HOME

20 Januari, 2024

TIPOLOGI KITAB HADIS AL MASANID

 


BAB I

PENDAHULUAN

Dalam rentan waktu yang cukup panjang telah banyak terjadi pemalsuan hadis yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab dan golongan tertentu dengan berbagai tujuan.

Maka tidaklah mengherankan jika umat Islam sangat memberikan perhatian yang khusus terhadap hadis terutama dalam usaha pemeliharaan, jangan sampai punah atau hilang bersama dengan hilangnya generasi Sahabat, mengingat pada sejarah awal Islam, hadis dilarang ditulis dengan pertimbangan kekhawatiran percampuran antara al-Qur’an dengan hadis serta pertimbangan lainnya.

Dalam berbagai riwayat menyebutkan bahwa kalangan sahabat pada masa itu cukup banyak yang menulis hadis secara pribadi, tetapi kegiatan penulisan tersebut selain dimaksudkan untuk kepentingan pribadi juga belum bersifat massal.

Atas kenyataan inilah maka ulama hadis berusaha membukukan hadis Nabi. Dalam proses pembukuan selain harus melakukan perjalanan untuk menghubungi para periwayat yang tersebar di berbagai daerah yang jauh, juga harus mengadakan penelitian dan penyelesaian terhadap suatu  hadis yang akan mereka bukukan. Karena itu proses pembukuan hadis secara menyeluruh  mengalami waktu yang sangat panjang.

Adapun sejarah penulisan hadis secara resmi dan massal dalam arti sebagai kebijakan pemerintah barulah terjadi pada masa pemerintahan khalifah Umar Bin Abdul Aziz, dengan alasan khawatir terhadap hilangnya hadis nabi bersamaan dengan meninggalnya para ulama di medan perang dan juga khawatir akan bercampurnya hadis-hadis sahih dengan hadis-hadis palsu.

Di pihak lain bahwa dengan semakin meluasnya daerah kekuasaan Islam, sementara kemampuan antara Tabi’in yang satu dengan lainnya tidak sama, maka dengan jelas kondisi ini memerlukan adanya kodofikasi atau pembukuan hadis.

Sepanjang sejarah, hadis-hadis yang tercantum dalam berbagai kitab hadis, telah melalui proses penelitian yang sangat rumit, baru kemudian menghasilkan karya yang diinginkan oleh para penghimpunnya. Sebagai implikasi dari penyeleksian dan pembukuan hadis-hadis tersebut maka muncullah berbagai kitab hadis.

Salah satu bentuk atau corak kitab-kitab hadis yang muncul pada awal masa pembukuan hadis adalah al-masanid. Berikut ini, penulis akan mencoba membahas mengenai tipologi al-masanid dan segala hal yang berkaitan dengannya. Wallahu al-musta‘an wa a‘lamu bi al-sawwab.  

 

BAB II

PEMBAHASAN

A.    Definisi al-Masanid

Menurut bahasa, al-masanid atau al-masanid merupakan bentuk plural (jama‘) dari kata al-musnad (المسند) yang merupakan ism maf‘ul dari lafal thulathi (سند). Ibnu Faris menyatakan bahwa makna sanada yaitu:

انضمام الشيء إلى الشيء[1]

“Menggabungkan sesuatu kepada sesuatu.”

Selain itu, kata sanada memiliki arti:

ما ارتفع من الأرض[2]

 “Sesuatu yang lebih tinggi dari tanah.”

Jika disebutkan (فلان سند) artinya mu’tamad (dapat dipercaya).  Kemudina kata sanada juga berarti al-raqyu (naik) dan al-irtifa’ (tinggi). Kalimat (أسند الحديث) bermakna menyandarkan hadis kepada sang pembicara  (رفعه إلى قائله).

Sedangkan menurut istilah kata al-musnad memiliki dua makna:

1.      Menyandarkan hadis kepada orang yang mengatakannya (raf’u al-ahadith ila qa’ilihi)

2.      Kitab hadis yang menghimpun hadis-hadis setiap Sahabat secara tersendiri dengan tanpa melihat permasalahan atau topik pembicaraan (mawdu’) hadis ataupun derajatnya. Dan definisi yang kedua inilah yang sesuai dengan pembahasan pada makalah ini, yaitu membahas mengenai kitab-kitab hadis yang memiliki tipologi al-masanid (mengumpulkan hadis yang disusun menurut nama rawi pertama yang menerima hadis dari Nabi, yaitu Sahabat).

Di antara kitab-kitab yang memiliki tipologi al-masanid sebagai berikut:

1.      Musnad al-H{umaydi

2.      Musnad Ahmad bin Hanbal

3.      Musnad Abu Ya’la al-Mawsili

4.      Musnad Abu Dawud al-T{ayalisi

5.      Musnad Ishaq bin Rahawayh

6.      Musnad Abu ‘Uwanah al-Isfara’ayni, dan masih banyak lagi yang lainnya.

Namun, terdapat beberapa kitab-kitab al-musnad namun susunannya tidak sesuai dengan tipologi susunan al-masanid (disusun sesuai riwayat Sahabat tertentu), akan tetapi susunannya menggunakan bab-bab fikih, seperti:

a.       kitab Musnad al-Darami

b.      Kitab Musnad al-Shafi’I

c.       Kitab Musnad ‘Abdullah bin al-Mubarak

d.      Kitab al-Jami‘ al-Musnad al-S{ahih al-Mukhtasar min Umuri Rasulillah wa Sunanihi wa Ayyamihi karya al-Bukhari

e.       Kitab al-Musnad al-S{ahih al-Mukhtasar min al-Sunan bi Naql al-‘Adl ‘an Rasulillah karya Muslim bin Hajjaj.[3]

Ada pula kitab al-musnad yang susunannya sesuai bab-bab adab seperti kitab Musnad al-Shihab karya Abu ‘Abdillah Muhammad bin Salamah al-Qada’I dan Musnad al-Firdawus karya Abu al-Mansur al-Daylami.[4]

Kitab-kitab yang dikecualikan tersebut menggunakan nama al-musnad pada kitabnya meskipun susunannya tidak berdasarkan riwayat Sahabat secara khusus, dikarenakan penyusun kitab tersebut bermaksud ingin menyebutkan hadis beserta sanadnya dalam karyanya, atau menyebutkan hadis-hadis beserta rangkaian sanad-sanadnya hingga sampai kepada orang yang mengatakan hadis tersebut. Hal ini sesuai dengan definisi al-musnad yang pertama, yaitu menyandarkan hadis kepada orang yang mengatakannya (raf’u al-ahadith ila qa’ilihi).

B.     Perkembangan al-Masanid

Dimulainya kegiatan kodifikasi hadis memberikan banyak peran terhadap perkembangan keilmuan hadis, terutama mengenai metode serta corak yang digunakan oleh para ahli hadis dalam menghimpun hadis-hadis Nabi pada suatu kitab. Berbagai metode, corak ataupun tipologi bermunculan demi memudahkan generasi setelahnya dalam mengkaji serta meneliti hadis Nabi, seperti al-muwatta’at, al-masanid, al-musannafat, al-ma’ajim dan sebagainya.

