Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa
- Kesultanan
Demak (1500 - 1550)
Kesultanan Demak atau Kesultanan Demak Bintara adalah kesultanan Islam pertama di Jawa
yang didirikan oleh Raden Patah pada tahun 1478. Kesultanan ini sebelumnya
merupakan keadipatian (kadipaten) vazal dari kerajaan Majapahit, dan tercatat
menjadi pelopor penyebaran agama Islam di pulau Jawa dan Indonesia pada
umumnya. Kesultanan Demak tidak berumur panjang dan segera mengalami kemunduran
karena terjadi perebutan kekuasaan di antara kerabat kerajaan. Pada tahun 1568,
kekuasaan Kesultanan Demak beralih ke Kesultanan Pajang yang didirikan oleh Jaka
Tingkir. Salah satu peninggalan bersejarah Kesultanan Demak ialah Mesjid Agung
Demak, yang diperkirakan didirikan oleh para Walisongo. Lokasi ibukota
Kesultanan Demak, yang pada masa itu masih dapat dilayari dari laut dan
dinamakan Bintara, saat
ini telah menjadi
Cikal-bakal Demak
Pada
saat kerajaan Majapahit mengalami masa surut, secara praktis wilayah-wilayah
kekuasaannya mulai memisahkan diri. Wilayah-wilayah yang terbagi menjadi
kadipaten-kadipaten tersebut saling serang, saling mengklaim sebagai pewaris
tahta Majapahit. Pada masa itu arus kekuasaan mengerucut pada dua adipati,[rujukan?]
yaitu Raden Patah dan Ki Ageng Pengging. Sementara Raden Patah mendapat
dukungan dari Walisongo, Ki Ageng Pengging mendapat dukungan dari Syekh Siti
Jenar.
Demak di bawah Pati Unus
Demak
di bawah Pati Unus adalah Demak yang berwawasan nusantara. Visi besarnya adalah
menjadikan Demak sebagai kesultanan maritim yang besar. Pada masa
kepemimpinannya, Demak merasa terancam dengan pendudukan Portugis di Malaka.
Dengan adanya Portugis di Malaka, kehancuran pelabuhan-pelabuhan Nusantara
tinggal menunggu waktu.
Demak di bawah Sultan Trenggono
Sultan
Trenggono berjasa atas penyebaran Islam di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Di bawah
Sultan Trenggono, Demak mulai menguasai daerah-daerah Jawa lainnya seperti
merebut Sunda Kelapa dari Pajajaran serta menghalau tentara Portugis yang akan mendarat
di sana (1527), Tuban (1527), Madiun (1529), Surabaya dan Pasuruan (1527),
Malang (1545), dan Blambangan, kerajaan Hindu terakhir di ujung timur pulau
Jawa (1527, 1546). Panglima perang Demak waktu itu adalah Fatahillah, pemuda
asal Pasai (Sumatera), yang juga menjadi menantu Sultan Trenggono. Sultan
Trenggono meninggal pada tahun 1546 dalam sebuah pertempuran menaklukkan Pasuruan,
dan kemudian digantikan oleh Sunan Prawoto
Kemunduran Demak
Suksesi
ke tangan Sunan Prawoto tidak berlangsung mulus. Ia ditentang oleh adik Sultan
Trenggono, yaitu Pangeran Sekar Seda Lepen. Pangeran Sekar Seda Lepen akhirnya
terbunuh. Pada tahun 1561 Sunan Prawoto beserta keluarganya
"dihabisi" oleh suruhan Arya Penangsang, putera Pangeran Sekar Seda
Lepen. Arya Penangsang kemudian menjadi penguasa tahta Demak. Suruhan Arya
Penangsang juga membunuh Pangeran Hadiri adipati Jepara, dan hal ini
menyebabkan banyak adipati memusuhi Arya Penangsang.
Arya
Penangsang akhirnya berhasil dibunuh dalam peperangan oleh pasukan Joko Tingkir,
menantu Sunan Prawoto. Joko Tingkir memindahkan pusat pemerintahan ke Pajang,
dan di
- Kesultanan
Banten (1524 - 1813)
Kesultanan Banten berawal ketika Kesultanan Demak memperluas
pengaruhnya ke daerah barat. Pada tahun 1524/1525, Sunan Gunung Jati bersama
pasukan Demak merebut pelabuhan Banten dari kerajaan Sunda, dan mendirikan
Kesultanan Banten yang berafiliasi ke Demak. Menurut sumber Portugis,
sebelumnya Banten merupakan salah satu pelabuhan Kerajaan Sunda selain
pelabuhan Pontang, Cigede, Tamgara (Tangerang), Sunda Kalapa dan Cimanuk.
Sejarah
Anak
dari Sunan Gunung Jati (Hasanudin) menikah dengan seorang putri dari Sultan
Trenggono dan melahirkan dua orang anak. Anak yang pertama bernama Maulana
Yusuf. Sedangkan anak kedua menikah dengan anak dari Ratu Kali Nyamat dan
menjadi Penguasa Jepara.
