Mereka yang terbebani hukum adalah seluruh manusia,
oleh karena itu hukum itu dinyatakan
sebagai seruan pembuat syara' yang berkaitan dengan perbuatan hamba. Tidak ada perbedaan dalam taklif hukum syara'
antara orang kafir dan orang mukmin, mereka semua merupakan semua adalah
sasaran seruan dari seruan pembuat
syara', mereka semua orang yang terbebani
hukum syara'. Dalilnya adalah
nash-nash yang saling bertautan dalam topik ini, nash-nash tersebut secara keseluruhan menunjukkan
adanya penunjukan yang jelas yang tidak memungkinkan untuk ditakwilkan bahwa
yang diseru dalam syari'ah Islam secara keseluruhan adalah seluruh umat
manusia, baik kafir maupun muslim. Dia Ta'ala berfirman:
"Sesungguhnya
Kami telah mengutusmu (Muhammad) dengan kebenaran; sebagai pembawa berita
gembira dan pemberi peringatan…" (TQS Al Baqarah(2):119)
dan
Dia Ta'ala berfirman:
Katakanlah:
"Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua"(TQS
Al A'raf(7):158)
dan
beliau Alaihish-shalatu was-salam bersabda:
"
sungguh aku diutus untuk orang yang berkulit mereh maupun yang berkulit
hitam" (Hadits dikeluarkan oleh Muslim)
Maksudnya
untuk seluruh umat manusia. Ini
merupakan khitab yang bersifat umum untuk seluruh umat manusia
tentu mencakup muslim dan kafir. juga tidak
boleh dikatakan bahwa khitab ini berlaku hanya untuk keimanan terhadap Islam
dan tidak berlaku pada hukum-hukum cabang. Sebab khitab risalah itu artinya
Iman terhadap risalah dan bukan berarti
mengamalkan hukum-hukum cabang. Tidak bisa dikatakan demikian, risalah itu bersifat umum meliputi keimanan terhadap
risalah tersebut serta pengamalan terhadap hukum-hukum cabang yang datang di
dalamnya. Maka pengkhususan risalah tersebut hanya pada Iman saja merupakan takhsis
tanpa ada yang menunjukkan adanya penghususan. Terlebih lagi kalau seandainya
yang dimaksud itu dengan seruan pada manusia secara keseluruhan adalah seruan
untuk mengimani Islam, sedangkan seruan hukum-hukum cabang hanya untuk kaum
Muslim saja, itu berarti bahwa seruan pada sebagian manusia dengan sebagian hukum dan mereka tidak
diseru dengan sebagian (hukum) yang
lain. Maka kalau seandainya seruan sebagian dengan sebagian hukum itu
diperbolehkan sehingga dikhususkan untuk sebagian manusia keluar dari khitab
tersebut maka tentunya boleh juga untuk setiap hal yang yang datang di dalam
syariat. Artinya boleh juga yang seperti
itu (berlaku) pada kaedah-kaedah Islam
yang berkaitan dengan Iman sebab apa
yang diperbolehkan atas suatu hukum diperbolehkan pula pada yang lain dan ini
adalah bathil. Karena seruan tersebut tegas
"utusan Allah pada kalian semua"
(TQS Al A'raf(7):158)
maka
keimanan di dalamnya artinya menerima khitab tersebut sejak awal. Sementara bahwa khitab terhadap manusia
secara keseluruhan terhadap hukum-hukum
cabang telah ditetapkan secara jelas dalam Al Qur'an sebagaimana khitab atas mereka terhadap risalah. Dia
Ta'ala berfirman:
"(yaitu) orang-orang yang tidak
menunaikan zakat dan mereka kafir akan adanya (kehidupan) akhirat"(TQS
Fushshillat(41):7)
kemudian Dia berfirman:
"Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha
Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati
dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang
baik" (TQS Al Furqan(25):63)
kemudian Dia berfirman:
"Dan orang-orang yang apabila
membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir,
dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian. Dan
orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh
jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar,
dan tidak berzina…" (TQS Al Furqan(25):67-68)
Kemudian firman-Nya:
"Dan
orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu…"(Al
Furqan(25):72)
Ini
secara keseluruhan merupakan hukum-hukum cabang yang diserukan pada hamba-hamba Dzat Yang Maha
