Kerajaan-kerajaan Islam di Sulawesi
- Kesultanan
Gowa (awal abad ke-16 - 1667?)
Kesultanan Gowa atau kadang ditulis
Sejarah
Sejarah awal
Pada
awalnya di daerah Gowa terdapat sembilan komunitas, yang dikenal dengan nama Bate
Salapang (Sembilan Bendera), yang kemudian menjadi pusat kerajaan Gowa:
Tombolo, Lakiung, Parang-Parang, Data, Agangjene, Saumata, Bissei, Sero dan
Kalili. Melalui berbagai cara, baik damai maupun paksaan, komunitas lainnya
bergabung untuk membentuk Kerajaan Gowa. Cerita dari pendahulu di Gowa dimulai
oleh Tumanurung sebagai pendiri Istana Gowa, tetapi tradisi
Abad ke-16
Tumapa'risi' Kallonna
Memerintah
pada awal abad ke-16, di Kerajaan Gowa bertakhta Karaeng (Penguasa) Gowa ke-9,
bernama Tumapa'risi' Kallonna. Pada masa itu salah seorang penjelajah Portugis
berkomentar bahwa "daerah yang disebut
Dalam
sejumlah penyerangan militer yang sukses penguasa Gowa ini mengalahkan negara
tetangganya, termasuk Siang dan menciptakan sebuah pola ambisi imperial yang
kemudian berusaha ditandingi oleh penguasa-penguasa setelahnya di abadl ke-16
dan ke-17. Kerajaan-kerajaan yang ditaklukkan oleh Tumapa'risi' Kallonna
diantaranya adalah Kerajaan Siang, serta Kerajaan Bone, walaupun ada yang
menyebutkan bahwa Bone ditaklukkan oleh Tunipalangga.[1]
Tunipalangga
Tunipalangga
dikenang karena sejumlah pencapaiannya, seperti yang disebutkan dalam Kronik
(Cerita para pendahulu) Gowa, diantaranya adalah:
1.
Menaklukkan dan menjadikan bawahan
Bajeng, Lengkese, Polombangkeng, Lamuru, Soppeng, berbagai negara kecil di
belakang Maros, Wajo, Suppa, Sawitto, Alitta, Duri, Panaikang, Bulukumba dan
negara-negara lain di selatan, dan wilayah pegunungan di selatan.
2.
Orang pertama kali yang membawa
orang-orang Sawitto, Suppa dan Bacukiki ke Gowa.
3.
Menciptakan jabatan Tumakkajananngang.
4.
Menciptakan jabatan Tumailalang untuk
menangani administrasi internal kerajaan, sehingga Syahbandar leluasa mengurus
perdagangan dengan pihak luar.
5.
Menetapkan sistem resmi ukuran berat
dan pengukuran
6.
Pertama kali memasang meriam yang
diletakkan di benteng-benteng besar.
7.
Pemerintah pertama ketika orang
8.
Pertama kali membuat dinding batu
bata mengelilingi pemukiman Gowa dan Sombaopu.
9.
Penguasa pertama yang didatangi oleh
orang asing (Melayu) di bawah Anakhoda Bonang untuk meminta tempat tinggal di
10.
Yang pertama membuat perisai besar
menjadi kecil, memendekkan gagang tombak (batakang), dan membuat peluru
11.
Penguasa pertama yang meminta tenaga
lebih banyak dari rakyatnya.
12.
Penyusun siasat perang yang cerdas,
seorang pekerja keras, seorang narasumber, kaya dan sangat berani.
Raja-raja Kesultanan Gowa
1.
Tumanurunga (+ 1300)
2.
Tumassalangga Baraya
3.
Puang Loe Lembang
4.
I Tuniatabanri
5.
Karampang ri Gowa
6.
Tunatangka Lopi (+ 1400)
7.
Batara Gowa Tuminanga ri Paralakkenna
8.
Pakere Tau Tunijallo ri Passukki
9.
Daeng Matanre Karaeng Tumapa'risi'
Kallonna (awal abad ke-16)
10.
I Manriwagau Daeng Bonto Karaeng
Lakiyung Tunipallangga Ulaweng (1546-1565)
11.
I Tajibarani Daeng Marompa Karaeng
Data Tunibatte
12.
I Manggorai Daeng Mameta Karaeng
Bontolangkasa Tunijallo (1565-1590).
13.
I Tepukaraeng Daeng Parabbung Tuni
Pasulu (1593).
14.
I Mangari Daeng Manrabbia Sultan
Alauddin Tuminanga ri Gaukanna
Berkuasa mulai tahun 1593 - wafat tanggal 15 Juni 1639. Merupakan penguasa Gowa
pertama yang memeluk agama Islam.[1]
- I Mannuntungi Daeng Mattola
Karaeng Lakiyung Sultan Malikussaid Tuminanga ri Papang Batuna
Lahir 11 Desember 1605, berkuasa mulai tahun 1639 hingga wafatnya 6 November 1653 - I Mallombassi Daeng Mattawang
Karaeng Bonto Mangape Sultan Hasanuddin Tuminanga ri Balla'pangkana
Lahir tanggal 12 Juni 1631, berkuasa mulai tahun 1653 sampai 1669, dan wafat pada 12 Juni 1670 - I Mappasomba Daeng Nguraga
Sultan Amir Hamzah Tuminanga ri Allu'
Lahir 31 Maret 1656, berkuasa mulai tahun 1669 hingga 1674, dan wafat 7 Mei 1681.
1.
