BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Kajian terhadap hadis Nabi selalu bergerak mengikuti
perkembangan zaman dan ilmu pengetahuan. Perubahan tersebut baik meliputi sisi
metodologis maupun pendekatan yang digunakan. Perubahan tersebut semakin
terlihat ketika munculnya sarjana-sarjana muslim kontemporer.
Mereka mampu memberikan warna baru dalam kajian hadis
yang didasarkan pada kapasitas keilmuan serta waktu keberadaan mereka. Dan juga
merupakan suatu yang wajar, jika diantara mereka menimbulkan kritikan, karena
pemikiran mereka berbeda dengan pemikiran ulama yang sudah ada.
Salah satu pemikir kontemporer yang mampu memberikan
warna baru dalam kajian hadis adalah Muhammad Mustafa al-A’zami. Sudah tidak
diragukan lagi kapasitas al-A’zami dalam kajian hadis. Ini terlihat ketika
beliau menulis berbagai tulisan di bidang hadis.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana
biografi Mustafa
al-A’zami?
2.
Bagaimana
pemikiran Hadis menurut Mustafa al-A’zami?
3.
Bagaimana Respon Mustafa al-A’zami
terhadap Orientalis Hadis?
4. Bagaimana Sanggahan
Mustafa al-A’zami terhadap Schacht Tentang
Sanad?
5. Bagaimana Sanggahan
Mustafa al-A’zami Terhadap Schacht
Tentang Tersebarnya Sanad?
6. Bagaimana Kesulitan Teori Projecting Back
menurut Mustafa
al-A’zami?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Biografi
Mustafa al-A’zami
Pakar ilmu hadis ini nama
lengkapnya adalah Muhammad Mustafa al-A’zami. Beliau dilahirkan di kota Mano,
India Utara pada tahun 1932. Atas arahan ayahnya yang membenci penjajahan dan
inggris ketika duduk di bangku SLTA beliau diharuskan ke Sekolah Islam yang
menggunakan bahasa Arab. Di sekolah inilah al-A’zami mulai belajar Hadis.[1]
Tamat dari Sekolah Islam,
al-A’zami melanjutkan studinya di College of Science di Deoband, sebuah
perguruan terbesar di India yang juga mengajarkan Studi Islam. Al-A’zami tamat
tahun 1952. Kemudian beliau melanjutkan lagi ke Fakultas Bahasa Arab Jurusan
Tadris (Pengajaran) Universitas al-Azhar, Cairo dan tamat tahun 1955. Dengan
bekal ijazah al-‘Alimiyah Universitas al-Azhar, tahun itu juga beliau
kembalinya ke tanah airnya India.[2]
Tahun 1956
al-A’zami diangkat sebagai Dosen Bahasa Arab untuk orang-orang non Arab di
Qatar. Lalu tahun 1957 diangkat sebagai Sekretaris Perpustakaan Nasional di
Qatar (Dar al-Kutub al-Qatriyah). Tahun 1964 al-A’zami melanjutkan
studinya lagi di Universitas Cambridge, Inggris, sampai meraih gelar Ph.D.
tahun 1966 dengan disertasi berjudul “Studies in Early Hadits Literature”.
Lalu beliau kembali lagi ke Qatar untuk memegang jabatan semula. Tahun 1968
beliau mengundurkan diri dari jabatannya di Qatar dan pindah ke Mekkah untuk
mengajar di Fakultas Pasca Sarjana, Jurusan Syari’ah dan Studi Islam,
Universitas King ‘Abd al-‘Aziz (kini Universitas Umm al-Qura). Beliau, bersama
al-Marhum Dr. Amin al-Mishri, termasuk yang ikut andil mendirikan fakultas
tersebut.[3]
Tahun 1973
(1393 H) beliau pindah ke Riyad untuk mengajar di Departemen Studi Islam,
Fakultas Tarbiyah, Universitas King Saud. Dan di Universitas ini ‘Ali Mustafa
Ya’qub bertemu dengan al-A’zami sebagai murid dan guru, di mana setelah tamat
ia mendapat amanat dari al-A’zami untuk menerjemahkan buku-bukunya. Reputasi
Ilmiah al-A’zami melejit ketika pada tahun 1400 H/ 1980 M beliau memenangkan
Hadiah Internasional Raja Faisal untuk Studi Islam dari Lembaga Hadiah Yayasan
Raja Faisal di Riyad.[4]
B.
