HOME

30 November, 2023

ILMU BALAGHOH DAN OBJEK KAJIANNYA

 


Pengertian Balaghah

Balaghah adalah salah satu ilmu “memperindah bahasa” dalam Bahasa Arab yang telah lama dikenal seiring dengan berkembangnya kesusastraan Arab. Kata balaghah (بلاغة) sendiri berasal dari lafadz بلغ  yang berarti sampai atau mencapai, sama artinya dengan kata وصل dan انتهى.

Pengertian Balaghah jika merujuk persamaannya dalam Al-qur’an, maka dapat ditemukan dalam Qs. Al-kahfi: 90

حَتَّى إِذَا بَلَغَ مَطْلِعَ الشَّمْسِ وَجَدَهَا تَطْلُعُ عَلَى قَوْمٍ لَمْ نَجْعَلْ لَهُمْ مِنْ دُونِهَا سِتْرًا (٩٠

Artinya:

“Sehingga jika Dia sudah sampai ke tempat terbit matahari (sebelah Timur), Dia mendapati matahari itu menyinari segolongan umat yang Kami tidak menjadikan bagi mereka sesuatu yang melindunginya dari (cahaya) matahari itu.”

Secara istilah, Balaghah merupakan sifat kalaam dan mutakallim, merujuk kepada perkataan “baligh”, yaitu yang perkataannya tercapai/sampai sesuai yang dimaksud dan mutakallim yang baligh, yaitu tercapai atau tersampaikan yang dikatakan.

Yang dimaksud sifat kalam yang baligh adalah Pertama, Tanaasuq al-ashwaat (kesesuaian bunyi) : a) derajat terendahnya ialah ketiadaan tanaafur huruf, b) derajat tertingginya ialah kesesuaian antara bunyi dan makna. Kedua, Tarkib lughawi yang sesuai: a) shahih (bebas dari khatha’ dan syadzdz), b) merepresentasikan makna secara efektif. Ketiga, Mengandung unsur-unsur imajinatif yang berkesan, dari segi Madhmun (makna) maupun dari segi Syakl (lafazh). Hubungan diantara keduanya ibarat jasad dengan ruh.

Dengan demikian, Balaghoh dapat juga diartikan sebagai kesesuaian antara konteks ucapan dengan situasi dan kondisi lawan bicara (muthabaaqah al-kalaam bi muqtadhaa al-haal). Tak hanya sesuai konteks, tapi juga disertai penggunaan kalimat atau bahasa yang fashih, jelas, dan mudah dipahami.

Balaghah berhubungan dengan masalah kalimat, yakni tentang tarkibnya, artinya, membekas di jiwa, keindahan kata, dan keahlian dalam menentukan pilihan kata (diksi) yang sesuai dengan tata bahasa dan indah didengar. Balaghah sendiri tidak dapat menjadi sifat untuk kalimat, dan perkara inilah yang membuatnya berbeda dengan fashahah.

Fashahah berarti implementasi makna melalui lafazh-lafazh yang jelas, meliputi : 1) Kemudahan pelafalan. 2) Kejelasan makna (tidak gharib). 3) Ketepatan sharaf. 4) Ketepatan nahwu. Setiap kalimat yang baligh mesti fashiih, namun tidaklah kalimat yang fashiih itu selalu baliigh.

 

Obyek kajian Ilmu Balaghah ada tiga, yaitu:

1. Ilmu Bayaan ( علم البيان )

Secara bahasa, Bayaan (البيان) artinya ‘terang’ atau ‘jelas, sedang secara istilah Bayaan adalah salah satu unsur kajian dalam Ilmu Balaghah yang menjelaskan tentang cara-cara atau metode menyampaikan pemikiran, ide, gagasan, atau ungkapan dengan tarkib (susunan yang bervariasi).