Terjadi
perebutan kekuasaan setelah Maulana Yusuf wafat (1570). Pangeran Jepara merasa
berkuasa atas Kerajaan Banten daripada anak Maulana Yusuf yang bernama Maulana
Muhammad karena Maulana Muhammad masih terlalu muda. Akhirnya Kerajaan Jepara
menyerang Kerajaan Banten. Perang ini dimenangkan oleh Kerajaan Banten karena
dibantu oleh para ulama.
Puncak kejayaan
Kerajaan
Banten mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Abu Fatah Abdulfatah
atau lebih dikenal dengan nama Sultan Ageng Tirtayasa. Saat itu Pelabuhan
Banten telah menjadi pelabuhan internasional sehingga perekonomian Banten maju
pesat. Wilayah kekuasaannya meliputi sisa kerajaan Sunda yang tidak direbut kesultanan
Mataram dan serta wilayah yang sekarang menjadi provinsi Lampung. Piagam Bojong
menunjukkan bahwa tahun 1500 hingga 1800 Masehi Lampung dikuasai oleh
kesultanan Banten.
Masa kekuasaan Sultan Haji
Pada
zaman pemerintahan Sultan Haji, tepatnya pada 12 Maret 1682, wilayah Lampung
diserahkan kepada VOC. seperti tertera dalam
Penghapusan kesultanan
Kesultanan
Banten dihapuskan tahun 1813 oleh pemerintah kolonial Inggris. Pada tahun itu, Sultan
Muhamad Syafiuddin dilucuti dan dipaksa turun takhta oleh Thomas Stamford
Raffles. Tragedi ini menjadi klimaks dari penghancuran Surasowan oleh Gubernur-Jenderal
Belanda, Herman William Daendels tahun 1808.[1]
Daftar pemimpin Kesultanan Banten
· Sunan
Gunung Jati
· Sultan
Maulana Hasanudin 1552 - 1570
· Maulana
Yusuf 1570 - 1580
· Maulana
Muhammad 1585 - 1590
· Sultan
Abdul Mufahir Mahmud Abdul Kadir 1605 - 1640 (dianugerahi gelar tersebut pada
tahun 1048 H (1638) oleh Syarif Zaid, Syarif Makkah saat itu.[2])
· Sultan
Abu al-Ma'ali Ahmad 1640 - 1650
· Sultan
Ageng Tirtayasa 1651-1680
· Sultan
Abdul Kahar (Sultan Haji) 1683 - 1687
· Abdul
Fadhl / Sultan Yahya (1687-1690)
· Abul
Mahasin Zainul Abidin (1690-1733)
· Muhammad
Syifa Zainul Ar / Sultan Arifin (1750-1752)
· Muhammad
Wasi Zainifin (1733-1750)
· Syarifuddin
Artu Wakilul Alimin (1752-1753)
· Muhammad
Arif Zainul Asyikin (1753-1773)
· Abul
Mafakir Muhammad Aliyuddin (1773-1799)
· Muhyiddin
Zainush Sholihin (1799-1801)
· Muhammad
Ishaq Zainul Muttaqin (1801-1802)
· Wakil
Pangeran Natawijaya (1802-1803)
· Aliyuddin
II (1803-1808)
· Wakil
Pangeran Suramanggala (1808-1809)
· Muhammad
Syafiuddin (1809-1813)
· Muhammad
Rafiuddin (1813-1820)
Kesultanan Pajang adalah sebuah kerajaan yang berpusat di Jawa
Tengah sebagai kelanjutan Kesultanan Demak. Kompleks keraton, yang sekarang tinggal
batas-batas fondasinya saja, berada di perbatasan Kelurahan Pajang, Kota
Surakarta dan Desa Makamhaji, Kartasura, Sukoharjo.
Asal-usul
Sesungguhnya
nama negeri Pajang sudah dikenal sejak zaman Kerajaan Majapahit. Menurut Nagarakretagama
yang ditulis tahun 1365, ada seorang adik perempuan Hayam Wuruk (raja Majapahit
saat itu) menjabat sebagai penguasa Pajang, bergelar Bhatara i Pajang,
atau disingkat Bhre Pajang. Nama
aslinya adalah Dyah Nertaja, yang merupakan ibu dari Wikramawardhana, raja Majapahit
selanjutnya.
Dalam
naskah-naskah babad, negeri Pengging
disebut sebagai cikal bakal Pajang. Cerita Rakyat yang sudah melegenda menyebut
Pengging sebagai kerajaan kuno yang pernah dipimpin Prabu Anglingdriya, musuh
bebuyutan Prabu Baka raja Prambanan. Kisah ini dilanjutkan dengan dongeng
berdirinya Candi Prambanan.
Ketika
Majapahit dipimpin oleh Brawijaya (raja terakhir versi naskah babad),
nama Pengging muncul kembali. Dikisahkan putri Brawijaya yang bernama Retno Ayu
Pembayun diculik Menak Daliputih raja Blambangan putra Menak Jingga. Muncul
seorang pahlawan bernama Jaka Sengara yang berhasil merebut sang putri dan
membunuh penculiknya.