Pemikiran Sunnah menurut Mustafa al-A’zami
1. Pengertian Sunnah dan
Kedudukannya Menurut al-A'zami
Al-A’zami
mendefinisikan sunnah secara bahasa sebagai
tata cara. Sedang dalam Alquran sendiri, menurutnya, kata sunnah
dipakai untuk arti tata "cara dan tradisi".
Kemudian kata
"sunnah" untuk arti
terminologis dengan menambahi "al" di depannya, diartikan sebagai
"tata cara dan syari'at Rasulullah
saw" dan hal tersebut tidak berarti
pengertian etimologisnya itu terhapus, sebab
pengertian yang belakang ini hanya dipakai dalam arti yang sempit.[5]
Menurut al-A'zami,
sunnah adalah sumber ajaran kedua
setelah Alquran sekaligus penjelas Alquran yang
bersifat global. Karena diantara tugas
Rasulullah saw. adalah menjelaskan hal–hal global dalam Alquran,
baik dengan lisan maupun dengan perbuatan. Menolaknya sama saja menolak
Alquran.[6]
Dari keterangan dalam
beberapa ayat, al-A'zami
berpandangan sudah jelas bahwa memakai Alquran saja
dan meninggalkan sunnah adalah suatu yang tidak mungkin dan tidak dibenarkan.
2. Konsep 'adalah dan Penulisan
Hadis Nabi (Tadwin)
Al-A'zami
lebih cenderung mengatakan bahwa semua
sahabat 'Udul. Beliaupun menyandarkannya
pada
pendapat Jumhur ulama terdahulu. Beberapa pendahuhulu al-A’zami berpendapat bahwa Hadis-hadits
Rasul hanya disebarkan secara lisan sampai Abad
Pertama
Hijriah.[7]
Khusus pada abad ke-Tiga merupakan masa
yang sangat subur dan produktif dalam penulisan hadis, dan sistem penyusunannya
juga sudah lebih baik daripada masa sebelumnya. Hingga
pada masa sebelumnya digabungkan dengan masa itu, sehingga sedikit saja yang
tersisa. Kesimpulannya, tidak mungkin ada penulisan hadis pada
abad pertama Hijriyyah.
Al-A’zami sendiri,
membenarkan telah adanya penulisan hadis Nabi di Awal Periode Islam, mengenai
pendapat golongan yang mengingkari fakta tersebut, al-A’zami membantahnya
dengan menyebutkan kesalahan dalam argumen semacam itu. Sebagai berikut :
a. Misinterpretasi tentang kata-kata Tadwīn, Tasnīf, dan Kitābah yang dipahami dalam makna dan
pengertian yang sama dalam pencatatan.
b. Kesalahpahaman tentang istilah Haddathana, Akhbarana, 'An,
dan lainnya yang diyakini dipakai untuk periwayatan secara lisan.
c. Klaim bahwa hafalan orang Arab adalah unik, sehingga mereka tidak perlu
mencatat sesuatu apapun di dalam buku.
d. Sejumlah hadis Nabi sendiri yang
bertentangan dengan kegiatan penulisan hadis.
e. Misinterpretasi ungkapan atau
pernyataan para ahli di awal masa perkembangan Islam yang berkaitan dengan
penulisan hadis.[8]
3. Seputar Otentisitas Hadits
Nabi dan Periodesasinya
Periodisasi
yang dirumuskan oleh al-A’zami adalah penggalan–
penggalan masa sejarah tentang perkembangan hadis,
yaitu fase-fase yang telah ditempuh dan dialami dalam sejarah pembinaan dan
perkembangan hadis, sejak Rasulullah masih hidup sampai terwujudnya kitab-kitab
yang dapat disaksikan hingga sekarang.
