Kerajaan-kerajaan Islam di Kalimantan
- Kesultanan
Pasir (1516)
Kesultanan Pasir yang sebelumnya bernama Kerajaan Sadurangas, berdiri pada tahun
1516 dan dipimpin oleh seorang wanita (Ratu I) yang dinamakan Putri Di Dalam
Petung. Wilayah kekuasaan kerajaan Sadurangas meliputi Kabupaten Pasir yang ada
sekarang, ditambah dengan Kabupaten Penajam Paser Utara dan sebagian Provinsi Kalimantan
Selatan.[1]
Sejarah
·
1523, perkawinan Putri Di Dalam
Petung dengan Abu Mansyur Indra Jaya (pimpinan ekspedisi agama Islam dari Kesultanan
Demak) yang dikaruniai empat orang anak, yaitu
1.
Aji Mas Pati Indra,
2.
Aji Putri Mitir,
3.
Aji Mas Anom Indra, dan
4.
Aji Putri Ratna Beranak.
· 1906-1918,
masa perjuangan rakyat Pasir melawan pemerintahan kolonial Belanda.
· Hingga
1959 - Wilayah Pasir berstatus kewedanaan di dalam wilayah Provinsi Kalimantan
Selatan.
Pemerintahan selanjutnya
·
1607-1644 - Aji Mas Anom Indra bin
Aji Mas Pati Indra
·
1644-1667 - Aji Anom Singa Amulana
bin Aji Mas Anom Indra
·
1667-1680 - Aji Perdana bin Aji Anom
Singa Maulana, bergelar Penambahan Sulaiman
·
1680–1730 - Aji Duwo bin Aji Mas Anom
Singa Maulana, bergelar Penambahan Adam
·
1703-1738 - Aji Geger bin Aji Anom
Singa Maulana, bergelar Sultan Aji Muhammad Alamsyah (Sultan Pasir I)
·
1738-1768 - Aji Negara bin Sultan Aji
Muhammad Alamsyah, bergelar Sultan Sepuh Alamsyah (Sultan Pasir II)
·
1768-1799 - Aji Dipati bin Panembahan
Adam, bergelar Sultan Dipati Anom Alamsyah (Sultan Pasir III)
·
1799-1811 - Aji Panji bin Ratu Agung,
bergelar Sultan Sulaiman Alamsyah (Sultan Pasir IV)
·
1811-1815 - Aji Sembilan bin Aji
Muhammad Alamsyah, bergelar Sultan Ibrahim Alamsyah
·
1815-1843 - Aji Karang bin Sultan
Sulaiman Alamsyah, bergelar Mahmud Han Alamsyah
·
1843-1853 - Aji Adil bin Sultan
Sulaiman Alamsyah, bergelar Sultan Adam Alamsyah
·
1853-1875 - Aji Tenggara bin Aji
Kimas bergelar Sultan Sepuh II Alamsyah
·
1875-1890 - Aji Timur Balam diberi
gelar Sultan Abdurahman Alamsyah
·
1880-1897 - Sultan Muhammad Ali
Alamsyah
·
1897-1898 - Pangeran Nata bin
Pangeran Dipati Sulaiman, pada bulan Oktober-Desember diberi gelar Sultan
Sulaiman Alamsyah
·
1898-1900 - Pangeran Ratu bin Sultan
Adam Alamsyah bergelar Sultan Ratu Raja Besar Alamsyah.
·
1900-1906 - Pengeran Mangku Jaya
Kesuma bergelar Sultan Ibrahim Khaliluddin (Sultan Terakhir)
Afdeeling Pasir en de Tanah Boemboe (Kalimantan Tenggara)
Kesultanan
Pasir merupakan salah satu daerah leenplichtige landschappen dalam
Afdeeling Pasir en de Tanah Boemboe. Menurut Staatblaad tahun 1898 no. 178,
wilayah Afdeeling Pasir en de Tanah Boemboe, dengan ibukota Kota Baru, terdiri
dari daerah-daerah leenplichtige landschappen dan daerah landschap
yang langsung diperintah kepala bumiputeranya :
1.