I Mallawakkang Daeng Mattinri Karaeng
Kanjilo Tuminanga ri Passiringanna
- Sultan Mohammad Ali (Karaeng
Bisei) Tumenanga ri Jakattara
Lahir 29 November 1654, berkuasa mulai 1674 sampai 1677, dan wafat 15 Agustus 1681 - I Mappadulu Daeng Mattimung
Karaeng Sanrobone Sultan Abdul Jalil Tuminanga ri Lakiyung. (1677-1709)
- La Pareppa Tosappe Wali Sultan
Ismail Tuminanga ri Somba Opu (1709-1711)
- I Mappaurangi Sultan Sirajuddin
Tuminang ri Pasi
- I Manrabbia Sultan Najamuddin
- I Mappaurangi Sultan Sirajuddin
Tuminang ri Pasi. (Menjabat untuk kedua kalinya pada tahun 1735)
- I Mallawagau Sultan Abdul Chair
(1735-1742)
- I Mappibabasa Sultan Abdul Kudus
(1742-1753)
- Amas Madina Batara Gowa
(diasingkan oleh Belanda ke Sri Lanka) (1747-1795)
- I Mallisujawa Daeng Riboko
Arungmampu Tuminanga ri Tompobalang (1767-1769)
- I Temmassongeng Karaeng Katanka
Sultan Zainuddin Tuminanga ri Mattanging (1770-1778)
- I Manawari Karaeng Bontolangkasa
(1778-1810)
- I Mappatunru / I Mangijarang
Karaeng Lembang Parang Tuminang ri Katangka (1816-1825)
- La Oddanriu Karaeng Katangka
Tuminanga ri Suangga (1825-1826)
- I Kumala Karaeng Lembang Parang
Sultan Abdul Kadir Moh Aidid Tuminanga ri Kakuasanna (1826 - wafat 30
Januari 1893)
- I Malingkaan Daeng Nyonri
Karaeng Katangka Sultan Idris Tuminanga ri Kalabbiranna (1893- wafat 18
Mei 1895)
- I Makkulau Daeng Serang Karaeng
Lembangparang Sultan Husain Tuminang ri Bundu'na
Memerintah sejak tanggal 18 Mei 1895, dimahkotai di Makassar pada tanggal 5 Desember 1895. Ia melakukan perlawanan terhadap Hindia Belanda pada tanggal 19 Oktober 1905 dan diberhentikan dengan paksa oleh Hindia Belanda pada 13 April 1906. Ia meninggal akibat jatuh di Bundukma, dekat Enrekang pada tanggal 25 Desember 1906.[2] - I Mangimangi Daeng Matutu
Karaeng Bonto Nompo Sultan Muhammad Tahur Muhibuddin Tuminanga ri
Sungguminasa (1936-1946)
- Andi Ijo Daeng Mattawang Karaeng
Lalolang Sultan Muhammad Abdul Kadir Aidudin (1956-1960) merupakan Raja
Gowa terakhir, meninggal di Jongaya pada tahun 1978.
- Kesultanan
Buton (1332 - 1911)
Kesultanan Buton terletak di Pulau Buton Propinsi Sulawesi
tenggara, di bagian tenggara Pulau Sulawesi . Pada zaman dahulu memiliki kerajaan
sendiri yang bernama kerajaan Buton dan berubah menjadi bentuk kesultanan yang
dikenal dengan nama Kesultanan Buton. Nama Pulau Buton dikenal sejak zaman
pemerintahan Majapahit, Patih Gajah Mada dalam Sumpah Palapa, menyebut nama
Pulau Buton.
Sejarah awal
Mpu
Prapanca juga menyebut nama Pulau Buton di dalam bukunya, Negara Kartagama.
Sejarah yang umum diketahui orang, bahwa Kerajaan Bone di Sulawesi lebih dulu
menerima agama Islam yang dibawa oleh Datuk ri Bandang yang berasal dari Minangkabau
sekitar tahun 1605 M. Sebenarnya Sayid Jamaluddin al-Kubra lebih dulu sampai di
Pulau Buton, yaitu pada tahun 815 H/1412 M. Ulama tersebut diundang oleh Raja Mulae
Sangia i-Gola dan baginda langsung memeluk agama Islam. Lebih kurang seratus
tahun kemudian, dilanjutkan oleh Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman
al-Fathani yang dikatakan datang dari Johor. Ia berhasil mengislamkan Raja Buton
yang ke-6 sekitar tahun 948 H/ 1538 M.
Riwayat
lain mengatakan tahun 1564 M. Walau bagaimana pun masih banyak pertikaian
pendapat mengenai tahun kedatangan Syeikh Abdul Wahid di Buton. Oleh itu dalam
artikel ini dirasakan perlu dikemukakan beberapa perbandingan. Dalam masa yang
sama dengan kedatangan Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al- Fathani,
diriwayatkan bahwa di Callasusung (Kalensusu), salah sebuah daerah kekuasaan Kerajaan
Buton, didapati semua penduduknya beragama Islam.
Selain
pendapat yang menyebut bahwa Islam datang di Buton berasal dari Johor, ada pula
pendapat yang menyebut bahwa Islam datang di Buton berasal dari Ternate.
Dipercayai orang-orang Melayu dari berbagai daerah telah lama sampai di Pulau Buton.
Mengenainya dapat dibuktikan bahwa walau pun Bahasa yang digunakan dalam Kerajaan
Buton ialah bahasa Wolio, namun dalam masa yang sama digunakan Bahasa Melayu,
terutama bahasa Melayu yang dipakai di Malaka, Johor dan Patani. Orang-orang Melayu
tinggal di Pulau Buton, sebaliknya orang-orang Buton pula termasuk kaum yang
pandai belayar seperti orang Bugis juga.
Orang-orang
Buton sejak lama merantau ke seluruh pelosok dunia Melayu dengan menggunakan
perahu berukuran kecil yang hanya dapat menampung
Raja Buton masuk Islam
Kerajaan
Buton secara resminya menjadi sebuah kerajaan Islam pada masa pemerintahan Raja
Buton ke-6, iaitu Timbang Timbangan atau Lakilaponto atau Halu Oleo. Bagindalah
yang diislamkan oleh Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-Fathani yang
datang dari Johor. Menurut beberapa riwayat bahwa Syeikh Abdul Wahid bin Syarif
Sulaiman al-Fathani sebelum sampai di Buton pernah tinggal di Johor.
Selanjutnya bersama isterinya pindah ke Adonara (Nusa Tenggara Timur). Kemudian
beliau sekeluarga berhijrah pula ke Pulau Batu atas yang termasuk dalam
pemerintahan Buton.