Para pegiat pengumpul hadis baru mulai menggunakan metode al-masanid (menghimpun hadis sesuai riwayat dari rawi al-a‘la atau Sahabat) pada permulaan masa kodifikasi sumber-sumber literatur hadis, yaitu pada akhir abad kedua hijriyah atau awal abad ketiga hijriyah. Hal ini dikarenakan para ulama hadis al-mutaqaddimin sangat giat dan bersungguh-sungguh dalam memisahkan hadis-hadis Nabi berdasarkan riwayat Sahabat secara khusus. Ibnu Hajar al-‘Asqalani memberikan pernyataan:

رأى بعض الأئمة أن يفرد حديث النبي صلى الله عليه وسلم خاصة, وذلك على رأس المائتين, فصنف عُبيد الله بن موسى العَبْسي الكوفي مسنداً, وصنف مُسَدَّد بن مُسَرْهَد البصري مسنداً[5]

“Sebagian ulama hadis berinisiatif menyendirikan hadis Nabi Saw. secara khusus, dan hal itu terjadi pada permulaan abad kedua. Maka ‘Ubaydullah bin Musa al-‘Absi al-Kufi membuat musnad, dan Musaddad bin Musarhad al-Basari juga membuat musnad.”

Namun, ulama hadis berbeda pendapat mengenai siapa yang pertama kali membuat musnad. Perbedaan pendapat tersebut terangkum dalam tiga pendapat:

1.      Orang yang pertama kali membuat musnad adalah ‘Ubaydullah bin Musa al-‘Absi al-Kufi (w. 213 H) dan Abu Dawud Sulayman bin Dawud al-T{ayalisi al-Basari (w. 203 H).

Pendapat ini diamini oleh al-Hakim, Ibnu al-Jawzi, Abu al-Sa‘adat Ibnu al-Athir, al-Zarkashi dan lainnya. Pada pembahasan sebelumnya, Ibnu Hajar al-‘Asqalani menyebutkan orang yang lebih dahulu membuat musnad adalah ‘Ubaydullah bin Musa kemudian Musaddad bin Musarhad. Sedangkan Ibnu S{alah menyebutkan al-T{ayalisi lebih dahulu, ia mengatakan:

كتب المسانيد غير ملتحقة بالكتب الخمسة وما جرى مجراها في الاحتجاج بها... كمسند أبي داود الطيالسي و مسند عبيد الله بن موسى[6]

“Kitab-kitab al-masanid yang tidak mengikuti kutub al-khamsah dan yang semisalnya pada pengambilan hujjah dengannya… seperti Musnad Abu Dawud al-T{ayalisi dan Musnad ‘Ubaydullah bin Musa.”

2.      Orang yang pertama kali membuat musnad yaitu Nu‘aym bin Hammad al-Khuza‘I al-Misri (w. 228 H) dan Asad bin Musa al-Umawi al-Misri yang lebih dikenal dengan Asad al-Sunnah (w. 213 H).

Ahmad bin Hanbal menyatakan:

 أول من رأيناه يكتب المسند: نُعيم ابن حماد[7]

“Orang yang pertama kali kami lihat menulis musnad adalah Nu‘aym bin H{ammad.”

Al-Khatib al-Baghdadi menambahkan komentar terhadap ungkapan al-Daruqutni yang memberikan pernyataan bahwa orang yang pertama kali membuat Musnad adalah Nu‘aym. Abu Bakar Al-Khatib al-Baghdadi memberikan penguat terhadap pernyataan tersebut:

 قال أبو الحسن الدارقطني: « وأول من صنف مسندا وتتبعه نعيم بن حماد » قال أبو بكر : وقد صنف أسد بن موسى المصري مسندا وكان أسد أكبر من نعيم سنا وأقدم سماعا فيحتمل أن يكون نعيم سبقه إلى تخريج المسند وتتبع ذلك في حداثته وخرج أسد بعده على كبر سنه[8]

“Abu al-H{asan al-Daruqutni berkata: Dan orang yang pertama kali membuat musnad dan menelitinya adalah Nu‘aym bin H{ammad. Abu Bakar berkomentar: Asad bin Musa al-Misri telah membuat Musnad, dan Asad lebih senior dan lebih dahulu melakukan sima’ dari pada Nu‘aym. Maka kemungkinan bahwa Nu‘aym mendahuluinya (Asad) dalam mengeluarkan musnad serta melakukan penelitian terhadapnya pada usia masih muda, kemudian Asad mengeluarkan musnad setelahnya (Nu’aym) pada usia yang sudah tua.”  

3.      Pelopor musnad sesuai daerahnya. Mengenai hal ini, Abu Ahmad ‘Abdullah bin ‘Adiy al-Jurjani menyebutkan:

وليحيى الحِمَّاني مسند صالح ويقال انه أول من صنف المسند بالكوفة وأول من صنف المسند بالبصرة مسدد وأول من صنف المسند بمصر أسد السنة وأسد قبلهما وأقدم موتا[9]

“Dan Yahya al-H{immani memiliki musnad yang S{alih dan dikatakan bahwa dia (Yahya) adalah orang yang pertama membuat musnad di Kufah, dan orang pertama membuat musnad di Basrah adalah Musaddad, dan yang pertama membuat musnad di Mesir yaitu Asad al-Sunnah. Dan Asad lebih dahulu membuat musnad dari pada Yahya dan Musaddad serta lebih dahulu wafat.”

  Dari ketiga pendapat ini, telah dilakukan penelitian kemudian tarjih (penguatan) yang diungkapkan oleh Dakhil bin Salih al-Luhaydan terhadap pendapat-pendapat di atas. Tarjih tersebut memberikan pernyataan bahwa yang pertama kali menulis Musnad adalah:

1.      Nu‘aym bin H{ammad al-Khuza’I al-Misri (w. 228 H)

2.      ‘Ubaidullah bin Musa al-‘Absi (w. 213 H)

3.      Asad al-Sunnah (w. 213 H)[10]

Nu‘aym bin H{ammad menjadi pelopor pembuatan musnad dengan pertimbangan bahwa Nu‘aym melakukan penelitian serta menulis musnad ketika masih muda. Kemudian dilihat dari ungkapan Ahmad bin H{anbal yang menyatakan bahwa:

أول من قدم علينا في أخر عمر هُشَيم يطلب المسند: نُعَيم بن حماد[11]

“Orang yang pertama kali mendahului kami di penghujung umur Hushaym yang meminta Musnad adalah Nu‘aym bin H{ammad.”

جاءنا نعيم بن حماد ونحن على باب هُشَيم نتذاكر المقطعات فقال: جمعتم حديث رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: فعُنينا بها منذ يومئذ[12]

“Nu‘aym bin H{ammad datang kepada kami, dan kami sedang berada di pintu Hushaym sedang mengulang al-muqatta‘at, kemudian ia (Nu‘aym) berkata: Apakah kalian semua telah menghimpun hadis Rasulullah Saw? Lalu Ahmad berkata: Sejak saat itu kami sangat memperhatikan hadis-hadis Nabi.”

 Hushaym yang dimaksud di sini adalah Hushaym Ibnu Bashir al-Wasiti (w. 183 H). Dan Nu‘aym telah menghimpun musnadnya sebelum masa kematian Hushaym. Sehingga jelaslah bahwa pendapat mengenai Nu‘aym yang mempelopori penghimpunan musnad bisa diunggulkan. Hal ini juga menjadi penguat terhadap apa yang telah disebutkan oleh al-Khatib al-Baghdadi sebelumnya.

Adapun pendapat yang menyatakan bahwa al-T{ayalisi juga termasuk pelopor penghimpunan musnad, perlu ditinjau ulang. Karena al-T{ayalisi bukanlah orang yang menghimpun langsung musnadnya. Abu Nu‘aym al-Asbahani mengatakan:

صنف أبو مسعود الرازي ليونس بن حبيب مسند أبي داود[13]

“Abu Mas‘ud al-Razi membuat musnad Abu Dawud untuk Yunus bin H{abib.”