Pasir
2.
Pegatan
3.
Koensan
4.
Tjingal
5.
Manoenggoel
6.
Bangkalaan
7.
Sampanahan
8.
Tjangtoeng
9.
Batoe Litjin
10.
Sabamban dan
11.
Poelau Laoet dengan Poelau Seboekoe
- Kesultanan
Banjar (1526-1905)
Kesultanan Banjar (
Ketika
ibukotanya masih di Banjarmasin, maka kesultanan ini disebut Kesultanan Banjarmasin. Kesultanan
Banjar merupakan penerus dari Kerajaan Negara Daha yaitu kerajaan Hindu yang
beribukota di
Sejarah
Di
Kalimantan Selatan telah berdiri suatu pemerintahan dari dinasti kerajaan
(keraton) yang terus menerus berlanjut hingga daerah ini digabungkan ke dalam Hindia
Belanda sejak 11 Juni 1860, yaitu :
1.
Keraton I disebut Kerajaan Kuripan/Kerajaan
Tanjung Puri
2.
Keraton II disebut Kerajaan Negara
Dipa
3.
Keraton III disebut Kerajaan Negara
Daha
4.
Keraton IV disebut Kesultanan Banjar
Maharaja
Sukarama, Raja Negara Daha telah berwasiat agar penggantinya adalah cucunya
Raden Samudera (anak dari Puteri Galuh Intan Sari). Hal tersebut menyebabkan
Raden Samudera terancam keselamatannya karena para Pangeran (saudara raja) juga
berambisi sebagai pengganti Sukarama yaitu Pangeran Bagalung, Pangeran
Mangkubumi dan Pangeran Tumenggung. Sepeninggal Sukarama, Pangeran Mangkubumi
menjadi Raja Negara Daha, selanjutnya digantikan (anaknya?) Pangeran
Tumenggung. Raden Samudera sebagai kandidat raja dalam wasiat Sukarama terancam
keselamatannya, tetapi berkat pertolongan Arya Taranggana, mangkubumi kerajaan,
ia berhasil lolos ke hilir sungai Barito, kemudian ia dijemput oleh Patih Masih
(Kepala Kampung Banjarmasih) dan dijadikan raja Banjarmasih sebagai upaya
melepaskan diri dari Kerajaan Negara Daha dengan mendirikan bandar perdagangan
sendiri dan tidak mau lagi membayar upeti. Pangeran Tumenggung, raja terakhir Kerajaan
Negara Daha akhirnya menyerahkan regalia kerajaan kepada keponakannya Pangeran
Samudera, Raja dari Banjarmasih. Setelah mengalami masa peperangan dimana
Banjar mendapat bantuan Kesultanan Demak. Hasil akhirnya kekuasaan kerajaan
beralih kepada Pangeran Samudera yang menjadi menjadi Sultan Banjar yang
pertama, sementara Pangeran Tumenggung mundur ke daerah Alay di pedalaman
dengan seribu penduduk.
Kesultanan
Banjar mulai mengalami masa kejayaan pada dekade pertama abad ke-17 dengan lada
sebagai komoditas dagang, secara praktis barat daya, tenggara dan timur pulau
Supremasi
Jawa terhadap Banjarmasin, dilakukan lagi oleh Tuban pada tahun 1615 untuk
menaklukkan Banjarmasin dengan bantuan Madura dan Surabaya, tetapi gagal karena
mendapat perlawanan yang sengit.