Atas
jasanya itu, Jaka Sengara diangkat Brawijaya sebagai bupati Pengging dan
dinikahkan dengan Retno Ayu Pembayun. Jaka Sengara kemudian bergelar Andayaningrat.
Kesultanan Pajang
Menurut
naskah babad, Andayaningrat gugur di tangan Sunan Ngudung saat
terjadinya perang antara Majapahit dan Demak. Ia kemudian digantikan oleh
putranya, yang bernama Raden Kebo Kenanga, bergelar Ki Ageng Pengging. Sejak
saat itu Pengging menjadi daerah bawahan Kesultanan Demak.
Beberapa
tahun kemudian Ki Ageng Pengging dihukum mati karena dituduh hendak
memeberontak terhadap Demak. Putranya yang bergelar Jaka Tingkir setelah dewasa
justru mengabdi ke Demak.
Prestasi
Jaka Tingkir yang cemerlang dalam ketentaraan membuat ia diangkat sebagai
menantu Sultan Trenggana, dan menjadi bupati Pajang bergelar Hadiwijaya.
Wilayah Pajang saat itu meliputi daerah Pengging (sekarang kira-kira mencakup Boyolali
dan Klaten), Tingkir (daerah Salatiga), Butuh, dan sekitarnya.
Sepeninggal
Sultan Trenggana tahun 1546, Sunan Prawoto naik takhta, namun kemudian tewas
dibunuh sepupunya, yaitu Arya Penangsang bupati Jipang tahun 1549. Setelah itu,
Arya Penangsang juga berusaha membunuh Hadiwijaya namun gagal.
Dengan
dukungan Ratu Kalinyamat (bupati Jepara putri Sultan Trenggana), Hadiwijaya dan
para pengikutnya berhasil mengalahkan Arya Penangsang. Ia pun menjadi pewaris
takhta Kesultanan Demak, yang ibu kotanya dipindah ke Pajang.
Perkembangan
Pada
awal berdirinya tahun 1549, wilayah Kesultanan Pajang hanya meliputi sebagian Jawa
Tengah saja, karena negeri-negeri Jawa Timur banyak yang melepaskan diri sejak
kematian Sultan Trenggana.
Pada
tahun 1568 Sultan Hadiwijaya dan para adipati Jawa Timur dipertemukan di Giri
Kedaton oleh Sunan Prapen. Dalam kesempatan itu, para adipati sepakat mengakui
kedaulatan Pajang di atas negeri-negeri Jawa Timur. Sebagai tanda ikatan
politik, Panji Wiryakrama dari
Negeri
kuat lainnya, yaitu Madura juga berhasil ditundukkan Pajang. Pemimpinnya yang
bernama Raden Pratanu alias Panembahan Lemah Dhuwur juga diambil sebagai
menantu Sultan Hadiwijaya.
Peran Wali Songo
Pada
zaman Kesultanan Demak, majelis ulama Wali Songo memiliki peran penting, bahkan
ikut mendirikan kerajaan tersebut. Majelis ini bersidang secara rutin selama
periode tertentu dan ikut menentukan kebijakan politik Demak.
Sepeninggal
Sultan Trenggana, peran Wali Songo ikut memudar. Sunan Kudus bahkan terlibat
pembunuhan terhadap Sunan Prawoto, raja baru pengganti Sultan Trenggana.
Meskipun
tidak lagi bersidang secara aktif, sedikit banyak para wali masih berperan
dalam pengambilan kebijakan politik Pajang. Misalnya, Sunan Prapen bertindak
sebagai pelantik Hadiwijaya sebagai sultan. Ia juga menjadi mediator pertemuan Sultan
Hadiwijaya dengan para adipati Jawa Timur tahun 1568. Sementara itu, Sunan
Kalijaga juga pernah membantu Ki Ageng Pemanahan meminta haknya pada Sultan
Hadiwijaya atas tanah Mataram sebagai hadiah sayembara menumpas Arya Penangsang.
Wali
lain yang masih berperan menurut naskah babad adalah Sunan Kudus.
Sepeninggal Sultan Hadiwijaya tahun 1582, ia berhasil menyingkirkan Pangeran Benawa
dari jabatan putra mahkota, dan menggantinya dengan Arya Pangiri.
Mungkin
yang dimaksud dengan Sunan Kudus dalam naskah babad adalah Panembahan
Kudus, karena Sunan Kudus sendiri sudah meninggal tahun 1550.
Pemberontakan Mataram
Tanah
Mataram dan Pati adalah dua hadiah Sultan Hadiwijaya untuk siapa saja yang
mampu menumpas Arya Penangsang tahun 1549. Menurut laporan resmi peperangan, Arya
Penangsang tewas dikeroyok Ki Ageng Pemanahan dan Ki Penjawi.
Ki
Penjawi diangkat sebagai penguasa Pati sejak tahun 1549. Sedangkan Ki Ageng
Pemanahan baru mendapatkan hadiahnya tahun 1556 berkat bantuan Sunan Kalijaga.
