HOME

23 Januari, 2024

MEREKA YANG TERBEBANI HUKUM

Mereka yang terbebani hukum adalah seluruh manusia, oleh karena itu  hukum itu dinyatakan sebagai seruan pembuat syara' yang berkaitan dengan perbuatan hamba. Tidak  ada perbedaan dalam taklif hukum syara' antara orang kafir dan orang mukmin, mereka semua merupakan semua adalah sasaran  seruan dari seruan pembuat syara', mereka semua orang yang terbebani  hukum syara'.   Dalilnya adalah nash-nash yang saling bertautan dalam topik ini, nash-nash  tersebut secara keseluruhan menunjukkan adanya penunjukan yang jelas yang tidak memungkinkan untuk ditakwilkan bahwa yang diseru dalam syari'ah Islam secara keseluruhan adalah seluruh umat manusia, baik kafir maupun muslim. Dia Ta'ala berfirman:

 

"Sesungguhnya Kami telah mengutusmu (Muhammad) dengan kebenaran; sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan…" (TQS Al Baqarah(2):119)

dan Dia Ta'ala berfirman:

 

Katakanlah: "Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua"(TQS Al A'raf(7):158)

dan beliau Alaihish-shalatu was-salam bersabda:

 

" sungguh aku diutus untuk orang yang berkulit mereh maupun yang berkulit hitam" (Hadits dikeluarkan oleh Muslim)

Maksudnya untuk seluruh umat manusia. Ini  merupakan khitab yang bersifat umum untuk seluruh umat manusia tentu  mencakup muslim dan kafir. juga tidak boleh dikatakan bahwa khitab ini berlaku hanya untuk keimanan terhadap Islam dan tidak berlaku pada hukum-hukum cabang. Sebab khitab risalah itu artinya Iman terhadap risalah  dan bukan berarti mengamalkan hukum-hukum cabang. Tidak bisa dikatakan demikian, risalah itu  bersifat umum meliputi keimanan terhadap risalah tersebut serta pengamalan terhadap hukum-hukum cabang yang datang di dalamnya. Maka pengkhususan risalah tersebut hanya pada Iman saja merupakan takhsis tanpa ada yang menunjukkan adanya penghususan. Terlebih lagi kalau seandainya yang dimaksud itu dengan seruan pada manusia secara keseluruhan adalah seruan untuk mengimani Islam, sedangkan seruan hukum-hukum cabang hanya untuk kaum Muslim saja, itu berarti bahwa seruan pada sebagian manusia  dengan sebagian hukum dan mereka tidak diseru  dengan sebagian (hukum) yang lain. Maka kalau seandainya seruan sebagian dengan sebagian hukum itu diperbolehkan sehingga dikhususkan untuk sebagian manusia keluar dari khitab tersebut maka tentunya boleh juga untuk setiap hal yang yang datang di dalam syariat. Artinya  boleh juga yang seperti itu (berlaku) pada  kaedah-kaedah Islam yang berkaitan dengan Iman sebab  apa yang diperbolehkan atas suatu hukum diperbolehkan pula pada yang lain dan ini adalah bathil. Karena seruan tersebut tegas

 

 "utusan Allah pada kalian semua" (TQS Al A'raf(7):158)

maka keimanan di dalamnya artinya menerima khitab tersebut sejak awal.  Sementara bahwa khitab terhadap manusia secara keseluruhan terhadap  hukum-hukum cabang telah ditetapkan secara jelas dalam Al Qur'an sebagaimana  khitab atas mereka terhadap risalah. Dia Ta'ala berfirman:

 

"(yaitu) orang-orang yang tidak menunaikan zakat dan mereka kafir akan adanya (kehidupan) akhirat"(TQS Fushshillat(41):7)

kemudian Dia berfirman:

 

"Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang baik" (TQS Al Furqan(25):63)

 

kemudian Dia berfirman:

 

"Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian. Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina…" (TQS Al Furqan(25):67-68)

 

Kemudian firman-Nya:

 

"Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu…"(Al Furqan(25):72)

Ini secara keseluruhan merupakan hukum-hukum cabang yang  diserukan pada hamba-hamba Dzat Yang Maha Rahman, kalimat Ibadur-rahman mencakup kaum Muslim dan orang-orang kafir. Dia Ta'ala berfirman:

 

"pada hari itu manusia berkata: "Ke mana tempat lari?"(TQS Al Qiyamah(75):10)

sampai pada  berfirman-Nya

 

"Dan ia tidak mau membenarkan (Rasul dan Al Qur'an) dan tidak mau mengerjakan shalat" (TQS Al Qiyamah (75):31)

Dia berfirman:

 

"Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya" (TQS Al Mudatstsir(74):38)

sampai firman-Nya:

 

"Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?" Mereka menjawab: "Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat, Mereka menjawab: "Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat" (TQS Al Mudatstsir(74):42-44)

Dan lagi sesungguhnya Allah SWT memerintahkan manusia secara keseluruhan untuk beribadah, maka orang kafirpun termasuk yang diperintahkan untuk beribadah. Dia Ta'ala berfirman:

 

"Hai manusia, sembahlah Tuhanmu Yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa" (TQS Al Baqarah(2):31)

Dia Ta'ala berfirman:

 

"mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah" (TQS Ali Imran(3):97)

 

ayat-ayat  ini jelas menunjukkan bahwa Allah membebani mereka dengan hukum-hukum cabang. Maka ayat-ayat tersebut menyeru mereka dengan hukum-hukum cabang, berarti merekapun terbebani dengan hukum-hukum cabang tersebut. Kalau  seandainya mereka tidak terbebani hukum-hukum cabang lalu mengapa Allah mengancam mereka dengan acaman yang keras dengan siksa karena meninggalkannya. Dia Ta'ala berfirman:

 

"sungguh celaka bagi orang-orang Musyrik. (yaitu) orang-orang yang tidak menunaikan zakat…" (TQS Fushshillat(41):6-7)

Dia berfirman pada beberapa ayat dan tentang ibadur-rahman:

 

"barangsiapa yang melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa (nya), (yakni) akan dilipat gandakan azab…" (TQS Al Furqan(25):68-69)

 

Dengan  begitu sungguh Allah telah menyeru pada orang-orang kafir dengan sebagian perintah dan larangan dari hukum-hukum cabang secara khusus maka demikian pula untuk hukum-hukum cabang yang lainnya. Berdasarkan hal itu maka jelas bahwa orang-orang kafirpun diseru oleh syariat secara keseluruhan baik pokok maupun cabang. Sungguh  Allah akan menyiksa mereka karena mereka tidak beriman dan karena mereka tidak melaksanakan hukum-hukum tersebut. Maka dari sisi khitab tidak diragukan lagi bahwa mereka merupakan obyek khitab hukum-hukum. Adapun  dari sisi pelaksanaan mereka atas hukum-hukum ini dan dari sisi penerapan daulah atas mereka  serta pemaksaan mereka untuk melaksankannya, ini perlu ada rincian: jika pelaksanaan mereka atas hukum tersebut oleh mereka sendiri tanpa dipaksa maka hal tersebut dilihat terlebih dahulu. Apabila hukum-hukum tersebut mensyaratkan adanya Islam dalam penunaiannya berdasarkan nash dari pembuat syara' seperti shalat, puasa, haji, zakat dan ibadah-ibadah yang lain, demikian pula dengan shadaqah, perbuatan baik, maka tidak diperbolehkan atas mereka untuk menunaikan hukum-hukum tersebut dan mereka dilarang untuk mengerjakan hukum-hukum tersebut, karena syarat pelaksanaan hukum-hukum tersebut adalah adanya Islam sementara dia kafir, maka tidak diperbolehkan. Dan yang sejenis dengan itu adalah kesaksian dari orang kafir atas selain harta, dan menjadikan orang kafir sebagai penguasa atas kaum muslim atau qadhi diantara kaum Muslim atau yang semacam dengan itu yang merupakan bagian dari hukum-hukum yang nash-nash syara' datang  bahwa tidak diperbolehkan orang kafir dan disyaratkan harus Islam. Sedangkan hukum-hukum yang selain itu maka seandainya mereka melaksanakan diperbolehkan, seperti memerangi orang kafir bersama dengan kaum Muslim, karena memang tidak disyaratkan bahwa dalam melakukan peperangan (dengan orang kafir) hendaknya yang berperang adalah muslim. Islam bukanlah syarat di dalamnya, kerena itu boleh saja orang kafir melakukannya. Demikian pula dengan kesaksian dalam masalah harta, kedokteran, dan hal-hal tehnis yang lain yang memang tidak mensyaratkan adanya Islam. Ini jika  ditinjau dari sisi pelaksanaan mereka terhadap hukum-hukum cabang atas inisiatif mereka sendiri. Adapun pembebanan pada mereka terhadap hukum-hukum tersebut secara paksa, ini perlu rincian lebih jauh: apabila hukum-hukum tersebut merupakan bagian yang khitab datang di dalamnya secara umum ddan tidask dibatasi oleh adanya syarat keimanan maka dikaji dulu, jika termasuk yang tidak diperbolehkan kecuali muslim karena Islam merupakan syarat di dalamnya atau merupakan hal-hal yang telah ditetapkan atas orang-orang kafir untuk tidak melaksanakannya maka mereka dalam dua keadaan ini tidak dipaksa untuk melaksanakannya dan juga seruan pembuat syara' tersebut tidak diterapkan pada mereka. Khalifahpun  tidak memberikan sanksi pada orang-orang kafir karena mereka tidak beriman pada Islam, kecuali apabila mereka orang-orang musyrik Arab yang bukan ahlul-kitab. Itu berdasarkan firman-Nya Ta'ala :