Abu Mas’ud di sini adalah al-H{afiz Ahmad bin al-Furat bin Khalid al-Razi al-Asbahani (w. 258 H), ia mendengar hadis dari Abu Dawud dan lainnya. Sedangkan Yunus bin H{abib al-‘Ajali (w. 267) adalah orang yang meriwayatkan musnad hadis al-T{ayalisi. Mengenai hal ini Ibnu Hajar al-‘Asqalani memberikan pernyataan:

وهذا المسند يسير بالنسبه لما كان عنده فقد كان يحفظ أربعين ألف حديث والسبب في ذلك عدم تصنيفه هو له إنما تولى جمعه بعض حفاظ الأصبهانيين من حديث يونس بن حبيب[14]

Musnad ini sangat sederhana jika dibandingkan dengan banyaknya riwayat darinya (al-T{ayalisi), ia menghafal 40.000 hadis. Dan sebabnya adalah karena ia tidak menulis sendiri kitabnya, melainkan ia menyerahkan perkara penulisan riwayatnya kepad para huffaz al-Asbahani dari hadis Yunus bin H{abib.”

 Adapun pendapat yang menyatakan bahwa pelopor sesuai daerahnya masing-masing, pendapat ini bisa diterima, karena dalam satu daerah terdapat lebih dari satu orang yang menjadi pelopor pengumpul masanid. Nu‘aym dan Asad al-Sunnah dari Mesir, ‘Ubaydullah al-‘Absi dan Yahya al-H{imamni dari Kufah, al-T{ayalisi dan Musaddad dari Basrah, dan semuanya termasuk orang yang dianggap menjadi pelopor dalam pembuatan masanid.

Dari argumentasi serta penilaian juga penelitian yang dilakukan oleh Dakhil bin S{alih al-Luhaydan tersebut, penulis mengamini terhadap apa yang telah diteliti melihat berbagai fakta serta penelitian di lapangan serta tinjauan historis mengarah kepada pembenaran terhadap penilaian tersebut. Sehingga,bisa disimpulkan bahwa pendapat yang diungkapkan oleh Dakhil bin S{alih al-Luhaydan tersebut, benar adanya dan pendekatan-pendekatan yang dilakukan bisa diterima oleh akal dan di benarkan.

  

C.     Maratib al-Masanid

Seperti kebanyakan kitab-kitab yang merangkum hadis Nabi terdapat maratib mana yang paling sahih, yang bisa dijadikan hujjah serta yang bercampur antara yang sahih dengan selainnya, begitu pula kitab-kitab al-masanid. Hadis-hadis dalam al-masanid ada yang merupakan hadis pilihan pengarangnya, hadis-hadis yang terkena ‘illat ataupun hadis secara umum. Berikut klasifikasi maratib al-masanid:

1.      Al-Masanid al-Muntaqah

Al-masanid al-muntaqah ini dianggap sebagai masanid yang paling sahih, karena pengarang kitab musnad ini melakukan seleksi terhadap hadis-hadis yang akan dicantumkan dalam musnadnya. Seleksi tersebut dilakukan dengan melihat riwayat-riwayat dari Sahabat yang paling sahih dan bagus. Namun, meskipun mayoritas hadis-hadis pilihan tersebut disebut sabagai asahhu al-masanid atau asahhu ma fi al-bab, tidaklah melazimkan kesahihan seluruh musnad itu sendiri ataupun kesahihan hadis yang ada dalam musnad seperti yang dimaksud dalam definisi hadis sahih pada umumnya. Zayn al-Din al-‘Iraqi mengatakan:

لا يازم من كونه يُخرج أمثل ما يجد عن الصحابي, أن يكون جميع ما خرَّجه صحيحاً, بل هو أمثل بالنسبة لما تركه[15]

 “tidaklah melazimkan dari kondisi musnad paling ideal yang diriwayatkan dari Sahabat, menunjukkan bahwa keseluruhan apa yang dikeluarkan dalam musnad itu sahih, namun riwayat tersebut hanya paling ideal dibandingkan dengan apa yang ia tinggalkan.”

Kitab masanid yang termasuk al-masanid al-muntaqah seperti:

a.      Musnad Ahmad bin Hanbal al-Shaybani (w. 142 H)

b.      Musnad Ishaq bin Rahuwayh  (w. 238 H)

c.       Musnad Baqiy bin Makhlad al-Andalusi al-Qurtubi  (w. 276 H)

d.      Musnad Abu Bakar Ahmad bin ‘Amr al-Bazzar atau lebih dikenal al-Bahr al-Zakhkhar  (w. 292 H)

e.       Al-Ahadith al-Mukhtarah mimma laysa fi al-S{ahihayni karya D{iya’ al-Din Muhammad bin ‘Abd al-Wahid al-H{anbali al-Maqdisi (w. 643 H)[16]

2.      Al-Masanid al-Mu’allah

Yaitu kitab yang memuat segala persoalan mengenai ‘ilal yang terjadi pada hadis Nabi namun disusun berdasarkan al-masanid. karena ada pula kitab ‘ilal hadis yang disusun berdasarkan urutan bab-bab fikih. Di antara kitab yang memiliki karakteristik al-masanid al-mu’allah seperti:

a.       Al-Musnad al-Kabir al-Mu‘allal  karya Ya‘qub bin Shaybah al-Sadusi (w. 262 H)

b.      Al-‘Ilal al-Kabir  karya Abu ‘I<sa al-Tirmidhi (w. 279 H)

c.       Al-Bahr al-Zakhkhar  yang lebih dikenal dengan Musnad al-Bazzar

d.      Musnad Abu ‘Ali al-Hasan bin Muhammad al-Masarji  (w. 365 H)[17]

 

3.      Al-Masanid al-‘A<mmah

Maksudnya adalah kitab musnad yang tidak memperhatikan ‘ilal yang terdapat dalam hadis, tidak pula dilakukan seleksi sedikitpun terhadap hadis-hadis yang dicantumkan dalam kitab musnad. Karakteristik al-masani a-‘ammah ini terlihat dalam beberapa kitab berikut:

a.      Musnad Abu Bakar ‘Abdullah bin Muhammad bin Abu Shaybah  (w. 235 H)

b.      Al-Muntakhab min Musnad ‘Abd bin H{amid  (w. 249 H)

c.       Musnad Abu Bakar Muhammad bin Harun al-Ruyani  (w. 307 H)

d.      Musnad al-Haytham bin Kalib al-Shashi  (w. 335 H)[18]

D.    Macam-macam Bentuk al-Masanid

Dilihat dari segi cakupannya, al-masanid terbagi menjadi dua, yaitu:

1.      Al-Masanid al-Shamilah

Al-masanid al-shamilah yaitu kitab musnad yang mencakup riwayat-riwayat banyak Sahabat (lebih dari satu Sahabat). Al-masanid al-shamilah juga disebut dengan al-masanid al-kawamil. Al-masanid al-shamilah ditinjau dari segi maratib nilai hadis-hadisnya ada yang berbentuk al-muntaqah, al-mu’allah ataupun yang al-‘ammah.

2.      Al-Masanid al-Khassah

Sedangkan al-masanid al-khassah adalah kitab musnad yang hanya menyebutkan riwayat-riwayat satu Sahabat saja, riwayat-riwayat beberapa Sahabat, atau sekelompok Sahabat yang tergabung dalam sifat yang khusus. Ibnu hajar menamai al-masanid al-khassah ini dengan al-masanid al-mufradat. Contoh masanid satu Sahabat seperti Musnad Abu Bakar al-S{iddiq, Musnad Umar bin al-Khattab, Musnad Aishah dan lainnya. Sedangkan masanid yang menghimpun beberapa Sahabat seperti Musnad al-Arba’ah dan Musnad al-‘Ashrah. Adapun kitab musnad yang mencakup sekelompok Sahabat yang tergabung dalam sifat tertentu seperti Musnad al-Muqillin, Musnad al-S{ahabah alladhina nazalu Misr, dan semisalnya.

