HOME

13 Mei, 2023

ADAB DI DALAM MASJID

 Berikut beberapa adab-adab ketika di dalam majid:

·         Keutamaan membangun masjid adalah Allah akan membangun sebuah rumah di surga bagi orang yang membangun masjid.

·         Para ulama mengatakan tentang batasan masjid, yaitu tempat yang ada di dalam tembok masjid dan pintu mesjid bagian dalam adalah masjid.

·         Dikatakan bahwa firman Allah Ta’ala yang mengatakan:

وَأَنَّ الْمَسَاجِدَ ِللهِ فَلاَ تَدْعُوْا مَعَ اللهِ أَحَدًا

Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah kepanyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorangpun di dalamnya di samping (menyembah) Allah”.[1] Maka tidak boleh menisbatkan masjid kepada seseorang mahluk dengan nisbat kepemilikan dan kekhususan, adapun penisbatan masjid dengan nama agar dikenal, maka hal itu tidak apa-apa dan tidak termasuk dalam larangan tersebut; Nabi shallallahu alaihi wasallam menisatkan mesjidnya kepada dirinya, seperti yang diterangkan di dalam sebuah  sabdanya: مَسْجِدِي هذَا (masjidku ini), begitu juga beliau menisbatkan masjid quba’ kepadanya, yaitu quba’, dan masjid baitul maqdis dinisbatkan kepada Iliya’, apa yang telah disebutkan adalah penisbatan nama mesjid kepada selain Allah agar mudah dikenal, semua ini tidak termasuk di dalam larangan di atas.[2]

·         Orang yang makan bawang putih dan merah harus menjauhi mesjid, berdasarkan hadits Jabir radhiallahu amhu bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:

مَنْ أَكَلَ ثَوْمًا أَوْبَصَلاً فًلْيَعْتَزِلْنَا أَوْ قَالَ فَلْيَعْتَزِلْ مَسْجِدَنَا وَلْيَقْعُدْ فيِ بَيْتِهِ

Barangsiapa yang makan bawang putih atau bawang merah maka hendaklah menjauhi kita” Atau bersabda “Maka hendaklah dia menjauhi masjid kami dan hendaklah dia duduk di rumahnya”.[3]

·         Dikiaskan kepada bawang merah atau bawang putih segala sesuatu yang berbau busuk yang bisa menyakiti orang yang shalat, namun jika seseorang memakai sesuatu yang bisa mencegah bau yang tidak sedap tersebut dari dirinya seperti memakai pasta gigi dan lainnya, maka tidak ada larangan baginya setelah itu untuk menghadiri mesjid.

·         Dianjurkan agar segera bergegas menuju masjid, berdasarakan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:      

      الْمُقَدِّمِ لَكَانَتْ قُرْعَة  لِوْ تَعْلَمُوْنَ أَوْ يَعْلَمُوْنَ مَا فيِ الصَّفِ    

Seandainya mereka mengetahui keutamaan shaf pertama, niscaya akan diadakan undian untuk mendapatkannya.”.[4]

·         Dianjurkan berjalan menuju shalat dengan khusyu’, tenang dan tentram. Nabi shallallahu alaihi wasallam telah melarang umatnya berjalan menuju shalat secara tergesa-gesa walaupun shalat sudah didirikan. Abi Qotadah radhiallahu anhu berkata:  Pada saat kami sedang shalat bersama Nabi shallallahu alaihi wasallam, tiba-tiba beliau mendengar suara kegaduhan beberapa orang. Sesudah menunaikan shalat beliau mengingatkan:

مَا شَأْنُكُم؟ قَالُوْا: اِسْتَعْجَلْنَا إِلىَ الصَّلاَةِ. فَقَالَ: فَلاَ تَفْعَلُوْا, إِذَا أَتَيْتُمْ إِلَى الصَّلاَةِ فَعَلَيْكُمْ بِاالسَّكِيْنَةِ  فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوْا وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوْا

“Apa yang terjadi pada kalian?”. Mereka menjawab: “Kami tergesa-gesa menuju shalat”. Rasulullah menegur mereka: “Janganlah kalian lakukan, apabila kalian mendatangi shalat maka hendaklah berjalan dengan tenang, dan rekaat yang kalian dapatkan shalatlah padanya!, dan rekaat yang terlewat sempurnakanlah !”.[5]

·         Saat berjalan menuju shalat hendaklah berdo’a dengan mengucapkan:

ا

 
اَللّهُمَّ اجْعَلْ فيِ قَلْبِي نُوْرًا وَاجْعَلْ فِي لِسَانِي نُوْرًا وَاجْعَلْ فِي سَمْعِي نُوْرًا وَاجْعَلْ فِي بَصَرِي نُوْرًا وَاجْعَلْ خَلْفِي نُوْرًا وَأَمَامِي نُوْرًا وَاجْعَلْ مِنْ فَوْقِي نُوْرًا وَمِنْ تَحْتِي نُوْرًا اَللّهُمَّ وَأَعْظِمْ لِي نُوْرًا