 

"Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam)…"(TQS Al Baqarah(2):256)

dan firman-Nya:

 

"sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk" (TQS At Taubah(9):29)

 

serta ketetapan Rasulullah saw terhadap orang-orang Kafir Yaman untuk dibiarkan tetap pada agama mereka dan cukup dengan diambil jizyah dari mereka, namun orang musyrik Arab yang bukan ahlul-kitab memang dikecualikan dari hal tersebut, berdasarkan firman-Nya Ta'ala:

 

"…kamu akan memerangi mereka atau mereka menyerah (masuk Islam)" (TQS Al Fath(48):16)

ini khusus untuk orang-orang musyrik Arab selain ahlul-kitab.  Demikian  pula mereka tidak ditaklifkan untuk shalat dengan kaum Muslim dan mereka tidak dilarang untuk ibadah dengan ibadah mereka berdasarkan ketetapan rasulullah SAW terhadap mereka, ibadah mereka dan gereja-gereja mereka di Yaman dan Bahrain serta penduduk Najran, dan Rasulullah tidak menghancurkan gereja-gereja meraka yang tidak masuk Islam. Ini menunjukkan bahwa mereka dibiarkan dengan apa yang mereka peluk dan yang mereka sembah. Dan tidak diterapkan pula atas mereka hukum jihad dan tidak dipaksakan atas mereka untuk jihad karena perang yang dituntut dalam ayat-ayat jihad adalah peperangan untuk (memerangi) semua orang-orang kafir dan orang kafir di tidak didiskripsikan di dalamnya untuk memerangi dirinya sendiri. Mereka  juga tidak dipaksa untuk meninggalkan (minum) khamr dan juga tidak diterapkan pada mereka hukum khamr dan mereka juga tidak diberi sanksi karena meminumnya karena di Yaman yang di sana terdapat orang-orang nasrani, mereka minum khamr dan telah ditetapkan untuk kebolehan meminumnya, dan para shahabat ketika mereka menaklukkan berbagai negeri mereka tidak melarang orang-orang kafir untuk minum khamr. Maka demikianlah, bahwa semua hukum yang Islam merupakan syarat sahnya  atau rasulullah SAW menetapkan atas mereka  atau ijma' shahabat, merekapun  tidak dipaksa untuk melaksanakan hukum tersebut dan  khalifahpun  tidak menerapkan (hukum tersebut) atas mereka. Tapi  jika hukum tersebut tidak seperti itu, maksudnya bahwa Islam bukan merupakan syarat sahnya dan tidak terdapat nash syar'I yang menunjukkan adanya ketentuan untuk meninggalkan penerapannya atas mereka maka mereka dituntut untuk menerapkannya, dan mereka dipaksa untuk menerapkan hukum tersebut. Mereka  akan diberi sanksi apabila meninggalkannya. Itu  karena   orang kafir memang dituntut untuk melaksanakan hukum-hukum yang terdapat di dalam seruan pembuat syara' dan tidak terdapat nash yang mensyaratkan Imam dalam (pelaksanaan) hukum sehingga orang kafir tidak terbebani hukum sebelum beriman dan memang tidak terdapat nash yang mengecualikan tuntutan di dalamnya, maka seruan tersebut tetap bersifat umum mencakup mereka (orang kafir). Dalilnya  adalah penerapan hukum yang dilakukan oleh Rasulullah terhadap orang-orang kafir.  Dalam  hukum mu'amalah telah menjadi ketetapan dari beliau SAW bahwa beliau melakukan mu'amalah dengan mereka berdasarkan hukum Islam, demikian pula dalam hukum tentang sanksi-sanksi (uqubath). Telah menjadi ketetapan dari beliau bahwa beliau memberikan sanksi pada mereka yang melakukan pelanggaran. Dari Anas RA:

 

"bahwa sesungguhnya seorang Yahudi membenturkan kepala anak perempuan diantara dua batu, maka ketika anak perempuan tersebut ditanya siapa yang melakukan padamu dengan ini si fulan atau si fulan sampai dia sebut seorang Yahudi, maka orang Yahudi tersebut didatangkan, maka nabi SAW memerintahkan untuk dibenturkan kepalanya dengan batu" (Hadits dikeluarkan oleh Al Bukhari)

Dari  Abi Salamah Ibn Abdirrahman dan Sulaiman bin Yasar dari seorang laki-laki Anshar:

 

"bahwa Nabi SAW bersabda pada si Yahudi dan beliau memulai dengan mereka: "berusumpahlah lima puluh laki-laki dari kalian" merekapun menolak, maka Rasulullah bersabda pada orang Anshar: "terimalah yang benar yang mereka klaim dengan sumpah mereka". Orang Ansharpun menjawab: kami bersumpah dengan yang ghaib wahai Rasulullah. Maka Rasulullah menetapkan diat untuk orang Yahudi karena ditemukan diantara mereka". Hadits dikeluarkan oleh Abu Dawud.

Dari Jabir bin Abdillah berkata:

 

"Nabi SAW merajam seorang laki-laki dan seorang  wanita Yahudi" (Hadits dikeluarkan oleh Muslim)

 

hadits-hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah SAW telah memberikan sanksi pada orang-orang kafir sebagaimana kaum Muslim, ini sebagian yang menunjukkan bahwa mereka dipaksa untuk melaksanakan hukum syara' dan bahwa hukum syara' tersebut diterapkan atas mereka sebagaimana diterapkan pada kaum Muslim, dan mereka diharuskan sebagaimana diharuskannya kaum Muslim dalam hukum mu'amalah, uqubath dan semua hukum yang lain dan tidak ada pengecualian kecuali yang memang dikecualikan oleh syara' dalam penerapannya dan bukan dalam seruannya. Yaitu hukum-hukum yang Islam merupakan syarat sahnya dan hal-hal yang ditetapkan oleh nash bahwa mereka tidak dipaksa untuk menerapkannya, selain itu syara' menuntut mereka dan mereka dipaksa untuk menerapkan hukum tersebut.

Berdasarkan hal itu maka seruan pembuat syara' yang berkaitan dengan perbuatan-perbuatan hamba itu bersifat umum berlaku sama meliputi orang-orang kafir dan orang-orang Muslim, tidak ada perbedaan antara orang-orang kafir dan muslim, karena keumuman seruan pembuat syara' di dalam risalah Islam. Kewajiban  penerapannya atas manusia itu bersifat umum diterapkan pada orang-orang kafir sebagaimana diterapkan pada kaum Muslim selama mereka tunduk dalam kekuasaan Islam. Mereka  dipaksa untuk melaksanakan hukum-hukum Islam dan mereka akan diberi sanksi apabila meninggalkannya. Tidak ada pengecualian atas hal tersebut kecuali yang memang dikecualikan oleh syara', yaitu yang syara' menjadikan Islam sebagai syarat sah atau penunaian hukum-hukum tersebut, dan apa yang syara' tetapkan atas orang-orang kafir dan tidak dipaksa atas mereka untuk mengerjakannya baik dalam masalah pokok atau masalah cabang. Sedangkan selain itu mereka dan kaum Muslim  adalah sama. Maka tidak bisa dikatakan bahwa Allah mengkhususkan orang-orang Mukmin dengan sebagian hukum, misalnya shalat, maka  orang-orang mukmin saja  yang menjadi obyek seruan di dalamnya, karena didasarkan apa yang terdapat di dalam seruan yang dengan "wahai orang-orang yang beriman",  itu berarti khusus untuk kaum Muslim. Sedangkan yang bersifat umum seperti jual-beli, riba maka itu umum bagi kaum Muslim dan non muslim, tentu tidak dapat dikatakan demikian, karena apa yang dikeluarkan dengan "wahai orang yang beriman" yang dimaksudkan   adalah mengingatkan mereka dengan keimanan mareka dan bukan berarti seruan tersebut khusus untuk mereka, dalilnya (adalah) sungguh Allah Ta'ala berfirman:

 

"Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh…" (TQS Al Baqarah(2):178)

Dan telah menjadi ketetapan dari Rasulullah SAW bahwa beliau menjadikan hukum qishas dalam pembunuhan tersebut  berlaku sama baik pada orang-orang kafir maupun kaum Muslim, karena firman-Nya:

 

" bagi orang yang mengharapkan kembali pada Allah dan hari akhir.."(TQS Al Ahzab(33):21)

dan:

" maka kembalilah pada Allah dan Rasul-Nya jika kalian beriman pada Allah dan hari akhir" (TQS An Nisa'(4):59)

dan:

"Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian" (TQS Al Baqarah(2):232)

 

Konteks ayat-ayat  yang ada tersebut menunjukkan bahwa penyebutan itu adalah untuk  mengingatkan hal-hal yang mmerupakan konskwensi dari keimanan pada Allah dan hari akhir, pada ayat yang pertama:

 

"Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah" (TQS Al Ahdzab (33):21)

 

dan pada ayat kadua:

"Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya" (TQS An Nisa'(4):59)

 

dan ayat yang ketiga:

"Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian" (TQS Al Baqarah(2):232)

 