Rahman, kalimat Ibadur-rahman mencakup kaum Muslim dan orang-orang kafir. Dia
Ta'ala berfirman:
"pada
hari itu manusia berkata: "Ke mana tempat lari?"(TQS
Al Qiyamah(75):10)
sampai
pada berfirman-Nya
"Dan
ia tidak mau membenarkan (Rasul dan Al Qur'an) dan tidak mau mengerjakan
shalat" (TQS Al Qiyamah (75):31)
Dia
berfirman:
"Tiap-tiap
diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya"
(TQS Al Mudatstsir(74):38)
sampai
firman-Nya:
"Apakah
yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?" Mereka menjawab: "Kami
dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat, Mereka menjawab:
"Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat" (TQS
Al Mudatstsir(74):42-44)
Dan
lagi sesungguhnya Allah SWT memerintahkan manusia secara keseluruhan untuk
beribadah, maka orang kafirpun termasuk yang diperintahkan untuk beribadah. Dia
Ta'ala berfirman:
"Hai
manusia, sembahlah Tuhanmu Yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang
sebelummu, agar kamu bertakwa" (TQS Al Baqarah(2):31)
Dia
Ta'ala berfirman:
"mengerjakan haji adalah kewajiban
manusia terhadap Allah" (TQS Ali Imran(3):97)
ayat-ayat ini jelas menunjukkan bahwa Allah membebani
mereka dengan hukum-hukum cabang. Maka ayat-ayat tersebut menyeru mereka dengan
hukum-hukum cabang, berarti merekapun terbebani dengan hukum-hukum cabang
tersebut. Kalau seandainya mereka tidak
terbebani hukum-hukum cabang lalu mengapa Allah mengancam mereka dengan acaman
yang keras dengan siksa karena meninggalkannya. Dia Ta'ala berfirman:
"sungguh
celaka bagi orang-orang Musyrik. (yaitu) orang-orang yang tidak menunaikan
zakat…" (TQS Fushshillat(41):6-7)
Dia
berfirman pada beberapa ayat dan tentang ibadur-rahman:
"barangsiapa yang melakukan
demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa (nya), (yakni) akan
dilipat gandakan azab…" (TQS Al
Furqan(25):68-69)
Dengan
begitu sungguh Allah telah menyeru pada orang-orang kafir dengan
sebagian perintah dan larangan dari hukum-hukum cabang secara khusus maka
demikian pula untuk hukum-hukum cabang yang lainnya. Berdasarkan hal itu maka
jelas bahwa orang-orang kafirpun diseru oleh syariat secara keseluruhan baik
pokok maupun cabang. Sungguh Allah akan
menyiksa mereka karena mereka tidak beriman dan karena mereka tidak
melaksanakan hukum-hukum tersebut. Maka dari sisi khitab tidak diragukan lagi
bahwa mereka merupakan obyek khitab hukum-hukum. Adapun dari sisi pelaksanaan mereka atas hukum-hukum
ini dan dari sisi penerapan daulah atas mereka
serta pemaksaan mereka untuk melaksankannya, ini perlu ada rincian: jika
pelaksanaan mereka atas hukum tersebut oleh mereka sendiri tanpa dipaksa maka
hal tersebut dilihat terlebih dahulu. Apabila hukum-hukum tersebut mensyaratkan
adanya Islam dalam penunaiannya berdasarkan nash dari pembuat syara' seperti
shalat, puasa, haji, zakat dan ibadah-ibadah yang lain, demikian pula dengan
shadaqah, perbuatan baik, maka tidak diperbolehkan atas mereka untuk menunaikan
hukum-hukum tersebut dan mereka dilarang untuk mengerjakan hukum-hukum
tersebut, karena syarat pelaksanaan hukum-hukum tersebut adalah adanya Islam
sementara dia kafir, maka tidak diperbolehkan. Dan yang sejenis dengan itu
adalah kesaksian dari orang kafir atas selain harta, dan menjadikan orang kafir
sebagai penguasa atas kaum muslim atau qadhi diantara kaum Muslim atau yang
semacam dengan itu yang merupakan bagian dari hukum-hukum yang nash-nash syara'
datang bahwa tidak diperbolehkan orang
kafir dan disyaratkan harus Islam. Sedangkan hukum-hukum yang selain itu maka
seandainya mereka melaksanakan diperbolehkan, seperti memerangi orang kafir
bersama dengan kaum Muslim, karena memang tidak disyaratkan bahwa dalam
melakukan peperangan (dengan orang kafir) hendaknya yang berperang adalah
muslim. Islam bukanlah syarat di dalamnya, kerena itu boleh saja orang kafir