“Ya Allah, jadikanlah di dalam hatiku cahaya, dan jadikanlah di dalam lisanku cahaya, dan jadikanlah pada pendengaranku cahaya, dan jadikanlah pada pengelihatanku cahaya, dan jadikanlah di sebelah belakangku cahaya dan di hadapanku cahaya, dan jadikanlah di atasku cahaya dan di bawahku cahaya. Ya Allah, agungkanlah cahayaku!”.[6]

·        

ا

 

ا

 
Memasuki masjid dengan mendahulukan kaki kanan dan berdo’a dengan mengucapkan

اَللّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلىَ مُحَمَّدٍ وَعَلىَ آلِ مُحَمَّدٍ اَللّهُمَّ افْتَحْ لِي أََبْوَابَ رَحْمَتِكَ

“Ya Allah curahkanlah shalawat dan salam kepada Muhammad dan keluarga Muhammad. Ya Allah bukakanlah pintu rahmatmu bagiku”.

·         Mendahulukan kaki kiri saat keluar dari mesjid dan berdo’a dengan mengucapkan:

اَللّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلىَ مُحَمَّدٍ وَعَلىَ آلِ مُحَمَّدٍ اَللّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ

“Ya Allah curahkanlah shalawat dan salam kepada Muhammad dan keluarga Muhammad. Ya Allah limpahkanlah karuniaMu kepadaku”.

·         Menunaikan shalat tahiyatul masjid saat memasuki sebuah mesjid. Berdasarkan hadits riwayat Abi Qotadah Al-Sulami bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

  إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُم ُالْمَسْجِدَ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ اَنْ يَجْلِسَ

        “Apabila salah seorang di antara kalian memasuki masjid maka hendaklah dia shalat dua rekakat sebelum duduk”.[7] Dan di antara kesalahan yang sering terjadi adalah ditinggalkannya shalat tahiyyatul masjid hanya karena waktu tersebut adalah waktu dilarang mengerjakan shalat sunnah.

·         Terdapat keutamaan yang besar bagi seorang yang duduk-duduk di masjid untuk menunggu shalat, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:

فَإِذَا دَخَلَ الْمَسْجِدَ كَانَ فيِ الصَّلاَةِ مَاكَانَتِ الصَّلاَةُ تَحْبِسُهُ واْلمَلاَئِكَةُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ أَحَدِكُمْ مَادَامَ فَِي مَجْلِسِهِ الَّذِي صَلىَّ فِيْهِ يَقُوْلُوْنَ: اَللّهُمَّ ارْحَمْهُ الّلهُمَّ اغْفِرْ لَهُ مَا لَمْ يُؤْذِ فِيْهِ مَا لَمْ يُحْدِثْ

Apabila seseorang memasuki masjid, maka dia dihitung berada dalam shalat selama shalat tersebut yang menahannya (di dalam masjid), dan para malaikat berdo’a kepada salah seorang di antara kalian selama dia berada pada tempat shalatnya, Mereka mengatakan: “Ya Allah, curahkanlah rahmat kepadanya, ya Allah ampunilah dirinya selama dia tidak menyakiti orang lain dan tidak berhadats”.[8]

·         Terdapat larangan melingkar di dalam masjid (untuk berkumpul) demi kepantingan dunia semata. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

يَأْتِ عَلىَ النَّاسِ زَمَانٌ يَحْلِقُوْنَ فيِ مَسَاجِدِهِمْ وَلَيْسَ هُمُوْمُهُمْ إِلاَّ الدُّنْيَا  وَلَيْسَ ِللهِ فِيْهِمْ حَاجَةٌ فَلاَ تُجَاِلسُوْهُمْ

“Akan datang suatu masa kepada sekelompok orang, di mana mereka melingkar di dalam mesjid untuk berkumpul dan mereka tidak mempunyai kepentingan kecuali dunia dan tidak ada bagi kepentingan apapun pada mereka maka janganlah duduk bersama mereka”.[9]

·         Disunnahkan untuk menjaga masjid dari kegaduhan dan memperbanyak pembicaraan yang sia-sia serta mengangkat suara dengan sesuatu yang dibenci.[10]

·         Dibolehkan berbaring di mesjid. Dari Abdullah bin Zaid radhiallahu anhu bahwa dia melihat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berbaring di mesjid sambil meletakkan salah satu kaki beliau di atas yang lainnya.

·         Dibolehkan menjulurkan kaki ke arah kiblat,[11] dan menghindari untuk mejulurkan kaki ke arah mushaf demi meghormati kalam Allah dan untuk mengagungkannya.

