Pengertian Balaghah
Balaghah adalah salah satu ilmu “memperindah
bahasa” dalam Bahasa Arab yang telah lama dikenal seiring dengan berkembangnya
kesusastraan Arab. Kata balaghah (بلاغة) sendiri berasal dari lafadz بلغ yang berarti sampai atau
mencapai, sama artinya dengan kata وصل dan انتهى.
Pengertian Balaghah jika merujuk persamaannya
dalam Al-qur’an, maka dapat ditemukan dalam Qs. Al-kahfi: 90
حَتَّى إِذَا
بَلَغَ مَطْلِعَ الشَّمْسِ وَجَدَهَا تَطْلُعُ عَلَى قَوْمٍ لَمْ نَجْعَلْ لَهُمْ
مِنْ دُونِهَا سِتْرًا (٩٠
Artinya:
“Sehingga jika Dia sudah sampai ke tempat
terbit matahari (sebelah Timur), Dia mendapati matahari itu menyinari
segolongan umat yang Kami tidak menjadikan bagi mereka sesuatu yang
melindunginya dari (cahaya) matahari itu.”
Secara istilah, Balaghah merupakan sifat kalaam
dan mutakallim, merujuk kepada perkataan “baligh”, yaitu yang
perkataannya tercapai/sampai sesuai yang dimaksud dan mutakallim yang baligh,
yaitu tercapai atau tersampaikan yang dikatakan.
Yang dimaksud sifat kalam yang baligh adalah
Pertama, Tanaasuq al-ashwaat (kesesuaian bunyi) : a) derajat terendahnya
ialah ketiadaan tanaafur huruf, b) derajat tertingginya ialah kesesuaian
antara bunyi dan makna. Kedua, Tarkib lughawi yang sesuai: a) shahih
(bebas dari khatha’ dan syadzdz), b) merepresentasikan makna
secara efektif. Ketiga, Mengandung unsur-unsur imajinatif yang berkesan, dari
segi Madhmun (makna) maupun dari segi Syakl (lafazh). Hubungan
diantara keduanya ibarat jasad dengan ruh.
Dengan demikian, Balaghoh dapat juga
diartikan sebagai kesesuaian antara konteks ucapan dengan situasi dan kondisi
lawan bicara (muthabaaqah al-kalaam bi muqtadhaa al-haal). Tak hanya
sesuai konteks, tapi juga disertai penggunaan kalimat atau bahasa yang fashih,
jelas, dan mudah dipahami.
Balaghah berhubungan dengan masalah kalimat,
yakni tentang tarkibnya, artinya, membekas di jiwa, keindahan kata, dan
keahlian dalam menentukan pilihan kata (diksi) yang sesuai dengan tata bahasa
dan indah didengar. Balaghah sendiri tidak dapat menjadi sifat untuk kalimat,
dan perkara inilah yang membuatnya berbeda dengan fashahah.
Fashahah berarti implementasi makna
melalui lafazh-lafazh yang jelas, meliputi : 1) Kemudahan pelafalan. 2)
Kejelasan makna (tidak gharib). 3) Ketepatan sharaf. 4) Ketepatan nahwu. Setiap
kalimat yang baligh mesti fashiih, namun tidaklah kalimat yang fashiih itu
selalu baliigh.
Obyek kajian Ilmu Balaghah ada tiga, yaitu:
1. Ilmu Bayaan ( علم البيان )
Secara bahasa, Bayaan (البيان) artinya ‘terang’ atau ‘jelas, sedang secara istilah Bayaan
adalah salah satu unsur kajian dalam Ilmu Balaghah yang menjelaskan tentang
cara-cara atau metode menyampaikan pemikiran, ide, gagasan, atau ungkapan
dengan tarkib (susunan yang bervariasi).
Kajian Bayaan ini untuk pertama kalinya
dimodifikasi oleh Abu Ubaidah Ibn al-Matsani dalam kitab ” مجاز القران ” yang berfokus pada تشبيه (penyerupaan), مجاز (majaz), dan كناية (konotasi) bahasa.