Hal ini disebabkan karena Sultan Hadiwijaya mendengar ramalan Sunan Prapen
bahwa di Mataram akan lahir kerajaan yang lebih besar dari pada Pajang.
Ramalan
tersebut menjadi kenyataan ketika Mataram dipimpin Sutawijaya putra Ki Ageng
Pemanahan sejak tahun 1575. Tokoh Sutawijaya inilah yang sebenarnya membunuh Arya
Penangsang. Di bawah pimpinannya, daerah Mataram semakin hari semakin maju dan
berkembang.
Pada
tahun 1582 meletus perang Pajang dan Mataram karena Sutawijaya membela adik
iparnya, yaitu Tumenggung Mayang, yang dihukum buang ke Semarang oleh Sultan
Hadiwijaya. Perang itu dimenangkan pihak Mataram meskipun pasukan Pajang
jumlahnya lebih besar.
Keruntuhan
Sepulang
dari perang, Sultan Hadiwijaya jatuh sakit dan meninggal dunia. Terjadi
persaingan antara putra dan menantunya, yaitu Pangeran Benawa dan Arya Pangiri
sebagai raja selanjutnya. Arya Pangiri didukung Panembahan Kudus berhasil naik
takhta tahun 1583.
Pemerintahan
Arya Pangiri hanya disibukkan dengan usaha balas dendam terhadap Mataram.
Kehidupan rakyat Pajang terabaikan. Hal itu membuat Pangeran Benawa yang sudah
tersingkir ke Jipang, merasa prihatin.
Pada
tahun 1586 Pangeran Benawa bersekutu dengan Sutawijaya menyerbu Pajang.
Meskipun pada tahun 1582 Sutawijaya memerangi Sultan Hadiwijaya, namun Pangeran
Benawa tetap menganggapnya sebagai saudara tua.
Perang
antara Pajang melawan Mataram dan Jipang berakhir dengan kekalahan Arya Pangiri.
Ia dikembalikan ke negeri asalnya yaitu Demak. Pangeran Benawa kemudian menjadi
raja Pajang yang ketiga.
Pemerintahan
Pangeran Benawa berakhir tahun 1587. Tidak ada putra mahkota yang
menggantikannya sehingga Pajang pun dijadikan sebagai negeri bawahan Mataram.
Yang menjadi bupati di
Sutawijaya
sendiri mendirikan Kesultanan Mataram di mana ia sebagai raja pertama bergelar Panembahan
Senopati.
Daftar Raja Pajang
1.
Jaka Tingkir bergelar Sultan Hadiwijaya
2.
Arya Pangiri bergelar Sultan Ngawantipura
3.
Pangeran Benawa bergelar Sultan Prabuwijaya
- Kesultanan
Mataram (1586 - 1755)
Kesultanan Mataram adalah kerajaan Islam di Jawa yang
didirikan oleh Sutawijaya, keturunan dari Ki Ageng Pemanahan yang mendapat
hadiah sebidang tanah dari raja Pajang, Hadiwijaya, atas jasanya. Kerajaan
Mataram pada masa keemasannya dapat menyatukan tanah Jawa dan sekitarnya
termasuk Madura serta meninggalkan beberapa jejak sejarah yang dapat dilihat
hingga kini, seperti wilayah Matraman di Jakarta dan sistem persawahan di Karawang.
Masa awal
Sutawijaya
naik tahta setelah ia merebut wilayah Pajang sepeninggal Hadiwijaya dengan
gelar Panembahan Senopati. Pada saat itu wilayahnya hanya di sekitar Jawa
Tengah saat ini, mewarisi wilayah Kerajaan Pajang. Pusat pemerintahan berada di
Mentaok, wilayah yang terletak kira-kira di timur Kota Yogyakarta dan selatan
Bandar Udara Adisucipto sekarang. Lokasi keraton (tempat kedudukan raja) pada
masa awal terletak di Banguntapan, kemudian dipindah ke Kotagede. Sesudah ia
meninggal (dimakamkan di Kotagede) kekuasaan diteruskan putranya Mas Jolang
yang setelah naik tahta bergelar Prabu Hanyokrowati.
Pemerintahan
Prabu Hanyokrowati tidak berlangsung lama karena beliau wafat karena kecelakaan
saat sedang berburu di hutan Krapyak. Karena itu ia juga disebut Susuhunan
Seda Krapyak atau Panembahan Seda Krapyak yang artinya Raja
(yang) wafat (di) Krapyak. Setelah itu tahta beralih sebentar ke tangan
putra keempat Mas Jolang yang bergelar Adipati Martoputro. Ternyata Adipati Martoputro
menderita penyakit syaraf sehingga tahta beralih ke putra sulung Mas Jolang
yang bernama Mas Rangsang.