Semuanya adalah tadzkir (mengingatkan). Maka berdasarkan prespektif ini sabda beliau SAW:

"barangsiapa yang beriman pada Allah dan hari akhir maka hendaknya dia berkata baik atau diam" (HR Al Bukhari)

maka semuanya merupakan tadzkir tentang  keimanan dan bukan merupakan syarat dalam taklif hukum, bahkan juga bukan syarat absahnya juga bukan syarat penunaiannya, apalagi bahwa keimanan pada Allah dan hari akhir itu tidak (otomatis) menjadikan seseorang itu sebagai muslim. Orang Yahudi, mereka beriman pada Allah dan juga hari akhir, karena itulah Allah menyeru mereka dengan firman-Nya:

 

"Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman" (TQS An Nisa'(4):136)

seruan ini untuk  orang Yahudi. Oleh karena itu adanya indikasi seruan dengan "wahai orang yang beriman" bukanlah berarti bahwa seruan tersebut dikhususkan bagi kaum Muslim saja, tapi itu merupakan tadzkir (untuk mengingatkan) tentang keimanan, sedangkan seruannya meliputi kaum Muslim maupun non Muslim karena keumuman seruan-seruan taklif tersebut. Karenanya maka seruan taklif tersebut tetap bersifat umum mencakup orang-orang kafir serta kaum Muslim. Begitulah seterusnya. Maka sungguh orang-orang kafir semua diseru dengan umumnya syariah baik pokok maupun cabang, dan khalifah diperintahkan untuk menerapkan semua hukum syara' atas mereka. Dan pengecualian tersebut dari aspek penerapan hukum, bukan dari aspek seruan, yaitu pada hukum-hukum yang terdapat nash-nash (yang menjelaskan) baik dalam al-Qur'an atau Hadits bahwa  hukum tersebut tidak diterapkan atas mereka, atau hukum-hukum yang nash yang datang (menjelaskan) bahwa hukum-hukum tersebut khusus untuk kaum muslim. Selain  itu  seluruh hukum Islam diterapkan atas orang-orang kafir persis sama sebagaimana kaum Muslim.

DALIL PUASA RAMADHAN DALAM AL-QUR'AN DAN HADIST

 

TIDAK ADA HUKUM SEBELUM DATANGNYA SYARA'

Segala sesuatu dan perbuatan itu tidak boleh diberi status hukum kecuali apabila  terdapat dalil syar'I atas hukum tersebut. Karena tidak ada hukum atas segala sesuatu demikian pula dengan perbuatan bagi orang yang berakal sebelum datangnya syara'. Allah Ta'ala berfirman:

 

"…dan Kami tidak akan meng`azab sebelum Kami mengutus seorang rasul" (TQS. Al Isra'(17):15)

Allah Ta'ala berfirman:

"…agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu" (TQS An Nisa' (4):165)

 

Dan karena hukum tidak bisa ditetapkan kecuali salah satu dari dua hal, mungkin syara' dan mungkin akal. Adapun akal, tidak ada tempat bagi akal disini karena masalahnya adalah masalah mewajibkan dan mengharamkan dan akal tidak mungkin untuk mewajibkan atau mengharamkan, dan hal tersebut memang tidak mengikuti akal tapi mengikuti syara' maka hukum tersebut  tergantung pada syara'. Dengan  asumsi bahwa tidak ada hukum  sebelum datangnya  syara' maka hukum tergantung pada datangnya syara' dari Allah, artinya terkait dengan syariat sebagai satu kesatuan tergantung pada kedatangan seorang Rasul, dan dalil syara' apabila terkait dengan masalah yang diinginkan proses istidlal atas masalah tersebut. Adapun terkait dengan Rasul, maka ini tampak jelas pada ayat, karena penafian adzab atas manusia sebelum diutusnya seorang Rasul menunjukkan bahwa mereka tidak dibebani untuk melaksanakan hukum maupun akidah, maksudnya tidak adanya  taklif atas mereka dengan sesuatu, dan memang tidak ada pengertian lain selain  peniadaan hukum secara pasti atas manusia sebelum Allah mengutus seorang Rasul pada mereka. Berdasarkan ini maka ahlul fatrah yang selamat, yaitu mereka yang hidup diantara lenyapnya risalah dan bangkitnya risalah. Maka hukum atas mereka adalah hukum mereka yang risalah tidak sampai pada mereka, dan itu berlaku sebagaimana orang yang hidup sebelum diutusnya Rasulullah Muhammad SAW. Ini juga berlaku bagi siapa saja yang risalah Sayyidina Muhammad SAW belum sampai pada mereka dalam bentuk yang dapat dilihat, merekapun seperti ahlul-fatrah yang selamat, karena  ayat diatas (juga) berlaku untuk mereka, dan mereka dipandang bahwa Rasul belum diutus pada mereka, karena risalah Rasul memang belum disampaikan pada mereka. Maka  dosa tidak sampainya risalah tersebut dibebankan pada mereka yang mampu tapi tidak melakukan. Karena itu, sebelum diutusnya seorang Rasul tidak bisa dikatakan bahwa hukum atas sesuatu itu halal maupun haram, karena tidak ada hukum atas sesuatu tersebut, demikian pula dengan perbuatan. Bahkan manusia mengerjakan perbuatan yang ia kehendaki tanpa terikat dengan suatu hukum. Dan dalam pandangan Allah tidak ada sesuatupun sampai Allah mengutus pada mereka seorang Rasul. Dengan  begitu keterikatan pada hukum-hukum Allah yang disampaikan oleh seorang rasul itu berdasarkan apa yang disampaikan.

Adapun setelah diutusnya seorang Rasul dan  setelah penyampaian risalahnya, dilihat terlebih dahulu. Jika risalah tersebut datang dengan sesuatu tertentu dan mereka diperintahkan untuk mengikuti risalah lainnya sebagaimana yang terjadi pada Sayyidina Isa maka mereka terikat dengan hukum-hukum risalah yang disampaikan pada mereka, mereka wajib mengikuti risalah tersebut dan mereka akan disiksa karena tidak terikat dengan risalah tersebut sampai dengan dihapuskannya risalah ini. Tapi apabila  risalah rasul itu datang dengan sesuatu dan tidak berlawanan dengan sesuatu  (yang lain) maka mereka terikat dengan apa yang datang saja dan mereka tidak disiksa atas risalah yang tidak sampai pada mereka. Adapun apabila risalah rasul tersebut bersifat umum atas segala sesuatu dan risalah tersebut datang untuk menjelaskan segala sesuatu maka mereka terikat dalam semua hal pada risalah ini. Itu  sebagaimana kondisi bersama dengan Sayyidina Muhammad Rasulullah, risalah beliau  bersifat umum mencakup segala sesuatu dan risalah tersebut datang untuk menjelaskan segala sesuatu, oleh karena itu tidak ada hukum kecuali apa yang ada di dalamnya. Karena mafhum firman-Nya Ta'ala:

  

"…dan Kami tidak akan menyiksa sampai Kami mengutus seorang Rasul" (TQS Al Isra' (17):15)

artinya bahwa sesunguhnya  Kami akan menyiksa siapa saja yang telah Kami utus pada mereka seorang Rasul dan  mereka menyalahi risalah yang dibawa oleh Rasul tersebut. Dan hukum satu-satunya adalah risalah rasul yang disampaikan oleh beliau maka Allah akan menyiksa setiap orang yang menyalahinya. Oleh karena itu tidak ada hukum atas sesuatu maupun perbuatan sampai ada dalil atas sesuatu atau perbuatan tersebut. Atas dasar ini tidak bisa dikatakan bahwa pada dasarnya hukum atas sesuatu maupun perbuatan adalah haram, dengan argumentasi bahwa mengelola milik Allah tanpa idzin-Nya adalah haram sebagai bentuk  analog dengan makhluk sebab ayat tersebut secara sharih (menyatakan) bahwa sesungguhnya Allah tidak menyiksa sampai Allah mengutus seorang rasul maka tidak berlaku sampai dijelaskan hukum, juga  karena anolog suatu yang hadir (syahid) atas sesuatu yang tidak hadir (gahib) itu  sama sekali tidak boleh sebab  analog itu dilakukan untuk sesuatu  yang tidak hadir  atas sesuatu yang hadir  dan bukan sebaliknya. Lebih dari itu bahwa makhluk itu saling menimbulkan madharat, sedangkan Allah SWT Maha Suci dari segala manfaat dan madharat. Demikian  pula tidak bisa dikatakan bahwa pada dasarnya perbuatan dan sesuatu itu adalah mubah dengan argumentasi bahwa pemanfaatan tersebut  bebas dari tanda-tanda yang merusak dan madharat bagi pemilik maka dibolehkan. Tidak bisa dikatakan demikian, karena mafhum ayat tersebut bahwa  manusia itu sesungguhnya terikat dengan apa saja yang datang bersama Rasul karena Allah Allah akan mengadzab pelanggaran terhadap yang dibawa oleh Rasul tersebut, maka pada dasarnya adalah mengikuti Rasul dan terikat dengan hukum-hukum dari risalah beliau, dan bukannya pada dasarnya adalah mubah atau dengan kata lain tidak terikat (dengan risalah tersebut). Karena keumuman ayat-ayat hukum menunjukkan atas wajibnya kembali pada syara' dan terikat dengannya. Allah Ta'ala berfirman:

 