Dalam kitabnya
“Studies in Early Hadis
Literature”,
al-A'zami telah menyusun periodisasi sejarah dan perkembangan hadis sebagai
berikut :
a. Pra
Classical Hadith Literature
Yaitu
periodisasi sebelum dibukukannya hadis. Masa ini terjadi mulai zaman Nabi sampai
berakhirnya abad pertama Hijryah. Periode ini dibagi kepada 4 fase yaitu : Fase
pertama, fase aktifnya para sahabat menerima dan menyampaikan hadis, Fase
kedua, fase para tabi'in menerima dan meriwayatkan hadis dari para sahabat, Fase
ketiga, fase tabi'it tabi'in menerima dan meriwayatkan dari tabi'in, dan Fase
keempat, fase para guru dan ulama hadis mengajar dan menyampaian hadis.
b. The Learning And Transmitting Of Hadis
Periode ini mulai sejak
abad II Hijriyah, yakni sejak dikeluarkanya perintah resmi dari khalifah Umar
bin Abdul Aziz untuk membukukan hadis. Periode ini terbagi
kedalam tiga fase yaitu:
1) Pertama, dalam fase ini (a) Ahli
hadis, dalam menyusun kitab-kitab hadis memuat juga ayat-ayat Alquran,
athar-athar
sahabat dan tabi'in, (b) Di semua kota besar
yang masuk dalam daerah islam ada ahli-ahli hadisnya yang terkenal.
2) Kedua, fase sampai awal abad III
Hijriyah. Dalam fase ini (a) Kitab-kitab hadis, Khusus hanya memuat Hadis Nabi saja, (b) Susunan Hadis ada yang berdasarkan topik pembahasan masalah dan ada yang
berdasarkan nama sahabat periwayat
3) Ketiga, Fase pada abad II Hijriyah dan seterusnya. Dalam fase ini,
perkembangan hadis dari segi penulisannya, pengkajian dan pembahasan, telah
mencapai puncaknya yang tertinggi.[9]
4. Persyaratan untuk Hadis Shahīh, hasan Li-Dzātihi, Hasan Li-Ghairihi dan Hadis Mardūd.
Al-A’zami mengajukan persyaratan untuk
Hadis Sahih sebagaimana berikut:
a. Kontinuitas mata rantai (Isnad)
harus terjaga, yang artinya seluruh perawi kembali kepada perawi terakhir.
b. Tidak boleh ada shudhudh.
c. Hadis tersebut tidak boleh
mempunyai cacat yang tersembunyi.
Sementara
untuk hadis Hasan Li-Dhātihi,
ia mengatakan bahwa semua syarat-syarat yang di cantumkan untuk hadis shahih
juga di syaratkan untuk hadis hasan Li-Dhatihi, kecuali bahwa
para perawinya hanya termasuk kelompok keempat (sadūq)
atau istilah lain yang setara
dengan tingkatan tersebut.
Untuk Hadis Hasan Li-Ghairih,
apabila perawi termasuk ke dalam kelompok kelima
atau keenam, dan ada hadis lain yang mendukungnya baik dari segi susunan matan
atau yang semakna dengannya, hadis yang pertama disebut hadis Hasan
li-Ghairihi. Diterimanya
hadis secara keseluruhan adalah didasarkan pada keberadaan ulama
yang paling lemah. Jadi jika ada satu orang perawi yang lemah, maka hal itu
berakibat pada lemahnya tingkatan hadis tersebut.[10]
5. Mengomentari tentang hadis yang
di tolak (mardūd), ia lebih spesifik
menjelaskan kriteria hadis yang di tolak terbagi menjadi tiga macam:
a.
Penolakan yang disebabkan
oleh cacat yang ada pada diri perawi.
b.
Kelemahan yang
diakibatkan keterputusan Isnād.
Dalam kategori ini, sebuah hadis mungkin disebut mursal, munqothi',
dan mu'dhal, namun terkadang juga mauqūf
dan maqthū'.
c.
kelemahan
yang di akibatkan oleh sebab-sebab yang sepele. Yang termasuk dalam kategori
ini adalah : maqlūb, mudtharib,
dan mu'allal.[11]
6. Naqd al-Hadith
Dalam bukunya Manhaj al-Naqd
'Inda al-Muhaddithin, al-A’zami memasukkan
beberapa aktifitas yang termasuk kateori kritik (naqd) :
a.
Menyeleksi
(membedakan) antara Hadits Shahih dan Dha'if dan menetapkan status
perawi-perawinya dari segi kepercayaan atau cacat.[12]
b.