Sultan
Agung dari Mataram (1613–1646), mengembangkan kekuasaannya atas pulau Jawa
dengan mengalahkan pelabuhan-pelabuhan pantai utara Jawa seperti Jepara dan
Gresik (1610), Tuban (1619), Madura (1924) dan Surabaya (1625). Pada tahun 1622
Mataram kembali merencanakan program penjajahannya terhadap kerajaan sebelah
selatan, barat daya dan tenggara pulau Kalimantan, dan Sultan Agung menegaskan
kekuasaannya atas Kerajaan Sukadana tahun 1622.
Seiring
dengan hal itu, karena merasa telah memiliki kekuatan yang cukup dari aspek
militer dan ekonomi untuk menghadapi serbuan dari kerajaan lain, Panembahan
(Sultan) Banjar mengklaim Sambas, Lawai, Sukadana, Kotawaringin, Pembuang,
Sampit, Mendawai, Kahayan Hilir dan Kahayan Hulu, Kutai, Pasir, Pulau Laut,
Satui, Asam Asam, Kintap dan Swarangan sebagai vazal dari kerajaan Banjarmasin,
hal ini terjadi pada tahun 1636.
Sejak
tahun 1631
Disamping
menghadapi rencana serbuan-serbuan dari Mataram, kesultanan
Sebelum
dibagi menjadi beberapa daerah (kerajaan kecil), wilayah asal Kesultanan Banjar
meliputi provinsi Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah, sebelah barat
berbatasan dengan Kerajaan Tanjungpura dan sebelah timur berbatasan dengan Kesultanan
Pasir. Pada daerah-daerah pecahan tersebut, rajanya bergelar Pangeran, hanya di
Kesultanan Banjar yang berhak memakai gelar Sultan. Kesultanan-kesultanan
lainnya mengirim upeti kepada Kesultanan Banjar, termasuk Kesultanan Pasir yang
ditaklukan tahun 1636 dengan bantuan Belanda.
Wilayah
Teritorial
Kerajaan Banjar dalam tiga wilayah meskipun terminologi ini tidak dipergunakan
dalam sistem politik dan pemerintahan dalam kerajaan, yaitu :
1.
Negara Agung
2.
Mancanegara
3.
Pasisir
Wilayah
kerajaan Banjar meliputi titik pusat yaitu istana raja di Martapura dan
berakhir pada titik luar dari negeri Mempawah sampai ke negeri Berau.
Daerah
Martapura merupakan wilayah pertama dan pusat pemeritahan Sultan Banjar.
Dalam
perjalanan sejarah ketetapan wilayah Kesultanan Banjar tersebut tidak dapat
dilihat dengan jelas dengan batas yang tetap karena dipengaruhi oleh keadaan
yang tidak stabil dan batas wilayah yang fleksibel disebabkan oleh
berkembangnya atau menurunnya kekuasaan Sultan Banjar.
Wilayah
teritorial yang kedua terdiri dari :
1.
Tanah Laut atau tanah rendah, sebelah
Barat Meratus, sebelah Selatan Banjarmasin.
2.
Daerah Banjar Lama dengan Pelabuhan Banjarmasin.
3.
Banua Ampat, yaitu daerah Banua
Padang, Banua Halat, Banua Parigi dan Bnaua Gadung di daerah Rantau.
4.
Margasari
5.
Alay
6.
Amandit
7.
Banua Lima yang terdiri dari daerah Negara,
Alabio, Sungai Banar, Amuntai dan Kalua
8.
Muarabahan
9.
Dusun, nama umum untuk daerah atas Barito.
Teritorial
ketiga (daerah pengirim upeti) terdiri dari :
·
Tanah Bumbu, Pulau Laut, Karasikan
(Kersik Putih?), Pasir, Kutai, Berau dan pantai sebelah Timur
·
Kotawaringin, Sukadana (Lawai), Landak,
Sanggau, Sintang, Mempawah, Sambas dan pantai sebelah Barat.