melakukannya. Demikian pula dengan kesaksian dalam masalah harta, kedokteran,
dan hal-hal tehnis yang lain yang memang tidak mensyaratkan adanya Islam. Ini
jika ditinjau dari sisi pelaksanaan mereka
terhadap hukum-hukum cabang atas inisiatif mereka sendiri. Adapun pembebanan
pada mereka terhadap hukum-hukum tersebut secara paksa, ini perlu rincian lebih
jauh: apabila hukum-hukum tersebut merupakan bagian yang khitab datang di
dalamnya secara umum ddan tidask dibatasi oleh adanya syarat keimanan maka
dikaji dulu, jika termasuk yang tidak diperbolehkan kecuali muslim karena Islam
merupakan syarat di dalamnya atau merupakan hal-hal yang telah ditetapkan atas
orang-orang kafir untuk tidak melaksanakannya maka mereka dalam dua keadaan ini
tidak dipaksa untuk melaksanakannya dan juga seruan pembuat syara' tersebut
tidak diterapkan pada mereka. Khalifahpun
tidak memberikan sanksi pada orang-orang kafir karena mereka tidak
beriman pada Islam, kecuali apabila mereka orang-orang musyrik Arab yang bukan
ahlul-kitab. Itu berdasarkan firman-Nya Ta'ala :
"Tidak ada paksaan untuk
(memasuki) agama (Islam)…"(TQS Al Baqarah(2):256)
dan firman-Nya:
"sampai mereka membayar jizyah
dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk" (TQS
At Taubah(9):29)
serta ketetapan Rasulullah saw terhadap
orang-orang Kafir Yaman untuk dibiarkan tetap pada agama mereka dan cukup
dengan diambil jizyah dari mereka, namun orang musyrik Arab yang bukan
ahlul-kitab memang dikecualikan dari hal tersebut, berdasarkan firman-Nya
Ta'ala:
"…kamu akan memerangi mereka atau
mereka menyerah (masuk Islam)" (TQS Al
Fath(48):16)
ini khusus untuk orang-orang musyrik
Arab selain ahlul-kitab. Demikian pula mereka tidak ditaklifkan untuk shalat
dengan kaum Muslim dan mereka tidak dilarang untuk ibadah dengan ibadah mereka
berdasarkan ketetapan rasulullah SAW terhadap mereka, ibadah mereka dan
gereja-gereja mereka di Yaman dan Bahrain serta penduduk Najran, dan Rasulullah
tidak menghancurkan gereja-gereja meraka yang tidak masuk Islam. Ini
menunjukkan bahwa mereka dibiarkan dengan apa yang mereka peluk dan yang mereka
sembah. Dan tidak diterapkan pula atas mereka hukum jihad dan tidak dipaksakan
atas mereka untuk jihad karena perang yang dituntut dalam ayat-ayat jihad
adalah peperangan untuk (memerangi) semua orang-orang kafir dan orang kafir di
tidak didiskripsikan di dalamnya untuk memerangi dirinya sendiri. Mereka juga tidak dipaksa untuk meninggalkan (minum)
khamr dan juga tidak diterapkan pada mereka hukum khamr dan mereka juga tidak
diberi sanksi karena meminumnya karena di Yaman yang di sana terdapat
orang-orang nasrani, mereka minum khamr dan telah ditetapkan untuk kebolehan
meminumnya, dan para shahabat ketika mereka menaklukkan berbagai negeri mereka
tidak melarang orang-orang kafir untuk minum khamr. Maka demikianlah, bahwa
semua hukum yang Islam merupakan syarat sahnya
atau rasulullah SAW menetapkan atas mereka atau ijma' shahabat, merekapun tidak dipaksa untuk melaksanakan hukum
tersebut dan khalifahpun tidak menerapkan (hukum tersebut) atas
mereka. Tapi jika hukum tersebut tidak
seperti itu, maksudnya bahwa Islam bukan merupakan syarat sahnya dan tidak
terdapat nash syar'I yang menunjukkan adanya ketentuan untuk meninggalkan
penerapannya atas mereka maka mereka dituntut untuk menerapkannya, dan mereka
dipaksa untuk menerapkan hukum tersebut. Mereka
akan diberi sanksi apabila meninggalkannya. Itu karena
orang kafir memang dituntut untuk melaksanakan hukum-hukum yang terdapat
di dalam seruan pembuat syara' dan tidak terdapat nash yang mensyaratkan Imam
dalam (pelaksanaan) hukum sehingga orang kafir tidak terbebani hukum sebelum
beriman dan memang tidak terdapat nash yang mengecualikan tuntutan di dalamnya,
maka seruan tersebut tetap bersifat umum mencakup mereka (orang kafir).