Kajian Bayaan ini untuk pertama kalinya dimodifikasi oleh Abu Ubaidah Ibn al-Matsani dalam kitab ” مجاز القران ” yang berfokus pada تشبيه (penyerupaan), مجاز (majaz), dan كناية (konotasi) bahasa.  Itulah sebabnya dalam Kajian Bayaan, dipelajari tentang Tasybih.

a.        Tasybih

Tasybih yaitu Uslub yang menunjukkan perserikatan sesuatu dengan sesuatu yang lain dalam sifatnya. Rukun-rukun atau unsur-unsurnya ialah: 1) Musyabbah : obyek yang ingin disifati, 2) Musyabbah bihi : sesuatu yang dijadikan sebagai model untuk perbandingan, 3) Wajh al-syibh : sifat yang terdapat dalam perbandingan, 4) Aadaat al-tasybih : kata yang dipakai untuk menunjukkan adanya tasybih. Bisa berupa huruf (kaaf, ka-anna), fi’il (hasiba, zhanna, khaala, dsb), atau isim (matsal, syibh, syabiih,dan sebagainya).

Ada beberapa Tasybih yang dikenal, yaitu (1) Tasybih Baliigh yaitu tasybih yang unsur-unsurnya tinggal dua saja yaitu musyabbah dan musyabbah bih. (2) Tasybih Tamtsili (Tasybih al-Tamtsil, Matsal) yaitu jenis tasybih yang wajh al-syibh nya murakkab dari beberapa sifat, dan biasanya aqli. (3) Tasybih Dhamni yaitu tasybih yang dipahami dari siyaq (konteks) kalimat, dan biasanya dilakukan dengan dua jumlah atau lebih sebagai ganti dari satu jumlah.

Ada pula yang disebut Tasybih Maqlub (Tasybih Yang Dibalik), yaitu Asalnya, sifat yang ada pada musyabbah bih mesti lebih kuat daripada sifat pada musyabbah. Namun dalam tasybih maqlub, kondisi tersebut dibalik yakni sifat yang ada pada musyabbah lebih kuat daripada yang ada pada musyabbah bih. Pembalikan ini dilakukan untuk tujuan mubalaghah, yakni untuk menunjukkan bahwa sifat yang ada pada musyabbah sudah sangat kuat dan agar perhatian memang tertuju pada musyabbah.

Adapun Tujuan-tujuan Tasybih secara umum untuk menjadikan suatu sifat lebih mudah diindera. Secara terperinci tujuan yang dimaksud ialah: 1) Bayaan miqdaar al-shifat (menjelaskan kualitas sifat), 2) Taqriir al-shifat (meneguhkan sifat), 3) Tahsiin al-musyabbah (memperindah musyabbah), 4) Taqbiih al-musyabbah (memperburuk musyabbah), 5) Tashwiir al-musyabbah bi shuurah al-thariifah, dan 6) Itsbaat qadhiyyah al-musyabbah.

b.       Majaz

Sedang yang dimaksud Majaz ialah Penggunaan suatu kata dengan makna yang lain daripada maknanya yang lazim. Kebalikan dari majaz ialah haqiqah. Majaz ada dua macam, yaitu: 1) Majaz Mursal, yaitu majaz yang tidak dibangun diatas tasybih. 2) Isti’arah, yaitu majaz yang dibangun diatas tasybih, atau penggunaan kata tidak dalam makna haqiqinya karena adanya hubungan keserupaan (syibh) antara makna yang dipakai tersebut dan makna haqiqinya.

Isti’arah diantaranya dikenal, yaitu: 1) Isti’arah Tashrihiyah, yaitu mengemukakan maksud musyabbah dengan menggunakan lafazh musyabbah bih, dan setiap orang mesti akan memahami bahwa maksud yang sebenarnya ialah musyabbah berdasarkan konteks kalimatnya. Dalam hal ini sang penutur menggunakan musyabbah bih dengan menghilangkan musyabbahnya. Konteks kalimat harus benar-benar menunjukkan bahwa musyabbah bih tidaklah digunakan dalam makna hakikinya, tetapi sebaliknya yakni mengandung makna musyabbah. Indikasi yang demikian ini disebut sebagai qarinah al-isti’arah.