E.     Penyusunan al-Masanid

1.      Secara global (Ijmal)[19]

a.       Susunan nama-nama Sahabat

1)      Sesuai urutan Sahabat yang pertama memeluk Islam

(a)    Al-‘Ashrah al-mubashshirun bi al-jannah (Abu Bakar, Umar, Uthman, Ali, al-Zubayr bin al-‘Awwam, T{alhah bin ‘Ubaydillah, ‘Abd al-Rahman bin Awuf, Sa‘ad bin Abi Waqqas, Sa’id bin Zayd, Abu ‘Ubaydan bin al-Jarrah)

(b)   Ahlu Badr

(c)    Orang yang masuk Islam dan hijrah antara masa al-Hudaybiyyah dan Fathu Makkah

(d)   Orang yang masuk Islam ketika Fathu Makkah

(e)    Anak-anak kecil

Kemudian dalam penyebutan S{ahabiyyat, biasanya susunannya didahului Ummahat al-mu’minin (Aisyah binti Abu Bakar, H{afsah binti ‘Umar, Ummu Salamah/Hindun binti Abu Umayyah, Ummu H{abibah binti Abu Sufyan, Zaynab binti Jahsh, Maymunah binti al-H{arith, S{afiyyah binti H{uyay, dan Sawdah binti Zam’ah).  

2)      Sesuai urutan Kabilah dengan mendahulukan Bani Hashim kemudian yang terdekat nasabnya kepada Rasulullah, yang dekat dan seterusnya (al-aqrab fa al-aqrab).

3)      Sesuai urutan huruf hijaiyyah. Metode ini disebut juga dengan istilah al-mu’jam seperti al-Mu’jam al-Kabir karya al-T{abrani.

4)      Tidak tersusun atas nama-nama Sahabat, ataupun susunan bab tertentu. Namun sedikit sekali kitab musnad yang menggunakan metode ini seperti kitab Musnad al-H{arith bin Muhammad bin Abu Usamah al-Tamimi al-Baghdadi. Namun, kitab ini telah disusun sesuai bab fikih oleh ‘Ali bin Abu Bakar al-Haythami dan diberi nama “Bughyah al-Bahith ‘an Zawa’id Musnad al-H{arith”.

Secara umum, mayoritas kitab masanid memiliki kriteria atau karakteristik sebagai berikut:

1)      Susunan awal Sahabat, mendahulukan al-‘Ashrah al-mubashshirun bi al-jannah yang susunannya dimulai dari empat al-khalifah al-rashidah.

2)      Mendahulukan Ummahat al-Mu’minin dari pada Sahabiyyat lainnya. Terkadang ada yang lebih mendahulukan Fatimah binti Rasulullah dari yang lainnya seperti yang tertulis pada Musnad Abu Dawud al-T{ayalisi.

3)      Mengumpulkan musnad-musnad Sahabat perempuan di antara musnad Sahabat laki-laki. Terkadang ada pula yang meletakan musnad Sahabat perempuan seluruhnya di akhir musnad Sahabat laki-laki, seperti yang dilakukan oleh ‘Abd bin H{umayd dalam kitab al-Muntakhab min Musnad ‘Abd bin H{umayd.

4)      Membagi musnad Sahabat yang banyak meriwayatkan hadis (al-Mukthirin) atas tarajum (sesuai perawi yang meriwayatkan dari Sahabat tersebut). Susunan tarajum tersebut ada yang berbentuk riwayat Sahabat lain dari Sahabat yang sedang dibahas atau sesuai tabaqatnya.

b.      Susunan riwayat-riwayat (marwiyyat) setiap Sahabat

1)      Riwayat-riwayat satu Sahabat disusun sesuai dengan tarajum.

2)      Riwayat-riwayat satu Sahabat disusun sesuai bab-bab fikih

3)      Langsung menyebutkan seluruh riwayat dari satu Sahabat tanpa ada susunan tertentu.

2.      Secara terperinci (Tafsil)[20]

a.      Musnad al-H{umaydi

Dalam kitab musnadnya, Al-H{umaydi meriwayatkan dari 180 Sahabat, namun ia tidak mencantumkan hadis-hadis T{alhah bin ‘Abdullah, padahal T{alhah adalah salah satu orang yang dijanjikan masuk syurga (al-mubashshirun bi al-jannah).

Jumlah hadis yang ada dalam Musnad al-H{umaydi adalah 1300 (sesuai dengan perhitungan muhaqqiq Musnad al-H{umaydi, H{abib al-Rahman al-A‘zami).[21] Jumlah ini dihitung dengan perhitungan hadis secara berulang-ulang (bi al-mukarrar). Jumlah ini juga mencakup hadis al-marfu’, al-mursal, al-mawquf, al-maqtu’, dan lainnya. Dalam menyebutkan riwayat-riwayat Sahabat dalam kitab musnadnya, al-H{umaydi kebanyakan membatasi riwayat-riwayat tersebut sebatas riwayat dari shaykhnya Sufyan bin ‘Uyaynah, kemudian ia menjelaskan ‘ilalnya serta ikhtilaf al-ruwat di dalamnya. Sehingga ada benarnya jika diklaim bahwa al-H{umaydi membuat kitab musnad bertujuan untuk menyusun riwayat-riwayat shaykhnya tersebut sesuai dengan urutan masanid Sahabat, karena mayoritas riwayat yang ada dalam Musnad al-H{umaydi dari shaykhnya, Sufyan. Adapun riwayat selain Sufyan berjumlah 48 hadis saja. Jumlah ini sangat sedikit jika dibandingkan dengan jumlah keseluruhannya (1300 hadis), perbandingannya hanya sekitar kurang 3 % dari jumlah keseluruhan hadis dalam musnad tersebut.

Al-H{umaydi menyusun riwayat-riwayat sesuai dengan susunan musnad Sahabat, dan menyusun Sahabat yang banyak memiliki riwayat hadis (al-mukthirin) dengan susunan perbab. Secara rinci susunan Musnad al-H{umaydi sebagai berikut:

1)      Riwayat yang ada dalam Musnad al-H{umaydi disusun sesuai dengan musnad Sahabat. Terkadang riwayat Sahabat tertentu diletakkan pada riwayat Sahabat yang lainnya karena memiliki hubungan matannya, atau cerita yang berkaitan dengan sanad. Dalam penyebutan riwayat Sahabat tertentu, al-H{umaydi tidak banyak mencantumkannya, bahkan meskipun Sahabat tersebut termasuk al-mukthirin fi al-riwayah, hanya beberapa riwayat yang dicantumkan oleh al-H{umaydi dalam musnadnya.

2)      Hadis-hadis al-mukthirin mayoritas disusun berdasarkan bab-bab fikih, seperti yang ada pada riwayat Aishah, Ibnu ‘Abbas dan lainnya.