Sistem Pemerintahan
1. Raja :
bergelar Sultan/Panambahan/Ratu/Susuhunan
2. Putra
Mahkota : bergelar Ratu Anum/Pangeran Ratu/Sultan Muda
3. Perdana
Menteri : disebut Perdana Mantri/Mangkubumi/Wazir, dibawah
Mangkubumi : Mantri Panganan, Mantri Pangiwa, Mantri Bumi dan 40 orang
Mantri Sikap, setiap Mantri Sikap memiliki 40 orang pengawal.
4. Lalawangan :
kepala distrik, kedudukannya sama seperti di masa Hindia Belanda.
5. Sarawasa,
Sarabumi dan Sarabraja : Kepala Urusan keraton
6. Mandung
dan Raksayuda : Kepala Balai Longsari dan Bangsal dan Benteng
7. Mamagarsari :
Pengapit raja duduk di Situluhur
8. Parimala :
Kepala urusan dagang dan pekan (pasar). Dibantu Singataka dan Singapati.
9. Sarageni
dan Saradipa : Kuasa dalam urusan senjata (tombak, ganjur), duhung, tameng,
badik, parang, badil, meriam dll.
10. Puspawana :
Kuasa dalam urusan tanaman, hutan, perikanan, ternak, dan berburu
11. Pamarakan
dan Rasajiwa : Pengurus umum tentang keperluan pedalaman dan pedusunan
12. Kadang
Aji : Ketua Balai petani dan Perumahan. Nanang sebagai Pembantu
13. Wargasari :
Pengurus besar tentang persediaan bahan makanan dan lumbung padi, kesejahteraan
14. Anggarmarta :
Juru Bandar, Kepala urusan pelabuhan
15. Astaprana :
Juru tabuh-tabuhan, kesenian dan kesusasteraan.
16. Kaum
Mangkumbara : Kepala urusan upacara
17. Wiramartas :
Mantri Dagang, berkuasa mengadakan hubungan dagang dengan luar negeri, dengan
persetujuan Sultan.
18. Bujangga :
Kepala urusan bangunan rumah, agama dan rumah ibadah
19. Singabana :
Kepala ketenteraman umum.
Jabatan-jabatan
di masa Panembahan Kacil (Sultan Mustain Billah), terdiri :
1.
Mangkubumi
2.
Mantri Pangiwa dan Mantri Panganan
3.
Mantri Jaksa
4.
Tuan Panghulu
5.
Tuan Khalifah
6.
Khatib
7.
8.
·
Masalah-masalah agama Islam
dibicarakan dalam rapat/musyawarah oleh Penghulu yang memimpin pembicaraan, dengan
anggota terdiri dari : Mangkubumi, Dipati, Jaksa, Khalifah dan Penghulu.
·
Masalah-masalah hukum sekuler
dibicarakan oleh Jaksa yang memimpin pembicaraan dengan anggota terdiri dari
Raja, Mangkubumi, Dipati dan Jaksa.
·
Masalah tata urusan kerajaan merupakan
pembicaraan antara raja, Mangkubumi dan Dipati.
·
Dalam hierarki struktur negara,
dibawah Mangkubumi adalah Panghulu, kemudian Jaksa. Urutan dalam suatu sidang
negara adalah Raja, Mangkubumi, Panghulu, kemudian Jaksa. Urutan kalau Raja
berjalan, diikuti Mangkubumi, kemudian Panghulu dan selanjutnya Jaksa.
Kewenangan Panghulu lebih tinggi dari Jaksa, karena Panghulu mengurusi masalah
keagamaan, sedangkan Jaksa mengurusi masalah keduniaan.
·
Para Dipati, terdiri dari para
saudara raja, menemani dan membantu raja, tetapi mereka adalah kedua setelah
Mangkubumi.
Sistem
pemerintahan mengalami perubahan pada masa pemerintahan Sultan Adam Al-Watsiq
Billah. Perubahan itu meliputi jabatan :
1. Mufti :
hakim tertinggi, pengawas Pengadilan umum
2. Qadi :
kepala urusan hukum agama Islam
3. Penghulu :
hakim rendah
4. Lurah :
langsung sebagai pembantu Lalawangan (Kepala Distrik) dan mengamati pekerjaan
beberapa orang Pambakal (Kepala Kampung) dibantu oleh Khalifah, Bilal dan Kaum.