Yang kedua adalah Isti’arah Makniyah, yaitu bahwa dalam isti’arah ini, musyabbah bih tidak muncul dengan jelas akan tetapi sedikit samar. Lafazh yang menunjukkan isti’arah dengan demikian bukanlah lafazh musyabbah bih melainkan lafazh-lafazh yang mengiringinya atau lafazh-lafazh yang menunjukkan sifat-sifatnya. Lafazh-lafazh ini dinisbatkan kepada musyabbah bih. Jadi, tasybih yang ditimbulkan bersifat mudhmar didalam pikiran.

Apabila suatu isti’arah makniyah menyerupakan sesuatu dengan manusia maka ia disebut tasykhish (personifikasi).

c.        Kinayah

Sementara yang dimaksud dengan Kinayah adalah penunjukan terhadap suatu makna yang dimaksud dengan secara tidak langsung, dimana lafazh yang dipakai tidak sampai keluar dari makna haqiqinya ke makna majazinya.

Macam-macam kinayah itu adalah: 1) Kinayah dari shifat, 2) Kinayah dari dzat, dan 3) Kinayah dari nisbah.

2. Ilmu Ma’aniy ( علم المعانى )

Secara bahasa, Ma’aniy berarti ‘maksud’, ‘pengertian’, atau ‘makna’. Yang dimaksud sebenarnya Ma’any dalam kajian Ilmu Balaghah adalah penyampaian melalui ungkapan sesuatu yang ada dalam pikiran seseorang atau gambaran dari pikiran.

Abd al-Qahir al-Jurzanji, seorang ulama ahli bahasa Arab mengungkapkan bahwa fokus kajian ma’aniy adalah kalimat-kalimat (Jumlah) dalam Bahasa Arab. Asas dari jumlah ialah isnad yang terbagi dua, yaitu jumlah khabariyah (khabar) dan jumlah insya-iyah (Insya’).

Tujuan-tujuan Khabar yaitu: 1) Tujuan asal dan yang lazim ialah untuk memberitahu kepada mukhathab sesuatu yang belum ia ketahui. 2) Tujuan lainnya ialah ta’tsir nafsi (memberikan kesan kejiwaan) yang meliputi : ‘izhah (nasihat), sikhriyah(olok-olok), istihtsaats (membangkitkan semangat), dan madh (pujian).

Bentuk-bentuk Khabar, yaitu: 1) Uslub (dharb) ibtida-iy : tanpa adat ta’kid, digunakan apabila mukhathab dalam keadaan khaliy al-dzihni. 2) Uslub (dharb) thalabiy : menggunakan satu ta’kid, digunakan apabila mukhathab ragu-ragu sehingga membutuhkan penegasan. 3) Uslub (dharb) inkariy : menggunakan dua ta’kid atau lebih, digunakan jika mukhathab mungkir terhadap khabar.

Sedang jenis-jenis insya’ yang terpenting adalah Amr, Nahy, Istifham, dan Tamanniy. Shighat-shighat amar yaitu: 1) F’il amar. 2) Fi’il mudhari’ yang didahului oleh laam amr. 3) Mashdar sebagai pengganti fi’il amar, sedang makna amar adalah talab al-fi’il dari otoritas yang lebih tinggi kepada otoritas yang lebih rendah. Makna nahy sendiri adalah talab tark al-fi’il dari otoritas yang lebih tinggi kepada otoritas yang lebih rendah. Terkadang amar dan nahy mempunyai makna lain, yaitu: 1) Doa. 2) Tahqiir. 3) Tahdiid. 4) Nasihat. 5) Sikhriyyah (olok-olok)