·         Diperbolehkan tidur di mesjid, seperti yang dilakukan oleh Ahlis Shuffah di mana mereka tidur di mesjid[12], dan apabila bermimpi sampai keluar mani maka dia harus segera keluar mesjid untuk mandi janabah[13]dan Ibnu Umar pada masa dirinya masih muda dan membujang tanpa keluarga, dia tidur di masjid di masjid Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.[14]

·         Larangan berjual beli di mesjid berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:

إِذَا رَأَيْتُمْ مَنْ يَبِيْعُ أَوْ يَبْتَاعُ فِي الْمَسْجِدِ فَقُوْلُوْا لاَ أَرْبَحَ اللهُ تِجَارَتَكُمْ

“Jika kalian melihat orang yang berjual beli di mesjid maka ucapkanlah: Semoga Allah tidak memberikan laba bagi jual belimu”.[15] Dan di antara kesalahan yang sering terjadi adalah menaruh iklan jual beli di dalam mesjid.

·         Dilarang  mengumumkan barang yang hilang di mesjid, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:

مَنْ سَمِعَ رَجُلاً يُنْشِدُ فِي الْمَسْجِدْ فَلْيَقُلْ: لاَ رَدَّهَا اللهُ عَلَيْكَ فَإِنَّ الْمَسَاجِدَ لَمْ تُبْنَ لِهذَا

“Barangsiapa mendengar seseorang yang mengumumkan barangnya yang hilang di mesjid maka katakanlah kepadanya: Semoga Allah tidak mengembalikannya kepadamu karena sesungguhnya mesjid itu tidak dibangun untuk kepentingan ini”.[16]

·         Boleh mengangkat suara di dalam mesjid untuk kepentingan ilmu dan kebaikan adapun mengangkat suara untuk membuat suasana menjadi gaduh atau yang lainnya tidak diperbolehkan…

·         Dibolehkan meminta-minta jika dibutuhkan.

·         Dilarang memasukkan antara jari-jari saat keluar menuju mesjid sebelum melaksanakan shalat, diriwayatkan dari Ka’ab bin Ajroh radhiallahu anhu bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

إِذَا تَـوَضَّأ أَحَـدُكُمْ فَأَحْسَـنَ وُضُوْءَهُ ثُمَّ خَـرَجَ عَامِدًا إِلىَ اْلمَسْجِدِ فَلاَ يَشْـبِكَنَّ بَيْنَ أَصَابِعِهِ فَإِنَّهُ فَي صَلاَةٍ

“Apabila salah seorang di antara kalian berwudhu’ dan menyempurnakan wudhu’nya kemudian dia keluar menuju shalat secara sengaja maka janganlah dia memasukkan antara jari-jarinya sebab dia sedang berada dalam kondisi shalat”.[17] Dan boleh memasukkan jari-jari tangan sesudah melaksanakan shalat.

·         Boleh makan dan minum di mesjid, berdasarkan hadits Abdullah bin Al-Harits bin Juz’u Al-Zubaidi, dia menceritakan bahwa kami makan pada masa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam roti dan daging di dalam mesjid.[18]

·         Boleh menyenandungkan puisi yang diperbolehkan di dalam mesjid, sesungguhnya Hassan bin Tsabit radhiallahu anhu menyenandungkan puisi di mesjid di hadapan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.[19]

·         Boleh main tombak atau sejenisnya di mesjid, dari Aisyah radhiallahu anha berkata: “Suatu hari aku melihat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berdiri di pintu kamarku sementara orang-orang Habsy bermain-main di mesjid dan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menutupi aku dengan selendangnya saat aku menyaksikan permainan mereka”.[20]

·         Dilarang keluar dari mesjid setelah dikumandangkannya adzan kecuali karena udzur, berdasarkan hadits riwayat Abi Sya’tsa’ bahwa dia berkata:  “Kami sedang duduk-duduk dengan Abu Hurairah radhiallahu anhu di dalam mesjid lalu seorang mu’adzin mengumandangkan adzan lalu seorang lelaki bangkit keluar dari mesjid, maka Abu Hurairah radhiallahu anhu mengatakan: “Adapun orang ini maka ia telah menyalahi tuntunan Abul Qosim shallallahu alaihi wasallam”.[21]

·         Di antara kesalahan yang terjadi di mesjid adalah menghiasi mesjid dan memahatnya, berdasarkan hadist Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:                 إِذَا زَوَّقْتُمْ مَسَاجِدَكُمْ وَحَلَّيْتُمْ مَصَاحِفَكُمْ فَالدَّمَارُ عَلَيْكُمْ

“Apabila kalian telah memperindah mesjid kalian dan menghiasi mushaf-mushafmu maka kehancuran telah menimpa kalian”.[22] Dalam riwayat lain disebutkan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:                       لاَ تَقُوْمُ السَّاعَةُ حَتَّى يَتَبَاهىَ النَّاسُ فِي اْلمَسَاجِدِ

“Tidak akan terjadi hari kiamat sampai manusia berlomba-lomba di dalam (memperindah) mesjid”.[23]. ([24]) ([25]).

·         Di antara kesalahan yang sering terjadi adalah shalat di atas hamparan yang diperindah.