Di
Pulau Batu atas, Buton, Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-Fathani
bertemu Imam Pasai yang kembali dari Maluku menuju Pasai (Aceh). Imam Pasai
menganjurkan Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-Fathani pergi ke Pulau
Buton, menghadap Raja Buton. Syeikh Abdul Wahid setuju dengan anjuran yang baik
itu. Setelah Raja Buton memeluk Islam, Baginda langsung ditabalkan menjadi Sultan
Buton oleh Syeikh Abdul Wahid pada tahun 948 H/1538 M.
Walau
bagaimanapun. Mengenai tahun tersebut, masih dipertikaikan karena daripada
sumber yang lain disebutkan bahawa Syeikh Abdul Wahid merantau dari
Patani-Johor ke Buton pada tahun 1564 M. Sultan Halu Oleo dianggap sebagai Sultan
Buton pertama, bergelar Sultan atau Ulil Amri dan menggunakan gelar yang khusus
iaitu Sultan Qaimuddin. Maksud perkataan ini ialah Kuasa Pendiri Agama Islam.
Dalam
riwayat yang lain menyebut bahawa yang melantik Sultan Buton yang pertama
memeluk Islam, bukan Syeikh Abdul Wahid tetapi guru beliau yang sengaja
didatangkan dari Patani. Raja Halu Oleo setelah ditabalkan sebagai Sultan
Kerajaan Islam Buton pertama, dinamakan Sultan Murhum.
Ketika
diadakan Simposium Pernaskahan Nusantara Internasional IV, 18 - 20 Julai 2000
di Pekan Baru, Riau, salah satu kertas kerja membicarakan beberapa aspek
tentang Buton, yang dibentang oleh La Niampe, yang berasal dari Buton. Hasil
wawancara saya kepadanya adalah sebagai berikut:
1.
Syeikh Abdul Wahid pertama kali
sampai di Buton pada tahun 933 H/1526 M.
2.
Syeikh Abdul Wahid sampai ke Buton
kali kedua pada tahun 948 H/1541 M.
3.
Kedatangan Syeikh Abdul Wahid yang
kedua di Buton pada tahun 948 H/1541 M bersama guru beliau yang bergelar Imam
Fathani. Ketika itulah terjadi pengislaman beramai-ramai dalam lingkungan
Istana Kesultanan Buton dan sekali gus melantik Sultan Murhum sebagai Sultan
Buton pertama.
Maklumat
lain, kertas kerja Susanto Zuhdi berjudul Kabanti Kanturuna Mohelana Sebagai
Sumber Sejarah Buton, menyebut bahawa Sultan Murhum, Sultan Buton yang pertama
memerintah dalam lingkungan tahun 1491 M - 1537 M. Menurut Maia Papara Putra
dalam bukunya, Membangun dan Menghidupkan Kembali Falsafah Islam Hakiki Dalam
Lembaga Kitabullah, bahawa ``Kesultanan Buton menegakkan syariat Islam ialah
tahun 1538 Miladiyah.
Jika
kita bandingkan tahun yang saya sebutkan (1564 M), dengan tahun yang disebutkan
oleh La Niampe (948 H/1541 M) dan tahun yang disebutkan oleh Susanto Zuhdi
(1537 M), bererti dalam tahun 948 H/1541 M dan tahun 1564 M, Sultan Murhum
tidak menjadi Sultan Buton lagi kerana masa beliau telah berakhir pada tahun
1537 M. Setelah meninjau pelbagai aspek, nampaknya kedatangan Syeikh Abdul
Wahid di Buton dua kali (tahun 933 H/1526 M dan tahun 948 H/1541 M) yang
diberikan oleh La Niampe adalah lebih meyakinkan.
Yang
menarik pula untuk dibahas ialah keterangan La Niampe yang menyebut bahawa
``Kedatangan Syeikh Abdul Wahid yang kedua kali di Buton pada tahun 948 H/1541
M itu bersama Imam Fathani mengislamkan lingkungan Istana Buton, sekali gus
melantik Sultan Murhum sebagai Sultan Buton yang pertama. Apa sebab Sultan
Buton yang pertama itu dilantik/dinobatkan oleh Imam Fathani ? Dan apa
pula sebabnya sehingga Sultan Buton yang pertama itu bernama Sultan Murhum,
sedangkan di Patani terdapat satu kampung bernama Kampung Parit Murhum.
Kampung
Parit Murhum berdekatan dengan Kerisik, iaitu pusat seluruh aktiviti Kesultanan
Fathani Darus Salam pada zaman dahulu. Semua yang tersebut itu sukar untuk
dijawab. Apakah semuanya ini secara kebetulan saja atau pun memang telah
terjalin sejarah antara Patani dan Buton sejak lama, yang memang belum
diketahui oleh para penyelidik.
Namun
walau bagaimanapun jauh sebelum ini telah ada orang yang menulis bahawa ada
hubungan antara Patani dengan
Jika
kita bandingkan dengan semua sistem pemerintahan, sama ada yang bercorak Islam
mahu pun sekular, terdapat perbezaan yang sangat ketara dengan pemerintahan
Islam Buton. Kerajaan Islam Buton berdasarkan Martabat Tujuh. Daripada
kenyataan ini dapat diambil kesimpulan bahawa kerajaan Islam Buton lebih
mengutamakan ajaran tasawuf daripada ajaran yang bercorak zahiri. Walau
bagaimanapun ajaran syariat tidak diabaikan.
Semua
perundangan ditulis dalam bahasa Walio menggunakan huruf Arab, yang dinamakan
Buru Wolio seperti kerajaan-kerajaan Melayu menggunakan bahasa Melayu tulisan
Melayu/Jawi. Huruf dan bahasa tersebut selain digunakan untuk perundangan, juga
digunakan dalam penulisan salasilah kesultanan, naskhah-naskhah dan lain-lain.