Sultan Agung
Sesudah
naik tahta Mas Rangsang bergelar Sultan Agung Hanyokrokusumo atau lebih
dikenal dengan sebutan Sultan Agung. Pada masanya Mataram berekspansi untuk
mencari pengaruh di Jawa. Wilayah Mataram mencakup Pulau Jawa dan Madura
(kira-kira gabungan Jawa Tengah, DIY, dan Jawa Timur sekarang). Ia memindahkan
lokasi kraton ke Kerta (Jw. "kertå", maka muncul sebutan pula
"Mataram Kerta"). Akibat terjadi gesekan dalam penguasaan perdagangan
antara Mataram dengan VOC yang berpusat di Batavia, Mataram lalu berkoalisi
dengan Kesultanan Banten dan Kesultanan Cirebon dan terlibat dalam beberapa
peperangan antara Mataram melawan VOC. Setelah wafat (dimakamkan di Imogiri),
ia digantikan oleh putranya yang bergelar Amangkurat (Amangkurat I).
Terpecahnya Mataram
Amangkurat
I memindahkan lokasi keraton ke Pleret (1647), tidak jauh dari Kerta. Selain
itu, ia tidak lagi menggunakan gelar sultan, melainkan "sunan" (dari
"Susuhunan" atau "Yang Dipertuan"). Pemerintahan Amangkurat
I kurang stabil karena banyak ketidakpuasan dan pemberontakan. Pada masanya,
terjadi pemberontakan besar yang dipimpin oleh Trunajaya dan memaksa Amangkurat
bersekutu dengan VOC. Ia wafat di Tegalarum (1677) ketika mengungsi sehingga
dijuluki Sunan Tegalarum. Penggantinya, Amangkurat II (Amangkurat Amral),
sangat patuh pada VOC sehingga kalangan istana banyak yang tidak puas dan
pemberontakan terus terjadi. Pada masanya, kraton dipindahkan lagi ke Kartasura
(1680), sekitar 5km sebelah barat Pajang karena kraton yang lama dianggap telah
tercemar.
Pengganti
Amangkurat II berturut-turut adalah Amangkurat III (1703-1708), Pakubuwana I
(1704-1719), Amangkurat IV (1719-1726), Pakubuwana II (1726-1749). VOC tidak
menyukai Amangkurat III karena menentang VOC sehingga VOC mengangkat Pakubuwana
I (Puger) sebagai raja. Akibatnya Mataram memiliki dua raja dan ini menyebabkan
perpecahan internal. Amangkurat III memberontak dan menjadi "king in exile"
hingga tertangkap di Batavia lalu dibuang ke Ceylon.
Kekacauan
politik baru dapat diselesaikan pada masa Pakubuwana III setelah pembagian
wilayah Mataram menjadi dua yaitu Kesultanan Ngayogyakarta dan Kasunanan
Surakarta tanggal 13 Februari 1755. Pembagian wilayah ini tertuang dalam Perjanjian
Giyanti (nama diambil dari lokasi penandatanganan, di sebelah timur
Peristiwa Penting
· 1558
- Ki Ageng Pemanahan dihadiahi wilayah Mataram oleh Sultan Pajang Adiwijaya
atas jasanya mengalahkan Arya Penangsang.
· 1577
- Ki Ageng Pemanahan membangun istananya di Pasargede atau Kotagede.
· 1584
- Ki Ageng Pemanahan meninggal. Sultan Pajang mengangkat Sutawijaya, putra Ki
Ageng Pemanahan sebagai penguasa baru di Mataram, bergelar "Ngabehi Loring
Pasar" (karena rumahnya di utara pasar).
· 1587
- Pasukan Kesultanan Pajang yang akan menyerbu Mataram porak-poranda diterjang
badai letusan Gunung Merapi. Sutawijaya dan pasukannya selamat.
· 1588
- Mataram menjadi kerajaan dengan Sutawijaya
sebagai Sultan, bergelar "Senapati Ingalaga Sayidin Panatagama"
artinya Panglima Perang dan Ulama Pengatur Kehidupan Beragama.
· 1601
- Panembahan Senopati wafat dan digantikan putranya, Mas Jolang yang bergelar Panembahan
Hanyakrawati dan kemudian dikenal sebagai "Panembahan Seda ing
Krapyak" karena wafat saat berburu (jawa: krapyak).
· 1613
- Mas Jolang wafat, kemudian digantikan oleh putranya Pangeran Aryo Martoputro.
Karena sering sakit, kemudian digantikan oleh kakaknya Raden Mas Rangsang.
Gelar pertama yang digunakan adalah Panembahan Hanyakrakusuma atau "Prabu
Pandita Hanyakrakusuma". Setelah Menaklukkan Madura beliau menggunakan
gelar "Susuhunan Hanyakrakusuma". Terakhir setelah 1640-an beliau
menggunakan gelar bergelar "Sultan Agung Senapati Ingalaga
Abdurrahman"
· 1645
- Sultan Agung wafat dan digantikan putranya Susuhunan Amangkurat I.
· 1645
- 1677 - Pertentangan dan perpecahan dalam keluarga kerajaan Mataram, yang dimanfaatkan oleh VOC.
· 1677
- Trunajaya merangsek menuju Ibukota Pleret. Susuhunan Amangkurat I mangkat.