Dalilnya adalah penerapan hukum yang
dilakukan oleh Rasulullah terhadap orang-orang kafir. Dalam
hukum mu'amalah telah menjadi ketetapan dari beliau SAW bahwa beliau
melakukan mu'amalah dengan mereka berdasarkan hukum Islam, demikian pula dalam
hukum tentang sanksi-sanksi (uqubath). Telah menjadi ketetapan dari beliau
bahwa beliau memberikan sanksi pada mereka yang melakukan pelanggaran. Dari
Anas RA:
"bahwa sesungguhnya seorang Yahudi
membenturkan kepala anak perempuan diantara dua batu, maka ketika anak
perempuan tersebut ditanya siapa yang melakukan padamu dengan ini si fulan atau
si fulan sampai dia sebut seorang Yahudi, maka orang Yahudi tersebut
didatangkan, maka nabi SAW memerintahkan untuk dibenturkan kepalanya dengan
batu" (Hadits dikeluarkan oleh Al Bukhari)
Dari
Abi Salamah Ibn Abdirrahman dan Sulaiman bin Yasar dari seorang
laki-laki Anshar:
"bahwa Nabi SAW bersabda pada si
Yahudi dan beliau memulai dengan mereka: "berusumpahlah lima puluh laki-laki
dari kalian" merekapun menolak, maka Rasulullah bersabda pada orang
Anshar: "terimalah yang benar yang mereka klaim dengan sumpah
mereka". Orang Ansharpun menjawab: kami bersumpah dengan yang ghaib wahai
Rasulullah. Maka Rasulullah menetapkan diat untuk orang Yahudi karena ditemukan
diantara mereka". Hadits dikeluarkan oleh Abu Dawud.
Dari Jabir bin Abdillah berkata:
"Nabi SAW merajam seorang laki-laki
dan seorang wanita Yahudi"
(Hadits dikeluarkan oleh Muslim)
hadits-hadits ini menunjukkan bahwa
Rasulullah SAW telah memberikan sanksi pada orang-orang kafir sebagaimana kaum
Muslim, ini sebagian yang menunjukkan bahwa mereka dipaksa untuk melaksanakan
hukum syara' dan bahwa hukum syara' tersebut diterapkan atas mereka sebagaimana
diterapkan pada kaum Muslim, dan mereka diharuskan sebagaimana diharuskannya
kaum Muslim dalam hukum mu'amalah, uqubath dan semua hukum yang lain dan tidak
ada pengecualian kecuali yang memang dikecualikan oleh syara' dalam
penerapannya dan bukan dalam seruannya. Yaitu hukum-hukum yang Islam merupakan
syarat sahnya dan hal-hal yang ditetapkan oleh nash bahwa mereka tidak dipaksa
untuk menerapkannya, selain itu syara' menuntut mereka dan mereka dipaksa untuk
menerapkan hukum tersebut.
