BAB
I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASLAH
Pada
era demokrasi semakin banyak berkembang paham-paham keagamaan dengan berbegai
ideologi serta identitas keagamaan sendiri-sendiri. Paham yang bersikap
demokratis, ataupun pragmatis/konservatif. Pemaksaan suatu aliran tertentu yang
pernah berkembang di era tertentu untuk diyakini, sama halnya dengan aliran
teologi sebagai dogma dan sekaligus mensucikan pemikiran keagamaan tertentu.
Padahal aliran teologi merupakan fenomena sejarah yang senantiasa membutuhkan
interpretasi sesuai dengan konteks zaman yang melingkupinya. Jika hal ini mampu
kita antisipasi berarti kita telah memelihara kemerdekaan (hurriyah);
yakni kebebasan berfikir (hurriyah al-ra’yi), kebebasan berusaha dan
berinisiatif (hurriyah al-irodah) serta kebebasan berkiprah dan
beraktivitas (hurriyah al-harokah).
Islam
adalah agama rahmat yang diturunkan di antaranya untuk mengajarkan perilaku
yang santun. Namun demikian, cintra Islam sebagai agama yang penuh rahmat
kadang tercoreng dengan adanya gerakan atau gelompok yang mengatasnamakan
Islam, namun kemudian berperilaku menyimpang atau tidak sejalan dengan ajaran
Islam. Kelompok-kelompok teroris yang mengatasnamakan agama sebagai justifikasi
gerakan mereka adalah contoh nyata tantangan ini.[1]
Dalam
beragama dan bersikap sebagaimana tersebut diatas, umat Islam berarti berpaham
Islam moderat, berislam yang santun, mau memahami golongan lain, tanpa
mengurangi prinsip-prinsip Islam yang sebenarnya. Ajaran agama yang menekankan
toleransi dan kerukunan lebih tepat disebut sebagai moderat, demikian juga
ajaran yang berorientasi pada perdamaian dan kehidupan yang harmonis, lebih
tepat sebagai ciri khas ajaran yang moderat, karena ajaran ini menekankan pada
sikap menghargai dan menghormati keberadaan kelompok lain. Peran moderat disini
memberi penekanan bahwa Islam sangat membenci kekerasan, tindakan kekerasan
akan menimbulkan kekerasan baru, padahal Islam diturunkan Allah sebagai
rahmatan lil alamin, rahmat bagi seluruh alam semesta.[2]
Telaah
terhadap Ahlussunnah Wal Jama’ah ( Aswaja ) sebagai bagaian dari kajian
keislaman merupakan upaya yang mendudukkan aswaja secara proporsional, bukannya
semata-mata untuk mempertahankan sebuah aliran atau golongan tertentu yang
mungkin secara subyektif kita anggap baik karena rumusan dan konsep pemikiran
teologis yang diformulasikan oleh suatu aliran, sangat dipengaruhi oleh suatu
problem teologis pada masanya dan mempunyai sifat dan aktualisasinya tertentu.
Berangkat
dari pemikiran diatas maka persoalan yang muncul kemudian adalah bagaimana
meletakkan aswaja sebagai metologi berfikir (manhaj al-fikr). Jika
mengharuskan untuk mengadakan sebuah pembaharuan makna atau inpretasi, maka
pembaharuan yang bagaimana bisa relevan dengan kepentingan Islam khususnya
dalam proporsionalitas nilai medoratisme Aswaja Nahdhatul Ulama’.
B. RUMUSAN MASALAH
1.
Apa Ahlussunnah
Wal Jama’ah (Aswaja)?
2.
Apa Moderatisme
islam?
3.
Bagaimana
pemikiran moderatisme Ahlussunnah Wal Jama’ah Nahdhatul Ulama’?
C. TUJUAN PEMBAHASAN
1.
Untuk mengetahui
sejarah berdirinya Ahlussunnah Wal Jama’ah (Aswaja) di Indonesia
2.
Untuk memahami
pengertian moderatisme islam?
3.
Untuk mengetahui
pemikiran moderatisme Ahlussunnah Wal Jama’ah Nahdhatul Ulama’
BAB
II
NILAI-NILAI
MODERATISME ISLAM ASWAJA NAHDHATUL ULAMA’
1.
NILAI
Nilai
yakni alat untuk menunjukkan alasan dasar bahwa cara pelaksanaan atau keadaan
tertentu lebih disukai secara sosial dibandingkan cara pelaksanaan atau keadaan
yang berlawanan. Nilai merupakan sifat-sifat yang bermanfaat bagi kemanusiaan
dapat mendorong pembangunan yang perlu kita kembangkan seperti keagamaan
mengenai penghargaan tinggi yang berikan oleh warga masyarakat kepada
masalah-masalah pokok didalam kehidupan keagamaan yang sifatnya suci, sehingga
menjadikankan sebagai pedoman bagi tingkah laku keagamaan bagi warga yang
menganut kepercayaan tersebut. Nilai sangat erat kaitannya dengan aktifitas
manusia yang kompleks, sehingga tidak mudah ditentukan batasannya, oleh karena
itu maka Darajat mengemukakan bahwa terdapat bermacam-macam pengertian,
diantaranya yakni sebagai berikut:
a.
Nilai adalah
suatu perangkat keyakinan ataupun perasaan yang diyakini sebagai suatu
identitas yang memberikan gambaran yang khusus kepada pola pemikiran, perasaan,
keterkaitan maupun perilaku.
b.
Nilai adalah
suatu pola normatif, yang menentukan tingkah laku yang diinginkan bagi suatu
sistem yang ada kaitannya dengan lingkungan sekitar tanpa membedakan
fungsi-fungsi bagian-bagiannya.
c.
Nilai adalah
rujukan dan keyakinan dalam menentukan pilihan.[3]
Berdasarkan
hal diatas dapat dipahami bahwa Nilai merupakan suatu perangkat keyakinan
ataupun perasaan yang diyakini sebagai suatu identitas yang memberikan gambaran
yang khusus kepada pola pemikiran, perasaan, keterkaitan maupun perilaku. Nilai
merupakan sifat-sifat yang bermanfaat bagi kemanusiaan dapat mendorong
pembangunan yang perlu kita kembangkan seperti keagamaan mengernai penghargaan
tinggi yang berikan oleh warga masyarakat kepada masalah-masalah pokok didalam
kehidupan keagamaan yang sifatnya suci,sehingga menjadikankan sebagai pedoman.