3)      Musnad al-H{umaydi dimulai dengan menyebutkan al-‘ashrah al-mubashshirun bi al-jannah kecuali T{alhah bin ‘Ubaydillah. Kemungkinan hal tersebut dikarenakan al-H{umaydi tidak memiliki riwayat dari T{alhah yang ia anggap relefan untuk dicantumkan dalam musnadnya, atau riwayat dari Shaykhnya (Sufyan bin ‘Uyaynah) dari T{alhah yang dianggap bagus. Kemudian al-H{umaydi menyebutkan musnad Sahabat lainnya beserta riwayat-riwayatnya, namun tidak secara menyeluruh. Dalam penyebutan musnad Sahabiyyat, al-H{umaydi menyebutkannya di tengah-tengah Sahabat laki-laki dan dimulai dengan penyebutan Ummahat al-mu’minin, lalu Sahabiyyat lainnya, namun tidak secara keseluruhan.

 

b.      Musnad Ahmad bin H{anbal

Imam Ahmad menyusun kitab musnadnya sesuai dengan urutan musnad Sahabat dan membaginya menjadi beberapa kelompok musnad utama atau kelompok musnad tertentu. Ibnu H{ajar menyabutkan bahwa ada sekitar 17 atau 18 musnad utama (al-masanid al-ra’isiyyah) dalam Musnad Ahmad.[22] Sedangkan Muhammad Jabir al-Wadi A<shi mengungkapkan bahwa jumlah musnad dalam kitab Musnad Ahmad sebanyak 16 musnad. Musnad utama tersebut oleh Ahmad bin H{anbal dijadikan judul atau tarajum. Misalnya “Musnad Bani Hashim”, dalam musnad ini terdapat banyak Sahabat yang berada dalam kategori musnad bani hashim tersebut. Namun hal ini tidak bisa dipukul rata, karena terdapat penyebutan satu Sahabat saja, jika Sahabat tersebut termasuk al-mukthirin.

Adapun jumlah masanid secara keseluruhan sebanyak 1056 musnad, menurut ‘Ali bin al-Husayn bin ‘Asakir.[23] Ahl al-‘ilm menyebutkan bahwa Musnad Ahmad meliputi 30.000 hadis tanpa diulang-ulang, dan 40.000 hadis secara berulang-ulang (bi al-mukarrar), serta 300 hadis thulathiyyah al-isnad (hadis yang hanya memiliki tiga sanad).[24] Akan tetapi, dalam beberapa kitab musnad Ahmad yang telah dicetak, jumlah tersebut mengalami kekurangan karena banyak faktor, seperti misalnya teks atau naskah yang menjadi pedoman dalam percetakan sudah berkurang, atau sekumpulan hadis yang ada dalam musnad tertentu berkurang karena hilang atau rusak dan sebagainya.

Dalam Musnad Ahmad tidak hanya meliputi riwayat-riwayat Imam Ah{mad saja dalam musnadnya, akan tetapi juga terdapat hadis-hadis yang dinukil oleh anaknya, ‘Abdullah dari Imam Ahmad, kemudian digabungkan dalam kitab Musnad Ahmad. Namun, riwayat seperti ini tidaklah banyak dalam Musnad Ahmad. Sebagai contoh riwayat yang merupakan tambahan Abdullah atas Musnad Ahmad:

حدثني أبي حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ ثَابِتٍ الْجَزَرِيُّ عَنْ نَاصِحٍ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ عَنْ سِمَاكِ بْنِ حَرْبٍ عَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لَأَنْ يُؤَدِّبَ الرَّجُلُ وَلَدَهُ ....الحديث

قَالَ عَبْد اللَّهِ وَهَذَا الْحَدِيثُ لَمْ يُخَرِّجْهُ أَبِي فِي مُسْنَدِهِ مِنْ أَجْلِ نَاصِحٍ لِأَنَّهُ ضَعِيفٌ فِي الْحَدِيثِ وَأَمْلَاهُ عَلَيَّ فِي النَّوَادِرِ[25]

“Telah menceritakan kepadaku ayahku, telah menceritakan kepada kami ‘Ali bin Thabit al-Jazri, dari Abu ‘Abdillah, dari Sammak bin H{arb, dari Jabir bin Samrah, bahwasanya Nabi Saw. bersabda: ”Seorang lelaki yang mendidik anaknya…(hadis)”

‘Abdullah berkata: Hadits ini tidak dikeluarkan oleh ayahku dalam kitab musnadnya, sebab ada seorang bernama Nashih, dia lemah dalam masalah hadis, sementara ayahku jarang mendiktekannya kepadaku.”

Musnad Ahmad tidak hanya memuat riwayat-riwayat Ahmad, namun juga mencakup tambahan-tambahan riwayat yang tidak diriwayatlan oleh Imam Ahmad, tambahan tersebut dicantumkan oleh anaknya, Abdullah. Akan tetapi jumlah tambahan riwayat tersebut sedikit sekali jika dibandingkan dengan jumlah asli riwayat Imam Ahmad.

Secara umum, dapat disimpulkan bahwa Musnad Ahmad memiliki karakteristik sebagai berikut:

1.      Musnad Ahmad mengelompokkan masanid kepada beberapa kelompok utama, misalnya: musnad al-‘ashrah wa ma ma’ahu atau musnad Ahl al-bayt dan lainnya. Kelompok musnad utama tersebut mencakup banyak musnad para Sahabat. Namun ada pula yang hanya diberi judul musnad satu orang Sahabat saja, misalnya: Musnad Ibnu Mas’ud atau Musnad Abu Hurayrah. Hal ini dilakukan jika musnad tersebut adalah Sahabat yang banyak memiliki riwayat hadis (al-mukthirin fi al-riwayah).

2.      Penyebutan Sahabat dimulai dengan al-‘ashrah al-mubashshirun bi al-jannah dengan mendahulukan khalifah yang empat, kemudian menyebutkan sisanya sesuai dengan daerah (buldan) masing-masing, seperti: musnad al-Bashariyyin, musnad al-Makkiyyin, musnad al-Madaniyyin dan lainnya, atau disebutkan menurut kabilahnya, ahl al-bayt, al-Ansar dan lainnya.

3.      Terkadang riwayat satu orang Sahabat diebutkan secara berulang-ulang di banyak tempat, terkadang sesuai daerah, atau kabilah, atau terdahulu masuk Islam. Misalnya riwayat H{arith bin Uqays disebutkan pada masanid al-Ansar dan musnad al-Shamiyyin.

4.      Musnad al-muqillin pada awalnya tidak disusun secara rapi oleh Imam Ahmad, namun kemudian disusun oleh anaknya, ‘Abdullah. Ibn H{ajar berkata:

لم يرتب –يعني الإمام أحمد- مسانيد المقلين, فرتبها ولده عبد الله, فوقع منه إغفال كبير من جعل المدني في الشامي, ونحو ذلك[26]

“Imam Ahmad tidak menyususn masanid al-muqillin, kemudian disusun oleh puteranya, ‘Abdullah. Maka terjadilah kelalaian (kerancuan) yang besar  dengan meletakkan al-madani  pada tempat al-Shami dan semisalnya.”

5.      Adapun riwayat para Sahabiyyat, kebanyakan dikelompokkan dan diletakkan pada akhir musnad Sahabat. Dalam penyebutannya didahului penyabutan Aishah, kemudian Fatimah, lalu ummahat al-mu’minin lainnya serta Sahabiyyat yang lain.

6.      Selain itu, Imam Ahmad juga menyebutkan hadis-hadis al-mubhamin dan al-mubhamat dan diletakkan di akhir musnad, setelah musnad Sahabiyyat. misalnya: hadith rajul min ashab al-Nabi.

c.       Musnad Abu Ya’la al-Mauwsili

Musnad al-Mawsili memiliki dua riwayat, yaitu:

1)      Riwayat yang pendek atau ringkas (al-riwayah al-mukhtasarah), yaitu riwayat Abu ‘Amr Muhammad bin Ahmad bin H{amdan al-H{iyari (w. 376 H) dari Abu Ya’la al-Mawsili. Dan riwayat inilah yang dijadikan pedoman oleh ‘Ali bin Abu Bakar al-Haythami (w. 807 H) dalam kitabnya “Majma’ al-Zawa’id wa Manba’ al-Fawa’id”.