"…Tentang sesuatu apapun kamu berselisih maka putusannya (terserah) kepada Allah" (TQS Asy-syura (42):10)

Dan firman-Nya:

 

"…Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya)"(TQS An Nisa'(4):59)

 

Dan firman-Nya:

 "Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur'an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri" (TQS An Nahl (16):89)

dan karena rasulullah SAW bersabda, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ad Daruquthni:

 

"setiap hal yang bukan termasuk dalam urusan kami maka itu ditolak" (HR Ad Daruquthni)

ini semua menunjukkan bahwa pada dasarnya adalah mengikuti syara' dan terikat dengannya. Dan karena pengambilan manfaat yang terlepas dari tanda kerusakan dan madharat dari pemilik itu bukanlah argumetasi bahwa pada dasarnya boleh. Tidakkah anda perhatikan bahwa zina dengan wanita yang dipastikan tidak bersuami membenarkan bentuk pemanfaatan yang bebas dari yang bebas dari tanda-tanda kerusakan dan madharat bagi si pelaku, tapi itu diharamkan. Dan sesungguhnya bohong untuk bergurau padahal untuk tertawa dan untuk kesenangan bagi keduanya, sementara bagi  yang berbohong maupun yang dibohongi tersebut bebas dari tanda-tanda kerusakan maupun madharat bagi sang pemilik, meski begitu berbohong tersebut diharamkan. Terlebih  lagi bahwa setelah datangnya syara' maka bagi sesuatu dan perbuatan ada hukum, maka pada dasarnya di dalam syara' membahas sesuatu dan perbuatan apakah ada hukum atau tidak, bukan menganggap pada dasarnya sebagai hal yang mubah, dan menetapkan hukum mubah atas perbuatan dan sesuatu berdasarkan akal secara langsung  padahal syara' ada. Demikian pula tidak bisa dikatakan bahwa pada dasarnya atas sesuatu itu adalah tawaqquf dan tidak ada hukum. Karena tawaqquf artinya mengabaikan suatu aktifitas dan mengabaikan hukum syara' dan itu tentu tidak boleh, karena  sesungguhnya yang telah ditetapkan dalam Al Qur'an dan as-Sunnah ketika tidak ada pengetahuan adalah bertanya atas suatu hukum dan bukan tawaqquf dan tidak ada hukum.  Allah Ta'ala berfirman:

 

"Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui…"(TQS An Nahl(16):43).

dan sabda beliau SAW pada hadits tayammum, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Dawud:

 

"..mengapa tidak bertanya karena obat orang yang tidak tahu adalah bertanya" (HR Abu Dawud).

ini (semua) menunjukkan bahwa pada dasarnya bukan tawaqquf dan tidak ada hukum. Atas dasar hal tersebut maka setelah diutusnya Rasulullah SAW maka hukum tersebut adalah bagi syara' dan lebih menjelaskan  lagi bahwa tidak ada hukum sebelum datangnya syara', maka hukum itu ditentukan oleh syara' atau dengan kata lain tergantung pada adanya dalil syara' atas satu masalah. Oleh karena itu suatu masalah tidak diberi hukum kecuali dari dalil sebagaimana tidak diberikan suatu hukum kecuali setelah adanya syara'. Maka pada dasarnya hendaknya membahas hukum dalam syara', maksudnya bahwa pada dasarnya hendaknya membahas tentang dalil syara' bagi suatu  hukum syara'.

Tinggal satu  persoalan. Yaitu apakah syariah Islam itu mencakup seluruh hukum atas fakta yang telah lewat secara keseluruhan, problematika yang sedangn berlangsung secara keseluruhan serta kejadian-kejadian yang mungkin akan terjadi secara sempurna? Jawabnya adalah bahwa tidak satupun kejadian yang terjadi atau problem yang dihadapi atau kejadian yang berlangsung kecuali baginya terdapat hukum. Sungguh syariat Islam itu telah mencakup semua perbuatan manusia dengan cakupan yang sempurna dan menyeluruh. Maka tidak terjadi sesuatu di masa yang lalu, juga sesuatu yang dihadapi dimasa sekarang dan juga kejadian yang terjadi dimasa yang akan datang kecuali bagi setiap sesuatu tersebut ada hukumnya dalam syariat. Allah Ta'ala berfirman:

 

"dan sungguh Kami turunkan pada kalian al-Kitab yang menjelaskan segala sesuatu" (TQS An Nahl(16):89)

dan Dia Ta'ala berfirman:

"…hari ini telah Aku sempurnakan bagi kalian dien kalian serta Aku sempurnakan atas kalian nikmat-Ku" (TQS Al Maidah(4):3)

maka syariat sama sekali tidak mengabaikan sesuatupun dari perbuatan-perbuatan hamba, apapun itu. Adakalanya ditegaskan dengan dalil bagi perbuatan hamba tersebut   dengan nash al-Qur'an dan Hadits, adakalanya dengan meletakkan indikator baik di dalam al-Qur'an maupun Hadits yang mengingatkan pada orang mukallaf atas maksud indokator tersebut di dalamnya serta atas hal yang membangkitkan pensyari'atan hukum tersebut  untuk diterapkan atas setiap hal yang di dalamnya terdapat  indikator atau sesuatu yang membangkitkan (hukum) tersebut. Dan secara syar'I tidak mungkin terdapat  perbuatan hamba yang tidak ada dalil atau tidak ada  indikator yang menunjuk pada hukum perbuatan tersebut.  karena didasarkan keumuman firman-Nya:

 

"..sebagai penjelasan atas semua hal..." (TQS An Nahl (16):89)

dan nash tersebut secara sharih (menjelaskan) bahwa Allah telah menyempurnakan dien ini. Maka apabila  ada klaim bahwa sebagian fakta lepas dari hukum syara' dengan pengertian bahwa disana didapatkan  sebagaian  perbuatan hamba yang syariat mengabaikan sama sekali dengan tidak ada dalil atau tidak diletakkan indikator yang mengingatkan orang mukallaf terhadap maksud indikator tersebut, maka klaim tersebut berarti bahwa disana terdapat sesuatu yang al-Kitab tidak menjelaskannya, dan bahwa dien ini tidak disempurnakan oleh Allah dengan bukti adanya perbuatan yang disebut hukumnya. Maka   berarti Islam adalah dien yang kurang. Ini  bertentangan dengan nash al-Qur'an, karenanya klaim tersebut adalah klaim yang batil. Bahkan kalau senadainya terdapat hadits-hadits ahad yang riwayatnya shahih dari Rasulullah SAW yang mengandung pengertian yang semacam ini, maksudnya terdapat sebagian perbuatan manusia yang syara' tidak datang dengan suatu hukum maka hadits-hadits yang semacam ini secara dirayah tertolak karena bertentangan dengan nash yang qath'I tsubut (pasti penetapannya) dan qath'I dalalah (pasti penunjukannya). Karena ayat:

 

"…sebagai penjelasan atas segala sesuatu"(TQS An Nahl(16):89)

dan ayat:

 

"…Aku sempurnakan bagi kalian dien kalian" (TQS Al Maidah (4):3)

adalah qath'I  tsubut dan qath'I dalalah, maka khabar ahad manapun yang bertentangan dengan ayat-ayat diatas secara dirayah ditolak. Karena itulah tidak halal bagi seorang muslim setelah memahami dua ayat yang qath'I ini untuk menyatakan adanya satu saja peristiwa yang merupakan bagian dari perbuatan manusia yang syara' tidak menjelaskan posisi hukum peristiwa tersebut, ditinjau dari sudut pandang  manapun.

Adapun apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan At-Tirmidzi dari Salman Al Farisi dia menyatakan: Rasulullah SAW ditanya tentang lemak, keju dan kulit yang di samak, beliau menjawab:

  

"yang halal itu adalah apa yang dihalalkan oleh Allah di dalam kitab-Nya sedangkan haram adalah apa yang diharamkan di dalam kitab-Nya sedangkan apa yang di diamkan maka itu merupakan bagian yang dimaafkan untuk kalian" (HR At Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Sedangkan  yang diriwayatkan oleh Abu Darda' dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda:

 

"apa yang dihalalkan oleh Allah dalam kitabnya maka itu halal dan apa yang diharamkan oleh Allah maka itu haram. Sedangkan apa yang didiamkan maka itu dima'afkan, maka terimalah apa yang dima'afkan. Sesungguhnya Allah tidak akan melupakan sesuatu, dan selanjutnya beliau membaca: " dan tidaklah Rabmu itu lupa" (Hadits dikeluarkan oleh Al Bazzar).

Sedangkan  apa yang diriwayatkan oleh Al Baihaqi dari jalur (sanad) Tsa'labah dari Nabi SAW, bahwa beliau bersabda:

 

" Sesungguhnya Allah memfardhukan kwajiban-kwajiban maka janganlah kalian menyempitkannya dan Allah telah menetapkan batasan-batasan maka janganlah kalian melampauinya dan ketika Allah diam atas sesuatu itu merupakan rahmat bagi kalian, bukan karena lupa. Maka janganlah kalian membahasnya" (HR Al Baihaqi).