Nilai
juga memuatkan elemen pertimbangan yang membawa ide atau gagasan seseorang
dalam mengenai hal hal yang benar, baik ataupun yang diinginkan. Menurut
pandangan Milton Rokeach dan James Bank, yang dikutip oleh Sukardi adalah suatu
tipe kepercayaan yang berada dalam lingkup system kepercayaan yang dimana
seseorang bertindak atau menghindari suatu tindakan atau mengenai sesuatu yang pantas,
atau tidak pantas dikerjakan. Jadi dapat diketahui bahwa nilai adalah sesuatu
yang bersifat abstrak, bisa diukur akan tetapi tidak bisa tepat yang merupakan
sesuatu yang bermanfaat bagi manusia sebagai acuan tingkah laku yang bersumber
pada perasaan.[4]
Jadi
dari Penjelasan diatas bahwasannya benar definisi dari nilai merupakan Nilai
juga memuatkan elemen pertimbangan yang membawa ide atau gagasan seseorang
dalam mengenai hal hal yang benar, baik ataupun yang diinginkan dan sesuatu
yang bersifat abstrak serta bisa diukur, akan tetapi tidak bisa tepat yang merupakan
sesuatu yang bermanfaat bagi manusia sebagai acuan tingkah laku yang bersumber
pada perasaan.
2.
MODERATISME
ISLAM
Istilah
Islam Moderat bukan tanpa landasan dan konsep, istilah itu muncul dengan dasar
teologis dan ontologis. Istilah Islam Moderat merupakan bagian dari ajaran
Islam yang universal, Islam moderat memiliki kesamaan dengan istilah Umatan
Wasathan[5]
secara implisit, Al-Quran maupun hadits banyak memaparkan pentingnya sikap
moderat, dan menempatkan posisi umat Islam sebagai umat yang moderat dan
terbaik. Moderasi adalah nilai inti dari ajaran Islam, bahkan dalam Al-Quran
terdapat beberapa ayat yang menunjukkan misi ajaran Islam, karakteristik ajaran
Islam maupun karakterisktik umat Islam, Misalnya misi agama adalah rahmat bagi
sekalian alam. “Dan tidaklah kami mengutus kamu melainkan untuk (menjadi)
rahmat bagi semesta alam” (QS. Al-Anbiya:107).
Karakteristik
ajaran Islam sebagaimana dalam Al-Quran adalah Fitrah “Maka hadapkanlah
wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah), (tetaplah atas) fitrah Allah yang
telah menciptakan manusia menurut fitrahNya itu. Tidaklah ada perubahan pada
fitrah Allah (itulah) agama yang lurus; tetapi manusia kebanyakan tidak
mengetahui” (QS. Al-Rum:30). Dan dalam Al-Quran, Allah telah memerintahkan
agar umat Islam menegakkan kebenaran dan keadilan “Hai orang-orang yang
beriman, hendaklah kamu mejadi orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena
Allah, menjadi saksi dengan adil dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap
suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena
adil itu lebih dekat kepada takwa…” (QS. Al-Maidah: 8). Al[1]Quran juga mendorong
agar umat Islam menjadi umat yang terbaik “Kamu adalah umat yang terbaik
yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari
yang munkar…”(QS. Ali-Imran:110).
Ayat-ayat
tersebut diatas memperkuat perlunya beragama dengan mengedepankan sikap
moderat,[6]
posisi umat Islam sebagai umat yang moderat dan terbaik, oleh karena moderasi
menekankan pada suatu sikap, maka implementasinya di suatu tempat berdeda beda
pelaksanaannya, karena persoalan yang dihadapi pada suatu tempat, tidak sama
antara satu tempat dengan tempat lain, antara satu negara dengan negara lain,
misalnya di negara mayoritas muslim seperti Indonesia, sikap moderasi minimal
pengakuan atas keberadaan pihak lain, pemilikan sikap toleran, penghormatan
atas perbedaan, dan tidak memaksakan kehendak dengan kekerasan.
Demikian
juga Al-Quran menegaskan adanya penghargaan terhadap kemajemukan dan adanya
kemauan berteraksi “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa
dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal...”(QS. Al-Hujurat:13).
Demikian
juga Al-Quran ekspresikan agama dengan bijaksana dan santun “Serulah
(manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan
bantahlah mereka dengan cara yang baik…”(QS. Al-Nahl:125). Al-Quran juga
menyinggung prinsip-prinsip kemudahan yang sesuai dengan kemampuan, dijelaskan
dalam Al-Quran “…Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidakmenghendaki
kesukaran bagimu…”(QS. Al-Baqarah:185), “Allah tidak membebani seseorang
melainkan sesuai dengan kesanggupannya …”(QS. Al-Baqarah: 286), dan “Maka
bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu”(QS. At-Thaghabun: 16).
Pada
hakekatnya, agama membawa pesan damai dan aman, oleh karena itu mengatasnamakan
agama, melakukan tindakan anarkis atau kekerasan sangat tidak dibenarkan, agama
Islam sangat menjunjung tinggi nilai nilai perdamaian, melakukan kekerasan
dengan dalih atas nama membela agama, tidak sesuai dengan missi agama, dan
tidak sesuai dengan prinsip Islam yang cinta damai, dan menebarkan sikap kasih
sayang antar sesama manusia.Agama Islam dengan pesan menebarkan perdamaian
dalam sejarahnya masa lalu, ummat Islam telah hidup berdampingan dengan ummat
lain dalam suasana damai dan toleran,hal ini dapat ditelusuri tersurat dalam
piagam Madinah yang merupakan konstitusi pertama yang tertulis secara
sistematis di zaman Nabi Muhammad SAW, dalam piagam dijelaskan adanya jaminan
perlindungan hukum terhadap jiwa dan harta bagi non muslim, sebagaimana kaum
muslimin sendiri.