Penetapan
status cacat atau ‘Adil pada perawi hadis dengan bukti-bukti yanng
mudah diketahui oleh para ahlinya, dan mencermati matan-matan hadits untuk
tujuan mengakui validitas atau menilai lemah, dan upaya menyingkap kemusykilan
pada matan hadits yang Shahih serta mengatasi gejala kontradiksi antar matan
dengan mengaplikasikan tolak ukur yang detail.[13]
7. Dari perumusan di atas, maka
hakikat kritik hadits bukan untuk menilai salah atau membuktikan ketidakbenaran
sabda Rasulullah saw, tetapi sekedar uji perangkat yang memuat informasi
tentangnya, termasuk uji
kejujuran informatornya.[14]
C. Respon M. M Azami terhadap Orientalis Hadis
Tuduhan-tuduhan kalangan orientalis terhadap hadis nabi mendapat kecaman
dari berbagai kalangan. Salah satunya Mustofa Azami. Melalui beberapa buku yang
ditulisnya ia membahas dengan rinci sanggahan sanggahannya. Bahwa ada banyak
kesalahan dan tuduhan tuduhan yang tidak berdasar dari kalangan orintalis
terhadap hadis nabi.
Salah satu
orientalis hadis yang pandangannya dikritik oleh M. M Azami adalah Joseph
Schacth. Tokoh orieantalis asal Ratibor, Silesia, polandia.
Schacht
mengatakan, bahwa hadis nabi telah dipalsukan oleh para ulama’ abad ke dua dan ketiga yang berusaha menjustivikasi
pandangan mereka sendiri dengan melacak ke belakang sampai kepada nabi.[15] Menurutnya, tradisi yang hidup dari madzhab fiqh-fiqh klasik di dasarkan
pada sejumlah besar penalaran individual terlebih dahulu, kemudian pada tahap
kedua dinyatakan berasal dari sahabat.[16]
Dalam buku Menguji Keasilian Hadis-Hadis Hukum M.
M Azami mengkrtik Schact atas karangangannya Origin of Muhammadan
Jurisprudence dalam beberapa persoalan:
a. Inkonsistensi Baik dalam Teori Penggunaan Sumber
Dalam buku tersebut, Scacht membatasi diri pada
hadis-hadis hukum setelah membahas 47 contoh dari periode yang berbeda-beda.[17] Padahal, sebagian yang dibahasnya itu sebenarnya tidak datang dari Nabi dan
sebagian besar pula bukan hadis hukum, melainkan hadis ibadah. Dengan kata
lain, hanya semperempat dari bahasannya itu yang sesuai dengan bahasan Schacth.
Demikan Respon Azami.
b. Asumsi-asumsi yang Tidak berdasar dan Metode Riset
yang Tak Ilmiah
Premis dasar yang digunakan Schacht, bahwa jika suatu
hadis tidak dirujuk dalam dalam diskusi hukum, maka hadis itu telah dipalsukan.
Dia berargumen bahwa generasi sebelum Syafi’I adalah pengecualian dan bahwa
semua madzhab fiqih klasik memberikan perlawanan terhadap hadis-hadis Nabi.
Jika pernyataan
itu benar, Kata Azami, tentu suatu hadis tidak pernah ada jika tidak digunakan
sebagai argumen hukum. Mereka yang menentang hadis-hadis hukum sepertinya
hampir tidak pernah mengunakan hadis tersebut.[18]
c. Kesalahan-kesalahan Fakta
Banyak contoh
yang dikutib Schacht untuk menunjukkan pemalsuan hadis dianggap tidak valid
oleh refrensi kepada sumber lain yang memberikan bukti bahwa ulama sezaman atau
yang lebih dulu menyadari adanya hadis tersebut.[19]
d. Pengabaian Terhadap Realitas
Politik dan Geogerafis
Pandangan
Schact menginginkan agar kita percaya bahwa tipu daya telah dilakukan secara
massal oleh para ulama di seluruh dunia islam pada abad ke-2 H.