Itulah sebabnya dalam Kajian Bayaan, dipelajari tentang Tasybih.
a.
Tasybih
Tasybih yaitu Uslub
yang menunjukkan perserikatan sesuatu dengan sesuatu yang lain dalam sifatnya.
Rukun-rukun atau unsur-unsurnya ialah: 1) Musyabbah : obyek yang ingin
disifati, 2) Musyabbah bihi : sesuatu yang dijadikan sebagai model untuk
perbandingan, 3) Wajh al-syibh : sifat yang terdapat dalam perbandingan,
4) Aadaat al-tasybih : kata yang dipakai untuk menunjukkan adanya
tasybih. Bisa berupa huruf (kaaf, ka-anna), fi’il (hasiba,
zhanna, khaala, dsb), atau isim (matsal, syibh, syabiih,dan
sebagainya).
Ada beberapa
Tasybih yang dikenal, yaitu (1) Tasybih Baliigh yaitu tasybih yang
unsur-unsurnya tinggal dua saja yaitu musyabbah dan musyabbah bih.
(2) Tasybih Tamtsili (Tasybih al-Tamtsil, Matsal) yaitu jenis
tasybih yang wajh al-syibh nya murakkab dari beberapa sifat, dan
biasanya aqli. (3) Tasybih Dhamni yaitu tasybih yang dipahami dari siyaq
(konteks) kalimat, dan biasanya dilakukan dengan dua jumlah atau lebih sebagai
ganti dari satu jumlah.
Ada pula
yang disebut Tasybih Maqlub (Tasybih Yang Dibalik), yaitu Asalnya, sifat
yang ada pada musyabbah bih mesti lebih kuat daripada sifat pada musyabbah.
Namun dalam tasybih maqlub, kondisi tersebut dibalik yakni sifat yang
ada pada musyabbah lebih kuat daripada yang ada pada musyabbah bih.
Pembalikan ini dilakukan untuk tujuan mubalaghah, yakni untuk
menunjukkan bahwa sifat yang ada pada musyabbah sudah sangat kuat dan agar
perhatian memang tertuju pada musyabbah.
Adapun
Tujuan-tujuan Tasybih secara umum untuk menjadikan suatu sifat lebih mudah
diindera. Secara terperinci tujuan yang dimaksud ialah: 1) Bayaan miqdaar
al-shifat (menjelaskan kualitas sifat), 2) Taqriir al-shifat
(meneguhkan sifat), 3) Tahsiin al-musyabbah (memperindah musyabbah), 4) Taqbiih
al-musyabbah (memperburuk musyabbah), 5) Tashwiir al-musyabbah bi
shuurah al-thariifah, dan 6) Itsbaat qadhiyyah al-musyabbah.
b. Majaz
Sedang yang
dimaksud Majaz ialah Penggunaan suatu kata dengan makna yang lain daripada
maknanya yang lazim. Kebalikan dari majaz ialah haqiqah. Majaz ada dua macam,
yaitu: 1) Majaz Mursal, yaitu majaz yang tidak dibangun diatas tasybih. 2)
Isti’arah, yaitu majaz yang dibangun diatas tasybih, atau penggunaan kata tidak
dalam makna haqiqinya karena adanya hubungan keserupaan (syibh) antara makna
yang dipakai tersebut dan makna haqiqinya.
Isti’arah
diantaranya dikenal, yaitu: 1) Isti’arah Tashrihiyah, yaitu mengemukakan maksud
musyabbah dengan menggunakan lafazh musyabbah bih, dan setiap orang mesti akan
memahami bahwa maksud yang sebenarnya ialah musyabbah berdasarkan konteks
kalimatnya. Dalam hal ini sang penutur menggunakan musyabbah bih dengan
menghilangkan musyabbahnya. Konteks kalimat harus benar-benar menunjukkan bahwa
musyabbah bih tidaklah digunakan dalam makna hakikinya, tetapi sebaliknya yakni
mengandung makna musyabbah. Indikasi yang demikian ini disebut sebagai qarinah
al-isti’arah.