Moderasi
Islam merupakan pandangan, atau sikap yang berusaha mengambil posisi tengah
dari dua sikap yang berseberangan dan berlebihan, sehingga sikap tersebut
berada ditengah diantara dua sikap, oleh karena itu dalam hal ini,
karakteristik moderat dapat menjadi formula dalam mengatasi berbagai
permasalahan umat, khususnya persoalan intoleransi, radikalisme, dan
ekstrimisme, bahkan liberalisme. Wasathan yang ditegaskan sebagai umatan
wasathan, yang secara bahasa wasathiyah berarti jalan tengah, artinya jalan
diantara dua hal atau pihak, kubu yang berhadapan atau berlawanan, misalnya
akhir-akhir ini menguatnya kelompok skriptualis yang eksklusif, intoleran,
kaku, menuduh mengkafirkan orang lain yang tidak sependapat dengannya, mudah
menyatakan permusuhan, bahkan melakukan kekerasan terhadap sesama muslim yang
tidak sepaham, Islam moderat lebih dikenal sebagai lawan dari Islam
fundamentalis dengan alasan dilahirkannya Islam moderat karna adanya Islam
garis keras tersebut, dinamakan umat pertengahan karna ingin menampilkan
kemoderatannya. Adapun kelompok lawan secara diametral dari fundamentalis
maupun moderat adalah kelompok yang cenderung permisif dan liberal.[7]
Pada
prinsipnya moderasi Islam di Indonesia bukanlah realitas baru, akan tetapi
realitas mainstream umat Islam Indonesia sebagian besar menganut Islam moderat,
Islam moderat merupakan model ekspresi dan pemahaman Islam yang relevan dalam
bingkai kenegaraan Indonesia. Islam moderat atau Wasathiyah sebagai ajaran
Islam yang rahmatanlil’alamin, Islam moderat merupakan Islam jalan tengah dan
merupakan umat yang terbaik (khoiro ummah), berkeseimbangan (tawazun),
lurus dan tegak (I’tidal), berjiwa reformis (islah), mendahulukan
yang prioritas (aulawiyah), dinamis dan inovatif (tathour wa i’tiqor),
dan berkeadaban (tahadhur).[8]
3.
SEJARAH
ASWAJA
Proses
lahirnya Ahlussunnah Waljama’ah terentang hingga zaman Al-Khulafa’
Ar-Rasyidin, yakni dimulai sejak terjadi Perang Shiffin yang melibatkan
Khalifah Ali bin Abi Thalib R.A. dengan Muawiyah. Bersama kekalahan Khalifah
ke-empat tersebut, setelah dikelabui melalui taktik arbitrase (tahkim) oleh
kubu Muawiyah, ummat Islam makin terpecah kedalam berbagai golongan. politik
ketika itu. Perdebatan dan perebutan istilah Ahlu al-Sunnah wa al-Jamaah
menjadi subur karena didukung oleh hadits Rasulullah SAW, yang menegaskan bahwa
dari 73 golongan Islam hanya satu yang selamat yaitu golongan Ahlu al- Sunnah wa
al-Jamaah. Beberapa hadits yang bersangkutan dengan hal tersebut,yang merupakan
prediksi Rasulullah SAW. diantara hadits tersebut yang berkaitan dengan Ahlussunnah
Waljama’ah adalah sebagai berikut.
Hadits
yang berkaitan dengan Ahlusunnah Waljama’ah yang diriwayatkan oleh
Abdullah bin Umar. ”Beliau Mengatakan bahwa Rasulullah SAW. pernah
bersabda,’akan menimpa umatku apa yang pernah menimpa Bani Isra’il telah
terpecah belah menjadi 72 golongan dan umatku akan terpecah belah menjadi 73
golongan. Semuanya akan masuk neraka, kecuali satu golongan,’Siapa mereka itu,
wahai Rasulullah?’tanya para sahabat. Rasul lalu menjawabnya,’mereka itu adalah
yang mengikuti jejakku dan sahabat-sahabatku.”(H.R. At-Tirmidzi: 2565 ).
Keberadaan
Hadits tersebut merupakan berkaitan dengan perpecahan umat seperti di atas,
yang pada dasarnya dari prediksi Rasulullah SAW. dengan melihat fenomena yang
tampak dari potensi yang tersimpan dalam hati para sahabat-sahabatnya. Oleh
karena karena itu, sering dikatakan bahwa hadits-hadits seperti itu lebih
dimaksudkan sebagai peringatan bagi para sahabat dan umat Rasulullah SAW.
tentang bahaya perpecahan dan pentingnya persatuan serta perdamaian.[9]
Maka berdasarkan hal tersebut dapat diketahuI bahwa berkaitan dengan perpecahan
umat seperti di atas, yang pada dasarnya dari prediksi Rasulullah SAW. dengan
melihat fenomena yang tampak dari potensi yang tersimpan dalam hati para
sahabat-sahabatnya. Oleh karena karena itu, sering dikatakan bahwa
hadits-hadits seperti itu lebih dimaksudkan sebagai peringatan bagi para
sahabat dan umat Rasulullah SAW.
Dengan
bahasan hal diatas ASWAJA menjadi topik yang menarik; Pertama, Aswaja menjadi
sebuah identitas teologis yang diperebutkan oleh berbagai aliran maupun
organisasi Islam. Kedua, substansi Ahlu al-Sunnah wa al-Jamaah masih
menjadi pemahaman yang kontroversial di kalangan pemikir-pemikir muslim.
Ketiga, pemahaman Ahlu al-Sunnah wa al-Jamaah ternyata belum tuntas di
kalangan umat Islam. Itulah cikal bakal dari Ahlu al-Sunnah wa al-Jamaah,
bersikap netral dan tidak memihak salah satu partai yang ada dan mereka juga
lebih moderat, berorientasi pada kegiatan ilmiah dan jauh dari kegiatan politik
prakstis pada waktu itu.
Di
dalam al-kawakib al-lamma’ah disebutkan ‘yang maksud dengan Ahlussunnah
Waljama’ah yaitu orang-orang yang selalu berpedoman dan setia pada sunnah
Rasulullah SAW,dan para sahabatnya dalam masalah aqidah,amal-amal
lahiriyah,akhlak hati dan keagamaan. Istilah dari Ahlussunnah Waljama’ah
sering kali digunakan untuk menyebut kaum atau komunitas yang menganut paham
teologi atau bisa disebut (Kalam) Asy’ariyah dan Maturidiyah,yang menganut fiqh
empat madzhab, utamanya yakni Syafi’iyah dan tasawuf mengikuti pola pemikiran
Imam al- Ghazali dan Syaikh Junaid al Bagdadi.[10]
Jadi perihal tersebut dapat diketahui bahwasannya Ahlu al-Sunnah wa
al-Jamaah merupakan aliran kalam yang memiliki komitmen berpegang teguh
pada hadits-hadits Nabi sebagai reaksi terhadap aliran Mu’tazilah yang kurang kuat
berpegang teguh pada hadits Nabi, dan merupakan mayoritas kaum Muslimin. Aliran
ini dibangun Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi. Kedua tokoh ini,
terutama al-Asy’ari banyak mewarnai aliran ini mulai isi (content) maupun
doktrin-doktrinnya. Istilah Ahlu al-Sunnah wa al-Jamaah sebagai sebuah aliran
dalam Islam baru nampak pada periodesasi Ashab al-Asy’ari seperti al-Baqilani,
al Baghdadi. Meskipun demikian mereka secara tidak tegas membawa bendera Ahlu
al-Sunnah wa al-Jamaah.