Putra Mahkota dilantik menjadi Susuhunan Amangkurat II di pengasingan. Pangeran
Puger yang diserahi tanggung jawab atas ibukota Pleret mulai memerintah dengan
gelar Susuhunan Ing Ngalaga.
· 1680
- Susuhunan Amangkurat II memindahkan ibukota ke Kartasura.
· 1681
- Pangeran Puger diturunkan dari tahta Pleret.
· 1703
- Susuhunan Amangkurat III wafat. Putra mahkota diangkat menjadi Susuhunan
Amangkurat III.
· 1704
- Dengan bantuan VOC Pangeran Puger ditahtakan sebagai Susuhunan Paku Buwono I.
Awal Perang Tahta I (1704-1708). Susuhunan Amangkurat III membentuk
pemerintahan pengasingan.
· 1708
- Susuhunan Amangkurat III ditangkap dan dibuang ke Srilanka sampai wafatnya
pada 1734.
· 1719
- Susuhunan Paku Buwono I meninggal dan digantikan putra mahkota dengan gelar
Susuhunan Amangkurat IV atau Prabu Mangkurat Jawa. Awal Perang Tahta II (1719-1723).
· 1726
- Susuhunan Amangkurat IV meninggal dan digantikan Putra Mahkota yang bergelar
Susuhunan Paku Buwono II.
· 1742
- Ibukota Kartasura dikuasai pemberontak. Susuhunan Paku Buwana II berada dalam
pengasingan.
· 1743
- Dengan bantuan VOC Ibukota Kartasura berhasil direbut dari tangan pemberontak
dengan keadaan luluh lantak. Sebuah perjanjian sangat berat (menggadaikan
kedaulatan Mataram kepada VOC selama belum dapat melunasi hutang biaya perang)
bagi Mataram dibuat oleh Susuhunan Paku Buwono II sebagai imbalan atas bantuan
VOC.
· 1745
- Susuhunan Paku Buwana II membangun ibukota baru di desa Sala di tepian
Bengawan Beton.
· 1746
- Susuhunan Paku Buwana II secara resmi menempati ibukota baru yang dinamai
· 1749
- 11 Desember Susuhunan Paku Buwono II menandatangani penyerahan kedaulatan
Mataram kepada VOC. Namun secara de facto Mataram baru dapat ditundukkan
sepenuhnya pada 1830. 12 Desember Di
· 1752
- Mangkubumi berhasil menggerakkan pemberontakan di provinsi-provinsi Pasisiran
(daerah pantura Jawa) mulai dari Banten sampai Madura. Perpecahan Mangkubumi-RM
Said.
· 1754
- Nicolas Hartingh menyerukan gencatan senjata dan perdamaian. 23 September,
Nota Kesepahaman Mangkubumi-Hartingh. 4 November, PB III meratifikasi nota
kesepahaman.
· 1755
- 13 Februari Puncak perpecahan terjadi, ditandai dengan Perjanjian Giyanti
yang membagi Kerajaan Mataram menjadi dua, yaitu Kesunanan Surakarta dan Kesultanan
Yogyakarta. Pangeran Mangkubumi menjadi Sultan atas Kesultanan Yogyakarta
dengan gelar "Ingkang Sinuwun Kangjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati
Ing-Ngalaga Ngabdurakhman Sayidin Panatagama Khalifatullah" atau lebih
populer dengan gelar Sri Sultan Hamengku Buwono I.
· 1757
- Perpecahan kembali melanda Mataram. R.M. Said diangkat sebagai penguasa atas
sebuah kepangeranan, Praja Mangkunegaran yang terlepas dari Kesunanan Surakarta
dengan gelar "Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangku Nagara Senopati
Ing Ayudha".
· 1788
- Susuhunan Paku Buwono III mangkat.
· 1792
- Sultan Hamengku Buwono I wafat.
· 1795
- KGPAA Mangku Nagara I meninggal.
· 1813
- Perpecahan kembali melanda Mataram. P. Nata Kusuma diangkat sebagai penguasa
atas sebuah kepangeranan, Kadipaten Paku Alaman yang terlepas dari Kesultanan
· 1830
- Akhir perang Diponegoro. Seluruh daerah Manca nagara
- Kesultanan
Cirebon (sekitar abad ke-16)
Kesultanan Cirebon adalah sebuah kesultanan Islam ternama
di Jawa Barat pada abad ke-15 dan 16 Masehi, dan merupakan pangkalan penting
dalam jalur perdagangan dan pelayaran antar pulau. Lokasinya di pantai utara pulau
Jawa yang merupakan perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Barat, membuatnya
menjadi pelabuhan dan "jembatan" antara kebudayaan Jawa dan Sunda
sehingga tercipta suatu kebudayaan yang khas, yaitu kebudayaan Cirebon yang
tidak didominasi kebudayaan Jawa maupun kebudayaan Sunda.