·       Di antara kesalahan yang juga sering terjadi adalah menjadikan mesjid sebagai jalanan untuk lewat, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:      لاَ تَتَّخِذُوْا اْلمَسَاجِدَ طُرُقًا إِلاَّ لِذِكْرٍ اَوْ صَلاَةٍ

“Janganlah engkau menjadikan mesjid sebagai jalan untuk lewat kecuali untuk berdzikir dan menunaikan shalat”.[26]

·         Di antara kesalahan yang terjadi adalah menjadikan suara jam (di dalam mesjid) seperti suara lonceng yang selalu berbunyi secara teratur seperti bunyi lonceng orang-orang Nashrani.

·         Di antara kesalahan yang sering terjadi, membaca ayat secara nyaring di masjid sehingga mengganggu shalat dan bacaan orang lain.

·         Sungguh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah melarang orang-orang yang melingkar dalam berkumpul untuk membuat kelompok di dalam masjid karena mereka juga akan keluar dari masjid dengan berkelompok-kelompok mereka masing-masing. Dari Jabir bin Samuroh, dia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memasuki masjid pada saat adanya kelompok-kelompok sedang berkumpul di dalam mesjid. Lalu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menegur mereka: “Kenapa saya melihat kalian berkelompok-kelompok?”.[27]

·         Di antara pelanggaran yang sering terjadi meludah di mesjid. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berdasarkan sabda

 اَْلبُزَاقُ فِي اْلمَسْجِدِ خَطِيْئَةٌ وَكَـفَّارَتُـهَا َدفـْنُهَا

"Meludah di mesjid adalah kesalahan dan penghapusnya adalah dengan cara menimbunnya”.[28]

·         Termasuk sunnah shalat dengan memakai sandal di mesjid. Anas bin Malik radhiallahu anhu pernah ditanya: Apakah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam shalat dengan memakai kedua sandalnya?. Dia menjawab: “Ya”.[29] Dan apabila seseorang memasuki mesjid lalu melepas kedua sandalnya dan tidak shalat dengan memakai keduanya maka hendaklah dia menjadikannya di sebelah kirinya jika dia sendiri di dalam shaf, namun jika dirinya bersama jama’ah lain dalam shalat berjama’ah maka hendaklah dia meletakkannya di antara kedua kakinya berdasarkan hadits:

إِذَا صَلىَّ أَحَدُكُمْ فَلاَ يَضَعْ نَعْلَيْهِ عَنْ يَمِيْنِهِ وَلاَ يَضَعْهُمَا عَنْ يَسَارِهِ فَتَكُوْنَ عَنْ يَمِيْنِ غَيْرِهِ إِلاَّ أَلاَّ يَكُوْنَ عَنْ يَسَارِهِ أَحَدٌ وَلْيَضَعْهُمَا بَيْنَ رِجْلَيْهِ

“Apabila salah seorang di antara kalian shalat maka janganlah dia meletakkan sandalnya di sebelah kanannya dan jangan pula disebelah kirinya sehingga bertempat di sebelah kanan jama’ah yang lainnya kecuali jika tidak ada seorangpun di sebelah kirinya. Hendaklah dia meletakannya di antara kedua kakinya”.([30])[31].

·         Tidak lewat di hadapan orang yang sedang shalat, berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam:

لَـوْيَعْلَمُ اْلمَارُّ بَيْنَ يَدَيْ اْلمُصَليِّ مَاذَا عَلَيْهِ لَكَانَ أَنْ يَقِـفَ أَرْبَعِيْنَ خَيْرًا لًهُ مِنْ أَنْ يَمُرَّ بَيْنَ يَدَيْهِ

“Seandainya seorang yang lewat di hadapan orang yang sedang shalat mengetahui besar akibat yang harus ditanggunganya, niscaya berhenti selama empat puluh lebih baik baginya dari pada berjalan di hadapannya”.[32]. Dianjurkan bagi orang yang shalat untuk menjadikan sutrah (pembatas) bagi dirinya, berdasarkan hadits:

إِذَا صَلىَّ أَحَدُكُمْ فَلْيُصَلِّ إِلىَ سُتْرَةٍ وَلْيَدْنُ مِنْهَا

“Apabila salah seorang di antara kalian shalat maka hendaklah melaksanakannya di hadapan sutroh dan mendekatlah dengannya”.[33]

·         Membersihkan mesjid adalah perbuatan yang utama, dan Nabi shallallahu alaihi wasallam menganggap berludah di mesjid sebagai kesalahan dan penebus dosanya adalah menimbunnya[34], dan hadits yang menerangkan bahwa mahar bidadari adalah membersihkan mesjid adalah hadits yang lemah.

·         Tidak boleh bagi orang kafir memasuki salah satu al-haromaini sekalipun dengan idzin seorang muslim, dan diperbolehkan bagi Al-Zimmi (Orang kafir yang terikat perjanjian dengan orang muslim) jika orang tersebut diupah untuk membangun keduanya selama tidak ada orang muslim yang bisa mengerjakan pekerjaan tersebut.