2)      Riwayat yang panjang (al-mutawwilah) yang dinamai al-Musnad al-Kabir, yaitu riwayat Abu Bakar Muhammad bin Ibrahim al-Muqri’ al-Asbahani (w. 381 H) dari Abu Ya’la al-Mawsili. Riwayat ini juga dijadikan pegangan oleh al-Haythami dalam kitab “al-Maqsad al-‘ali fi Zawa’id Abi Ya’la al-Mawsili”, juga dijadikan pedoman oleh Abu a-‘Abbas Ahmad bin Abu Bakar al-Busiri (w. 840 H) dalam kitabnya “Ittihaf al-Sadah al-Mahrah bi Zawa’id al-Masanid al-‘Ashrah”, begitu pula Ibnu Hajar dalam meneliti riwayat al-Mawsili yang luput dari jangkauan al-Haythami berpedoman kepada riwayat panjang ini dan disebutkan dalam kitabnya “al-Matalib al-‘A<liyah bi Zawa’id al-Masanid al-Thamaniyyah”.

Al- Mawsili dalam musnadnya meriwayatkan hadis dari 210 Sahabat dengan jumlah keseluruhan hadisnya mencapai 7555 hadis yang kebanyakan hadis al-marfu’. Riwayat-riwayat tersebut disusun berdasarkan susunan masanid Sahabat. Riwayat-riwayat dari al-mukthirin disusun berdasarkan tarajum. Adapun urutan dalam penyusunan musnad Sahabat dapat diklasifikasi sebagai berikut:

1)      Pada permulaan musnad didahulukan musnad al-‘ashrah al-mubashshirun bi al-jannah dengan mendahulukan khulafa’ al-rashidah kecuali Uthman bin Affan tidak dicantumkan dalam musnad ini.

2)      Kemudian riwayat para Sahabat yang memiliki sedikit riwayat (al-muqillin)

3)      Lalu dilanjutkan dengan musnad al-mukthirin (Jabir bin ‘Abdullah, ‘Abdullah bin ‘Abbas, Anas bin Malik, Aishar, ‘Abdullah bin Mas’ud, Ibn ‘Umar, dan Abu Hurayrah). Riwayat al-mukthirin ini disusun berdasarkan tarajum (perawi yang meriwayatkan dari Sahabat al-mukthirin tersebut), seperti yang dilakukan pada musnad Anas bin Malik

4)      Kemudian menyebutkan sanak kerabat Rasulullah dan Ahl al-bayt (al-Fadl bin ‘Abbas, Fatimah, al-H{asan, al-H{usayn, ‘Abdullah bin Ja’far, dan ‘Abdullah bin Zubayr)

5)      Selanjutnya sekelompok al-muqillin yang termasuk kabilah terdekat dengan Nabi

6)      Dilanjutkan dengan penyebutan al-mubhamin min al-rijal seperti “rajul ghayr musamma ‘an al-Nabi”.

7)      Kemudian Sahabiyyat yang didahului ummahat al-mu’minin, selanjutnya mubhamat min al-nisa’

8)      Terakhir, al-H{umaydi menyebutkan kembali musnad Sahabat laki-laki yang belum disebutkan sebelumnya.

 

d.      Musnad Abu Dawud al-T{ayalisi

Sudah disebutkan pada pembahasan sebelumnya bahwa Musnad al-T{ayalisi tidak disusun oleh al-T{ayalisi langsung, melainkan murid-murid al-T{ayalisi yang menyusun musnad berdasarkan riwayat dari al-T{ayalisi. Penghimpun Musnad al-T{ayalisi (Abu Mas’ud al-Razi) sangat perhatian terhadap riwayat-riwayat al-T{ayalisi dari Shu’bah. Jumlah Sahabat yang tercantum dalam Musnad al-T{ayalisi mencapai 267 Sahabat, namun sekitar 10 musnad Sahabat dianggap hilang ketika proses percetakan.

Jumlah hadis pada Musnad al-T{ayalisi sebanyak 2767 hadis, namun ada pula hadis yang tidak diberi nomer. Hadis-hadis ini disusun berdasarkan musnad Sahabat. Secara rinci, susunan Musnad al-T{ayalisi adalah:

1)      Susunan pertama dimulai dengan al-‘ashrah al-mubashshirun bi al-jannah yang didahului al-khulafa’ al-rashidah.

2)      Al-mutawassitin dan al-muqillin

3)      Riwayat al-A<had (perawi yang hanya memiliki satu atau dua hadis)

4)      Sahabiyyat

5)      Al-mukthirin yang disusun berdasarkan tarajum (orang yang meriwayatkan dari Sahabat tertentu) dan dimulai dengan riwayat Sahabat laki-laki, kemudian al-afrad, dan Sahabiyyat.

Terkadang riwayat seorang Sahabat disebutkan pula di tempat Sahabat yang lain jika memiliki kaitan dengan matan atau cerita mengenai sanadnya. Begitu pula terkadang satu Sahabat disebutkan pada lebih dari satu tempat.

Penyebutan Sahabiyyat terdapat pada satu tempat, di tengah-tengan Sahabat laki-laki, antara riwayat al-ahad dan al-mukthirin. penyebutan Sahabiyyat ini didahului Fatimah binti Rasulullah kemudian ummahat al-mu’minin dan Sahabiyyat lainnya.

F.     Kedudukan al-Masanid di antara Kitab-kitab Hadis dari segi kesahihannya

Karya-karya al-masanid dianggap memiliki kedudukan atau posisi di bawah karya-karya yang disusun berdasarkan perbab (al-abwab) atau al-sunan dilihat dari sisi keasliannya (al-asl). al-Khatib al-baghdadi menyatakan:

ومما يتلو الصحيحين: سنن أبي داود السجستاني و أبي عبد الرحمن النَّسَوي, وأبي عيسى الترمذي, وكتاب محمد بن إسحاق ابن خزيمة النيسابوري, الذي شرط فيه على نفسه إخراج ما اتصل سنده بنقل العدل عن العدل إلى النبي صلى الله عليه وسلم, ثم كتب المسانيد الكبار[27]

“Dan karya di bawah al-sahihayn: Sunan Abu Dawud al-Sijistani, Abu ‘Abd al-Rahman al-Nasawi, Abu ‘I<sa al-Tirmidhi, dan kitab Muhammad bin Ishaq Ibn Khuzaymah al-Naysaburi, yang memberikan syarat atas dirinya untuk mengeluarkan hadis yang bersambung sanadnya,  dinukil oleh orang yang ‘adil dari yang ‘adil sampai kepada Nabi Saw., kemudian kitab-kitab al-masanid yang besar.” 

Hal ini disebabkan karena tujuan asal penyusunan al-masanid adalah mengumpulkan riwayat-riwayat semua Sahabat, tanpa melihat thubut atau tidaknya riwayat tersebut. Oleh karena itu Abi ‘Abdillah al-H{akim mengatakan:

هذه المسانيد التي صنفت في الإسلام على روايات الصحابة مشتملة على رواية المعدلين من الرواة وغيرهم من المجروحين[28]

“Inilah al-masanid yang disusun dalam Islam menurut riwayat-riwayat Sahabat yang mencakup di dalamnya riwayat perawi yang dianggap ‘adil begitu pula perawi yang terkena cacat (jarh).”