Sejarah
Menurut
Sulendraningrat yang mendasarkan pada naskah Babad Tanah Sunda dan Atja
pada naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, Cirebon pada awalnya adalah
sebuah dukuh kecil yang dibangun oleh Ki Gedeng Tapa, yang lama-kelamaan
berkembang menjadi sebuah desa yang ramai dan diberi nama Caruban (Bahasa
Sunda: campuran), karena di sana bercampur para pendatang dari berbagai macam
suku bangsa, agama, bahasa, adat istiadat, dan mata pencaharian yang
berbeda-beda untuk bertempat tinggal atau berdagang.
Mengingat
pada awalnya sebagian besar mata pencaharian masyarakat adalah sebagai nelayan,
maka berkembanglah pekerjaan menangkap ikan dan rebon (udang kecil) di
sepanjang pantai serta pembuatan terasi, petis, dan garam. Dari istilah air
bekas pembuatan terasi (belendrang) dari udang rebon inilah
berkembanglah sebutan cai-rebon (Bahasa Sunda:, air rebon) yang kemudian
menjadi
Dengan
dukungan pelabuhan yang ramai dan sumber daya alam dari pedalaman,
Perkembangan awal
Ki Gedeng Tapa
Ki
Gedeng Tapa (atau juga dikenal dengan nama Ki Gedeng Jumajan Jati) adalah
seorang saudagar kaya di pelabuhan Muarajati,
Ki Gedeng Alang-Alang
Kuwu
atau kepala desa Caruban yang pertama yang diangkat oleh masyarakat baru itu
adalah Ki Gedeng Alang-alang. Sebagai Pangraksabumi atau wakilnya, diangkatlah
Raden Walangsungsang, yaitu putra Prabu Siliwangi dan Nyi Mas Subanglarang atau
Subangkranjang, yang tak lain adalah puteri dari Ki Gedeng Tapa. Setelah Ki
Gedeng Alang-alang wafat, Walangsungsang yang juga bergelar Ki Cakrabumi
diangkat menjadi penggantinya sebagai kuwu yang kedua, dengan gelar Pangeran
Cakrabuana.
Masa Kesultanan Cirebon (Pakungwati)
Pangeran Cakrabuana (…. –1479)
Pangeran
Cakrabuana adalah keturunan Pajajaran. Putera pertama Sri Baduga Maharaja Prabu
Siliwangi dari istrinya yang kedua bernama SubangLarang (puteri Ki Gedeng
Tapa). Nama kecilnya adalah Raden Walangsungsang, setelah remaja dikenal dengan
nama Kian Santang. Ia mempunyai dua orang saudara seibu, yaitu Nyai Lara
Santang/ Syarifah Mudaim dan Raden Sangara.
Sebagai
anak sulung dan laki-laki ia tidak mendapatkan haknya sebagai putera mahkota
Pakuan Pajajaran. Hal ini disebabkan oleh karena ia memeluk agama Islam
(diturunkan oleh Subanglarang - ibunya), sementara saat itu (abad 16) ajaran
agama mayoritas di Pajajaran adalah Sunda Wiwitan (agama leluhur orang Sunda)
Hindu dan Budha. Posisinya digantikan oleh adiknya, Prabu Surawisesa, anak
laki-laki Prabu Siliwangi dari istrinya yang ketiga Nyai Cantring Manikmayang.
Ketika
kakeknya Ki Gedeng Tapa yang penguasa pesisir utara Jawa meninggal,
Walangsungsang tidak meneruskan kedudukan kakeknya, melainkan lalu mendirikan
istana Pakungwati dan membentuk pemerintahan di
Sunan Gunung Jati (1479-1568)
Pada
tahun 1479 M, kedudukannya kemudian digantikan putra adiknya, Nyai Rarasantang
dari hasil perkawinannya dengan Syarif Abdullah dari Mesir, yakni Syarif
Hidayatullah (1448-1568) yang setelah wafat dikenal dengan sebutan Sunan Gunung
Jati dengan gelar Tumenggung Syarif Hidayatullah bin Maulana Sultan Muhammad
Syarif Abdullah dan bergelar pula sebagai Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan
Jati Purba Panetep Panatagama Awlya Allah Kutubid Jaman Khalifatur Rasulullah.
Pertumbuhan
dan perkembangan yang pesat pada Kesultanan
Fatahillah (1568-1570)
Kekosongan
pemegang kekuasaan itu kemudian diisi dengan mengukuhkan pejabat keraton yang
selama Sunan Gunung Jati melaksanakan tugas dakwah, pemerintahan dijabat oleh Fatahillah
atau Fadillah Khan. Fatahillah kemudian naik takhta, dan memerintah
Panembahan Ratu I (1570-1649)
Sepeninggal
Fatahillah, oleh karena tidak ada calon lain yang layak menjadi raja, takhta
kerajaan jatuh kepada cucu Sunan Gunung Jati yaitu Pangeran Emas putra tertua
Pangeran Dipati Carbon atau cicit Sunan Gunung Jati. Pangeran Emas kemudian
bergelar Panembahan Ratu I dan memerintah
Panembahan Ratu II (1649-1677)
Setelah
Panembahan Ratu I meninggal dunia pada tahun 1649, pemerintahan Kesultanan
Cirebon dilanjutkan oleh cucunya yang bernama Pangeran Rasmi atau Pangeran
Karim, karena ayah Pangeran Rasmi yaitu Pangeran Seda ing Gayam atau Panembahan
Adiningkusumah meninggal lebih dahulu. Pangeran Rasmi kemudian menggunakan nama
gelar ayahnya almarhum yakni Panembahan Adiningkusuma yang kemudian dikenal
pula dengan sebutan Panembahan Girilaya atau Panembahan Ratu II.