·         Ibnu Muflih rahimahullah berkata: Dan para guru kami berkata: Tidak mengapa dengan apa yang terjadi pada zaman kita, yaitu menutup mesjid di luar waktu-waktu shalat, karena khawatir akan terjadinya pencurian terhadap barang-barang milik mesjid.[35]

·         Sesungguhnya mesjid-mesjid yang terdapat di dalam rumah (ruang-ruang yang dipergunakan untuk shalat) tidak berlaku padanya hukum mesjid, menurut jumhur ulama oleh karenanya tidak mencegah orang yang junub dan wanita haid untuk masuk di dalamnya.[36]

 

·         BEBERAPA ADAB YANG KHUSUS BAGI WANITA SAAT MEMASUKI MESJID

·         Tidak memakai wangi-wangian atau berhias sehingga bisa mengundang fitnah.

·         Tidak diperbolehkan bagi wanita yang sedang haid dan nifas untuk tinggal di mesjid, dan boleh bagi wanita yang istihadhah untuk memasuki mesjid bahkan beri’tikaf padanya, namun harus tetap menjaga agar mesjid tidak tercemar dengan najis.

·         Mereka bershaf di belakang shaf jama’ah pria, dan apabila para wanita berada di tempat shalat yang berbeda maka sebaik-baik shaf mereka adalah yang terdepan.

 

BACA MATERI KHUTBAH LAINNYA YANG BERKAITAN:


[1] QS. Al-Jin: 18.

[2] Fathl Bari, Ibnu Rajab (2/261). Hal ini menunjukkan bolehnya menisbatkan masjid kepada orang yang membangun dan memakmurkannya.

[3] HR. Bukhari no: 855.

[4] HR. Bukahri no: 615. Muslim no: 437

[5] HR. Bukhari no: 635 dan Muslim no: 437.

[6] HR. Muslim no: 763.

[7] HR. Bukhari no: 444. Muslim no: 714.

[8] HR. Bukhari no:176, Muslim no: 649.

[9] HR. Al-Hakim dalam kitab AL-Mustadrok 4/359 dan Al-Dzahabi berkata dalam kitab Al-Talkhish: Shahih. Dihasankan oleh Albani.

[10] Al-Adabus Syar’iyah 3/376.

[11] Fatawa lajnah daimah lil buhutsil ilmiyah wal ifta’ no: 5795.

[12] HR. Bukhari no: 442.

[13] Fatawa lajnah daimah lil buhutsil ilmiyah wal ifta’ no: 5795

[14] HR. Bukahri.

[15] HR. Turmudzi no: 1321, dia berkata hadits ini hasan garib.

[16] HR. Muslim no: 568.

[17] HR. Abu Dawud no: 526, dan Albani mengatakan: Shahih.

[18] HR. Ibnu Majah no 2300, Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.

[19] HR. Bukhari no: 3212.

[20] HR. Bukahri no: 455, disebutkan di dalam kitab Syarhul Muslim: Dibolehkan bermain dengan menggunakan senjata atau peralatan perang lainnya di dalam mesjid, termasuk semua perlatan yang bisa dimanfaatkan untuk berjihad

[21] HR. Muslim no:655.

[22] Dihasankan oleh Albani dalam kitab sisilatus shahihah 3/135.

[23] Shahih Abu Dawud no: 475

[24] Bisa jadi bagian ini tidak ada hubungannya dengan bab tentang adab di dalam mesjid namun saya menyebutkannya agar seseorang mengambil manfaat dariya dalamhal yang berhungan dengan mesjid.

[25] Dan orang yang pertama kali memberikan unsur emas bagi ka’bah dan menghiasi mesjid adalah Al-Walid bin Abdul Malik saat ia diutus ke Khalid bin Adullah Al-Qusari dan ke Mekkah pada saat itu. (Al-Adabus Syar’iyah 3/374)

[26] Dihasankan oleh Albani dalam kitab Al-Silsilah Al-Shahihah no: 1001.

[27] HR. Muslim no: 407.

[28] Muttafaq Alaihi.

[29] HR. Bukhari no: 386, Muslim no:255.

[30] HR. Abu Dawud no: 609.

[31] Sangat sulit bagi seseorang untuk memasuki mesjid dengan kedua sendalnya lalu shalat dengan keduanya pada zaman ini.

[32] HR. Abu Dawud no: 649.

[33] HR. Abu Dawud no: 646

[34] HR. Bukhari no: 415, Muslim no:552.

[35] Al-Adabus Syar’iyah 3/384.

[36] Fathul  Bari, Ibnu Rajab 1/551.

SUNNAH-SUNNAH ADZAN

 

Berikut beberapa sunnah-sunnah adzan:

·         Hendaklah dia mengucapkan seperti apa yang diucapkan oleh Mu’adzin[1] kecuali pada hai’alataini, hendaklah dia menjawab dengan mengucapkan: لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ  Tiada daya dan upaya kecuali dengan Allah”.[2]

·         Hendkalah berdo’a bagi Nabi shallallahu alaihi wasallam agar diberikan wasilah, keutamaan dan tempat yang terpuji dengan mengatakan:

 اَللهُمَّ رَبَّ هذِهِ الدَّعْـوَةِالتَّامَّـةِ وَالصَّلاَةِ اْلقَائِمَةِ...آتِ مُحَـمَّدًا اْلَوسِيْلَةَ وَاْلفَضِيْلَةَ وَابْعَثْهُ ْمَقَاماَ مَحْمُوْدً اَّلذِي وَعَدَتّهُ

“Ya Allah pemilik seruan yang sempurna ini dan sholat yang didirikan…berikanlah kepada Muhammad wasilah, keutamaan dan kedudukan mulia yang Engkau telah janjikan baginya”.[3]

·         Hendaklah dia membaca

رَضِيْتُ بِاللهِ رَبًّا وَبِاْلإِسْلاَمِ دِيْنًا وََبِمُحَمَّدٍ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَسُوْلاً غُفِرَ لَهُ ذَنْبُهُ

(Aku rela Allah sebagai Tuhanku, Islam sebagai agamaku dan Muhammad shallallahu alaihi wasallam sebagai utusan Allah). Maka akan Diampuni dosanya”.[4]

·         Mengucapkan shalawat kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam setelah selesai adzan.

·       Berdo’a kepada Allah, karena do’a antara adzan dan iqomah tidak ditolak. Dari Anas bin Malik radhiallahu anhu ia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:    اَلدُّعَاءُ لاَ يُرَدُّ بَيْنَ اْلأَذَانِ وَاْلإِقَامَةِ

“Do’a antara adzan dan iqomah tidak ditolak”.[5]

·         Di antara kesalahan yang sering terjadi sesudah mendengar adzan adalah tambahan lafaz yang tidak disebutkan dalam hadits Rasulullah shallallahu alaihi wasallam setelah adzan, seperti bacaan yang mengatakan: (  (وَالدَّرَجَـةَ الرَّفِيْـعَةَdan kalimat (يَا أَرْحَمَ الرّاَحِمِيْنَ) dan kalimat (إِنَّكَ لاَ تُخْلِفُ الْمِيْعَادَ).[6]

·       Boleh menjawab Adzan yang terdengar dari radio jika dikumandangkan saat waktu shalat, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:      إِذَا سَمِعْتُمُ اْلمُؤَذِّنَ فَقُوْلُوْا مِثْلَ مَا يَقُوْلُ...

“Apabila kalian mendengarkan adzan maka ucapkanlah seperti apa yang diucapakan oleh muadzin”.[7]


BACA MATERI KHUTBAH LAINNYA YANG BERKAITAN:


[1] Berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam: (…Dan hendaklah engkau mengatakan seperti apa yang dikatakan oleh mu’adzin). Dengan hadits ini sebagian dari ulama salaf menyimpulkan kewajiban menjawab adzan, sebagaimana yang diceritakan oleh Al-Thahawi, pendapat ini dikuatkan oleh Abu Hanifah dan ahluz zahir serta Ibnu Wahb…namun jumhur mengatakan perintah di atas menunjukkan pengertian disunnahkan. Fathul Bari, Ibnu Hajar, 2/93.

[2] HR. Muslim 4/85.

[3] HR. Bukhari: 8/399.

[4] HR. Ibnu Majah: 589.

[5] HR. Abu Dawud: 521, Turmudzi: 212, Ahmad: 3/155, dishahihkan oleh  Al-Albani dalam kitab shaihul jami’ dengan tambahan redaksi: فََمَاذَا نَقُوْلُ: قَالَ سَلُوْا اللهَ اْلعَافِيَةَ فيِ الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ (Apakah yang mesti kami baca?. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: Mintalah kepada Allah penjagaan di dunia dan kahirat)

[6]Al-Muhakamul Matin Fi Iktisharil Qulil Mubin Fi Akhathail Mushallin, Abu Ubaidah Mashur bin Hasan aali Salman.

[7] Fatwa syekh Abdil Aziz bin Baz rahimahullah.

ADAB SEORANG GURU

Berikut beberapa adab-adab seorang guru:

·         Menyadari kedudukan dirinya dan hak orang lain.

·         Menentukan hari belajar, jika sudah ditentukan dan guru tersebut sudah menyetujuinya, maka tidak layak baginya terlambat, tidak menghadiri dan mengingkari janjinya kecuali dengan alasan yang dibenarkan secara syara’ seperti sakit dan lain-lain.

·         Seorang syekh harus merendah diri kepada murid-muridnya dan menjaga kehormatan dirinya.

·         Takut jika berkata tentang hukum Allah tanpa didasarkan dengan ilmu, perbuatan ini disejajarkan oleh Allah dengan kesyirikan.[1]

·         Seorang guru harus mampu mengelompokkan siswanya dan berusaha menyetarakan tingkat pemahaman mereka.

·         Mengakhirkan komentar pada akhir pembelajaran.

·         Menentukan waktu khusus untuk menerangkan beberapa point pelajaran.

·         Mengutamakan penjelasan tentang pelajaran sebelum tambahan dan komentar.

·         Menentukan batas terendah (pemahaman) sebagai tuntututan untuk semua siswa dan menfariasikan fasilitas-fasilitas pengajaran yang bermanfaat.