Tulisan tersebut mulai tidak berfungsi lagi menjelang kemerdekaan
KEPERCAYAAN
REINKARNASI
Satu
hal yang paling menonjol pada sufisme ini, di pusat Kesultanan Wolio, ialah
kepercayaan pada reinkarnasi yang masih hidup di Buton masa kini, terutama di
pusat. Di desa-desa, kepercayaan pada reinkarnasi tidak terlalu kuat dan
dianggap sebagai ajaran Islam sebagaimana disebarkan di pusat. Secara umum, ada
empat prinsip yang dipegang teguh oleh masyarakat Buton dalam kehidupan
sehari-hari saat itu yakni: 1. Yinda Yindamo Arata somanamo Karo (Harta rela
dikorbankan demi keselamatan diri) 2. Yinda Yindamo Karo somanamo Lipu (Diri
rela dikorbankan demi keselamatan negeri) 3. Yinda Yindamo Lipu somanamo Sara
(Negeri rela dikorbankan demi keselamatan pemerintah) 4. Yinda Yindamo Sara
somanamo Agama (Pemerintah rela dikorbankan demi keselamatan agama)
Mengenai
kematian dan akhirat, bagi orang muslim penguburan diikuti dengan serangkaian
upacara Islam yang dipadukan dengan beberapa unsur tradisional. Di satu pihak,
orang Muslim Buton tahu dan sedikit banyak percaya akan ajaran Islam tentang
kiamat dan pengadilan nanti, masuk surga dan neraka. Di pihak lain, masih ada
kepercayaan yang kuat pada reinkarnasi, dan banyak orang Buton dapat mengatakan
ke dalam diri anak kecil yang mana seorang kakek, nenek, atau sanak famili yang
lain.
A. Asal-Usul Kepercayaan pada Reinkarnasi
Reinkarnasi
berarti penjelmaan (penitisan) kembali makhluk yang telah mati. Reinkarnasi
merupakan kepercayaan bahwa jiwa tinggal pada pada banyak tubuh, satu sesudah
yang lain dan dapat hidup berkali-kali di dunia sebelum akhirnya dimurnikan
seutuhnya dan dengan demikian bebas dari keharusan untuk pindak ke tubuh lain.
Menurut kepercayaan ini, jiwa sudah ada sebelum masuk ketubuh dan sesudah
kematian pun tetap ada dalam keadaan tanpa tubuh, sebelum sekali lagi menjiwai
satu tubuh dari jenis yang sama atau yang lain. Dalam berbagai bentuk,
reinkarnasi diterima oleh agama Budha, Hindhu dan Neoplatonisme.
Bila
mendengar atau membaca soal kepercayaan tentang reinkarnasi di Buton, orang
mungkin bertanya, bagaimana asal mulanya?.
Wilken
(1912:64-90) berdasarkan kepustakaan yang ada pada 1884, berkesimpulan bahwa
kepercayaan pada perpindahan arwah memang dikenal oleh berbagai suku di
Mengenai
anggapan bahwa pengaruh Hindu di Buton, ada beberapa bukti yang dapat diajukan.
Pertama, tradisi setempat menyebut adanya hubungan dengan Majapahit. Pernyataan
ini diperkuat oleh nama-nama raja Buton pada kurun waktu itu, yang menyiratkan
pengaruh Jawa Hindu, yakni Sibatara, Bataraguru, Tuarade dan Rajamulae. Menurut
cerita turun-temurun, raja keenam masuk Islam dan kemudian menggunakan gelar
sultan. Lalu ia disebut dengan Murhum, yang berasal dari bahasa Arab marhum
(Zahari 1977, I:46).
Bukti
kedua merupakan cerita, termasuk cerita turun-temurun, bahwa raja keempat, Tuarade,
dari kunjungannya ke Majapahit membawa pulang empat tanda kekuasaan. Juga dalam
sejarah Jawa tentang Majapahit, yaitu Negara Kertagama, Buton disebut sebagai
kawasan yang mempunyai hubungan dengan atau berada dibawah pengaruh Majapahit.
Bukti lain, tampak dalam cerita tentang para pengungsi Jawa dari Majapahit yang
mencari perlindungan di Pulau Buton yang bersahabat dibawah pemerintahan
Rajamulae. Di bawah penggantinya, Murhum, mereka ditekan agar masuk Islam.
Bukti
lain yang berbeda corak dapat pula digunakan karena ada kemiripan gagasan
tentang reinkarnasi di Jawa (Tengah) sebagaimana digambarkan oleh Geertz
(1960:75,76), “Pandangan ketiga, sangat luas dianut oleh semua orang, kecuali
para santri, yang mengutuknya sebagai bid’ah, merupakan gagasan tentang
reinkarnasi-bahwa ketika orang meninggal, arwahnya tidak lama kemudian masuk ke
dalam janin sebagai jalan menuju kelahiran.
Biasanya,
seorang wanita yang mengandung tiba-tiba sangat mengidamkan beberapa makanan
tertentu- sebuah jeruk yang tidak musimnya atau sebutir telur itik- makanan ini
bernyawa dan dengan demikian masuk ke dalam kandungan perempuan itu dan
dilahirkan kembali sebagai anaknya. Reinkarnasi sering tidak selalu terjadi
dalam keluarga yang sama, walaupun hubungan kekeluargaan mungkin agak jauh dan
orang yang menerima reinkarnasi tidak usah berjenis kelamin sama dengan orang
yang telah meninggal. Itu mungkin diramalkan oleh impian atau ditentukan oleh
kemiripan sifat anak dan orang yang baru saja meninggal, atau oleh tahi lalat
yang serupa.
Bagi
orang Buton, tidaklah bijaksana menceritakan kepada anak, siapa yang menitis
padanya, karena hal ini dapat mempermalukan arwah dalam diri si anak, dan ia
akan jatuh sakit. Setelah si anak berumur enam tahun atau lebih, hal itu tidak
menjadi masalah.