Untuk Istifham memiliki Adat-adatnya tersendiri, yaitu 1) Dua huruf : hamzah dan hal. Perbedaan antara hamzah dan hal : a) Hamzah bisa digunakan untuk menuntut penentuan pilihan. Dalam hal ini hamzah disertai dengan huruf “am” (atau). b) Pertanyaan dengan hamzah cocok jika digunakan menghadapi orang yang ragu-ragu atau mendustakan. 2) Sembilan isim : 1. Maa : menuntut definisi hakikat yang ditanyakan. 2. Man : menuntut penentuan yang ditanyakan berupa isim atau shifat yang berakal. 3. Ayyu : menuntut penentuan salah satu dari hal-hal yang di-idhafah-kan kepadanya. 4. Kam : menanyakan jumlah. 5. Kaifa : menanyakan hal (keadaan). 6. Aina : menanyakan tempat. 7. Annaa : terkadang bermakna “darimana (min aina)” dan terkadang bermakna “bagaimana (kaifa)”. 8. Mataa : menanyakan waktu. 9. Ayyaana : menanyakan waktu

Terkadang istifham bisa menimbulkan makna yang bukan makna asli istifham. Makna-makna tersebut ialah: 1) Ta’ajjub, 2) Taubikh, 3) Istihzaa’, 4) Wa’iid, 4) Tamanniy, 5) Taqriir, 6) Istibthaa’, 7) Istihtsaats, dan 8) Tahwiil

Tamanniy disini ialah: 1) Laita, 2) Hal, 3) La’alla, 4) Lau laa, 5) Lau maa

 

3. Ilmu Badii’ ( علم البديع)

Ilmu badi’ adalah sesuatu yang baru yang belum ada bahkan tidak ada contoh sebelumnya, menjelaskan tentang tata cara atau kaifiyah memperindah kalimat dan memembuatnya sangat nikmat untuk dibaca, diucapkan, ataupun didengar.

Dalam kajian Ilmu Badii’ lah dijelaskan  keunggulan sebuah kalimat sehingga dapat membuatnya semakin indah, baik serta memodifikasinya dengan keindahan kalimat tersebut sesuai dengan situasi dan kondisi lawan bicara dan telah jelas makna yang dikehendakinya

Dalam Ilmu Badii’, dikenal Thibaaq wa Muqaabalah. Thibaaq adalah menggabungkan dua hal yang saling bertentangan dalam sebuah kalam, sedang Muqabalah adalah jenis thibaq dimana terdapat dua makna atau lebih yang diikuti (disusul) dengan lawannya secara urut.

Sebagaimana sajak yang harus ada kesesuaian pada akhir dari hentian-hentian (waqaf) pada natsr. Dalam syi’r, yang demikian ini disebut dengan qafiyah. Sebagian ulama tidak sepakat apabila dikatakan bahwa kebanyakan ayat Al-Qur’an merupakan sajak-sajak.

Para Ulama lebih suka menyebutnya sebagai faashilah (jamak : fawaashil) dibanding sajak. Alasannya: 1) Sajak itu mesti berulang-ulang sebagaimana qafiyah dalam syi’r. Sementara, apa yang terdapat dalam Al-Qur’an tidaklah seluruhnya demikian. 2) Sajak itu dibuat dengan mengalahkan makna dalam rangka kesesuaian bunyi atau lafazh. Sementara, Al-Qur’an sangat memelihara makna atau menjadikan makna sebagai hal yang terpenting diatas yang lainnya.

Dalam Ilmu Badii’, juga dikenal Jinas, yaitu keserupaan lafazh antara dua kata atau lebih tanpa disertai keserupaan makna. Jinas ada dua, yaitu taamm dan naaqish. Dikenal pula yang disebut Tauriyah, yaitu penggunaan dua kata yang sama dengan makna yang berbeda.

Wallahu ‘alam bish-shawab.

BACA ARTIKEL LAINNYA YANG BERKAITAN:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

DALIL PUASA RAMADHAN DALAM AL-QUR'AN DAN HADIST

  Dalil Puasa Ramadhan dalam Al-Qur'an Berikut empat dalil tentang puasa Ramadhan yang ada dalam Al-Qur'an: 1. Surah Al-Baqarah ...