Pernyataan
tegas tentang istilah Ahlu al-Sunnah wa al-Jamaah baru dijumpai pada
pendapat al-Zabidi dalam karya nya Ithafu al-Sadah al-Muttaqin yang menjelaskan
bahwa Ahlu al-Sunnah wa al-Jamaah adalah para penganut al-Asy’ari dan
al-Maturidi. Said Aqil Siradj menilai bahwa term Ahlu al-Sunnah wa alJamaah di
masa Ashabu al-Asy’ari hanya klaim belaka karena diakui atau tidak definisi
terminologis yang baku tentang Ahlu al-Sunnah wa al-Jamaah masih belum
terformulasikan secara utuh dan holistik. Landasan tentang definisi Ahlu
al-Sunnah wa al-Jamaah adalah hadits Nabi ma ana alaihi wa ashabi. Tentu
ini bukan definisi karena cakupannya bisa ditarik oleh semua mazhab dan aliran
Islam yang ada di dunia Islam. Oleh sebab itu Ahlu al-Sunnah wa al-Jamaah
menurut Said Aqil didefinisikan sebagai orang-orang yang memiliki metode
berfikir keagamaan yang mencakup semua aspek kehidupan yang berlandaskan atas
dasar-dasar moderasi, menjaga keseimbangan dan toleransi.[11]
Dengan
demikian prihal diatas historis munculnya istilah ini disebabkan merebaknya
sekte yang mengklaim bahwa mereka lebih baik dibanding sekte atau oraganisasi
yang lain. Maka Ahlu al-Sunnah wa al-Jamaah muncul sebagai sebuah
jawaban atas perpecahan yang terjadi di kalangan umat Islam di masa itu. Sebagai
sebuah solusi atas pertikaian dan perdebatan ini Ahlu al-Sunnah wa al-Jamaah
mestinya muncul
untuk
memberikan ruang seluas-luasnya bagi berbagai aliran dan pemahaman yang beragam
untuk bersatu dalam bingkai Ahlu al-Sunnah wa al-Jamaah. Sebab secara
historis munculnya Ahlu al-Sunnah wa alJamaah ditandai dengan tampilnya banyak
tokoh yang bersikap moderat dan netral atas segala konflik teologis dan politis
yang terjadi waktu itu.
4.
PENGERTIAN
NAHDHATUL ULAMA’ (NU)
Nahdlatul
Ulama dalam bahasa Indonesia adalah kebangkitan para
ulama. Kebangkitan yang dimaksud merupakan kebangkitan menuju kemuliaan Islam
dan kaum muslimin. Nahdlatul Ulama didirikan di Surabaya oleh sekelompok
ulama pesantren pada tanggal 31 Januari 1926. Sejak tahun 1926 hingga tahun
1945, NU berkiprah sebagai organisasi sosial-keagamaan. Komitmen kuat NU
Terhadap perjuangan bangsa tidak dapat diabaikan. Bagi NU Islam merupakan
akidah dan syariah yang meliputi aspek hubungan antara manusia dengan Allah SWT
dan hubungan antar manusia. Untuk tetap memelihara karakteristik dan identitas
khasnya sebagai organisasi sosial-keagamaan, NU dalam Konstitusinya yang baru
menyatakan bahwa ia mengikuti Ajaran Ahlussunnah Waljama’ah dan
mengikuti salah satu mazhab empat yaitu: Hambali, Syafi’i, Hanafi,dan Maliki. Nahdlatul
Ulama dengan demikian merupakan gerakan keagamaan yang bertujuan untuk ikut
membangun dan mengembangkan insan yang berkahlak mulia dan masyarakat yang
bertaqwa kepada Allah SWT, cerdas, terampil, tentram, adil dan sejahtera.[12]
Maka berdasarkan penjelasan diatas dapat diketahui bahwa NU berkiprah sebagai
organisasi sosial-keagamaan. Komitmen kuat NU Terhadap perjuangan bangsa tidak
dapat diabaikan. Bagi NU Islam merupakan akidah dan syariah yang meliputi aspek
hubungan antara manusia dengan Allah SWT dan hubungan antar manusia.
Sementara
itu, sikap moderasi NU pada dasarnya tidak terlepas dari akidah Ahlusunnah
Waljama’ah (Aswaja) yang dapat digolongkan paham moderat. Dalam Anggaran
Dasar NU dikatakan, bahwa NU sebagai Jam’iyah Diniyah Islamiyah berakidah Islam
menurut paham Ahlussunah waljamaah. Oleh karena itu, watak moderat (tawassuth)
merupakan ciri Ahlussunah waljamaah yang paling menonjol, di samping juga I’tidal
(bersikap adil), tawazun (bersikap seimbang), dan tasamuh (bersikap toleran),
sehingga ia menolak segala bentuk tindakan dan pemikiran yag ekstrem
(tatharruf) yang dapat melahirkan penyimpangan dan penyelewengan dari ajaran
Islam. Dalam pemikiran keagamaan, juga dikembangkan keseimbangan (jalan tengah)
antara penggunaan wahyu (naqliyah) dan rasio (‘aqliyah) sehingga dimungkinkan
dapat terjadi akomodatif terhadap perubahan- perubahan di masyarakat sepanjang
tidak melawan doktrin-doktrin yang dogmatis. Masih sebagai konsekuensinya
terhadap sikap moderat, Ahlussunah waljamaah juga memiliki sikap-sikap yang
lebih toleran terhadap tradisi dibanding dengan paham kelompok-kelompok Islam
lainnya. Bagi Ahlussunah, mempertahankan tradisi memiliki makna penting dalam
kehidupan keagamaan.[13]
Maka berdasarkan hal diatas dapat diketahui bahwa dalam Anggaran Dasar NU
dikatakan, bahwa NU sebagai Jam’iyah Diniyah Islamiyah berakidah Islam menurut
paham Ahlussunah waljamaah. Oleh karena itu, watak moderat (tawassuth) merupakan
ciri Ahlussunah waljamaah yang paling menonjol, di samping juga I’tidal
(bersikap adil), tawazun (bersikap seimbang), dan tasamuh (bersikap toleran),
sehingga ia menolak segala bentuk tindakan dan pemikiran yag ekstrem
(tatharruf) yang dapat melahirkan penyimpangan dan penyelewengan dari ajaran
Islam.
Dengan
demikian prihal diatas, NU dengan mereposisi dan mereformasi dirinya sesuai
amanat dan semangat Khittah 1926, NU sama sekali tidak meninggalkan watak
dasarnya sebagai organisasi social keagamaan dan juga diterima di dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Karena NU tidak bertentangan
dengan ajaran-ajaran Islam yang rahmatan lil alamin.