Azami
mengatakan: “Apa kita percaya bahwa tanpa fasilitas telpon, telegrap atau alat
transportasi modern. Para ulama dapat berkomunikasi begitu baik sehingga
hadis-hadis yang sama berkembang dalam area yang luas dan terpencar-pencar.”
e. Kesalahan Terhadap Metode Kutipan para Ulama terdahulu
Azami
mengatakan bahwa sebagai seorang sarjana, Scacht telah melakukan kesalahan
metodologis, kesalahpahaman dan kesalahtafsiran terhadap kutipan para ulama
terdahulu dalam tulisan dan fatwa mereka. Salah satu contohnnya mengenai
kompenasasi untuk luka-luka. Schat berpandangan hadis tersebut dilakukan
pemalsuan oleh madzhab irak. Padahal kasusnya adalah perselisihan pendapat
antara Abu Hanifah dan Malik mengenai kompensasi luka-luka.
Dan terlebih
mengenai pembahasan tersebut, tidak ditemukan referensi dari Nabi maupun sumber
lain. Pembahasan tersebut adalah mengenai keputusan/ fatwa Abu Hanifah tentang
kompesasi untuk jenis luka tertentu yang menimpa seorang hamba.[20]
D. Sanggahan terhadap Schacht
Tentang Sanad: Gambaran Umum
Ada perbedaan
antara kitab sirah dan kitab hadis. Dalam penyusunan kitab Hadis bisa jadi ada
dua hadis yang disebutkan dalam satu tempat sementara hadis tersebut tidak
berhubungan. Dalam hal ini pembaca tidak akan merasa adanya percampuradukan. Sedangkan
kitab sirah selalu memerlukan penuturan kejadian dan kisah-kisah yang selalu
berkaitan dan berkesinambungan. Dengan demikian, dari kacamata ilmiah, kita
sirah tidak dapat dijadikan obyek studi sanad.[21] Inilah yang banyak dilakukan oleh kalangan orentalis, sebagaimana dikatakan
Azami. Mereka menggunakan kita sirah untuk meneliti sanad.
Joseph Schacht,
sebut Azami, telah mempelajari kitab al-Muwatta’ karya Imam Malik dan
kitab al-Umm’ karya imam Syafi’i. Kitab tersebut lebih tepat disebut
sebagai kitab fiqih dari pada kitab-kitab Hadis. Dan ia telah
menggenerelisasikan hasil kajiannya terhadap kitab tersebut. Dan ia seolah-olah
menerapkan terhadap kitab tersebut sebagai kitab hadis.
Menurut Azami
,Schacht tidak memperhatikan cara penyusunan kitab fiqih, bagaimana ketika
seorang mufti, hakim, atau pembela menangani suatu masalah tidak harus
memberikan keterangan yang selengkap-lengkapnya. Dan ini yang dilakukan oleh
ulama-ulama fiqih pada abad pertama hijri.[22]
Dengan
demikian, dalam kesimpulan yang ditulis dalam Bab VII tentang “Schacht dan
Studi sanad Dalam Kitab Fiqih” dalam buku Hadis Nabi dan Sejarah
Kodifikasinya ia mengatakan, “Adalah suatu kesalahan mendasar apabila kita
meneliti hadis-hadis dalam kitab fiqih. Karenanya semua penelitian hadis serta
sanad di luar sumber yang asli, hasilnya akan meleset dari kebenaran.”
E. Sanggahan Terhadap Schacht
Tentang Tersebarnya Sanad
Teori Schacht
tentang “Sejarah Pemalsuan Sanad” atau dengan kata lain, “untuk mengetahui masa
pemalsuan sanad Hadis” mendapat pujian dari prof. Robson. Ia mengatakan, “Teori
ini merupakan sumbangan yang berharga untuk meneliti perkembangan Hadis-hadis
Nabi.”