Yang kedua
adalah Isti’arah Makniyah, yaitu bahwa dalam isti’arah ini, musyabbah bih tidak
muncul dengan jelas akan tetapi sedikit samar. Lafazh yang menunjukkan
isti’arah dengan demikian bukanlah lafazh musyabbah bih melainkan lafazh-lafazh
yang mengiringinya atau lafazh-lafazh yang menunjukkan sifat-sifatnya.
Lafazh-lafazh ini dinisbatkan kepada musyabbah bih. Jadi, tasybih yang
ditimbulkan bersifat mudhmar didalam pikiran.
Apabila
suatu isti’arah makniyah menyerupakan sesuatu dengan manusia maka ia disebut
tasykhish (personifikasi).
c.
Kinayah
Sementara
yang dimaksud dengan Kinayah adalah penunjukan terhadap suatu makna yang
dimaksud dengan secara tidak langsung, dimana lafazh yang dipakai tidak sampai
keluar dari makna haqiqinya ke makna majazinya.
Macam-macam
kinayah itu adalah: 1) Kinayah dari shifat, 2) Kinayah dari dzat, dan 3)
Kinayah dari nisbah.
2. Ilmu Ma’aniy ( علم المعانى )
Secara bahasa, Ma’aniy berarti
‘maksud’, ‘pengertian’, atau ‘makna’. Yang dimaksud sebenarnya Ma’any
dalam kajian Ilmu Balaghah adalah penyampaian melalui ungkapan sesuatu yang ada
dalam pikiran seseorang atau gambaran dari pikiran.
Abd al-Qahir al-Jurzanji, seorang ulama ahli
bahasa Arab mengungkapkan bahwa fokus kajian ma’aniy adalah kalimat-kalimat
(Jumlah) dalam Bahasa Arab. Asas dari jumlah ialah isnad yang terbagi dua,
yaitu jumlah khabariyah (khabar) dan jumlah insya-iyah (Insya’).
Tujuan-tujuan Khabar yaitu: 1) Tujuan asal
dan yang lazim ialah untuk memberitahu kepada mukhathab sesuatu yang belum ia
ketahui. 2) Tujuan lainnya ialah ta’tsir nafsi (memberikan kesan
kejiwaan) yang meliputi : ‘izhah (nasihat), sikhriyah(olok-olok),
istihtsaats (membangkitkan semangat), dan madh (pujian).
Bentuk-bentuk Khabar, yaitu: 1) Uslub (dharb)
ibtida-iy : tanpa adat ta’kid, digunakan apabila mukhathab dalam
keadaan khaliy al-dzihni. 2) Uslub (dharb) thalabiy : menggunakan
satu ta’kid, digunakan apabila mukhathab ragu-ragu sehingga membutuhkan
penegasan. 3) Uslub (dharb) inkariy : menggunakan dua ta’kid atau lebih,
digunakan jika mukhathab mungkir terhadap khabar.