5. ASWAJA NAHDLATUL ULAMA
Secara
Organisatoris, menurut Nahdlatul Ulama dalam kata Ahlussunah
Waljam’ah membentuk istilah yakni ada tiga kata, sebagai berikut: yang
Pertama,”Ahlu, yaitu Golongan, pengikut atau juga keluarga. Kedua, Al-Sunnah,
secara bahasa yakni cara atau jalan walaupun tidak diridhoi ( al-thariqah wa
law ghaira mardhiyah). Ketiga, Al-Jama’ah berasal dari kata jama’a
yakni mengumpulkan sesuatu, dengan mendekatkan sebagian ke bagian yang lain.
Sedangkan Jama’ah berasal dari kata ijtima’ (perkumpulan), yang
merupakan lawan kata nya dari tafarruq (perceraian) dan lawan kata dari furqoh
(perpecahan). Jadi Jama’ah merupakan sekelompok, dan juga kelompok
manusia yang berkumpul yang berdasarkan tujuan yang satu.[14]
Maka berdasarkan hal diatas dapat diketahui bahwa Aswaja merupakan suatu
golongan atau orang orang yang selalu berpedoman pada sunnah Nabi Muhammad SAW
dan jalan para sahabatnya dalam masalah akidah keagamaan, amal-amal lahiriyah
serta akhlak hati.
Ajaran
Ahlussunah Wal Jama’ah menurut Nahdlatul Ulama yang didalamnya
terdapat pedoman dan aturan keselamatan serta kebahagian dunia akhirat. Ada tiga
hal yang menjadi sendi utama dalam agama islam yakni Iman, Islam, dan Ihsan.
Perhatian terhadap Iman muncul ilmu tauhid. Pada aspek Islam yang menghadirkan
ilmu fiqih. Serta dimensi Ihsan melahirkan ilmu akhlak. Namun demikian,
meskipun telah menjadi ilmu tersendiri untuk pengamalan dikehidupan beragama,
dalam tiga perkara tersebut harus diterapkan secara bersamaan.[15]
Maka dapat dipahami dari hal diatas bahwa Ajaran Ahlussunah Wal Jama’ah menurut
Nahdlatul Ulama yang didalamnya terdapat pedoman dan aturan keselamatan
serta kebahagian dunia akhirat. Ada tiga hal yang menjadi sendi utama dalam
agama islam yakni Iman, Islam, dan Ihsan.
Pada
umumnya, Ahlussunnah Waljama’ah mengalami pelembagaan ditengah-tengah
muslim nusantara sejak kehadiran KH. Hasyim Asy’ari dan generasi muslim pada
masanya. Bersama kolega-koleganya, KH. Hasyim Asy’ari berhasil mempelopori
berdirinya organisasi Islam Nadlatul Ulama yang secara legal berbasis Ahlussunah
Waljama’ah. Doktrin dalam Anggaran Dasar NU, tidak lepas dari pemikiran pendirinya,
baginya menganut paham Ahlussunnah Waljama’ah merupakan sebuah pola
pikir yang mengambil jalan tengah antara ekstrem rasionalis dengan kaum ekstrem
literalis. Oleh karena itu, sumber pemikiran bagi KH. Hasyim Asy’ari tidak
hanya Al-Qur’an dan Al-Sunnah, tetapi juga menggunakan kemampuan akal ditambah dengan
realitas empirik.[16]
Berdasarkan dasar-dasar pemikiran KH. Hasyim Asy’ari tersebut, maka untuk menjaga
nilai-nilai historis dan meneguhkan Nahdlatul Ulama pada garis-garis
perjuangannya (Khitthah), maka NU secara resmi membuat metode berfikir
ke NU-an). Kerangka berfikir tersebut yang didasarkan pada ajaran Ahlussunnah
Waljama’ah untuk menentukan arah perjuangan dalam rangka perbaikan umat.
Ada beberapa metode berfikir Nahdlatul Ulama diantaranya lain, sebagai
berikut:
a.
Fikrah
Tawassuthiyyah (pola pikir moderat), NU senantiasa
bersikap seimbang (tawazun), dan moderat (I’tidal) dalam menyikapi
berbagai persoalan.
b.
Fikrah
Tasamuhiyah (pola pikir toleran), NU dapat hidup
berdampingan secara damai dengan pihak lain walaupun aqidah, cara berfikir, dan
budayanya berbeda.
c.
Fikrah Ishlahiyyah
(pola pikir reformatif), NU senantiasa mengupayakan perbaikan menuju ke arah
yang lebih baik.
d.
Fikrah
Tathawwuriyah (pola pikir dinamis), NU senantiasa
menerapkan kontekstualisasi dalam merespon berbagai persoalan.
e.
Fikrah
Manhajiyah (pola pikir metodologis), NU senantiasa menggunakan
kerangka berfikir yang mengacu kepada manhaj yang telah ditetapkan oleh NU.[17]
Maka
berdasarkan penjelasan diatas dapat diketahui bahwa Nahdlatul Ulama pada
garis-garis perjuangannya (Khitthah), maka NU secara resmi membuat
metode berfikir ke NU-an). Kerangka berfikir tersebut yang didasarkan pada
ajaran Ahlussunnah Waljama’ah untuk menentukan arah perjuangan dalam
rangka perbaikan umat. Ada beberapa metode berfikir Nahdlatul Ulama
diantaranya lain, sebagai berikut; pola pikir moderat, pola pikir toleran, pola
pikir reformatif, pola pikir dinamis, dan pola pikir metodologis.
Konsep
Ahlussunnah Wal Jama’ah menurut Hadratussyekh KH. Hasyim Asy’ari yang
termuat dalam Qanun Asasi meliputi aspek aqidah, syari’ah dan akhlak.
Ketiganya merupakan satu kesatuan ajaran yang mencakup seluruh aspek prinsip
keagamaan Islam yang didasarkan pada manhaj (pola pikiran) Asy’ariyah
dan Maturidiyah dalam bidang aqidah, empat mazhab besar dalam bidang fiqih
(Syafi’i, Hambali, Hanafi, dan Maliki) dan dalam bidang tasawuf menganut manhaj
Imam Al-Ghazali dan Imam Abu Al-Qosim AlJunaidi Al-Baghdadi. Dalam bidang
Syari’ah meliputi Mazhab fiqhiyyah (doktrin fiqh), mazhab al-Manhaji
al-Ijtihadi (doktrin metode Ijtihad),dan mazhab al- Manhaj al-Fikri (doktrin
metode berfiki).[18]
Berdasarkan hal tersebut bahwasannya benar adanya, karena pada Konsep Ahlussunnah
Wal Jama’ah menurut Hadratussyekh KH. Hasyim Asy’ari yang termuat dalam Qanun
Asasi meliputi aspek aqidah, syari’ah dan akhlak.