Schacht
mengatakan, bahwa sanad Hadis sebagian besar adalah palsu, dan hal itu diakui
oleh semua orang bahwa sanad-sanad itu pemakaiannya dimulai dalam bentuk
sederhana, kemudian berkembang dan mencapai bentuknya pada paruh kedua abad
ketiga hijri. Ia juga memberikan tuduhan, bahwa jika suatu kelompok ingin
mengaitkan pendapatnya dengan orang terdahulu, maka kelompok tersebut akan
memilih tokoh-tokoh orang-orang terdahulu itu dan menaruhnya kedalam sanad.[23]
Dalam hal ini,
Azami membantah, bahwa sebenarnya penggunaan sanad sudah dimulai pada masa Nabi
SAW, hanya saja metode ahli hadis dalam menggunakan sanad itu berbeda-beda,
khususnya pada masa sahabat. Dan perhatian terhadap pentingnya sanad itu
mencapai puncaknya pada akhir abad pertama. Azami mengatakan, teori projectting
Back (proyeksi ke belakang) schacht sulit dibayangkan dan prakteknya juga
mustahil.[24]
Selain itu,
dalam penelitiannya Shcacht hanya mengambil sebagian Hadis-hadis yang
diriwayatkan oleh ahli-ahli hadis seperti imam Malik dan yang lainnya. Tetapi
kemudian ia menerapkannya kepada keseluruhan hadis nabi yang otentik. Bahkan,
hadis-hadis yang diambil oleh Schacht adalah Hadis yang dinilai lemah bahkan
keliru oleh ahli-ahli Hadis.[25]
F. Kesulitan Teori Projecting Back
Sebagaimana
telah sedikit disinggung di atas, sebagaimana dikatakan oleh Azami, bahwa teori
projecting Back yang digunakan Schacht sangat sulit diterapkan.
Hal tersebut
dikemukakan oleh Azami. Ada dua alasan yang dikemukakan oleh azami untuk
membuktikan pernyataannya sebagai berikut:[26]
1)
Dalam dunia ilmu pengetahuan citra seorang guru
tidaklah sama. Setiap peajar selalu cenderung untuk berguru kepada guru yang
paling baik dan populer. Sementara pada abad kedua hijri, sudah terdapat
kaidah-kaidah kritik baik secara lisan maupun tulisan. Dari kaidah tersebut
dapat diketahui bahwa ada guru yang memiliki reputasi ilmiah yang tinggi dan
sebaliknya. Jika demikian adanya, mengapa para pelajar itu tidak membuat sanad
dengan memasukkan nama-nama guru yang memiliki reputasi tinggi. Sebaliknya
mereka justeru memilih orang-orang yang dipercaya hadisnya.
2) Materi-materi
Hadis kebanyakan mempunyai persamaan di kalangan kelompok-kelompok islam
seperti Khawarij, Mu’tazilah, Zaidiyah dan imamiyah, dimana mereka mereka
memisahkan diri dari kelompok ahlussunnah kurang lebih 25 tahun setelah Nabi
wafat. Maka, apabila pemalsuan hadis yang berkaitan dengan masalah fiqih itu,
pemalsuannya terjadi pada abad kedua dan ketiga hijri sebagaimana dikatakan
Schacht, maka tentunya tidak ada satu hadis pun yang secara bersamaan terdapat
dalam kelompok islam tersebut. Padahal, kenyataannya, dalam kitab tersebut
banyak terdapat Hadis yang materinya berkaitan satu dengan yang lainnya.
Dalam kesimpulannya, Azami mengakui bahwa memang
terjadi pemalsuan hadis pada dekade keempat dari hijrahnya Nabi. Tetapi
pemalsuan itu hanya pada masalah politik. Maka sejak saat itu, ahli hadis lebih
berhati dalam memilih guru, lebih selektif dalam memilih Hadis dan lebih teliti
dalam menerima rawi. Dan dibanding masa sebelumnya, penggunaan sanad setelah
itu menjadi sangat penting.
“Kitab-kitab Hadis sampai sekarang ini juga selalu siap untuk diperiksa, diteliti dan
dikoreksi, sepanjang hal itu memenuhi kriteria-kriteri ilmiah dan obyejtifitas,
bukan atas dasar ketidak tahuan dan kebecian,” ujar Azami di kesimpulan akhir
dalam pembahasan sanad.
- MAKALAH CINTA KASIH
- ETIKA BERMEDIA SOSIAL BAGI GENERASI MUDA DALAM ISLAM
- MAKALAH KRITIK MUSTAFA 'AZAMI TERHADAP PANDANGAN ORIENTALIS TENTANG HADIS DAN SUNNAH NABI
- MAKALAH PANDANGAN ORIENTALIS TENTANG HADIS DAN SUNNAH
- Teks Khutbah Idul Adha Bahasa Jawa
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Demikian
beberapa sanggahan yang dikemukaan oleh M. M Azami terhadap karya orientalis
tentang hadis Nabi khususnya Joseph schacht. Sebagaimana telah disampaikan di
atas, bahwa terdapat banyak kesalahan dan tidak sesuai dengan faktas sejarah
mengenai tuduhan-tuduhan Schacht terhadap hadis.