5. Pambakal :
Kepala Kampung yang menguasai beberapa anak kampung.
6. Mantri :
pangkat kehormatan untuk orang-orang terkemuka dan berjasa, diantaranya ada
yang menjadi kepala desa dalam wilayah yang sama dengan Lalawangan.
7. Tatuha
Kampung : orang yang terkemuka di kampung.
8. Panakawan :
orang yang menjadi suruhan raja, dibebas dari segala macam pajak dan kewajiban.
·
Sebutan Kehormatan
o
Sultan, disebut : Yang Maha
Mulia Paduka Seri Sultan
o
Gubernur Jenderal VOC : Tuan
Yang Maha Bangsawan Gubernur Jenderal.
o
Permaisuri disebut Ratu.
Sultan Banjar
No. |
Masa |
Sultan |
K e t e r a n g a n |
1 |
1520-1550 |
Sultan
Suriansyah |
*Raja
pertama Kesultanan Banjar yang mendirikan kerajaannya di Kampung Banjarmasih
(Kuin), memeluk Islam 24 September 1526, gelar anumerta Sunan Batu Habang,
beliau cucu Maharaja Sukarama dari Kerajaan Negara Daha. Makamnya di Komplek
Makam Sultan Suriansyah. Dalam agama lama, beliau dianggap hidup membegawan
di alam gaib (sangiang ?) digelari Perbata Batu Habang. |
2 |
1550-1570 |
Sultan
Rahmatullah bin Sultan Suriansyah |
Gelar
anumerta : Panembahan Batu Putih. Makamnya di Komplek Makam Sultan
Suriansyah |
3 |
1570-1595 |
Sultan
Hidayatullah bin Sultan Rahmatullah |
Gelar
anumerta : Panembahan Batu Irang. Makamnya di Komplek Makam Sultan
Suriansyah ; |
4 |
1595-1620 |
Sultan
Mustain Billah bin Sultan Hidayatullah |
Gelar
lain : Pangeran Kacil/Panembahan Marhum/Mustakim Billah/Musta
Ayinubillah/Mustain Allah/Mustain Ziullah/Raja Maruhum. Gelar anuemrta Marhum
Panembahan /Tahun 1612 memindahkan ibukota ke Martapura |
5 |
1620-1637 |
Sultan
Inayatullah bin Mustainbillah |
Gelar
lain : Ratu Agung/Ratu Lama dimakamkan di Kampung Keraton, Martapura.
Adiknya, Pangeran Dipati Antakusuma mewarisi wilayah sebelah barat kerajaan
menjadi sebuah kepangeranan yang dikenal sebagai Kerajaan Kotawaringin |
6 |
1637-1642 |
Saidullah
bin Sultan Inayatullah |
Gelar
lain : Wahidullah/Ratu Anum/Ratu Anumdullah. |
7 |
1642-1660 |
Sultan
Ri'ayatullah bin Sultan Inayatullah |
Gelar
lain :Pangeran Tapasana/Pangeran Mangkubumi/Rakyat Allah/Panembahan
Sepuh/Tahalidullah/Adipati Halid/Pangeran Dipati Tuha memegang jabatan
sebagai Wali Sultan dengan gelar Pangeran Ratu kemudian memakai gelar Sultan
Rakyatullah. Pada tahun 1660 menyerahkan tahta kepada kemenakannya Amirullah
Bagus Kesuma yang merupakan Putra Mahkota anak dari Sultan Saidullah. |
8 |
1660-1663 |
Sultan
Amirullah Bagus Kusuma bin Sultan Saidullah |
*
Nama lain : Sultan Tahmidullah I/Panembahan Kuning |
9 |
1663-1679 |
Pangeran
Surya Nata II bin Sultan Inayatullah (Sultan Agung) |
*
Mengkudeta kemenakannya Amirullah Bagus Kasuma dengan bantuan suku Biaju,
memindahkan pemerintahan ke Sungai Pangeran ( |
10 |
1680-±1700 |
Sultan
Amirullah Bagus Kasuma bin Sultan Saidullah |
*
Naik tahta kedua kalinya setelah merebut kembali dari Sultan Agung |
11 |
±1700-1734 |
Sultan
Hamidullah bin Tahmidullah I |
Gelar
lain : Sultan Kuning |
12 |
1734-1759 |
Sultan
Tamjidullah I bin Tahmidullah I |
Bertindak
sebagai wali Putra Mahkota Muhammad Aliuddin Aminullah yang belum dewasa.