Dari satu sisi hadits-hadits tersebut  merupakan khabar ahad dan -dari sisi pengertian-tidak ada pertentangan dengan nash yang qath'I. Artinya hadits-hadits ini tidak menunjukkan adanya  sesuatu yang tidak dijelaskan oleh syara', tetapi hadits-hsdits tersebut menunjukkan bahwa disana ada sesuatu yang Allah Ta'ala tidak mengharamkannya sebagai rahmat untuk kalian, dan  Allah mema'afkan serta tidak mengharamkan sesuatu tersebut. Maka topik bahasan hadits-hadits  tersebut bukanlah diam dari mensyariatkan hukum-hukum tapi hadits-hadits tersebut diam dari mengharamkan. Pengertian  diam dari mengharamkan itu bukan berarti pensyariatan hukum mubah atas semua hal yang syara' tidak menjelaskannya, tapi sesungguhnya diam ini adalah diamnya  pembuat syara' untuk mengharamkan dan diamnya pembuat syara'  untuk  mengharamkan itu artinya adalah halal, dan termasuk di dalamnya adalah wajib, sunnah, mubah, makruh dan itu diimplementasikan pada hal-hal yang pembuat syara' diam atas hal-hal tersebut saja, bukan pada terhadap setiap hal yang pembuat syara' tidak menjelaskannya. Karena sesungguhnya pengertian hadits-hadits "memaafkan atas segala sesuatu ini" ditilik dari firman-Nya Ta'ala:

 

"Semoga Allah mema`afkanmu…" (TQS At Taubah(9):43).

dengan dalil nash-nash hadits-hadits tersebut dan juga berdasarkan dalil atas apa  yang ditunjukkan oleh konteks pembicaraan hadits-hadits tersebut yaitu larangan untuk mempertanyakan hal-hal yang tidak diharamkan, karena kemudian akan diharamkan. Dari Ibnu Abbas RA, dia berkata: " hal-hal yang tidak disebut di dalam Al- Qur'an berarti termasuk hal-hal yang Allah mema'afkannya" sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Asy Syatibi dalam kitab Al Muwafaqat. Dan diriwayatkan dari Ibnu Syaibah dalam kitab Mushannafnya bahwa Ibrahim bin Saad bertanya pada Ibn Abbas tentang apa yang diambil dari harta ahli dzimmah? Dia menjawab: dima'afkan. Ath Thabari meriwayatakan dari  Ubaid bin  Umair (dia menyatakan): "Allah menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram, maka yang apa yang dihalalkan adalah halal dan apa yang diharamkan adalah haram, sedangkan apa yang didiamkan adalah dima'afkan". Sungguh Nabi SAW tidak menyukai banyaknya pertanyaan atas hal-hal yang hukumnya  tidak diturunkan berdasarkan hukum al-bara'atul-ashliyyah (pada dasarnya dibebaskan), karena al-bara'atul-ashliyyah memang merujuk pada pengertian ini. Dan pengertiannya adalah bahwa perbuatan-perbuatan yang bersama dengan al-bara'atul-ashliyyah dimaafkan darinya. Sungguh beliau  Alaihish-shalatu was-salam bersabda:

 

"sesungguhnya perbuatan kriminal yang paling besar yang dilakukan oleh kaum Muslim atas orang Muslim lainnya adalah orang yang bertanya tentang (hukum) sesuatu yang tidak diharamkan atas mereka kemudian diharamkan atas mereka karena banyaknya bertanya padanya" hadits dikeluarkan oleh Muslim.

dan beliau bersabda:

 

"apa yang aku larang atas kalian maka jauhilah, dan apa yang aku perintahkan atas kalian maka tunaikan semampu kalian", hadits dikeluarkan oleh Ahmad.

Muslim dan Ahmad telah mengeluarkan (hadits) dari Abu Hurairah, dia berkata: Rasulullah SAW telah berkhutbah pada kami, beliaupun bersabda:

 

"wahai manusia Allah telah memfardhukan pada kalian haji, maka berhajilah kalian". lalu bertanyalah seorang laki-laki: apakah tiap tahun wahai Rasulullah? Beliaupun diam, laki-laki tersebut sampai menanyakannya tiga kali, lalu Rasulullah SAW bersabda:

 

"kalau seandainya aku katakan ya maka menjadi wajib dan kalian tidak mampu melakukannya", kemudian beliau bersabda:

 

"biarkanlah dengan apa yang aku tinggalkan pada kalian".  Ini semua menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan sabda beliau:" dan apa yang didiamkan atas sesuatu" maksudnya adalah yang tidak diharamkan. Dan itu dapat ditilik dari sabda beliau dalam hadits yang lain: "…biarkanlah dengan apa yang aku tinggalkan". Ditegaskan  oleh riwayat yang lain pada hadits yang sama yaitu: "dan apa yang dimaafkan atas sesuatu" maksudnya adalah dibolehkan dan tidak diharamkan. Atas  dasar hal tersebut sabda Rasulullah: " dan ketika membiarkan sesuatu" atau sabda beliau "dan apa saja yang didiamkan maka itu dimaafkan" tidak menjadikan pengertian bahwa syara' tidak menjelaskan hukum sebagian perbuatan hamba, tapi pengertiannya adalah bahwa syara' tidak mengharamkan sesuatu sebagai rahmat atas kalian, dan hal-hal  yang syara' tidak mengharamkannya sesuatu tertentu yang termasuk kategori hukum diam maka itu tidak diharamkan, maka hukumnya adalah halal. Maka masalahnya adalah  berkaitan dengan diamnya beliau SAW, sedangkan diamnya beliau adalah dalil syara' sebagaimana sabda beliau, perbuatan beliau, dan sama sekali tidak berkaitan dengan  tidak adanya  penjelasan terhadap hukum sesuatu.

Ini dari sisi pengertian hadits, sedangkan dari sisi penggunaan  hadits dalam hukum syara', sesungguhnya perbuatan orang-orang mukallaf sebagai mukallaf  alternatifnya adalah  mungkin secara global tercakup dalam khitab taklif, baik itu iqtidha' atau takhyir dan mungkin   tidak. Apabila secara global tercakup dalam khitab taklif maka merupakan keharusan bahwa dalam syariat tersebut ada satu hukum, karena sesuatu tersebut merupakan bagian yang tercakup dalam khitab taklif. Jika  secara global tidak termasuk dalam khitab taklif maka konskuensinya adalah ada sebagian mukallaf keluar dari hukum khitab taklif, meski pada waktu atau dalam kondisi tertentu, ini tentu adalah sesuatu yang bathil dari asasnya. Karena kalau kita sebagai mukallaf diwajibkan terikat dengan syara'  maka sama sekali tidak benar untuk keluar dari syara' dan jika kita diwajibkan oleh syara' sebagai orang yang bukan mukallaf maka itu merupakan kwajiban yang bathil karena taklif itu bersifat umum sesuai dengan keumuman khitab taklif, maka khitab taklif tersebut mencakup semua keadaan dan setiap waktu. berdasarkan ini adalah tidak mungkin menjadikan (pengertian) sabda beliau Alaihis-salam: " dan diamnya atas sesuatu" dengan bahwa syara' tidak menjelaskan hukumnya sebagai konskensi adanya orang-orang dalam keadaan atau waktu tertentu tidak terkategorikan sebagai mukallaf. Maka tidak ada pengertian lain kecuali diam dari pengharaman atas sesuatu. Karena itu maka sesungguhnya hadits tersebut tidaklah menunjukkan bahwa terdapat perbuatan manusia yang syara' tidak menjelaskanya, dengan demikian gugurlah istidlal tersebut. Dan dengan begitu semakin menguatkan kaidah syara'


"bahwa pada dasarnya perbuatan manusia itu terikat dengan hukum Allah"

Maka tidak diperbolehkan bagi seorang muslim untuk melakukan  suatu perbuatan kecuali setelah mengetahui hukum Allah atas perbuatan tersebut yang bersumber dari seruan pembuat syara'. Adapun  mubah adalah merupakan salah satu  hukum syara' karenanya  harus ada dalil yang menunjukkan atas kemubahan tersebut  dari syara', dan tiadanya penjelasan syara' atas sesuatu bukanlah merupakan dalil atas kemubahan sesuatu apalagi merupakan dalil atas ketidaksempurnaan syariat. Sejatinya dalil yang menunjukkan kemubahan  atas sesuatu adalah merupakan penegasan dari pembuat syara' (adanya kebolehan) untuk memilih di dalamnya.