Hal ini tidak
lain disebabkan karena sikapnya yang subyektif dan memiliki tendensi untuk
menghancurkan islam dalam struktur ilmu pengetahuan
A’zami (al), Muhammad Mustafa, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya,
terj. ‘Ali Mustafa Ya’qub, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2012
A’zami (al), Muhammad Mustafa, Manhaj al-Naqd 'Inda al-Muhadditsin, Riyadh : al-Ummariyah, 1982
A’zami (al), Muhammad Mustafa, Menuji keaslian
Hadis-Hadis Hukum, Pustaka Firdaus: Jakarta, 2004.
A’zami (al), Muhammad Mustafa, Metodologi Kritik
Hadis, terj. Drs. A. Yamin Jakarta Pusat : Pustaka Hidayah, Tt.
Ismail,
M. Syuhudi. Pengantar Ilmu Hadis, Bandung : Penerbit Angkasa, Tt.
Jawabi (al), Juhud al-Muhadditsin. Tp., Tt.
Ya’qub, ‘Ali Mustafa. Kritik Hadis, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2011.
[1] ‘Ali Mus}t}afa Ya’qub, Kritik
Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2011), 25.
[2] Ibid.
[3] M.M.
al-A’z}ami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, terj. ‘Ali Mus}t}afa
Ya’qub, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2012), 700.
[4] Ibid., 700.
[5] Ibid., 13.
[6]
Ibid., 27.
[7]
Lihat Abu Thalib al-Maliki, Qut al-Qulub,i:159,
Tadzkirah al-Huffadz,i: 144. untuk mengetahui penyebaran hadits
secara lisan selama satu abad lebih.
[8]
Muhammad Mustafa Azami, Metodologi Kritik Hadits, (Jakarta:
Pustaka Hidayah),
54.
[9]
M Syuhudi Ismail. Pengantar Ilmu Hadis, (Bandung :
Penerbit Angkasa),
69-71.
[10]Muhammad Mustafa Azami, Metodologi Kritik Hadis, terj. Drs. A.
Yamin (Jakarta Pusat : Pustaka Hidayah) hlm. 102-104
[11]
Muhammad Mustafa Azami, MetodologiKkritik Hadis, terj.
Drs. A. Yamin (Jakarta Pusat : Pustaka Hidayah) hlm. 105-109
[12]M. Musthafa al-Azami, Manhaj al-Naqd 'Inda al-Muhadditsin, (Riyadh :
al-Ummariyah, 1982 ) hlm.5
[13]
Al-Jawabi, Juhud al-Muhadditsin, hlm. 94.
[14]Drs. Hasjim Abbas, Kritik Matan Hadits Versi Muhadditsin dan Fuqhaha, (Yogyakarta
: Teras) hlm. 9-11
[15]M. M Azami, Menuji
keaslian Hadis-Hadis Hukum, (Pustaka Firdaus: Jakarta, 2004), hal. 162
[16]Pandangan Schact tersebut di dasarkan pada keyataan bahwa bagian penting sejarah hidup nabi ditulis pada masa belakangan. Sehingga pada masa itu, kira-kira sekitar satu setengah abad setelah nabi wafat, umat islam sudah tidak mempunyai ingatan atas nabi kecuali dalam keadaan samar. Namun, berbagai upaya dilakukan untuk menutupi kekurangan. Materi diatur sedemikian rupa sebentuk Hadis dengan menambahi sanad. Hal ini terjadi pada abad ke dua hijriah. Demikian kesimpulan Schacht sebagai mana ditulis oleh M. M Azami dalam buku Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya.