Tamjidullah I berusaha Sultan Banjar tetap dipegang pada dinasti garis
keturunannya |
13 |
1759-1761 |
Sultan
Muhammad Aliuddin Aminullah bin Sultan Hamidullah |
*
Mengkudeta pamannya Sultan Tamjidullah I. Gelar lain : Sultan
Aminullah/Muhammad Iya'uddin Aminullah/Muhammad Iya'uddin Amir ulatie ketika
mangkat anak-anaknya masih belum dewasa, tahta kerajaan kembali dibawah
kekuasaan Tamjidillah I tetapi dijalankan oleh anaknya Pangeran Nata sebagai
wali Putra Mahkota. |
14 |
1761-1801 |
Sultan
Tahmidullah II bin Sultan Tamjidullah I |
*
Semula sebagai wali Putra Mahkota, tetapi mengangkat dirinya sebagai Panembahan
Kaharuddin Halilullah. Gelar lain : Susuhunan Nata Alam (1772)/Pangeran
Nata Dilaga/Pangeran Wira Nata/Pangeran Nata Negara/Akamuddin Saidullah(1762)/Amirul
Mu'minin Abdullah(1762)/Sulaiman Saidullah(1787)/Panembahan Batu (1797)/Panembahan
Anum. Mengadakan kontrak dengan Hindia Belanda tahun 1787 untuk menghadapi
Pangeran Amir bin Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah yang menuntut tahta
dengan bantuan suku Bugis-Paser yang gagal, kemudian dengan suku Bakumpai dan
akhirnya ditangkap Kompeni Belanda 14 Mei 1787, kemudian diasingkan ke Srilangka |
15 |
1801-1825 |
Sultan
Sulaiman Saidullah bin Tahmidullah II |
*
Mendapat gelar Sultan Muda sejak tahun 1767 ketika berusia 6 tahun dari
ayahnya Susuhunan Nata Alam |
16 |
1825-1857 |
Sultan
Adam Al-Watsiq Billah bin Sultan Sulaiman al Mutamidullah |
*
Baginda mendapat gelar Sultan Muda sejak tahun 1782. Ketika mangkatnya
terjadi krisis suksesi dengan tiga kandidat penggantinya yaitu Pangeran Prabu
Anom, Pangeran Tamjdillah II dan Pangeran Hidayatullah II, Belanda sebelumnya
sudah mengangkat Tamjidullah II sebagai Sultan Muda sejak 8 Agustus 1852 dan
kemudian menetapkannya sebagai sultan Banjar, sehari kemudian Pangeran
Tamjidillah II menandatangani surat pengasingan pamannya Pangeran Prabu Anom
ke Jawa. Padahal sebelumnya almarhum Sultan Adam telah membuat |
17 |
1857-1859 |
Sultan
Tamjidullah Al-Watsiq Billah bin Sultan Muda Abdur Rahman |
*Pada
3 November 1857 diangkat Belanda menjadi Sultan Banjar. Pada 25 Juni 1859,
Hindia Belanda memakzulkan Tamjidullah II sebagai Sultan Banjar kemudian
mengirimnya ke Bogor. |
18 |
1859-1862 |
Sultan
Hidayatullah II bin Sultan Muda Abdur Rahman |
*
Hidayatullah II satu-satunya pemimpin negeri Banjar sesuai wasiat Sultan
Adam. Pada tanggal 11 Juni 1860, Residen I.N. Nieuwen Huyzen mengumumkan