Ini jika berkaitan dengan amal. Adapun  yang berkaitan dengan sesuatu, sebenarnya  sesuatu itu selalu terkait dengan perbuatan, pada dasarnya sesuatu itu adalah mubah selama tidak ada dalil yang mengharamkannya. Maka pada dasarnya sesuatu itu adalah mubah dan bukan haram, kecuali ada dalil syara' yang mengharamkannya. Sebab nash-nash syara' memang telah membolehkan segala sesuatu dan nash-nash ini datang dalam bentuk umum, mencakup segala sesuatu. Dia Ta'ala berfirman:

 

"Apakah kamu tiada melihat bahwasanya Allah menundukkan bagimu apa yang ada di bumi…" (TQS Al Hajj(22):65)

pengertian "Allah menundukkan" bagi manusia atas semua yang ada di bumi adalah Allah memubahkan semua hal yang ada di muka bumi.  Dia berfirman:

 

"Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi…" (TQS Al Baqarah (2):168)

 

Dan firman-Nya:

 

"Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah…" (TQS Al A'raf(7):31)

 Dan Dia berfirman:

 

 

"Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezki-Nya" (TQS Al Mulk(67):15)

Semua  ayat yang ada yang memubahkan sesuatu itu datang bersifat umum, keumuman ayat-ayat tersebut  menunjuk pada kebolehan atas segala sesuatu. Maka kebolehan segala sesuatu itu datang melalui seruan pembuat syara' yang umum sifatnya. Dan dalil bolehnya segala sesuatu adalah nash-nash syara' yang memang datang dengan membolehkan segala sesuatu. Ketika  syara' mengharamkan sesuatu  tertentu, harus ada nash yang men-takhsis dalil umum tersebut yang menunjukkan adanya pengecualian sesuatu ini dari keumuman yang mubah. Berdasarkan ini maka pada prinsipnya (hukum) sesuatu adalah mubah. Karena  itu kita mendapatkan bahwa syara' ketika mengharamkan sesuatu sungguh telah menegaskan sesuatu tersebut sebagai pengecualian dari umumnya nash. Maka Dia Ta'ala berfirman:

 

"diharamkan atas kalian bangkai, darah dan daging babi"(TQS Al Maidah (5):3)

dan beliau Alaihis-salam bersabda: " khamr itu diharamkan karena dzatnya" kitab Al Mabsuth menyebutkannya dari Ibnu Abbas.

maka apa yang ditegaskan oleh syara' tentang pengharaman sesuatu itu merupakan pengecualian dari keumuman nash, artinya itu merupakan pengecualian dari (hukum) asal. Dan pada dasarnya segala sesuatu adalah mubah. Tidak bisa  dikatakan bahwa sesuatu itu tidak mungkin dipisahkan dari perbuatan hamba dan hukumnya datang dari hukum perbuatan hamba maka hukumnya diambil dari perbuatan hamba. Tidak dapat dikatakan demikian, sebab sesuatu itu meski tidak bisa tidak akan selalu terkait dengan perbuatan hamba dan meski dalilnya datang dalam menjelaskan hukum perbuatan hamba, namun sesungguhnya dalil untuk perbuatan hamba ketika diindikasikan dengan sesuatu maka syara' menjelaskan tentang sesuatu itu tentang  keberadaannya yang terkait dengan perbuatan dengan dua hukum saja, dan tidak ada yang ketiga, yaitu antara mubah dan haram dan syara' sama sekali tidak menjelaskan (hukum) atas sesuatu itu selain kedua hukum diatas. Oleh karena itu tidak bisa dikatakan bahwa hukum sesuatu itu wajib atau  mandub dan syara' membatasi hukum bagi sesuatu itu dengan mubah dan haram saja. Maka sesuatu itu ditilik dari sisi ini (memang) berbeda dengan perbuatan hamba dan hukum perbuatan hamba tidak diambil untuk sesuatu meski dalilnya datang untuk menjelaskan perbuatan hamba. Dari sisi yang lain sesungguhnya keumuman dalil mubah serta penetapan untuk sesuatu tertentu dengan dalil yang pengharaman akan menjadikan bahwa yang mubah itu bersifat umum mencakup segala sesuatu sedangkan pengharaman itu khusus atas hal-hal yang memang diharamkan saja. Dengan demikian  maka hukum sesuatu ditinjau dari hukum asalnya dan dari sisi hukum-hukum yang mensifati sesuatu itu memang berbeda dengan hukum perbuatan. Maka pada dasarnya, hukum sesuatu adalah mubah, selama tidak ada dalil yang mengharamkan, dan pada dasarnya hukum perbuatan itu adalah terikat dengan hukum syara'. Sesuatu itu tidak disifati kecuali dengan halal dan haram berbeda dengan perbuatan, karena seruan pembuat syara' yang berkaitan dengan perbuatan-perbuatan itu  menjadikannya   terbagi menjadi dua kategori. Pertama, khitabut-taklif dan kedua khitabul-wadh'i. Pembuat  syara' menjadikan khitabut-taklif ada   lima macam, yaitu: fardhu, mandub/ sunnah, haram, makruh serta mubah. Sedangkan khitabul-wadh'I juga dibagi menjadi lima macam, yaitu: sebab, syarat, mani', sihhah dan buthlan dan fasad, serta azimah dan rukhshah.

Walhasil, tidak boleh dinyatakan setelah diutusnya Sayyidina Muhammad SAW untuk manusia secara keseluruhan, terdapat  perbuatan atau sesuatu yang tidak ada hukumnya. Juga  tidak boleh terdapat hukum atas sesuatu itu apa atau perbuatan itu apa tanpa adanya dalil syara' karena hukum itu adalah seruan pembuat syara'. Juga tidak boleh dikatakan bahwa setiap  hal yang hukumnya tidak dijelaskan oleh syara' adalah mubah karena mubah itu merupakan hukum syara'. Karena mubah itu adalah seruan pembuat syara' yang berkaitan dengan perbuatan hamba yang sifatnya pilihan, juga karena klaim  bahwa disana ada sesuatu yang tidak dijelaskan hukumnya oleh pembuat syara' itu artinya terdapat  sesuatu yang Al Qur'an tidak menjelaskannya, dan itu artinya  syariah tidak sempurna.  Ini tentu tidak boleh karena bertentangan dengan Al-Qur'an yang qath'I tsubut dan qath'I dalalah.  Karenanya maka tidak ada perbuatan yang mungkin dilakukan oleh manusia dan  sesuatu yang yang berkaitan dengan perbuatan manusia kecuali bahwa dalam syariat ada hukumnya. Dan  memang tidak ada hukum kecuali setelah adanya dalil yang menunjuk pada hal tersebut dari  seruan pembuat syara'. Karena tidak hukum sebelum adanya syara', yang konskuensinya tidak ada hukum sebelum diutusnya Rasul. Dan tidak ada hukum setelah diutusnya seorang Rasul kecuali dengan  dalil dari risalah yang datang yang menunjukkan  hukumnya.

 

21 Januari, 2024

PENGERTIAN AL HAKIM

 


AL HAKIM

Pembahasan yang paling penting yang berkaitan dengan hukum, yang pertama, yang paling mendesak untuk dijelaskan adalah pengetahuan tentang siapa yang menjadi rujukan sumber hukum, maksudnya siapa al-hakim itu, karena pengetahuan atas hukum dan kategorisasinya tergantung pada pengetahuan tentang al-hakim tersebut. Dan yang dimaksud dengan al-hakim disini bukanlah pemegang kekuasaan yang menerapkan semua hal yang dia memiliki kekuasaan atas hal tersebut, tapi yang dimaksud dengan al-hakim disini adalah yang memiliki otoritas untuk mengeluarkan hukum atas perbuatan dan sesuatu. Sebab apa saja yang ada  yang bersifat indrawi tidak akan kaluar dari kategori sebagai perbuatan manusia atau sesuatu yang tidak termasuk perbuatan manusia. Ketika  manusia dengan sifatnya sebagai manusia yang hidup di dalam alam semesta ini menjadi obyek bahasan, maka pengeluaran hukum adalah karena manusia dan berkaitan dengannya. Karenanya adalah merupakan keharusan adanya hukum atas perbuatan manusia dan sesuatu yang berkaitan dengan perbuatan manusia tersebut. (Pertanyaannya) adalah siapa satu-satunya yang memiliki otoritas untuk mengeluarkan hukum atas hal diatas, apakah Allah atau manusia itu sendiri? Atau dengan ungkapan lain apakah syara' atau akal? Karena yang menjadikan kita tahu bahwa ini hukum Allah adalah syara', sedangkan yang menjadikan manusia dapat menghukumi adalah akal. Maka (pertanyaannya) adalah siapa yang yang menghukumi, syara' ataukah akal?