·         Jika seorang guru belum sampai pada tingkat kemampuan menguatkan sebuah pendapat, maka hendakalah dia tidak mentarjih suatu penadapat, akan tetapi dianjurkan baginya untuk mengungkapkan pendapat ulama atau mengatakan bahwa fulan berfatwa seperti ini.

·         Menjauhi cara baca yang membosankan, oleh karena itulah para ulama sangat mengutamakan pembaca yang pelan dan bersuara jelas.

·         Menyediakan waktu istirahat saat pembelajaran.

·         Menentukan waktu khusus untuk menerima tamu.

·         Seorang guru harus bersikap mulia terhadap siswanya.


BACA MATERI KHUTBAH LAINNYA YANG BERKAITAN:


[1] Tidak ada istilah saya kira atau mungkin di dalam urusan agama ini, sebuah perkara dalam agama baik kamu tahu secara yakin atau diam.

ADAB DALAM MENGHADIRI PELAJARAN DAN HALAQAH

Berikut beberapa adab-adab dalam menghadiri pelajaran dan halaqah :

·         Seorang yang akan menghadiri majlis ilmu seyogyanya memperbaiki penampilannya dan persiapannya, bahkan orang mengungkapkan: Seseorang harus memperhatikan dirinya dan memperindah penampilan pribadinya di hadapan orang lain; dia harus mandi, menyisir rambut dan jenggotnya, memperbaiki sorbannya dan pakainnya, memakai minyak wangi, bersiwak dan memakai pakaian yang putih bersih serta hendaklah dia melihat dirinya pada sebuah cermin sebelum berangkat menghadiri halaqah ilmu.

·         Berjalan dengan tenang dan mengucapkan salam kepada orang yang ditemuinya.

·         Saat memasuki maka hendaklah dia sholat dua rekaat sebelum duduk.

·         Duduk dekat dengan syekh dan tidak menunjuk dengan tangan saat berada di sisinya atau memberi isyarat dengan mata.

·         Tidak melangkahi pundak orang lain akan tetapi duduk pada tempat dia berhenti melangkah menuju majlis kecuali jika syekh mengizinkan dirinya untuk maju.

·         Tidak membangunkan orang yang sudah duduk di tempatnya sendiri, dan tidak pula duduk di tengah-tengah majlis, atau tidak duduk antara dua orang teman kecuali dengan izinnya, maka jika  (mereka berdua) memberikan kelapangan baginya maka dia boleh duduk dan menggabungkan dirinya padanya.

·       Mempergunakan ungkapan yang halus saat berbicara dan hendaklah dia berakhlaq yang baik terhadap teman-teman dan shahabatnya di dalam halaqah tersebut. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:                              وَخَـالِـقِ النَّاسَ بِخُـلُقٍ حَسَـنٍ

"Dan bergaullah kepada manusia dengan akhlaq yang baik”.[1] Dan mereka ini lebih utama untuk berakhlaq yang baik.

·         Lebih diutamakan untuk mengadakan majlis ilmu di masjid, namun jika tidak bisa diadakan di masjid, bisa diadakan di rumah dan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah melakukannya, beliau bersabda:  “Tempat kalian adalah di rumah si fulanah”

·         Menjadikan kiblat sebagai patokan arah selama memungkinkan dan hendaklah halaqah yang diadakan berbentuk melingkar; Oleh karena itulah para ahli bahasa pada saat mendifinisikan tentang halaqah mereka mengatakan: Perkumpulan sekelompok kaum (dalam sebuah tempat) secara melingkar.[2]

·         Tidak mengapa bagi seorang guru untuk duduk di tempat yang lebih tinggi pada saat banyak orang yang hadir.

·         Membuka pelajarannya dengan membaca dua kalimah syahadah dan bacaan shalawat kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam, diceritakan bahwa sebagian tokoh ulama hadits membuka majlisnya dengan membaca sebuah surat dari Al-Qur’an.

·         Berdo’a bagi syekhnya agar diberikan rahmat, menolak gibah pada majlis yang terjadi pada gurunya sebatas kemampuan, namun jika tidak mampu maka hendaklah dia meninggalkan majlis tersebut.

·         Hendaklah seorang syekh menerangkan makna kata yang belum jelas dan asing saat melewati kata tersebut, dan bersikap diam terhadap kata yang tidak dilewatinya, serta tidak menerangkan sesuatu yang tidak mampu ditangkap oleh kemampuan orang awam.

·         Seorang guru dituntut untuk tidak membosankan orang yang   hadir di dalam majlisnya dan tidak pula menghardik mereka, dan tidak mengapa jika dia menutup majlis dengan cerita-cerita yang lucu dan aneh saat dia melihat murid-muridnya mulai bosan, bahkan sebagian orang mengatakan: Cerita adalah tali-tali yang bisa dipergunakan untuk memburu hati.[3]

·         Tidak melupakan do’a kaffaratul majlis di akhir pelajaran.

·         Meninggalkan berdebat, berbantah-bantahan dan pembicaraan yang tidak bermanfaat saat berada di dalam halaqah.