Soal
gagasan tentang reinkarnasi dalam sufisme dan yang tersebar di Buton, tentu
memang ada. Dalam kepustakaan mengenai sufisme
B. Gagasan-gagasan yang Berkaitan dengan Reinkarnasi
b.1 . Pengaruh terhadap waktu dan tempat reinkarnasi
Salah
seorang informan (Wolio) ingat bahwa pamannya berlaku sebagai motaurakea pada
suatu pemakaman. Keluarga orang yang meninggal itu bertanya, ‘Kemana Anda akan
bawa arwah itu?’ ia menjawab dengan serta merta, ‘Saya membawanya kesini,”
seraya menunjuk kepada satu keluarga yang hadir. Tidak begitu lama arwah
mendiang lahir kembali dalam keluarga itu. (Penelitian Antropolgi Pim Schoorl,
tentang Masyarakat, Sejarah Dan Kebudayaan Buton: 1984}
Di
Rongi pernah ada kepercayaan bahwa orang dapat berlaku sebagai pasucu, tetapi
sekarang pendapat yang dominan ialah cepatnya roh kembali tergantung pada amal
ibadahnya dan kadar dosanya. Dan diantara mereka ada yang menolak jalan pikiran
bahwa, pasucu dapat menentukan kemana arwah kemana arwah itu akan kembali. Ia
yakin bahwa arwah sumanga yang sudah bersih atau suci akan mencari sendiri
tempat yang baik. Jika tidak ada hubungan baik antara suami-istri di kalanagan
sanak terdekat, maka arwah tidak ingin kembali kesana. Tetapi arwah biasanya
kembali ke tubuh seorang cucu. Ini disebut “ditempati oleh almarhum”
(kabolisina mia mate). Kemungkinan kembalinya arwah diluar keluarga almarhum
atau bahkan di luar Rongi bisa saja terjadi.
Menurut
adat, mula-mula arwah pergi ke semacam surga (kacingkia, kepercayaan akan surga
dimana cingkaha, arwah, juga disebut sumanga, tinggal). Surga serupa dengan tempat
tinggal orang hidup, dan disanalah diambil keputusan tentang kembalinya arwah
oleh Tuhan (Kawasana Ompu).
Setiap
tahun pada hari pertama bulan puasa (Ramadhan), berlangsung pertemuan di batula
(surga), dan pada kesempatan ini arwah dapat bertanya kepada Kawasana Ompu
tentang keputusan tentang pemberian keputusan baru. Kerabat yang masih hidup
dapat meringankan nasib roh dengan memanjatkan doa untuknya dengan berzikir
dambil menyiramkan air diatas kuburan (kabubusi).
Dengan
cara ini, dosa almarhum juga dikurangi. Jika dosanya sangat besar, mungkin
arwah tidak dapat menebusnya, bahkan setelah melewati masa tujuh tahun.
Kemudian arwah itu lahir kembali, akan tetapi orang yang menjadi reinkarnasinya
akan cacat.
Dalam
pemikiran keagamaan Buton, ada tujuh alam yang diperbedakan. Pembedaan tujuh
alam itu (martabat tujuh) juga ditemukan dalam konstitusi kesultanan. Menurut
sejarah Buton, versi pertama konstitusi itu dirancang oleh sultan keempat, La
Elangi (1578-1615) dengan bantuan ahli agama dari Arab, Syarif Muhammed
(bandingkan dengan contoh gagasan reinkarnasi diatas). Tiga alam pertama, alam
ahdat (ahadiyya), alam wahadat (wahda), dan alam waahidiyat (wahdiyya), dan
secara keseluruhan merupakan wewenang Tuhan. Manusia tidak mempunyai gambaran
tentang tiga alam pertama tersebut. Alam kedua dan ketiga memiliki persamaan
dengan keadaan di bumi. Akan tetapi, hanya di alam keempat ada semacam persolan
tentang, perintah agar menjadi (kun). Ini alam arwah. Arwah berpindah ke
pikiran, otak bapak, dan menitis dalam pikiran bapak. Pasangan yang menikah
harus meminta arwah yang sempurna dan baik dari orang yang meninggal yang
tinggal bersama Rasul, bagi anaknya. Dimana akan menikmati usia panjang serta
kemakmuran dan penyempurnaan agama yang kaut. Lalu dari
Kendati
arwah masih berada dalam alam insan orang tua harus selalu berdoa untuk
kesucian. Setiap waktu, air yang digunakan untuk penyucian sebelum doa mereka
panjatkan: “Ya Tuhan, sucikan hatiku, hidupku, seperti saya berada di alam
insan”. Ini merupakan inti doa yang diucapkan dalam bentuk batata khusus, atau
ungkapan (pra-Islam).
Setelah
tiga hari jenazah menjadi bengkak, tetapi belum pecah. Dalam rentang waktu itu
arwah mencari-cari, namun tidak dapat menemukan tempat tinggal. Setelah tujuh
hari, tubuh menjadi bengkak dan mulai pecah terurai, cairan dan darah mengalir
keluar. Dalam periode ini, arwah ditiup kedalam nyawa yang didorong oleh zikir
secara terus-menerus oleh mereka yang menghadiri selamatan. Namun, arwah belum
juga masuk kedalam tubuh. Setelah empat puluh hari sebagian besar jenazah
menjadi busuk, walaupun tulamg belulang masih diliputi daging dan darah. Arwah
kemudian mengambil bentuk mereka yang pertama dalam kepala bapak, akan tetapi
masih belum mempunyai wujud lahiriyah. Baru setelah seratus hari berlalu,
sekujur mayat menjadi busuk. Kemudian arwah bersama nyawa masuk kedalam ibu
melalui pikiran bapak, dan kemudian melalui persetubuhan. Badan mulai
berkembang dan semua belum sempurna, namun masih belum tumbuh mendewasa-indapo
aseko o kauna limana, yakni jari tangan dan kaki belum terbuka. Setelah seratus
dua puluh hari seluruh tubuh sudah sempurna dan hanya tinggal tumbuh lagi.
Ilmu
tentang asal mula manusia, tentang berbagai alam tempat tinggal arwah sebelum
lahir sangat penting baik untuk orang muda maupun orang tua jika mereka ingin
terbebas dari kesombongan dan kecongkakan. Acuan pada rahim merupakan
pernyataan kerendahan hati: dengan demikian orang tidak akan lupa bahwa ia
berasal dari keadaan yang tidak bersih. Bahkan pada saat senang orang harus
sadar akan hal ini. Begitulah kepercayaan sejati. Bahkan mereka yang jarang ke
masjid namun hidup dengan pemikiran ini, adalah penganut agama yang baik. Inti
kejahatan terletak kepada kesombongan, keangkuhan, dan lupa pada asal-usul.