Selain
itu Ahlussunnah Waljama’ah Nahdlatul Ulama juga menolak segala
bentuk pemikiran ekstrimitas maupun didalam gerakan keagamaan serta mencoba
mencari jalan tengah untuk solusi alternatif dari kecenderungan tersebut.
6. NILAI-NILAI MODERATISME ISLAM ASWAJA NAHDLATUL
ULAMA
Pengamalan
tiga sumber dasar keagamaan dari doktrin Ahlussunnah Waljama’ah
tersebut, membentuk adanya nilai nilai sikap dalam keselamatan dan kebahagian
guna menghadapi dan menerima perubahan dari luar secara fleksibel. Nilai-nilai
sikap tersebut diantaranya sebagai berikut; Tawassuth (Moderat), I’tidal
(Berkeadilan), Tawazzun (seimbang), Tassammuh (toleran), dan Amar
Ma’ruf Nahi Munkar.
a.
Tawassuth dan
I’tidal
Yakni
sikap tengah yang berintikan kepada prinsip hidup yang menjunjung tinggi
keharusan berlaku adil dan lurus ditengah kehidupan bersama. Sikap keberagaman
yang tidak terjebak pada titik ekstrim. Sikap ini bisa menjemput setiap
kebaikan dari berbagai kelompok. Kemampuan untuk mengapresiasikan kebaikan dan kebenaran
dari berbagai kelompok memungkinkan pengikut Ahlussunnah Waljama’ah guna
dapat tetap berada ditengah-tengah. Tawassuth dan I’tidal ini,juga bisa didefinisikan
sebagai sikap moderat yang berpijak pada prinsip keadilan serta berusaha
menghindari segala bentuk pendekatan dengan ekstrim dan keras.[19]
Maka
berdasarkan hal tersebut dapat dipahami bahwa dengan adanya Tawassuth dan I’ tidal, peserta didik diharapkan mampu
bersikap moderat dan adil dalam keadaanpun serta dimanapun. Moderat dan adil mempunyai
makna tengah-tengah, tidak condong ke kiri dan tidak condong ke kanan. Jangan
sampai kebencian terhadap suatu pihak itu mendorong untuk tidak berbuat adil
dengan sesama umat manusia. Sesuai didalam firman Allah SWT.
وَكَذَٰلِكَ
جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ
الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا ۗ وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِي كُنْتَ
عَلَيْهَا إِلَّا لِنَعْلَمَ مَنْ يَتَّبِعُ الرَّسُولَ مِمَّنْ يَنْقَلِبُ عَلَىٰ
عَقِبَيْهِ ۚ وَإِنْ كَانَتْ لَكَبِيرَةً إِلَّا عَلَى الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ ۗ
وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوفٌ
رَحِيمٌ
“Dan
demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan
pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul
(Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menetapkan
kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya
nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh
(pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah
diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu.
Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.” (QS.
Al-Baqarah ayat 143)
b.
Tasamuh
Merupakan
sikap toleransi terhadap perbedaan baik pada masalah keagamaan,terutama hal-hal
yang berisikan masalah khilafiyyah ataupun bersifat furu’ serta masalah didalam
kemasyarakatan dan kekulturan. Sikap keberagaman dan kemasyarakatan yang
menerima kehidupan sebagai suatu yang ragam. Sikap yang bisa menerima perbedaan
pendapat dan menghadapinya secara toleransi. Toleransi yang diimbangi dengan teguh
dalam sikap pendirian. Tasamuḥ (Toleransi) yang sangat besar terhadap
pluralisme pikiran. Berbagai pikiran yang tumbuh dalam masyarakat muslim
mendapatkan pengakuan yang apresiatif. Keterbukaan yang demikian lebar untuk
menerima berbagai pendapat menjadikan Aswaja memiliki kemampuan untuk meredam
berbagai konflik internal umat Islam. Corak ini sangat tampak dalam wacana
pemikiran hokum Islam.[20]
Maka dengan demikian prihal tersebut dapat dipahami bahwsannya Tasammuh
mengajarkan kita tetang toleransi beragama antar umat beragama. Sehingga
sebagai manusia yang juga diberikan jiwa sosial, pastilah akan salang membantu
satu sama lainnya,tanpa memandang agama,suku,ras, dan kebudayaannya. Banyak
perbedaan tersebut harus disikapi dengan kepala dingin atau tidak mudah marah,
dan berbuat seenaknya sendiri.Hal ini untuk menghindari pertikaian, dan
perselisihan antar umat manusia. Sesuai didalam firman Allah SWT.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ ۖ وَلَا
يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَىٰ أَلَّا تَعْدِلُوا ۚ اعْدِلُوا هُوَ
أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا
تَعْمَلُونَ
“Hai
orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan
(kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali
kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil.
Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah
kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”(QS.
Al-Maidah ayat 8)
c.
Tawazzun
Adalah
sikap yang seimbang dalam berkhidmat menyerasikan kepada Allah SWT, khidmat
kepada sesama manusia dan lingkungan hidupnya. Menyelaraskan kepentingan masa
lalu, kini dan mendatang. Keseimbangan dalam sikap keberagaman didalam
masyarakat yang bersedia memperhitungkan dari berbagai sudut pandang yang
kemudian mengambil posisi yang seimbang dan propesional. Tawazun sebuah sikap yang
tidak terperangkap pada titik ekstrim. Contoh dalam kelompok keagamaan yang
sangat terpaku kepada masa lalu sehingga umat Islam sekarang hendak ditarik
kebelakang, sehingga bersikap negatif terhadap setiap ikhtiar kemajuan ,dan
sebaliknya, dalam kelompok keagamaan yang menafikkan seluruh kearifan pada masa
lalu sehingga hilang dan tercabut didalam sejarahnya.[21]
Maka berdasarkan hal tersebut dapat diapahami bahwasannya Tawazun (Berimbang)
merupakan sikap berimbang dan harmonis dalam mengintegrasikan dan mensinergikan
dalil-dalil untuk menghasilkan sebuah keputusan yang bijak. Tawazun juga
merupakan manifestasi dari sikap keberagamaan yang menghindari sikap ekstrem.
Sesuai didalam firman Allah SWT.