Adapun topik bahasan hukum, maksudnya adalah sesuatu yang dikeluarkan atasnya hukum baik atas sesuatu atau perbuatan adalah hasan dan qabih, karena maksud dikeluarkannya suatu hukum adalah untuk menentukan sikap manusia terhadap suatu perbuatan apakah dia mengerjakannya atau tidak, atau dia memilih antara mengerjakan atau tidak? Serta menentukan sikapnya atas sesuatu yang berkaitan dengan perbuatannya apakah dia mengambilnya atau tidak atau dia memilih antara mengambil dan tidak. Dan penentuan sikap manusia  atas hal tersebut tentu tergantung pada pandangan manusia atas sesuatu apakah merupakan suatu yang hasan atau qabih, atau bukan hasan dan juga bukan qabih? Oleh karena itu maka obyek hukum yang dimaksud  adalah hasan dan qabih. Maka (pertanyaannya) adalah apakah hukum atas hasan dan qabih itu ditentukan oleh akal atau syara'? karena memang tidak ada alternatif yang ketiga untuk mengeluarkan hukum ini. Jawaban atas pertanyaan tersebut adalah bahwa hukum atas perbuatan maupun sesuatu itu adalah adakalanya ditentukan dari aspek faktanya, sesuatu itu apa; dari aspek kesesuaiannya dengan  tabiat manusia serta kecenderungan naluriah manusia dan pertentangan sesuatu tersebut dengan kecenderungan naluriah manusia. Ada  kalanya dari aspek pujian ketika perbuatan tersebut dikerjakan serta celaan ketika meninggalkannya, atau tidak adanya celaan dan pujian, Atau dengan kata lain ditilik dari aspek pahala dan siksa atas perbuatan tersebut atau tidak adanya pahala serta siksa. Inilah tiga prespektif untuk hukum atas sesuatu: pertama, ditinjau dari faktanya  itu apa, kedua dari aspek kesesuaian dan pertentangannya dengan  tabiat manusia dan ketiga adalah dari aspek pahala dan siksa, atau pujian atau celaan.  Adapun hukum atas sesuatu ditilik dari aspek yang pertama yaitu dari aspek faktanya itu sendiri itu apa, dan aspek yang kedua yakni  dari sisi sesuai dan tidaknya terhadap naluri manusia maka tidak diragukan lagi bahwa itu semua adalah manusia sendiri yang menentukan. atau dengan kata lain ditentukan oleh akal dan bukan syara'. Akal-lah yang memberikan hukum atas perbuatan dan sesuatu pada dua aspek ini, syara' tidak menentukan hukum atas keduanya. Karena mamang syara' tidak terlibat di dalamnya. Contohnya pandai itu terpuji sedangkan bodoh adalah tercela memang fakta keduanya gamblang sekali, antara lain adalah kesempurnaan dan kekurangan. Demikian pula dengan penilaian bahwa kaya itu terpuji dan miskin itu tercela dst. Contoh lain misalnya bahwa menyelamatkan orang yang tenggelam adalah terpuji dan mengambil harta secara dzalim adalah tercela maka sesungguhnya tabiat (manusia) menjauhi kedzaliman dan cenderung meluluskan hajat orang yang hampir mati. Demikian pula dengan sesuatu yang manis itu baik sedangkan suatu yang pahit itu tercela dst. Ini semua terpulang pada fakta sesuatu yang dirasakan oleh manusia dan yang difahami oleh akalnya atau terpulang pada tabiat manusia serta  fitrahnya, dia merasakannya dan akalnya memahaminya. Oleh karena itu akallah yang menentukan hukum atas sesuatu tersebut baik terpuji ataupun tercela, bukan syara'. Dengan kata lain yang mengeluarkan hukum atas perbuatan maupun sesuatu atas dua hal ini adalah manusia. Manusialah yang menjadi hakim atas kedua hal diatas.

Adapun hukum atas perbuatan dan sesuatu dari sisi pujian dan celaan atas perbuatan maupun sesuatu di dunia serta pahala dan siksa di akhirat tidak diragukan lagi bahwa yang menentukan adalah hanyalah Allah dan bukan manusia, dengan kata lain merupakan wewenang syara dan bukan akal. Seperti terpujinya Iman, tercelanya kekufuran, terpujinya taat dan tercelanya maksiyat, terpujinya berbohong pada saat pertempuran serta tercelanya berbohong pada penguasa kafir di luar peperangan dst. Hal tersebut disebabkan karena realitas akal itu adalah pengindraan, fakta, informasi sebelumnya dan otak. Pengindraan itu adalah bagian penting dari pilar-pilar akal, apabila manusia tidak dapat mengindera sesuatu maka akalnyapun tidak mungkin untuk mengeluarkan suatu hukum atas sesuatu tersebut. Karena akal dalam menentukan hukum atas sesuatu itu terbatas pada sesuatu yang indrawi saja, dan mustahil bagi akal untuk menentukan hukum atas sesuatu yang non indrawi. Sementara kedzaliman apakah termasuk yang terpuji atau tercela memang bukan sesuatu yang indrawi bagi manusia, karena kedzaliman bukanlah sesuatu yang indrawi, karenanya kedzaliman tidak mungkin dirasionalkan; artinya tidak memungkinkan bagi akal untuk menentukan hukum atas kedzaliman tersebut. Maka hukum apakah kedzaliman itu terpuji atau tercala, meski perasaan manusia secara fitrah menjahui kedzaliman atau ada kecenderungan padanya tetapi perasaan saja tidaklah bermanfaat (untuk memberikan kontribusi) agar akal dapat mengeluarkan hukum atas sesuatu tersebut yang tidak bisa tidak harus termasuk yang indrawi. Oleh karena itu akal tidak mungkin mengeluarkan hukum baik hasan atau qabih atas perbuatan atau sesuatu. Berdasarkan ini maka akal tidak boleh mengeluarkan hukum baik pujian maupun celaaan atas perbuatan-perbuatan atau sesuatu, karena akal  tidak  bisa mengeluarkan hukum tersebut dan mustahil bagi akal untuk hal itu.

Juga tidak boleh menjadikan kecenderungan fitri manusia untuk mengeluarkan hukum terpuji dan tercala. Karena kecenderungan tersebut akan mengeluarkan hukum terpuji atas hal-hal yang sejalan dengan kecenderungan tersebut dan mengeluarkan hukum tercela atas hal-hal yang berbeda dengan kecenderungan tersebut. Maka kadangkala hal yang sejalan dengan kecenderungan tersebut justru hal-hal yang tercela. Misalnya zina, homoseksual, melakukan penyembahan pada manusia, dan kadangkala hal-hal yang berbeda dengan kecenderungan manusia tersebut justru merupakan bagian dari hal-hal yang terpuji. Misalnya memerangi musuh, sabar atas hal-hal yang tidak disukai serta perkataan yang benar dalam keadaan-keadaan yang dapat mengakibatkan kesakitan yang teramat sangat. Maka menyerahkan hukum pada kecenderungan dan hawa nafsu artinya menjadikan kecenderungan tersebut sebagai standar bagi terpuji dan tercela, itu adalah standar yang salah secara pasti. Oleh karena itu menjadikan hukum berdasarkan pada kecenderungan adalah suatu kesalahan yang jelas. Karena hal tersebut menjadikan hukum secara salah yang bertentangan dengan fakta. Lebih dari itu hal tersebut berarti menjadikan hukum atas terpuji dan tercela berdasarkan hawa nafsu dan syahwat, bukan berdasarkan apa yang seharusnya terjadi. Karena  itu tidak boleh menjadikan kecenderungan yang sifatnya fitrah bagi manuasia tersebut  mengeluarkan hukum atas terpuji dan tercela. Selama  tidak diperbolehkannya akal untuk mengeluarkan hukum atas terpuji dan tercela, serta  tidak diperbolehkan kecenderungan yang bersifat fitriah untuk mengeluarkan hukumnya atas terpuji dan tercela  maka tidak boleh menjadikan manusia (hak) untuk mengeluarkan hukum atas terpuji dan tercala, maka yang mengeluarkan hukum atas perbuatan yang terpuji dan tercala adalah Allah dan bukan manusia. Maka yang mengeluarkan hukum atas terpuji dan tercela adalah syara dan bukan akal.

Dan lagi kalau seandainya manusia dibiarkan untuk menentukan hukum atas perbuatan-perbuatan dan sesuatu dengan terpuji dan tercela maka akan berbeda-beda pulalah hukum tersebut dengan adanya perbedaan person dan waktu, bukan termasuk kapasitas manusia untuk menentukan hukum atas terpuji dan tercela yang sifatnya tetap. Karena itu maka Allahlah yang menentukan hukum atas hal tersebut, bukan manusia. Artinya syara'lah yang menentukan hukum, bukan akal. Karena akal memang tidak dapat terlibat dalam menentukan hukum dari prespektif ini. Karena bukti-bukti yang kasat mata  menunjukkan bahwa manusia menghukumi sesuatu sebagai suatu terpuji, hari ini, kemudian besok berubah menjadi tercela. Demikian pula ketika menghukumi sesuatu sebagai hal yang buruk kemarin, kemudian hari ini dia menghukumi sesuatu yang sama sebagai sesuatu yang terpuji. Dengan begitu maka hukum atas sesuatu yang sama akan berubah-ubah danm berbeda-beda, dan tidak menjadi hukum yang tetap. Maka terjadilah kesalahan dalam menentukan hukum. Karena itulah  tidak diperbolehkan  menjadikan akal atau manusia berhak untuk menentukan hukum atas terpuji dan tercela.

Atas dasar hal adalah merupakan keharusan untuk menjadikan al-hakim atas perbuatan manusia serta atas sesuatu yang berkaitan dengannya dari sisi terpuji dan tercala adalah Allah Ta'ala, bukan manusia. Atau dengan kata lain syaara'lah yang menetukan hukum, bukan akal.

Ini dari prespektif dalil rasional (aqli) atas hasan dan qabih. Sedangkan dari sisi dalil syar'I, sesungguhnya syara' telah mengharuskan peng-hasanan dan peng-qabihan itu  dengan mengikuti Rasul serta mencela hawa nafsu. Karena  itu adalah termasuk hal yang qath'I secara syar'I, bahwa yang disebut dengan hasan adalah apa yang dihasankan oleh syara' sedangkan qabih adalah apa yang diqabihkan oleh syara'.

Maka (penetapan) hukum atas perbuatan dan sesuatu dengan terpuji dan tercela adalah untuk menentukan sikap manusia atas perbuatan dan sesuatu tersebut. Untuk sesuatu, berarti menjelaskan apakah boleh baginya mengambil sesuatu tersebut atau diharamkan, dan secara factual tidak ada diskripsi selain itu. Sedangkan untuk perbuatan manusia apakah Allah menuntut manusia untuk mengerjakan atau menuntut untuk meninggalkan atau bahkan memberikan pilihan diantara mengerjakan dan meninggalkan. Tetkala  hukum tersebut (dilihat) dari prespektif ini tidak boleh ada kecuali dari syara', maka merupakan kwajiban hendaknya hukum-hukum perbuatan manusia serta hukum-hukum atas sesuatu di dalamnya dikembalikan pada syara', bukan pada akal. Maka adalah merupakan kwajiban menjadikan hukum syara' saja yang berlaku terhadap perbuatan-perbuatan manusia serta segala sesuatu yang terkait dengan perbuatan-perbuatan mereka.