penghapusan Kesultanan Banjar, Hidayatullah II pada 2 Maret 1862 dibawa dari
Martapura dan diasingkan ke Cianjur |
19 |
1862 |
Pangeran
Antasari bin Pangeran Mas'ud bin Pangeran Amir bin Sultan Muhammad Aliuddin
Aminullah |
*
Pada 14 Maret 1862, yaitu setelah 11 hari Pangeran Hidayatullah II diasingkan
ke Cianjur diproklamasikanlah pengangkatan Pangeran Antasari sebagai pimpinan
tertinggi dalam kerajaan Banjar dengan gelar Panembahan Amiruddin Khalifatul
Mukminin. Pusat perjuangan di Menawing, pedalaman Barito, Murung Raya,
Kalteng. Dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional, wafat 11 Oktober 1862 di
kampung Sampirang, Bayan Begak, Puruk Cahu, karena penyakit cacar. Dimakamkan
kembali 11 November 1958 di Komplek Makam Pangeran Antasari, |
20 |
1862-1905 |
Sultan
Muhammad Seman bin Pangeran Antasari |
*
Pemerintahan Pagustian, bersama Gusti Muhammad Said meneruskan perjuangan
Pangeran Antasari melawan kolonial Belanda, gugur 24 Januari 1905 ditembak
Belanda yang mengakhiri Perang Banjar. Negeri Banjar menjadi sepenuhnya di
bawah pemerintahan Residen Belanda dilanjutkan Gubernur Haga, Pimpinan Pemerintahan
Civil, Pangeran Musa Ardi Kesuma (Ridzie Zaman Jepang), Pangeran Muhammad
Noor (Gubernur Kalimantan I), sekarang menjadi Provinsi Kalimantan Selatan. |
- Kesultanan
Kotawaringin
Kerajaan Kotawaringin adalah sebuah kerajaan Islam yang
didirikan pada tahun 1679, di wilayah yang menjadi Kabupaten Kotawaringin Barat
saat ini di Kalimantan Tengah. Kerajaan Kotawaringin merupakan pecahan
kesultanan Banjar yang dibagi waris menjadi dua wilayah. Wilayah sebelah barat
Kesultanan Banjar dimekarkan menjadi Kerajaan Kotawaringin. Diduga Raja pertama
Kotawaringin yaitu Pangeran Dipati Antakusuma adalah adik Sultan Banjar, Inayatullah
bin Mustain Billah yang memerintah tahun 1620-1637. Raja Kotawaringin
(Antakusuma), Raja Sukadana (Marta Sahary) dan Raja Mempawah menjadi anggota
Dewan Mahkota di Kesultanan Banjar pada masa pemerintahan Inayatullah. Dewan
Mahkota adalah dewan yang juga mengurusi perdagangan dan ekonomi di wilayah ini
dalam berhubungan dengan pihak Belanda (VOC) maupun Inggris. Pada tahun 1638
terjadi pembunuhan terhadap orang-orang VOC dan Jepang di loji di Martapura.
Atas kejadian tersebut VOC membuat
Sebelumnya
sekitar tahun 1362, Kota Waringin merupakan salah satu negeri di pulau Tanjungnegara
yang telah ditaklukan Kerajaan Majapahit oleh Mahapatih Gajah Mada berdasarkan Kakawin
Nagarakretagama.