Ilmu
tersebut sering disebut ilmu tauhid (ilmu kejadian), ilmu tentang menjadi ada.
Ilmu ini penting jika orang ingin mengetahui tentang diri sendiri dan
asal-usulnya. Tanpa ini, orang benar-benar tidak dapat yakin adanya Tuhan.
Seandainya
orang telah mencapai ilmu itu, maka ia telah mencapai taraf kenal akan hakikat.
Pada tingkat ini, orang tidak harus sembahyang (shalat) secara teratur, karena
bila sudah dekat pada Tuhan orang tidak perlu lagi bersembahyang. Lalu orang
sudah berjalan di sisi Tuhan. Mereka yang telah mencapai taraf ini, para ahli
tasawuf atau ahli sufi, terlepas dari soal keduniaan. Mereka yang telah menimba
banyak ilmu, yang sangat mendekati Tuhan (opoopoti oputa, secara harfiah
“merenungkan Tuhan) dapat menentukan kemana arwah mereka akan pergi,
sebagaimana dapat mereka lakukan juga hal-hal lain yang tidak dapat dilakuakan
oleh orang biasa.
Di
lain pihak, dikatakan pula bahwa kehidupan baik dapat diganjar dengan kehidupan
berikut yang lebih baik. Seseorang dari golongan bangsawan lapis ketiga
(papara) dapat dilahirkan kembali sebagai anak dari walaka (lapis kedua) atau
dari La ode (lapis pertama) atau pada zaman dahulu bahkan bisa jadi adalah
sultan sendiri. Sebaliknya, seseorang yang hidup buruk dapat dilahirkan kembali
ke golongan yang lebih rendah. Terkadang hal itu juga dipandang sebagai seorang
perempuan. Dahulu perempuan biasanya meratapi kenyataan bahwa mereka dititiskan
sebagai perempuan karena orang laki-laki selalu dianggap lebih penting dan anak
laki-laki lebih dimanjakan daripada gadis.
Konon,
di Rongi orang percaya bahwa hidup buruk, seperti mengumbar nafsu birahi dapat
mengakibatkan roh kembali dalam wujud binatang. Ini bisa segala macam hewan
bahkan seekor babi.
b.2. Berubah menjadi binatang
Perjalanan
arwah ke alam binatang disebut dauru (dawr = perubahan). Dalam kepercayaan
Wolio dan Pulau Muna, perjalanan itu tidak berhubungan dengan hukuman atas
hidup buruk. Sebaliknya, orang yang dapat menjalani perubahan ini sangatlah
suci. Kisah yang terkenal ialah Sangia-i-rape, putra Sultan Murhum
(k.l.1491-1537; bandingkan dengan Zahari 1977, I:46; nama sangia juga
menunjukan kesucian).
Cerita
ini berlangsung di Muna. Sangia-i-rape terkenal telah menuntut ilmu kebatinan.
Pada suatu hati ia memperhatikan kulitnya yang mulai menyerupai kulit buaya.
Putranya Sangia Wambulu, juga mengetahuinya dan merasa malu. Ia berkata kepada
ayahnya, “Lebih baik saya bawa ayah ke laut, mandi disana.” Ketika mereka tiba
di laut, Sangia-i-rape menaruh sarungnya di atas batu dan dimandikan oleh
putranya. Ketika dimandikan, ia betul-betul berubah menjadi buaya. Karena ilmu
yang ia tuntut itu, ia dapat langsung berubah menjadi buaya. Menurut seorang
informan dari Wolio, ia jelas telah begitu dekat padaTuhan (opooputi oputa)
karena dapat menjadi apa saja yang dia inginkan. Jika seseorang sudah begitu
dekat pada Tuhan dan mencapai penyatuan dengan Tuhan seperti itu, maka ia dapat
berbuat apa saja yang disukainya.
b.3. Mengenal arwah mendiang pada anak-anak
Kadang
kala seorang kerabat dengan jelas akan menyatakan, sebelum meninggal, kepada
siapa dia akan kembali. Pada beberapa anak, reinkarnasi ini jelas kelihatan
dari roman muka dan atau kelakuan. Cucu laki-laki sultan terakhir, reinkarnasi
permainsuri sultan, membuat hal ini jelas karena sebagai anak kecil ia mampu
mengenali perhiasan mendiang permainsuri dan mengakui sebagai miliknya.
Sultan
Muhammad Idrus (Sultan XXIX: 1824-1851 M) juga tahu siapa yang menitis pada
dirinya, sedangkan putranya Mohammad Isa (Sultan XXX : 1851-1861 M), serta
merta berbicara setelah kelahirannya berkat arwah yang menitis pada dirinya.
C. Percaya pada Reinkarnasi dan Gagasan-gagasan
Keagamaan Lain
c.1. Percaya pada reinkarnasi dan Islam
Informan
yang memberikan keterangan kepada Pim Schoorl, sangat percaya pada reinkarnasi,
memperkenalkan pandangan hidup Islam yang ortodoks (kolot) tetang kehidupan
setelah mati, sedangkan ia juga mempercayai bahwa reinkarnasi sangat cocok
dengan Islam.
Doa-doa
Islam dan ayat-ayat Qur’an yang dibaca dikuburan dimaksudkan untuk membawa
kebaikan bagi orang yang mati. Jadi, ikhlas, zikir, dan tasbih dibacakan di
makam guna menjamin kesejahteraan orang yang meninggal. Istigfar dan tobat
dimasudkan untuk mendapatkan pembebasan dosa. Namun, kebajikan yang diperbuat
mendiang/almarhum melalui amal shaleh sangat menentukan.
Meskipun
demikian, ada pula kepercayaan pada kembalinya arwah yang dipandang tidak
bertentangan dengan Islam. Orang yang benar-benar percaya pada reinkarnasi
biasanya menjalani hidup dengan baik, menepati janjinya, menolak hidup mewah,
menahan semua keinginan untuk mengungguli orang lain dan menahan diri supaya
tidak sombong dan ia mengutuk tingkah laku seperti itu pada orang lain.