[17]Ke-47 daftar
yang dibahas Schacht adalah sebagai berikut: (1) Perbedaan pendapat antara Abu
Hanifah dan Malik mengenai Luka-luka tertentu dan kompensasinya. Hadist ini
tidak datang dari nabi. (2)Sebuah surat yang dinyatakan dari Hasan Bashri
kepada Abd al Malik (Bukan dari Nabi). (3) Sujud Setelah membaca ayat-ayat
tertentu dalam al Qur’an. (4) Posisiperempuan dalam Shalat Jama’ah, (5) Kutukan
kepada musuh dalam Shalat, (6) Waktu yang paling utama untuk Sahalt Subuh, (7)
Mengenai Kesucian kota Mekkah, (8) Mengenai Puasa, (9) Luka Pada Gigi,(10)
Rampasan perang milik pembunuh,(11), Mereka yang mengikuti suatu golongan
adalah anggota golongan itu,(12)
Pencurian barang rampasan oleh budak, (13) Pelarian budak ke daerah
musuh (Bukan Hadis Nabi), (14) Kesaksian palsu (Bukan Dari Nabi), (15) Zakan
pertanian sepersepuluh,(16) Mengenai pertukaran (larangan menjual makanan
biji-bijian sebelum menjadi hak milik), (17) Tayammum, (18) Zakat harta milik
anak yatim, (19) Bagian seorang anak
laki-laki yang ikut berperang (Usian matang), (20) Bersuci, (21) Transaksi
tertentu, (22) Sujud dalam Al Qur’an, (23) Kesucian Mekkah dan membunuh ular di
sana, (24) Larangan merusak barang-barang milik musuh dalam peperangan (Hadis
dari Abu Bakar, bukan dari Nabi). Lih. selengkapnya di dalam buku Menguji
Keaslian Hadis-hadis Hukum karya Mustafa Azami (Putaka Firdaus:
Jakarta, 2004), hal. 166
[18]Argumen ini,
menurut Azami menyanggah teori e silentio sebagaimana yang digunakan
Schacht dalam tesisnya. teori e selentio mengasumsikan bahwa jika
seorang ulama’ pada waktu
tertentu mengabaikan
suatu hadis tertentu atau tidak menyinggungya atau, terlebih, jika hadis
tersebut tidak disinggung oleh ulama’ kemudian, maka hadis tersebut tidak ada
pada masa itu. Jika suatu Hadis pertama kali ditemukan dengan isnad yang
tidak lengkap, dan kemudian dengan isnad yang lengkap, maka hadis
tersebut telah diperbaiki, dengan kata lain dipalsukan.
[19] Kenyatan ini dapat dilihat pada nomer 4, 6, 7, 10, 17, 19, 23, dan 24 dari 47 contoh yang dibahasanya.
[20]Dalam diskusi
yang dilakukan antara Abu Hanifah dan Malik tidak ada yang mengarah kepada
Hadis ataupun kepada sumber yang lebih tinggi. Tetapi Schacht dapat menemukan
hadis palsu dari nabi di dalamnya. Demikian kata Azami. Untuk lebih jelas dan
banyak lagi contoh-contoh kesalahan yang dilakukan oleh Schacht dapat dilihat
di dalam bukunya Menguji Keaslian Hadis-Hadis Hukum, hal. 176-221.
[21]M. M Azami, Hadis Nabi dan Sejarah Kodifikasinya, (Pustaka Firdaus: Jakarta, 1994), hal. 538.
[22]Salah satu
contoh cara ahli fiqih klasik dalam menukil Hadis adalah perkataan Abu Yusuf.
Ia berkata: “Saya diberi tahu Muhammad bin ishaq, bahwa ubadah al Shalmit
ketika ditanya mengenai ayat rampasan perang, ia menjawab, “Masalah itu
mengenai diri kami para sahabat Nabi. Allah menurunkan ayat Al-Anfal (Rampasan
perang) pada waktu itu kami berbeda pendapat dan sikap kami tidak baik mengenai
hal itu. Lalu Allah menyerahka itu kepada Rosulullah. ”” Mustofa Azami, Ibid,
hal. 539. Perkataan tesebut dikutib Azami dari kitab al-Radd ala Siyar
al-Auza’I, hal, 7
[23]Ibid, hal.
563-564
[24]Ibid, hal. 564
[25]Contoh dalam
hal ini adalah hadis yang diperkenalkan oleh Imam Malik dimana Nabi mengusap
sarung kaki. Sanad dari Hadis tersebut salah, dan bahkan al Zurqani menuduh
Malik melakukan dua kesalahan. Dan anehnya, dalam bahasan tersebut , Schacht
tidak menuturkan ucapan al Zurqani selengkapnya. Asyafi’I selaku murid Imam
Malik menjelaskan kekeliruan hadis tersebut dalam sanadnya.
[26]Ibid, hal. 574-575