahasa dunia, semisal bahasa Rusia, Spanyol dan tentunya bahasa Inggris yang paling dominan untuk saat ini (Hadi, 2005: 2). Contoh katakata yang berasal dari bahasa Latin adalah magister (ماجستير), nama-nama bulan seperti Januari (يناير), Februari (فبراير),  dan seterusnya. Adapun bahasa Yunani adalah  democratia (ديموقراطية), orthodox (أرتودوكس), dan sebagainya.[5]

Seiring perkembangan zaman, orang-orang Arab telah melakukan kontak dengan negara- negara lain di dunia, termasuk negara-negara Barat. Perkembangan yang terjadi di Barat secara tidak langsung mempengaruhi perkembangan ide, ilmu pengetahuan, teknologi dan informasi yang mempengaruhi perkembangan bahasa di seluruh dunia, termasuk bahasa Arab.

Salah satu alasan terbesar perkembangan bahasa Arab adalah perkembangan Barat dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini terjadi karena negara-negara Arab melakukan kontak dengan Barat baik di negara-negara Arab maupun non-Arab. Sebagai hasil dari pengaruh budaya dan pemikiran ini, orang Arab dapat menyerap ide-ide baru tentang budaya dan pemikiran mereka (Chejne, 1996: 185). Kemudian, melalui pengenalan beberapa istilah baru, bahasa Arab harus beradaptasi dengan bahasa yang dibawa oleh Barat melalui perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.  Akibatnya, beberapa lembaga bahasa Arab perlu menerjemahkan, membuat istilah baru (berdasarkan isytiqāq), membuat singkatan (setelah jahitan), menambah dan membentuk kata-kata baru, dan menyesuaikannya dengan aturan bahasa Arab. Lahir (Ya`qub, dd: 220).


BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN;


BAB III

PENUTUP

A.     Kesimpulan

Kata serapan adalah kata-kata yang berasal dari bahasa asing dan diintegrasikan ke dalam bentuk bahasa yang diterima secara umum. Arti kata serapan dalam bahasa Indonesia adalah kata-kata yang berasal dari bahasa daerah atau bahasa asing, yang ejaan, ucapan, dan penulisannya telah disesuaikan dengan penggunaan tradisional oleh masyarakat umum.

 atau dalam bahasa Arab disebut dengan ta’rib (تعريب) adalah proses pembentukan kata dalam bahasa Arab, perlu ditekankan bahwa proses pembentukan kata baru di sebuah kata baru atau morfem lainnya yang mungkin berupa akar atau dasar (kata dasar). Seperti kata ­istirojiyyah (إستراتيجية) dari strategi, kata baroghimatiyyah (براغماتية) dari pragmatism, dan istad (استاد) dari stadion. Proses pembentukan itu disebut ta’rib, arabisasi atau serapan. Hasilnya disebut muarrab atau dakhil. Yang perlu diingat bahwa dalam proses pembentukan ini dapat melibatkan proses perubahan bunyi atau juga perubahan bentuk. Ta'rib dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu ta'rib makna dan ta'rib isti'mal.

ta‘rib adalah  penyerapan  unsur- unsur asing, baik berupa kata maupun istilah (Hadi, 2002: 77). Syauqi Daif menyatakan bahwa ta‘rib adalah  pembentukan  kata  dalam   bahasa Arab setelah dipindahkan  dari bahasa asing ke dalam bahasa Arab (Al-‘Arabiyyah, 2005: 591). ta‘rib adalah cara lain  yang dilakukan dalam memindahkan kata (dari bahasa lain ke dalam bahasa Arab) manakala tidak ada dalam kosa kata bahasa Arab, baik dengan cara menerjemahkan dari kosa kata bahasa asing, membentuk kata atau kata kerja, membuat majaz, maupun menyingkat kata (Isa, t.t : 125).

Seiring perkembangan zaman, orang-orang Arab telah melakukan kontak dengan negara- negara lain di dunia, termasuk negara-negara Barat. Perkembangan yang terjadi di Barat secara tidak langsung mempengaruhi perkembangan ide, ilmu pengetahuan, teknologi dan informasi yang mempengaruhi perkembangan bahasa di seluruh dunia, termasuk bahasa Arab.


DAFTAR PUSTAKA

Makalah bahasa indonesia tentang kata serapan , diakses 29 Nopember 2021

http://seameomandala.blogspot.com/2016/05/makalah-bahasa-indonesia-tentang-kata.html

proses perubahan fonologis dan perubahan morfologis pada kosakata atau istilah dari bahasa asing ke dalam bahasa arab dalam novel Banăt ar- Riyăḏ karya Raja Al-Sanea: kajian Morfofonologi. Diakses 29 Nopember 2021

http://digilib.uinsgd.ac.id/21358/4/4_BAB%20I.pdf

ta’rib dan problematikanya, diakses 29 Nopember 2021

http://file.upi.edu/Direktori/FPBS/JUR._PEND._BAHASA_ARAB/195207061979031-MUDZAKIR/makalah_&artikel/makalah_ta%27rib.pdf

malik, Abdul, “ARABISASI (TA‘RIB) DALAM BAHASA ARAB”, dalam Adabiyyāt, “Yogyakarta: Jurnal Bahasa dan Sastra, 2009”, Vol. 8, No. 2, Desember 2009  hlm. 265. Diakses 29 Nopember 2021

malik, Abdul, “ARABISASI (TA‘RIB) DALAM BAHASA ARAB”, dalam Adabiyyāt, “Yogyakarta: Jurnal Bahasa dan Sastra, 2009”, Vol. 8, No. 2, Desember 2009  hlm. 267. Diakses 29 Nopember 2021

[1] http://seameomandala.blogspot.com/2016/05/makalah-bahasa-indonesia-tentang-kata.html

[2] http://digilib.uinsgd.ac.id/21358/4/4_BAB%20I.pdf

[3] http://file.upi.edu/Direktori/FPBS/JUR._PEND._BAHASA_ARAB/195207061979031-MUDZAKIR/makalah_&artikel/makalah_ta%27rib.pdf

[4] Abdul Malik, “ARABISASI (TA‘RIB) DALAM BAHASA ARAB”, dalam Adabiyyāt, Vol. 8, No. 2, Desember 2009 (Yogyakarta: Jurnal Bahasa dan Sastra, 2009), hlm. 265.

[5] Abdul Malik, “ARABISASI (TA‘RIB) DALAM BAHASA ARAB”, dalam Adabiyyāt, Vol. 8, No. 2, Desember 2009 (Yogyakarta: Jurnal Bahasa dan Sastra, 2009), hlm. 267.

MAKALAH HADIST TENTANG HIJAB

  A.   Latar Belakang Telah disepakati oleh seluruh umat Islam bahwa al-Qur’an menjadi pedoman hidup baik tentang syariah maupun dalam keh...