Sedang jenis-jenis insya’ yang terpenting
adalah Amr, Nahy, Istifham, dan Tamanniy. Shighat-shighat amar yaitu: 1) F’il
amar. 2) Fi’il mudhari’ yang didahului oleh laam amr. 3) Mashdar sebagai
pengganti fi’il amar, sedang makna amar adalah talab al-fi’il dari otoritas
yang lebih tinggi kepada otoritas yang lebih rendah. Makna nahy sendiri adalah
talab tark al-fi’il dari otoritas yang lebih tinggi kepada otoritas yang lebih
rendah. Terkadang amar dan nahy mempunyai makna lain, yaitu: 1) Doa. 2)
Tahqiir. 3) Tahdiid. 4) Nasihat. 5) Sikhriyyah (olok-olok)
Untuk Istifham memiliki Adat-adatnya
tersendiri, yaitu 1) Dua huruf : hamzah dan hal. Perbedaan antara hamzah dan
hal : a) Hamzah bisa digunakan untuk menuntut penentuan pilihan. Dalam
hal ini hamzah disertai dengan huruf “am” (atau). b) Pertanyaan dengan hamzah
cocok jika digunakan menghadapi orang yang ragu-ragu atau mendustakan. 2)
Sembilan isim : 1. Maa : menuntut definisi hakikat yang ditanyakan. 2. Man
: menuntut penentuan yang ditanyakan berupa isim atau shifat yang berakal. 3. Ayyu
: menuntut penentuan salah satu dari hal-hal yang di-idhafah-kan kepadanya. 4. Kam
: menanyakan jumlah. 5. Kaifa : menanyakan hal (keadaan). 6. Aina
: menanyakan tempat. 7. Annaa : terkadang bermakna “darimana (min
aina)” dan terkadang bermakna “bagaimana (kaifa)”. 8. Mataa :
menanyakan waktu. 9. Ayyaana : menanyakan waktu
Terkadang istifham bisa menimbulkan makna
yang bukan makna asli istifham. Makna-makna tersebut ialah: 1) Ta’ajjub,
2) Taubikh, 3) Istihzaa’, 4) Wa’iid, 4) Tamanniy, 5)
Taqriir, 6) Istibthaa’, 7) Istihtsaats, dan 8) Tahwiil
Tamanniy disini ialah: 1) Laita, 2) Hal,
3) La’alla, 4) Lau laa, 5) Lau maa
3. Ilmu Badii’ ( علم البديع)
Ilmu badi’ adalah sesuatu yang baru yang
belum ada bahkan tidak ada contoh sebelumnya, menjelaskan tentang tata cara
atau kaifiyah memperindah kalimat dan memembuatnya sangat nikmat untuk dibaca,
diucapkan, ataupun didengar.
Dalam kajian Ilmu Badii’ lah
dijelaskan keunggulan sebuah kalimat
sehingga dapat membuatnya semakin indah, baik serta memodifikasinya dengan
keindahan kalimat tersebut sesuai dengan situasi dan kondisi lawan bicara dan
telah jelas makna yang dikehendakinya
Dalam Ilmu Badii’, dikenal Thibaaq
wa Muqaabalah. Thibaaq adalah menggabungkan dua hal yang saling
bertentangan dalam sebuah kalam, sedang Muqabalah adalah jenis thibaq
dimana terdapat dua makna atau lebih yang diikuti (disusul) dengan lawannya
secara urut.
Sebagaimana sajak yang harus ada kesesuaian
pada akhir dari hentian-hentian (waqaf) pada natsr. Dalam syi’r,
yang demikian ini disebut dengan qafiyah. Sebagian ulama tidak sepakat
apabila dikatakan bahwa kebanyakan ayat Al-Qur’an merupakan sajak-sajak.
Para Ulama lebih suka menyebutnya sebagai faashilah
(jamak : fawaashil) dibanding sajak. Alasannya: 1) Sajak itu mesti
berulang-ulang sebagaimana qafiyah dalam syi’r. Sementara, apa
yang terdapat dalam Al-Qur’an tidaklah seluruhnya demikian. 2) Sajak itu dibuat
dengan mengalahkan makna dalam rangka kesesuaian bunyi atau lafazh. Sementara,
Al-Qur’an sangat memelihara makna atau menjadikan makna sebagai hal yang
terpenting diatas yang lainnya.
Dalam Ilmu Badii’, juga dikenal Jinas,
yaitu keserupaan lafazh antara dua kata atau lebih tanpa disertai keserupaan
makna. Jinas ada dua, yaitu taamm dan naaqish. Dikenal
pula yang disebut Tauriyah, yaitu penggunaan dua kata yang sama dengan
makna yang berbeda.
Wallahu ‘alam bish-shawab.