لَقَدْ أَرْسَلْنَا
رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَأَنْزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيزَانَ
لِيَقُومَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ ۖ وَأَنْزَلْنَا الْحَدِيدَ فِيهِ بَأْسٌ شَدِيدٌ
وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَلِيَعْلَمَ اللَّهُ مَنْ يَنْصُرُهُ وَرُسُلَهُ
بِالْغَيْبِ ۚ إِنَّ اللَّهَ قَوِيٌّ عَزِيزٌ
“Sesungguhnya
Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah
Kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia
dapat melaksanakan keadilan. Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat
kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia, (supaya mereka
mempergunakan besi itu) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)Nya
dan rasul-rasul-Nya padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha
Kuat lagi Maha Perkasa.” (QS. Al-Hadid ayat 25).
d.
Amar Ma’ruf Nahi
Munkar
Merupakan
mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemunkaran, sesuatu konsekuensi dari
keyakinan kita terhadap kebenaran Islam versi Ahlussunnah Wal’jama’ah. Selalu
memiliki kepedulian untuk mendorong perbuatan baik, yang bermanfaat dan juga
berguna bagi kehidupan bersama serta mencegah dan menolak semua hal yang bisa
merendahkan dan menjerumuskan nilai-nilai didalam kehidupan. Hal ini ditujukan
pada siapa saja, muslim maupun non muslim, yang melakukan kemungkaran dengan
menebar prilaku rasa permusuhan, kebencian, serta perasaan tidak aman, maupun
menghancurkan keharmonisan didalam masyarakat. Amar ma’ruf nahi mungkar,
diharapkan mempunyai kepekaan sosial dalam memotivasi untuk berbuat baik dan
mencegah semua bentuk kejahatan atau semua yang menjerumuskan, merendahkan nilai-nilai
kemanusiaan, harkat dan martabat bangsa dan negara kesatuan republik Indonesia.[22]
Maka berdasarkan hal tersebut dapat dipahami bahwa diatas benar adanya, amar
ama’ruf nahi munkar Selalu memiliki kepedulian untuk mendorong perbuatan baik,
yang bermanfaat dan juga berguna bagi kehidupan bersama serta mencegah dan
menolak semua hal yang bisa merendahkan dan menjerumuskan nilai-nilai didalam
kehidupan. Berikut dalam firman Allah SWT.
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ
لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ
وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ ۗ وَلَوْ آمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ
ۚ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ
“Kamu
adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang
ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli
Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang
beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” ( QS. Ali Imron
ayat 110).
Dengan
demikian dari hal diatas bahwasannya moderasi yang juga diartikan sebagai
keseimbangan, propesional, toleransi,dan mengajak kepada kebaikan serta
mencegah kemunkaran. sesuatu konsekuensi dari keyakinan kita terhadap kebenaran
Islam hal tersebut menjadikan sikap keberagaman didalam masyarakat. Oleh sebab
itu, maka perbedaan sikap berusaha dengan keras menyelaraskan antara syari’at
dengan hakikat. Syari’at (fiqih) tanpa ada muatan tasawufnya, menjadikan ibadah
kering tanpa adanya ruh, sementara tasawuf yang mengabaikan syari’at bisa
terjebak dalam kesesatan. Semangat moderasi juga dapat ditemukan dalam empat
ulama pendiri mazhab fiqih sunni (Syafi’i,Hambali,Hanafi, dan Maliki). Mereka adalah
ulama yang memperjuangkan (Ijtihad) untuk merumuskan hukum Islam dengan mencari
keseimbangan antar dalil nash dan ra’yu(rasio). Sikap moderat yang diteladankan
oleh ulama sunni tersebut dilanjutkan oleh Wali Songo dalam menyebarkan agama
Islam secara damai, dan toleran.
BAB
III
PENUTUP
KESIMPULAN
Moderasi Islam
merupakan pandangan, atau sikap yang berusaha mengambil posisi tengah dari dua
sikap yang berseberangan dan berlebihan, sehingga sikap tersebut berada
ditengah diantara dua sikap, oleh karena itu dalam hal ini, karakteristik
moderat dapat menjadi formula dalam mengatasi berbagai permasalahan umat,
khususnya persoalan intoleransi, radikalisme, dan ekstrimisme, bahkan
liberalisme. Wasathan yang ditegaskan sebagai umatan wasathan, yang secara bahasa
wasathiyah berarti jalan tengah, artinya jalan diantara dua hal atau pihak,
kubu yang berhadapan atau berlawanan, misalnya akhir-akhir ini menguatnya
kelompok skriptualis yang eksklusif, intoleran, kaku, menuduh mengkafirkan
orang lain yang tidak sependapat dengannya, mudah menyatakan permusuhan, bahkan
melakukan kekerasan terhadap sesama muslim yang tidak sepaham, Islam moderat
lebih dikenal sebagai lawan dari Islam fundamentalis dengan alasan
dilahirkannya Islam moderat karna adanya Islam garis keras tersebut, dinamakan
umat pertengahan karna ingin menampilkan kemoderatannya. Adapun kelompok lawan
secara diametral dari fundamentalis maupun moderat adalah kelompok yang
cenderung permisif dan liberal.
Konsep Ahlussunnah
Wal Jama’ah menurut Hadratussyekh KH. Hasyim Asy’ari yang termuat dalam Qanun
Asasi meliputi aspek aqidah, syari’ah dan akhlak. Ketiganya merupakan satu
kesatuan ajaran yang mencakup seluruh aspek prinsip keagamaan Islam. Pengamalan
tiga sumber dasar keagamaan dari doktrin Ahlussunnah Waljama’ah
tersebut, membentuk adanya nilai nilai sikap dalam keselamatan dan kebahagian
guna menghadapi dan menerima perubahan dari luar secara fleksibel. Nilai-nilai
sikap tersebut diantaranya sebagai berikut; Tawassuth (Moderat), I’tidal
(Berkeadilan), Tawazzun (seimbang), Tassammuh (toleran), dan Amar
Ma’ruf Nahi Munkar.
DAFTAR
PUSTAKA
Zakiya Darajat, Muhammadiyah
dan NU:Penjaga Moderatisme Islam di Indonesia, Jurnal Hayula, Vol 1. No. 1,
2017.
Ahmad
Faqihuddin, Islam Moderat di Indonesia, Jurnal Al-Risalah, Vol 12 No.1,
2021.
Samhi
Muawan Djamal, Penerapan Nilai-nilai Ajaran Islam dalam Kehidupan Masyarakat
di Desa Garuntungan Kecamatan Kindang Kabupaten Bulukumba, Jurnal
Adabiyah,Vol. 17 No. 2, 2017.
Hesty
Putri Utami dan Moh. Shofiyul Huda, Peranan Tim Cyber Nahdlatul Ulama Jawa
Timur Dalam Meningkatkan Nilai-Nilai Aswaja, Jurnal Mediakita, Vol. 1, No.