Berdasarkan hal itu maka seruan pembuat syara' yang berkaitan dengan perbuatan-perbuatan hamba itu bersifat umum berlaku sama meliputi orang-orang kafir dan orang-orang Muslim, tidak ada perbedaan antara orang-orang kafir dan muslim, karena keumuman seruan pembuat syara' di dalam risalah Islam. Kewajiban penerapannya atas manusia itu bersifat umum diterapkan pada orang-orang kafir sebagaimana diterapkan pada kaum Muslim selama mereka tunduk dalam kekuasaan Islam. Mereka dipaksa untuk melaksanakan hukum-hukum Islam dan mereka akan diberi sanksi apabila meninggalkannya. Tidak ada pengecualian atas hal tersebut kecuali yang memang dikecualikan oleh syara', yaitu yang syara' menjadikan Islam sebagai syarat sah atau penunaian hukum-hukum tersebut, dan apa yang syara' tetapkan atas orang-orang kafir dan tidak dipaksa atas mereka untuk mengerjakannya baik dalam masalah pokok atau masalah cabang. Sedangkan selain itu mereka dan kaum Muslim adalah sama. Maka tidak bisa dikatakan bahwa Allah mengkhususkan orang-orang Mukmin dengan sebagian hukum, misalnya shalat, maka orang-orang mukmin saja yang menjadi obyek seruan di dalamnya, karena didasarkan apa yang terdapat di dalam seruan yang dengan "wahai orang-orang yang beriman", itu berarti khusus untuk kaum Muslim. Sedangkan yang bersifat umum seperti jual-beli, riba maka itu umum bagi kaum Muslim dan non muslim, tentu tidak dapat dikatakan demikian, karena apa yang dikeluarkan dengan "wahai orang yang beriman" yang dimaksudkan adalah mengingatkan mereka dengan keimanan mareka dan bukan berarti seruan tersebut khusus untuk mereka, dalilnya (adalah) sungguh Allah Ta'ala berfirman:
"Hai orang-orang yang beriman,
diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh…"
(TQS Al Baqarah(2):178)
Dan telah menjadi ketetapan dari
Rasulullah SAW bahwa beliau menjadikan hukum qishas dalam pembunuhan
tersebut berlaku sama baik pada
orang-orang kafir maupun kaum Muslim, karena firman-Nya:
" bagi orang yang mengharapkan
kembali pada Allah dan hari akhir.."(TQS Al
Ahzab(33):21)
dan:
" maka kembalilah pada Allah dan Rasul-Nya jika kalian beriman pada Allah dan hari akhir" (TQS An Nisa'(4):59)
dan:
"Itulah yang dinasehatkan kepada
orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian" (TQS
Al Baqarah(2):232)
Konteks ayat-ayat yang ada tersebut menunjukkan bahwa
penyebutan itu adalah untuk mengingatkan
hal-hal yang mmerupakan konskwensi dari keimanan pada Allah dan hari akhir,
pada ayat yang pertama:
"Sesungguhnya telah ada pada
(diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang
mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut
Allah" (TQS Al Ahdzab (33):21)
dan pada ayat kadua:
"Kemudian jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan
Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya"
(TQS
An Nisa'(4):59)
dan ayat yang ketiga:
"Itulah yang dinasehatkan kepada
orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian" (TQS
Al Baqarah(2):232)
Semuanya adalah tadzkir (mengingatkan). Maka berdasarkan prespektif ini sabda beliau SAW:
"barangsiapa yang beriman pada
Allah dan hari akhir maka hendaknya dia berkata baik atau diam" (HR
Al Bukhari)
maka semuanya merupakan tadzkir
tentang keimanan dan bukan merupakan
syarat dalam taklif hukum, bahkan juga bukan syarat absahnya juga bukan syarat
penunaiannya, apalagi bahwa keimanan pada Allah dan hari akhir itu tidak (otomatis)
menjadikan seseorang itu sebagai muslim. Orang Yahudi, mereka beriman pada
Allah dan juga hari akhir, karena itulah Allah menyeru mereka dengan
firman-Nya:
"Wahai orang-orang yang beriman,
tetaplah beriman" (TQS An Nisa'(4):136)
seruan ini untuk orang Yahudi. Oleh karena itu adanya indikasi
seruan dengan "wahai orang yang beriman" bukanlah berarti
bahwa seruan tersebut dikhususkan bagi kaum Muslim saja, tapi itu merupakan tadzkir
(untuk mengingatkan) tentang keimanan, sedangkan seruannya meliputi kaum Muslim
maupun non Muslim karena keumuman seruan-seruan taklif tersebut. Karenanya maka
seruan taklif tersebut tetap bersifat umum mencakup orang-orang kafir serta
kaum Muslim. Begitulah seterusnya. Maka sungguh orang-orang kafir semua diseru
dengan umumnya syariah baik pokok maupun cabang, dan khalifah diperintahkan
untuk menerapkan semua hukum syara' atas mereka. Dan pengecualian tersebut dari
aspek penerapan hukum, bukan dari aspek seruan, yaitu pada hukum-hukum yang
terdapat nash-nash (yang menjelaskan) baik dalam al-Qur'an atau Hadits
bahwa hukum tersebut tidak diterapkan
atas mereka, atau hukum-hukum yang nash yang datang (menjelaskan) bahwa
hukum-hukum tersebut khusus untuk kaum muslim. Selain itu
seluruh hukum Islam diterapkan atas orang-orang kafir persis sama
sebagaimana kaum Muslim.
DALIL PUASA RAMADHAN DALAM AL-QUR'AN DAN HADIST