Panembahan
Girilaya pada masa pemerintahannya terjepit di antara dua kekuatan kekuasaan,
yaitu Kesultanan Banten dan Kesultanan Mataram. Banten merasa curiga sebab
Panembahan
Girilaya adalah menantu Sultan Agung Hanyokrokusumo dari Kerajaan Mataram
(Islam). Makamnya di Jogjakarta, di bukit Giriloyo, dekat dengan makam raja
raja Mataram di Imogiri. Menurut beberapa sumber di Imogiri maupun Giriloyo,
tinggi makam Panembahan Giriloyo adalah sejajar dengan makam Sultan Agung di
Imogiri.
Terpecahnya Kesultanan Cirebon
Dengan
kematian Panembahan Girilaya, maka terjadi kekosongan penguasa. Sultan Ageng
Tirtayasa segera menobatkan Pangeran Wangsakerta sebagai pengganti Panembahan
Girilaya, atas tanggung jawab pihak Banten. Sultan Ageng Tirtayasa kemudian
mengirimkan pasukan dan kapal perang untuk membantu Trunojoyo, yang saat itu sedang
memerangi Amangkurat I dari Mataram. Dengan bantuan Trunojoyo, maka kedua putra
Panembahan Girilaya yang ditahan akhirnya dapat dibebaskan dan dibawa kembali
ke
Perpecahan I (1677)
Pembagian
pertama terhadap Kesultanan Cirebon, dengan demikian terjadi pada masa
penobatan tiga orang putra Panembahan Girilaya, yaitu Sultan Sepuh, Sultan
Anom, dan Panembahan Cirebon pada tahun 1677. Ini merupakan babak baru bagi
keraton
· Sultan
Keraton Kasepuhan, Pangeran Martawijaya, dengan gelar Sultan Sepuh Abil Makarimi
Muhammad Samsudin (1677-1703)
· Sultan
Kanoman, Pangeran Kartawijaya, dengan gelar Sultan Anom Abil Makarimi Muhammad
Badrudin (1677-1723)
· Pangeran
Wangsakerta, sebagai Panembahan
Perubahan
gelar dari Panembahan menjadi Sultan bagi dua putra tertua Pangeran Girilaya
ini dilakukan oleh Sultan Ageng Tirtayasa, karena keduanya dilantik menjadi Sultan
Perpecahan II (1807)
Suksesi
para sultan selanjutnya pada umumnya berjalan lancar, sampai pada masa
pemerintahan Sultan Anom IV (1798-1803), dimana terjadi perpecahan karena salah
seorang putranya, yaitu Pangeran Raja Kanoman, ingin memisahkan diri membangun
kesultanan sendiri dengan nama Kesultanan Kacirebonan.
Kehendak
Pangeran Raja Kanoman didukung oleh pemerintah Kolonial Belanda dengan
keluarnya besluit (Bahasa Belanda: surat keputusan) Gubernur-Jendral Hindia
Belanda yang mengangkat Pangeran Raja Kanoman menjadi Sultan Carbon Kacirebonan
tahun 1807 dengan pembatasan bahwa putra dan para penggantinya tidak berhak
atas gelar sultan, cukup dengan gelar pangeran. Sejak itu di Kesultanan Cirebon
bertambah satu penguasa lagi, yaitu Kesultanan Kacirebonan, pecahan dari
Kesultanan Kanoman. Sementara tahta Sultan Kanoman V jatuh pada putra Sultan
Anom IV yang lain bernama Sultan Anom Abusoleh Imamuddin (1803-1811).
Masa kolonial dan kemerdekaan
Sesudah
kejadian tersebut, pemerintah Kolonial Belanda pun semakin dalam ikut campur
dalam mengatur
Pada
masa kemerdekaan, wilayah Kesultanan
Perkembangan terakhir
Setelah
masa kemerdekaan
Umumnya,
Keraton Kasepuhan sebagai istana Sultan Sepuh dianggap yang paling penting
karena merupakan keraton tertua yang berdiri tahun 1529, sedangkan Keraton
Kanoman sebagai istana Sultan Anom berdiri tahun 1622, dan yang terkemudian
adalah Keraton Kacirebonan dan Keraton Kaprabonan.
Pada awal bulan Maret 2003, telah terjadi konflik internal di keraton Kanoman, antara Pangeran Raja Muhammad Emirudin dan Pangeran Elang Muhammad Saladin, untuk pengangkatan tahta Sultan Kanoman XII. Pelantikan kedua sultan ini diperkirakan menimbulkan perpecahan di kalangan kerabat keraton tersebut.