Lebih dari itu sesungguhnya hukum atas sesuatu dari prespektif halal dan haram, dan perbuatan-perbuatan manusia dari prespektif kwajiban, yang diharamkan, yang disunnahkan, yang dimakruhkan atau yang dimubahkan, dan atas perkara-perkara maupun akad-akad dari sisi keberadaannya sebagai sebab atau syarat, atau mani' atau shahih, dan bathil dan fasid, atau 'azimah dan rukhshah, itu semua bukan dari prespektif  sesuai dan tidaknya dengan  tabiat (manusia) dan bukan dari aspek faktanya seperti apa, Tapi dari prespektif terpuji dan tercela atas hal tersebut di dunia serta pahala dan siksa di akhirat. Oleh karena itu maka hukum dalam hal ini adalah wewenang syara' saja, bukan akal. Maka al-hakim yang sebenarnya atas perbuatan-perbuatan dan atas segala sesuatu yang berkaitan dengan perbuatan, serta perkara-perkara dan akad-akad adalah syara' saja dan hukum yang ditetapkan oleh akal  sama sekali tidak berlaku.

 

PENGERTIAN USHUL FIQIH

 


USHUL FIQH DENGAN ILMU FIQIH

Secara bahasa yang dimaksud dengan al-ashlu adalah sesuatu yang diatasnya dibangun sesuatu yang lain. Baik apakah bangunan tersebut sifatnya indrawi seperti pembangunan tembok diatas fondasi atau yang sifatnya pemikiran  seperti membangun ma'lul (hukum yang terdapat ilat) berdasarkan illat  dan (sesuatu) yang ditunjuk oleh suatu dalil. Maka  ushul fiqh adalah kaidah-kaidah yang fiqh dibangun diatasnya. pengertian fiqh, secara bahasa,  adalah faham. Pengertian seperti itu antara lain terdapat dalam firman-Nya Ta'ala :

 

"…kami tidak banyak mengerti tentang apa yang kamu katakan itu… " (QS. Hud (11):91)

Sedangkan menurut istilah para ahli syariah yang dimaksud dengan fiqh adalah ilmu tentang hukum-hukum syariah yang sifatnya oprasional yang diistimbathkan dari dalil-dalil yang sifatnya rinci. Dan yang dimaksud dengan ilmu tentang hukum-hukum, terkait dengan si alim terhadap fiqh tersebut, bukanlah sekedartahu, tapi pengetahuan yang memungkinkan dia memiliki otoritas atas hukum-hukum syara' tersebut. Atau dengan kata lain bahwa pengetahuan dan pendalaman tersebut sampai pada level yang dapat mengantarkan si alim terhadap hukum-hukum tersebut memiliki otoritas atas hukum-hukum tersebut. Maka dengan sekedar adanya otoritas  tersebut sudah cukup untuk menganggap siapa saja yang sampai pada level tersebut sebagai orang yang layak untuk disebut sebagai orang yang faqih, meski tidak meliputi semuanya. Namun merupakan keharusan baginya untuk memiliki pengetahuan atas hukum-hukum syara' yang sifatnya cabang, meski secara global, berdasarkan proses kajian dan proses istidlal, dan pengetahuan atas satu atau dua hukum saja tidak disebut sebagai fiqh. Demikian pula tidak disebut sebagai fiqh ilmu tentang  macam-macam dalil yang dapat digunakan sebagai hujjah. Maka ketika aku menyebut fiqh, yang aku maksud adalah kumpulan hukum-hukum oprasional yang cabang sifatnya yang diistimbathkan dari dalil-dali yang bersifat rinci, dan ketika dikatakan bahwa ini adalah kitab fiqh, maka yang dimaksud adalah suatu buku yang didalamnya terkandung hukum-hukum oprasional yang bersifat cabang. Maka ketika dikatakan sebagai ilmu fiqh, yang dimaksud adalah kumpulan hukum-hukum yang sifatnya oprasional. Namun ini hanya khusus untuk hukum-hukum yang sifatnya oprasional. Karenanya secara istilah hukum-hukum cabang dalam masalah aqidah tidak disebut sebagai fiqh, sebab  istilah fiqh memang khusus untuk hukum-hukum oprasional, cabang. Artinya (istilah fiqh hanya berkaitan) dengan hukum-hukum yang perbuatan itu dilakukan berdasar pada hukum-hukum tersebut, bukan masalah I'tiqad.

Maka pengertian ushul fiqh adalah kaidah-kaidah yang dibangun diatasnya suatu proses didapatnya  otoritas dalam hukum-hukum oprasional berdasarkan dalil-dalil yang sifatnya rinci. Oleh karenanya ushul fiqh itu ditakrifkan sebagai pengetahuan atas kaidah-kaidah yang  dapat mengantarkan pada  proses istimbath atas hukum-hukum syara' dari dalil dalil yang bersifat rinci. Sebutan  ushul fiqh ini juga berlaku atas kaidah-kaidah itu sendiri. Maka ketika kita menyebut kitab ushul fiqh, maksudnya adalah kitab yang didalamnya termaktub kaidah-kaidah tadi. Dan ketika kita katakan ini ilmu  ushul fiqh maksudnya adalah  kaidah-kaidah yang mengantarkan pada proses istimbath hukum-hukum syara' dari dalil-dalil yang sifatnya rinci. Maka pembahasan ushul fiqh adalah pembahasan tentang kaidah-kaidah dan dalil-dalil, pembahasan tentang hukum, sumber-sumber hukum, serta tatacara istimbath hukum dari sumber-sumber ini. Termasuk  cakupan ushul fiqh adalah dalil-dalil yang global dan arah penunjukannya atas hukum-hukum syara', sebagaimana  tercakupnya bagaimana kondisi orang yang beristidlal dalam hukum-hukum syara', namun secara global dan tidak bersifat rinci, atau dengan kata lain pengetahuan tentang ijtihad. Ushul fiqh mencakup pula tatacara beristidlal, yaitu at-ta'adul dan tarajih terhadap dalil-dalil. Tapi ingat bahwa ijtihad dan tarjih diantara dalil-dalil itu tergantung pada pengetahuan atas dalil-dalil dan arah dalalah dari dalil-dalil tersebut. Karena itulah dua pembahasan ini: dalil-dalil dan arah dalalahnya, merupakan  landasan ushul fiqh, disamping  pembahasan hukum dan hal-hal yang berkaitan dengan hukum tersebut.

Maka ushul fiqh adalah dalil-dalil fiqh yang sifatnya global, tidak spesifik. Seperti mutlaknya perintah, larangan, perbuatan nabi, ijma' shahabat serta qiyas. Dengan begitu dalil-dalil yang bersifat rinci tidak masuk dalam pembahasan ushul fiqh, misalnya firman Allah :

 

 "…dan dirikanlah shalat…"(TQS An Nur (24):56)

 

"…dan janganlah kalian mendekati zina…"(TQS Al Isra'(17):32)

shalatnya Rasulullah SAW di tengah-tengah ka'bah, penetapan perwalian untuk yang dibawah perwalian, dan bahwa wakil berhak mendapatkan upah jika akad perwakilannya berdasarkan upah, diqiyaskan pada hukum karyawan. Itu semua tidak termasuk kategori pembahasan ushul fiqh karena merupakan dalil-dalil yang rinci, spesifik, adapun keberadaannya sebagai contoh dalam pembahasan ushul fiqh bukan berarti merupakan bagian pembahasan ushul fiqh, karena  yang dikategorikan sebagai ushul (fiqh) adalah dalil-dalil yang sifatnya global, arah penunjukkan, keadaan orang yang berdalil dan tatacara beristidlal.

Ushul fiqh dibedakan  dengan ilmu fiqh karena obyek fiqh adalah perbuatan orang-orang mukallaf , ditinjau dari bahwa perbuatan-perbuatan mukallaf ada yang halal dan haram, sah, batal dan fasad. Sedangkan ushul fiqh obyeknya adalah dalil-dalil sam'i, ditinjau dari sudut pandang  bahwa dalil-dalil tersebut diistambathkan hukum-hukum syara' artinya  dari sisi penetapan oleh dalil-dalil tersebut atas hukum-hukum syara'. Maka menjadi keharusan untuk membahas hukum, dan hal-hal yang berkaitan dengannya, dari sisi  penjelasan siapa yang memiliki otoritas mengeluarkan hukum, atau dengan kata lain siapa yang berhak mengeluarkan hukum, maksudnya al-hakim, dan dari sisi penjelasan untuk siapa hukum tersebut dikeluarkan, atau dengan kata lain siapa yang dibebani untuk melaksanakan hukum tersebut, mahkum alaihi, dan dari sisi penjelasan hukum itu sendiri, hukum itu apa  dan hakikat hukum itu sebenarnya apa. Baru setelah itu diikuti dengan penjelasan dalil-dalil dan arah penunjukan dari dalil-dalil tersebut.

 

MAKALAH HADIST TENTANG HIJAB

  A.   Latar Belakang Telah disepakati oleh seluruh umat Islam bahwa al-Qur’an menjadi pedoman hidup baik tentang syariah maupun dalam keh...