·         Tidak bersikap sombong terhadap orang lain saat berkumpulnya orang-orang miskin.

·         Mendengarkan haidts Nabi shallallahu alaihi wasallam dengan tenang dan khusyu’.

·         Seorang syekh harus besikap merendah diri.

·         Sebagian orang salaf tidak suka jika murid-muridnya mengejar syekh dan mencium kepalanya.

·         Memberikan motifasi kepada siswa yang ikhlash di dalam halaqah ilmu.

·         Menjauhi sikap merasa alim.

·         Mendengar dan tidak menyibukkan diri dengan sesuatu apapun saat pelajaran berlangsung.

·         Tidak memutus pembicaraan syekh saat sedang menjelaskan.

·         Mengatur, menertibkan dan membagi jadwal pelajaran berdasarkan hari-hari dalam satu minggu. Ibnu Mas’ud radhiallahu anhu memberikan pelajaran haidits pada setiap hari kamis, Ibnu Abbas radhiallahu anhu memulai pelajarannya dengan tafsir, lalu hadits, kemudian fiqh, setelah itu barulah sya’ir lalu…

·         Tidak menjadikan orang yang lebih kecil sebagai peminpin, dan dianjurkan mendorong para siswa agar selalu ikhlash, diceritakan bahwa seseorang berlomba-lomba (dalam ilmu) di dalam sebuah majlis ilmu, maka syekh berkomentar: ((Jika hal tersebut dilakukan karena Allah maka jiwamu telah bersih, namun jika karena selain Allah berarti engkau telah celaka)).

·         Seorang guru harus mendorong sisiwanya untuk berbuat baik saat pembelajaran berlangsung, Ibnu Mas’ud berkata: ((Aku bersaksi kepada Allah, jangan sampai orang yang memutuskan silaturrahmi hadir bersama kita, sebab kita ingin berdo’a dan ingin dikabulkan permohonan tersebut.

·         Di dalam halaqah harus dicipatkan kiondisi keimanan, nasehat dan saling mengingatkan serta….

·         Harus menyembunyikan rahasia yang terdapat di dalam halaqaah.

·         Ketidakhadiran seorang syekh bagi generasi salaf adalah masalah yang besar.

·         Syekh menentukan salah seorang dari siswanya yang mampu mengendalikan halaqah.

·         Tidak tertipu dengan banyaknya murid-murid yang fasiq dan menyeleweng, disebutkan dalam kiatab Ajaibul Atsar tentang sorang syekh yang paham dan mengusai masalah fiqih, namun pribadinya seorang penyair yang cabul, walau demikian halaqahnya dihadiri oleh lebih dari tiga ratus siswa.

·         Mengusir murid yang sesat dan perusak dari halaqah untuk memperkuat solodaritas di dalam majlis tersebut, membongkar dan menolak fitnah serta kejahatannya, seperti diusirnya Wasil bin Atho’.[4]

·         Jika seorang siswa tidak menghormati pelajaran maka keberadaannya   tidak memberikan manfaat.

 


[1] Shahihut Targib (3160).

[2] Mukhtarush Shihah hal. 150.

[3] Ali bin Abi Thalib ra berkata: Sesungguhnya hati ini bisa bosan sebagaimana badan bisa bosan; maka hiburlah dia dengan cerita-cerita lucu dan hikmah. Dan Aisyah berkata kepada Lubaid bin Umair: Janganlah membuat orang menjadi bosan dan putus asa. Dan Al-Zuhri jika ditanya tentang hadits dia menjawab: Selingilah dan barengilah pelajaran hadits dengan yang lainnya sehingga jiwa menjadi terbuka. Ibnu Mas’ud ra berkata: Hiburlah hati, sebab hati yang benci akan menjadi buta. (Al-Adabus Syar’iyah, Ibnu Muflih 2/102.

[4] Adalah Wasil Bin Atho’ bin Al-Gozzal, dikatakan Gozzal sebab dia sering mondar-mandir pada perkukumpulan orang-orang yang cabul di Bashroh. Kuniyahnya Abu Hudzaifah, tokoh Mu’tazilah yang mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah mahluq, termasuk tokoh di dalam ilmu balagah dan ilmu kalam. Dia tidak bisa mengucapkan huruf ر, maka dia menggantinya dengan  غ, maka dia selalu menjauhi huruf  ر  di dalam komunikasinya sampai dijadikan sebagai contoh. Disebut Mu’tazilah karena Washil bin Atho’ termasuk seorang yang menghadiri pengajian Al-Hasan Al-Bashri, namun akhirnya meninggalkan majlis tersebut yang diikuti oleh beberapa jama’ah, akhirnya dikenal dengan nama Mu’tazilah (Al-A’lam 8/108)

Materi Akidah Akhlak Kelas VII Semester Genap BAB II : Iman Kepada Para Malaikat

  Materi Akidah Akhlak Kelas VII Semester Genap BAB II : Iman Kepada Para Malaikat dan Makhluk Ghaib PEMBAHASAN 1.        Malaikat Pengertia...