Mereka
memperoleh pembenaran atas kepercayaan pada reinkarnasi dalam sebuah ayat
al-Qur’an yang mereka baca sebagai pujian setiap hari setelah shalat. Disitu
dinyatakan” Perpindahan malam ke siang dan perpindahan siang ke malam; dan
masuknya hidup dari mati bagi siapa saja yang disukainya dengan tidak
menghitung. Tuliju al-layla fi an-nahari, wa-tuuliju an-nahara fi al-layli, wa
tukhriju al-hayya min al-mayyiti, wa-tukhriju al-mayyita min al-hayyi,
wa-turziqu man tahsa’u bi-ghayri hisaabin.(Qur’an,
Antara
ilmu tasawuf (Islam) dan perundang-undangan Kesultanan Buton memang ada
hubungan. Murtabat Tujuh juga menyatakan bahwa arwah berpindah, teristimewa
pada bagian: orohi yitu kalipa-lipa, rohi yitu ooni arabu, maanan olipa
(Wolio). Dalam bahasa Arab nyawa itu disebut roh, karena selalu pergi atau
berpindah dan sebab itu roh dalam bahasa Wolio dikataka lipa, artinya pergi.
Teks Wolio itu mempunyai arti harfiah: roh itu pergi terus-menerus, roh itu
kata Arab yang artinya “pergi”.
Dalam
doa kepada Tuhan, berdoa untuk para arwah juga ada bagian yang biasa dibaca:
“Ya Tuhan ampunilah kami dan dia. Biarlah dia mempunyai tempat yang lebih baik,
gantilah yang tidak baik dengan yang lebih baik dan berikanlah banyak cahaya
kepadanya dalam kuburan.” Dan untuk arwah mereka yang relatif telah lama
meninggal, maka kata-kata berikut: Engkau punya kuasa mengatur segala sesuatu.
Kami tidak tahu apakah arwah itu masih ada dalam makam atau telah berpindah ke
tubuh lain, tetapi Engkau punya kuasa mengatur segala-galanya.
Pada
tahun 1939, La Malangka, kepala desa Bau-bau dan seorang Muhamadiyyah
menegaskan mati itu adalah mati dan tidak ada soal kembali. Kepala desa
Nganganaumala, Haji Abdullah bertanya kepadanya, dimana dapat ditemuakn teks
atau ayat yang menunjukan tidak ada reinkarnasi. Dan Ia bertanya, “Apa artinya
ayat berikut dari Qur’an ini: ”Perpindahan malam dst?” (lihat di atas).
Bagaimanapun juga mati masuk kedalam kehidupan bukan mati mengganti kehidupan.
Dan La Malangka tidak mampu menjawab hal tersebut.
Islam
secara resmi tidak mencoba dengan jelas menentang kepercayaan pada reinkarnasi.
Namun, orang Buton tidak memperlihatkan kepercayaannya demi menghindari
perselisihan pendapat
c.2. Percaya pada reinkarnasi dan pemujaan leluhur
Dalam
agama Buton, ada tempat yang ditetapkan untuk pemujaan leluhur. Tetapi bukan
mendeskripsikan sebagai tempat dan ‘pemujaan’ yang terlalu jauh. Pada berbagai
upacara muslim, makam leluhur disirami air. Seorang tua yang berilmu,
memanjatkan doa atau mengucapkan patah (batata) untuk air itu. Kembang-kembang
dan wangi-wangian dibubuhkan pada air tersebut. Bila bersiap pergi jauh atau
sekembalinya, orang akan ke makam leluhur atau orang tua untuk berdoa. Orang
pergi ke kuburan orang yang telah tiada, menurut keyakinan masyarakat Buton,
orang yang telah tiada telah kembali ke kehidupan ini melalui reinkarnasi
mereka teristimewa pada anak-anak mereka sendiri. Bagi mereka hal ini merupakan
gagasan yang kompleks dan mereka tidak mencoba menetapkan hubungan yang masuk
akal.
Memang
dari penjelasan tentang diatas akan menimbulkan pertanyaan, sebagaimana pernah
terjadi percakapan antara tetua adat dengan anaknya pada tahun 1984, sang anak
menanyakan “Bagaimana mungkin banyak manusia yang lahir sedangkan jumlah arwah
tetap?” Tetua adat tersebut kemudian memberikan jawaban kepadanya bahwa satu
arwah dapat menitis lebih dari satu kali. Adakalanya seseorang yang telah
meninggal, kembali melalui lebih dari sepuluh cucu.
- Kesultanan
Bone (abad 17)
Kesultanan Bone atau sering pula dikenal dengan Kesultanan Bugis, merupakan kesultanan
yang terletak di Sulawesi bagian barat daya atau tepatnya di daerah Provinsi Sulawesi
Selatan sekarang ini. Menguasai areal sekitar 2600 km2.
Sejak
berakhirnya kekuasaan Gowa, Bone menjadi penguasa utama di bawah pengaruh Belanda
di Sulawesi Selatan dan sekitarnya pada tahun 1666. Bone berada di bawah
kontrol Belanda sampai tahun 1814 ketika Inggris berkuasa sementara di daerah
ini, tetapi dikembalikan lagi ke Belanda pada 1816 setelah perjanjian di Eropa
akibat kejatuhan Napoleon Bonaparte.
Pengaruh
Belanda ini kemudian menyebabkan meningkatnya perlawanan Bone terhadap Belanda,
namun Belanda-pun mengirim sekian banyak ekspedisi untuk meredam perlawanan
sampai akhirnya Bone menjadi bagian dari Indonesia pada saat proklamasi. Di
Bone, para raja bergelar Arumpone.
Daftar Arumpone Bone
1.
Matasi LompoE [
2.
La Umassa Petta Panre BessiE [To'
Mulaiye Panreng] (1424-1441)
3.
La Saliyu Karaeng Pelua'
[Pasadowakki] (1441-1470)
4.
We Ban-ri Gau Daeng Marawa Arung
Majang Makalappi Bisu-ri La Langpili Patta-ri La We Larang [MalajangE ri
Chiena] (1470-1490)
5.
La Tenri Sukki MappajungE (1490-1517)
6.