1, 2017.
Masykuri
Abdillah, Meneguhkan Moderasi Beragama, Artikel Di Harian Kompas Tanggal
9 Februari 2015.
Abdul
Rozak,Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, 2016).
Ahmad
Syafi’i Mufid, Paham Ahlu Sunnah Wal Jama’ah dan Tantangan Kontemporer dalam
Pemikiran dan Gerakan Islam di Indonesia, Jurnal Multikultural &
Multireligius, Vol. 12, No. 5, 2013.
Muhammad
Endy Fadlullah, Ahlu al-Sunnah wa al-Jamaah Dalam Perspektif Said Aqil
Siradj, Jurnal Nidhomul Haq, Vol 3, No.1, 2018
Faisal
Ismail, NU Modaratisme dan Pluralisme, ( Yogyakarta: 2020)
Amru
Almu’tasim, Berkaca Nu dan Muhammadiyah Dalam Mewujudkan Nilai-Nilai
Moderasi Islam Di Indonesia, Jurnal Pendidikan dan Keislaman, 8, 2, (2019)
Tim
Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur, Risalah Ahlussunnah Waljam’ah, ( Surabaya:
Khalista, 2012 )
Ahmad
Baso Dkk., KH. Hasyim Asy’ari Pengabdi Seorang Kiyai Untuk Negeri,(
Jakarta: Museum Kebangkitan Nasional Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan RI,
2017)
M.Mahbubi,
Implementasi Aswaja Sebagai Nilai Pendidikan Karakter,…., hlm.22
Mustiqowati
Ummul Fithriyah and M Saiful Umam, ‘Internalisasi Nilai-Nilai Aswaja Dalam
Pendidikan Islam Sebagai Upaya Deradikalisasi Menuju Good Citizen’, Jurnal
UNWAHA, 13 (2018)
Mustiqowati
Ummul Fithriyah and M Saiful Umam, ‘Internalisasi Nilai-Nilai Aswaja Dalam
Pendidikan Islam Sebagai Upaya Deradikalisasi Menuju Good Citizen’, Jurnal
UNWAHA, 13 (2018)
Tim
PWNU Jawa Timur, Aswaja An-Nahdliyah, (Surabaya: Khalista,2007), hlm.57
Anwar
Rifa'i, Sucihatiningsih Dian Wp, and Moh Yasir Alimi, ‘Pembentukan Karakter
Nasionalisme Melalui Pembelajaran Pendidikan Aswaja Pada Siswa Madrasah Aliyah
Al Asror Semarang’, Journal of Educational Social Studies, 6, 1 (2017)
[1] Zakiya
Darajat, Muhammadiyah dan NU:Penjaga Moderatisme Islam di Indonesia,
Jurnal Hayula, Vol 1. No. 1, 2017. hlm 79.
[2] Ahmad Faqihuddin, Islam
Moderat di Indonesia, Jurnal Al-Risalah, Vol 12 No.1, 2021, hlm 107.
[3] Samhi Muawan Djamal, Penerapan
Nilai-nilai Ajaran Islam dalam Kehidupan Masyarakat di Desa Garuntungan
Kecamatan Kindang Kabupaten
Bulukumba,
Jurnal Adabiyah,Vol. 17 No. 2, 2017. hlm. 168.
[4] Hesty Putri Utami dan Moh.
Shofiyul Huda, Peranan Tim Cyber Nahdlatul Ulama Jawa Timur Dalam
Meningkatkan Nilai-Nilai Aswaja, Jurnal Mediakita, Vol. 1, No. 1, 2017 ,
hlm. 29
[5]
Umatan Wasathan dalam ayat ini berarti ”golongan
atau agama tengah, QS. Al Baqarah: 143”
[6] Masykuri Abdillah, Meneguhkan Moderasi Beragama, Artikel Di Harian Kompas Tanggal 9 Februari 2015.
[7] Ahmad Faqihuddin, Islam Moderat di Indonesia, Jurnal Al-Risalah, Vol 12 No.1, 2021, hlm 110.
[8] Ahmad Faqihuddin, Islam Moderat di Indonesia. hlm 110-111
[9] Abdul Rozak,Rosihon Anwar, Ilmu
Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, 2016), hlm. 28
[10] Ahmad Syafi’i Mufid, Paham
Ahlu Sunnah Wal Jama’ah dan Tantangan Kontemporer dalam Pemikiran dan Gerakan
Islam di Indonesia, Jurnal Multikultural & Multireligius, Vol. 12, No.
5, 2013,hlm.10
[11] Muhammad Endy Fadlullah, Ahlu al-Sunnah wa al-Jamaah Dalam Perspektif Said Aqil Siradj, Jurnal Nidhomul Haq, Vol 3, No.1, 2018, hlm.33-34
[12] Faisal Ismail, NU Modaratisme
dan Pluralisme, ( Yogyakarta: IRCiSoD, 2020), hlm.139
[13] Amru Almu’tasim, Berkaca Nu dan Muhammadiyah Dalam Mewujudkan Nilai-Nilai Moderasi Islam Di Indonesia, Jurnal Pendidikan dan Keislaman, 8, 2, (2019) , hlm. 203
[14] Tim Aswaja NU Center PWNU Jawa
Timur, Risalah Ahlussunnah Waljam’ah, ( Surabaya: Khalista, 2012 ), hlm.
2
[15] Ibid, hlm. 9
[16]Ibid, hlm. 161
[17] 11 Ibid, hlm. 169
[18] Ahmad Baso Dkk., KH. Hasyim
Asy’ari Pengabdi Seorang Kiyai Untuk Negeri,( Jakarta: Museum Kebangkitan
Nasional Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan RI, 2017), hlm. 139
[19] M.Mahbubi, Implementasi
Aswaja Sebagai Nilai Pendidikan Karakter,…., hlm.22
[20] Mustiqowati Ummul Fithriyah and M Saiful Umam, ‘Internalisasi Nilai-Nilai Aswaja Dalam Pendidikan Islam Sebagai Upaya Deradikalisasi Menuju Good Citizen’, Jurnal UNWAHA, 13 (2018), hlm.116
[21] Tim PWNU Jawa Timur, Aswaja
An-Nahdliyah, (Surabaya: Khalista,2007), hlm.57
[22] Anwar Rifa'i, Sucihatiningsih
Dian Wp, and Moh Yasir Alimi, ‘Pembentukan Karakter Nasionalisme Melalui
Pembelajaran Pendidikan Aswaja Pada Siswa Madrasah Aliyah Al Asror Semarang’,
Journal of Educational Social Studies, 6, 1 (2017), hlm.12
Tidak ada komentar:
Posting Komentar