Ibnu al-S{alah juga memberikan komentar mengenai hal ini:

عادتهم فيها –يعني أصحاب المسانيد- :أن يجرجوا في مسند كل صحابي ما رووه من حديثه, غير متقيدين بأن يكون حديثا محتجاً به, فلهذا تأخرت مرتبته –وإن جلَّت لجلالة مؤلفها- عم مرتبة الكتب الخمسة, وما التحق بها من الكتب المصنفة على الأبواب, والله أعلم[29]

“Biasanya pemilik al-masanid pada musnad setiap Sahabat mengeluarkan apa yang diriwayatkan dari Sahabat tersebut, tanpa terikat dengan kondisi hadis tersebut bisa dijadikan hujjah atau tidak, oleh karena itu kedudukannya terbelakang –meskipun pengarangnya terkenal- dari derajat kutub al-khamsah, juga kitab-kitab semisalnya yang disusun berdasarkan bab.”

Permasalahan ini juga tidak luput dari perhatian Ibnu Hajar yang juga memberikan pernyataan:

ومَن يُصَنَّف على المسانيد فإن ظاهر قصده: جمع حديث كل صحابي على حِدة سواء أكان يصلح للإحتجاج به أم لا [30]

“Dan orang yang menyusun al-masanid tujuan jelasnya adalah: menghimpun hadis semua Sahabat dalam satu kesatuan, meskipun hadis tersebut bisa dijadikan hujjah atau tidak.”

Dan ungkapan menggunakan kata “al-asl” menunjukkan bahwa terdapat karya-karya yang menyalahi ketentuan asli tersebut atau tidak memenuhi persyaratan al-asl. Artinya, terdapat karya musnad yang telah dilakukan seleksi terhadap riwayat-riwayat dalam musnadnya atau hanya mencantumkan hadis yang sahih saja sesuai dengan kriteria sahih menurutnya. Ibnu Hajar mengatakan:

بعض من صنف على المسانيد انتقى أحاديث كل صحابي فأخرج ما وجد من حديثه[31]

“Sebagian orang yang menyusun al-masanid melakukan seleksi terhadap hadis-hadis setiap Sahabat, kemudian mengeluarkan apa yang ada pada hadis Sahabat tersebut.”

Namun, meskipun demikian seleksi hadis dan klaim dengan menggunakan kata “asahhu min ghayrihi” atau “asahhu ma fi al-bab”, tidak melazimkan bahwa musnad tersebut sahih secara keseluruhan. Karena da’if lebih sahih dari al-mawdu’ dan keduanya sama-sama hadis yang mardud. oleh karena itu, di dalam al-masanid terdapat hadis yang sahih juga yang da‘if.  Meskipun terdapat masanid yang telah diseleksi (al-muntaqah), namun dalam pengambilan hujjah dengan hadis dari al-masanid al-muntaqah tersebut haruslah dilakukan tinjauan terlebih dahulu terhadap syarat-syarat ihtijaj atau kriteria hadis yang maqbul.

Pada intinya bahwa kedudukan atau posisi al-masanid berada setelah karya-karya yang disusun perbab atau al-sunan melihat asal usul (tujuan) pembuatan musnad itu sendiri. Hal ini disebabkan karena al-musnad disusun memiliki tujuan asal yaitu mengumpulkan riwayat-riwayat Sahabat saja, tanpa memandang kriteria kesahihan hadis.

G.    Perbedaan antara al-Masanid dengan al-Atraf, dan al-Masanid dengan al-Ma’ajim

1.      Perbedaan al-Masanid dengan al-Atraf

Antara al-atraf dengan al-masanid memiliki kesamaan, yaitu sama-sama memiliki susunan berdasarkan Sahabat, bukan susunan bab fikih atau lainnya. Sehingga di dalam al-atraf maupun al-masanid hadis yang berkaitan dengan salat disebutkan setelah hadis tentang jihad ataupun sebaliknya. Namun meskipun demikian, terdapat pula beberapa poin yang menjadi perbedaan antara al-atraf dengan al-masanid, yaitu:

a.       Kitab-kitab al-Masanid menyebutkan teks hadis secara sempurna. Berbeda dengan al-atraf yang hanya menyebutkan sebagian teks hadis, kebanyakan bagian awal saja dari teks hadis yang disebutkan.

b.      Dalam al-masanid nama-nama Sahabat disusun berdasarkan afdaliyyah (paling utama), nasab (keturunan), atau kathrah al-riwayat (banyak riwayat), sedangkan al-atraf  nama-nama Sahabat disusun berdasarkan huruf abjad.

c.       Al-Masanid menyebutkan riwayat satu kitab saja, adapun al-atraf menyebutkan riwayat lebih dari satu kitab kemudian disandarkan kepada kitab yang riwayatnya dirujuk dalam al-atraf.[32]

2.      Perbedaan al-Masanid dengan al-Ma’ajim

Pada al-masanid dengan al-mu’jam sama-sama disusun sesuai urutan Sahabat (rawi al-a’la) yang memiliki riwayat hadis. Namun, ada beberapa karakteristik yang membedakan antara al-mu’jam  dengan al-masanid, seperti:

a.       Dalam musnad hanya menyebutkan riwayat musnad Sahabat saja, ma’ajim tidak hanya Sahabat saja namun juga mencantumkan riwayat selain Sahabat, seperti riwayat shaykh pemilik mu’jam tertentu.

b.      Nama-nama Sahabat dalam Mu’jam  disusun sesuai huruf abjad, sedangkan Musnad kebanyakan disusun sesuai al-sabaq fi al-Islam (terdahulu masuk Islam), afdaliyyah (paling utama kedudukannya), nasab (keturunan) atau kabilah.

H.    Kegunaan atau Fungsi al-Masanid

Tidak diragukan lagi bahwa al-masanid memiliki kedudukan yang penting di antara literatur sumber hadis yang asli. Berikut kegunaan atau fungsi al-masanid di antaranya:

1.      Merupakan sumber hadis yang asli (al-masadir al-hadithiyyah al-asliyyah) yang menyebutkan hadis beserta sanadnya.

2.      Sebagai referensi untuk melakukan proses pengumpulan jalur-jalur sanad (jam’u turuq al-hadith)

3.      Memudahkan dalam proses pencarian shawahid atau tawabi’

4.      Mengenal para Sabahat yang memiliki riwayat hadis

5.      Mengetahui Sahabat yang banyak atau sedikit meriwayatkan hadis.[33]


BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN:

  1. TIPOLOGI KITAB HADIS MUSALSAL
  2. TIPOLOGI KITAB HADIS AL MARASIL
  3. TIPOLOGI KITAB HADIS AL MASANID
  4. TIPOLOGI KODIFIKASI KITAB HADIS الموطأ (AL-MUWATTA’)
  5. TIPOLOGI KODIFIKASI HADIS AL THULATHIYYAT
  6. TIPOLOGI KODIFIKASI KITAB HADIS AL MA’AJIM
  7. TIPOLOGI KITAB HADIS AL JAWAMI’


BAB III

PENUTUP

Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa al-masanid adalah kitab yang merangkum di dalamnya riwayat-riwayat dari Sahabat secara khusus. Namun tidak semua kitab musnad memiliki tipologi tersebut, ada pula kitab musnad yang disusun berdasarkan urutan bab-bab fikih dan lainnya.

Kemunculan al-masanid dimulai antara akhir abad kedua atau permulaan abad ketiga hijriyah. Hal tersebut ditandai munculnya ulama hadis yang menulis musnad. Dalam perkembangannya, terdapat musnad yang telah diseleksi, yang mencakup ‘ilal hadis maupun yang umum. Selain itu, ada pula musnad yang al-shamilah ataupun yang al-khassah.