La Wulio BotoE [MatinroE-ri Itterung]
(1517-1542)
7.
La Tenri Rawe Bongkange [MatinroE-ri
Guchina] (1542-1584)
8.
La Icca' [MatinroE-ri Adenenna]
(1584-1595)
9.
La Pattawe [MatinroE-ri Bettung]
(15xx - 1590)
10.
We Ténrituppu [Matinroe ri Sidenreng]
(1590-1607)
11.
La Ténrirua [Matinroe ri Bantaeng] (1607-1608)
12.
La Ténripale [Matinroe ri Tallo] (1608-1626)
13.
La Ma'darémméng Matinroe ri Bukaka (1626-1643)
14.
Tobala', Arung Tanete Riawang,
dijadikan regent oleh Gowa (1643-1660)
15.
La Ma'darémmeng Matinroe ri Bukaka (1667-1672)
16.
La Ténritatta Matinroe ri Bontoala'
(Arung Palakka) petta malampeE Gemme'na Daeng Serang (1672-1696)
17.
La Patau Matanna Tikka petta Matinroe
ri Nagauléng (1696-1714)
18.
Batari Toja Daeng Talaga Arung
Timurung Datu-ri Chitta Sultana Zainab Zakiyat ud-din binti al-Marhum Sultan
Idris Azim ud-din [MatinroE-ri Tipuluna] (1714-1715) (masa jabatan pertama)
19.
La Padang Sajati To' Apawara Paduka
Sri Sultan Sulaiman ibni al-Marhum Sultan Idris Azim ud-din [MatinroE-ri Beula]
(1715-1720)
20.
Bata-ri Toja Daeng Talaga Arung
Timurung Datu-ri Chitta Sultana Zainab Zakiat ud-din binti al-Marhum Sultan
Idris Azim ud-din [MatinroE-ri Tipuluna] (1715) (masa jabatan kedua)
21.
La Parappa To' Aparapu Sappewali
Daeng Bonto Madanrang Karaeng Anamonjang Paduka Sri Sultan Shahab ud-din Ismail
ibni al-Marhum Sultan Idris Azim ud-din (1720-1721). Ia menjadi Sulta Gowa
[Tumamenanga-ri Sompaopu], Arumpone Bone, dan Datu Soppeng.
22.
I-Mappaurangi Karaeng Kanjilo Paduka
Sri Sultan Siraj ud-din ibni al-Marhum Sultan 'Abdu'l Kadir (1721-1724).
Menjadi Sulta Gowa dengan gelar Tuammenang-ri-Pasi dan Sultan Tallo dengan
gelar Tomamaliang-ri Gaukana.
23.
La Panaongi To' Pawawoi Arung Mampua
Karaeng Bisei Paduka Sri Sultan 'Abdu'llah Mansur ibni al-Marhum Sultan Idris
Azim ud-din [Tuammenang-ri Bisei] (1724)
24.
Batari Toja Daeng Talaga Arung
Timurung Datu-ri Chitta Sultana Zainab Zakiat ud-din binti al-Marhum Sultan
Idris Azim ud-din [MatinroE-ri Tipuluna] (1724-1738) (masa jabatan ketiga)
25.
I-Danraja Siti Nafisah Karaeng
Langelo binti al-Marhum (1738-1741)
26.
Batari Toja Daeng Talaga Arung
Timurung Datu-ri Chitta Sultana Zainab Zakiat ud-din binti al-Marhum Sultan
Idris Azim ud-din [MatinroE-ri Tipuluna] (1741-1749) (masa jabatan keempat)
27.
La Temmassoge Mappasossong To'
Appaware' Petta Paduka Sri Sultan 'Abdu'l Razzaq Jalal ud-din ibni al-Marhum
Sultan Idris Azim ud-din [MatinroE ri-Malimungang] (1749-1775)
28.
La Tan-ri Tappu To' Appaliweng Arung
Timurang Paduka Sri Sultan Ahmad as-Saleh Shams ud-din
[MatinroE-ri-Rompegading] (1775-1812)
29.
La Mappatunru To Appatunru' Paduka
Sri Sultan Muhammad Ismail Muhtajuddin [MatinroE-ri Laleng-bata] (1812-1823)
30.
I-Maneng Paduka Sri Ratu Sultana
Salima Rajiat ud-din [MatinroE-ri Kassi] (1823-1835)
31.
La Mappaseling Paduka Sri Sultan Adam
Nazim ud-din [MatinroE-ri Salassana] (1835-1845)
32.
La Parenringi Paduka Sri Sultan Ahmad
Saleh Muhi ud-din [MatinroE-ri Aja-benteng] (1845-1858)
33.
La Pamadanuka Paduka Sri Sultan
Sultan Abul-Hadi (1858-1860)
34.
La Singkara Rukka Paduka Sri Sultan
Ahmad Idris [MatinroE-ri Lalambata] (1860-1871)
35.
I-Banri Gau Paduka Sri Sultana Fatima
[MatinroE-ri Bola Mappare'na] (1871-1895)
36.
La Pawawoi Karaeng Sigeri
[MatinroE-ri
37.
Haji Andi Bacho La Mappanyuki Karaeng
Silayar Sri Sultan Ibrahim ibnu Sri Sultan Husain (1931-1946) (masa jabatan
pertama)
38.
Andi Pabenteng Daeng Palawa
[MatinroE-ri Matuju] (1946-1950)
39.
Haji Andi Bacho La Mappanyuki Karaeng
Silayar Sri Sultan Ibrahim ibnu Sri Sultan Husain [MatinroE-ri Gowa] (1950-1960)
(masa jabatan kedua diangkat oleh belanda)
40.
Arung Bocco Petta Daru / Petta
Pangulu / Petta Ponggawa / Petta Paladeng [MatinroE-ri Bengo] (1827-1904) (setelah
wafat tidak ada mangkau di bone selama 20 thn)
41. Ratu Bessi Kejora Saudara Kandung Dari Arung Bocco Petta Pangulu / Petta Ponggawa / Petta Paladeng [MatinroE-ri Kajuara]] ) (Adalah keturunan Langsung Dari Almarhum Jendral M.Yusuf)"