Susunan musnad biasanya diterapkan dengan berdasarkan afdaliyyah (paling utama), nasab (keturunan), atau kathrah al-riwayat (banyak riwayat) dan lainnya.

Posisi musnad jika ditinjau dari segi kualitas hadisnya, berada pada posisi di bawah kutub al-sittah. Hal ini dikarenakan pembuatan musnad memiliki tujuan asal yaitu menghimpun riwayat-riwayat Sahabat dalam satu kesatuan tanpa melihat kualitas dari riwayat tersebut.

Kitab yang bercorak musnad banyak memiliki kegunaan, diantaranya sangat membantu dalam proses pengumpulan riwayat dan meneliti riwayat dari para Sahabat.

 

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Abu al-H{usayn bin Faris bin Zakariya. Mu’jam Maqayis al-Lughah. Beirut: Dar al-Fikr, 1979.

Azhari (al). Tahdhib al-Lughah. t.t: maktabah al-shamilah, t.th.

Luhaydan (al), Dakhil bin Salih. “al-Masanid Nash’atuha wa Anwa’uha wa Tariqah Tartibiha”, dalam  http://www.forsanhaq.com, 2.

Asqalani (al), Abu Fadl Ibnu Hajar. Hadi’ al-Sari. t.t: Maktabah al-Shamilah, t.th.

----------------. Tajrid Asanid al-Kutum al-Mashhurah wa al-Ajza’ al-Manthurah. Beirut: Mu’assasah al-Risalah, 1998.

----------------. Al-Nukat ‘ala Kitab Ibn al-S{alah. Madinah al-Munawwarah: Maktabah al-Madaniyyah, 1984.

Shahruzuri (al), Ibnu al-S{alah. Muqaddimah Ibn al-S{alah. t.t: Maktabah al-Farabi, 1984.

Sulami (al), Muhammad bin al-H{usayn. Su’alat al-Sulami li al-Daruqutni. t.t: Multaqa Ahl al-Hadith, t.th.

Baghdadi (al), Abu Bakar al-Khatib. Al-Jami’ li Akhlaq al-Rawi wa Adab al-Sami’. (Riyad: Maktabah al-Ma’arif, 1403 H), vol. 5/177.

----------------. Tarikh Baghdad. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.th.

Jurjani (al), Abdullah bin ‘Adiy. Al-Kamil fi D{u’afa’ al-Rijal. Beirut: Dar al-Fikr, 1988.

Sakhawi (al), Shams al-Din. Fath al-Mughith Sharh Alfiyah al-Hadith. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1403 H.

‘Iraqi (al), Zaynuddin. al-Taqyid wa al-I<dah Sharh Muqaddimah Ibn al-S{alah. Madinah al-Munawwarah: Maktabah al-Salafiyyah, 1969.

H{akim (al), Muhammad bin ‘Abdullah. Al-Madkhal ila Kitab al-Iklil. Alexandria: Dar al-Da’wah, t.th.

Mawsu’ah al-hadithiyyah. Kairo: Wizarah al-Awqaf Majlis al-A’la, 2008.



[1] Abu al-H{usayn Ah}mad bin Faris bin Zakariya. Mu’jam Maqayis al-Lughah. (Beirut: Dar al-Fikr, 1979), vol. 3/105.

[2] Al-Azhari, Tahdhib al-Lughah. (t.t: maktabah al-shamilah, t.th), vol. 3/460.

[3] Dakhil bin S}alih} al-Luh}aydan, “al-Masanid Nash’atuha wa Anwa’uha wa T}ariqah Tartibiha”, dalam http://www.forsanhaq.com/showthread.php?t=186563, 2.

[4]  Ibid.

[5] Ibnu Hajar al-Asqalani, Hadi’ al-Sari. (t.t: Maktabah al-Shamilah, t.th), vol. ¼.

[6]  Ibnu al-S{alah} al-Shahrzuri. Muqaddimah Ibn al-S{alah}. (t.t: Maktabah al-Farabi, 1984), 20.

[7] Muhammad bin al-H{usayn al-Sulami, Su’alat al-Sulami li al-Daruqut}ni. (t.t: Multaqa Ahl al-Hadith, t.th).

[8]  Abu Bakar al-Khat}ib al-Baghdadi, Al-Jami’ li Akhlaq al-Rawi wa Adab al-Sami’. (Riyad: Maktabah al-Ma’arif, 1403 H), vol. 5/177.

[9]  Abdullah bin ‘Adiy al-Jurjani, Al-Kamil fi D{u’afa’ al-Rijal. (Beirut: Dar al-Fikr, 1988), vol. 7/239.

[10]  Dakhil bin S}alih} al-Luh}aydan, “al-Masanid Nash’atuha wa Anwa’uha wa T}ariqah Tartibiha”…, 3.

[11]  Ibid.

[12]  Abu Bakar al-Khat}ib al-Baghdadi, Tarikh Baghdad. (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.th), vol. 13/306.

[13]  Ibid.

[14]  Shams al-Din al-Sakhawi, Fath al-Mughith Sharh Alfiyah al-Hadith. (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1403 H), vol. 2/385.

[15]  Zaynuddin al-‘Iraqi, al-Taqyid wa al-I<d}ah Sharh} Muqaddimah Ibn al-S{alah}. (Madinah al-Munawwarah: Maktabah al-Salafiyyah, 1969), 58.

[16]  Dakhil bin S}alih} al-Luh}aydan, “al-Masanid Nash’atuha wa Anwa’uha wa T}ariqah Tartibiha”…, 4.

[17]  Ibid., 5.

[18]  Ibid.

[19]  Ibid., 6.

[20]  Ibid., 7.

[21] Dakhil bin S}alih} al-Luh}aydan, “al-Masanid Nash’atuha wa Anwa’uha wa T}ariqah Tartibiha”, 7.

[22] Ibid.

[23] Ibid.

[24] Ibid.

[25]  Ibid., 8.

[26] Abu al-Fad}l Ibn H{ajar al-‘Asqalani, Tajrid Asanid al-Kutum al-Mashhurah wa al-Ajza’ al-Manthurah. (Beirut: Mu’assasah al-Risalah, 1998), 129.

[27] Abu Bakar al-Khat}ib al-Baghdadi, Al-Jami’ li Akhlaq al-Rawi wa Adab al-Sami’…, vol. 2/185.

[28] Muhammad bin ‘Abdullah al-H{akim, Al-Madkhal ila Kitab al-Iklil. (Alexandria: Dar al-Da’wah, t.th), 30.

[29] Ibnu al-S{alah} al-Shahrzuri. Muqaddimah Ibn al-S{alah}…, 20.

[30]  Ibn H{ajar al-‘Asqalani. Al-Nukat ‘ala Kitab Ibn al-S{alah}. (Madinah al-Munawwarah: Maktabah al-Madaniyyah, 1984), Vol. 1/447.

[31] Ibid., vol. 1/73.

[32]  Mawsu’ah al-hadithiyyah. (Kairo: Wizarah al-Awqaf Majlis al-A’la, 2008), 96.

[33]  Dakhil bin S}alih} al-Luh}aydan, “al-Masanid Nash’atuha wa Anwa’uha wa T}ariqah Tartibiha”…, 1.

MAKALAH HADIST TENTANG HIJAB

  A.   Latar Belakang Telah disepakati oleh seluruh umat Islam bahwa al-Qur’an menjadi pedoman hidup baik tentang syariah maupun dalam keh...