Sebelum
Proklamasi Kemerdekaan RI, 17 Agustus 1945, Kobar merupakan satu wilayah Kesultanan
Kotawaringin.[1]
Ibukota
Kesultanan Kotawaringin semula berada di Kotawaringin Lama (hulu Sungai
Lamandau). Pada 1814 ibukota kesultanan dipindahkan ke Pangkalan Bun, pada masa
pemerintahan Sultan Imanudin dan didirikanlah sebuah istana di Pangkalan Bun
sebagai pusat pemerintahan.[1]
Setelah
Proklamasi Kemerdekaan RI, status Kotawaringin menjadi bagian wilayah NKRI dengan
status Swapraja/Kewedanan. Selanjutnya berkembang menjadi Kabupaten Daerah
Tingkat II Kotawaringin Barat sebagai daerah otonom dengan Pangkalan Bun
sebagai ibukota kabupaten yang ditetapkan dengan UU No 27/1959 dan Lembaran
Negara No 72/1959.[1] Selanjutnya Kabupaten Kotawaringin Barat telah
dimekarkan menjadi 3 Kabupaten yaitu :
1.
Kabupaten Kotawaringin Barat
2.
Kabupaten Lamandau
3.
Kabupaten Sukamara
Sultan Kotawaringin
Raja-raja/sultan
yang pernah memerintah sejak 1679 hingga masuknya penjajah Belanda dengan
urutan sebagai berikut:[1]
·
Pangeran Adipati Antakusuma (1680-1687)
·
Pangeran Mas Adipati
·
Pangeran Panembahan Anom
·
Pangeran Prabu
·
Pangeran Adipati Moda
·
Pangeran Penghulu.
·
Pangeran Ratu Bengawan
·
Pangeran Ratu Anom Kusuma Yudha
·
Pangeran Imanudin
·
Pangeran Akhmad Hermansyah (1850-1865)
·
Pangeran Ratu Anom Kusuma Yudha (1865-1904)
·
Pangeran Ratu Sukma Negara (1905-1913),
·
Pangeran Ratu Sukma Alamsyah (1914-1939)
·
Pangeran Ratu Anom Alamsyah (1940-1948).
- Kerajaan
Pagatan (1750)
Kerajaan Pagatan (1775-1908) adalah sebuah kerajaan kecil
yang pernah berdiri di sebagian wilayah Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan
Selatan. Kerajaan ini didirikan oleh imigran suku Bugis atas seijin Sultan
Banjar ke-8, Panembahan Batu yang menjadi koloni suku Bugis di Kalimantan
Selatan. Kerajaan ini semula merupakan kerajan bawahan dari Kesultanan Banjar
selanjutnya menjadi bawahan Hindia Belanda, karena diserahkan kepada pemerintah
Hindia Belanda dalam Traktat Karang Intan. Penguasa kerajaan ini bergelar Pangeran
Muda. Menurut Staatblaad tahun 1898 no. 178, wilayah kerajaan ini merupakan
"leenplichtige landschappen" dalam Afdeeling Pasir en de Tanah
Boemboe.
Wilayah
Pusat
pemerintahan di
Cakupan Wilayah
Walaupun
wilayahnya cukup kecil hanya merupakan sebuah kecamatan atau dapat disamakan
dengan sebuah lalawangan (distrik) yang ada di wilayah Hulu Sungai pada kurun
waktu yang sama, tetapi merupakan sebuah kerajaan. Pada kurun yang sama wilayah
Hulu Sungai terdiri atas 9 distrik yaitu Distrik Tabalong, Distrik Kelua, Distrik
Balangan, Distrik Amuntai, Distrik Alabio, Distrik Batang Alai, Distrik Negara,
Distrik Amandit, Distrik Margasari dan Distrik Benua Empat.
Setiap
Lalawangan dipimpin seorang yang bergelar Kiai Tumenggung yaitu Kepala Bubuhan
yang tertinggi kedudukannya secara hirarkis di daerah lalawangan masing-masing
dan diakui Sultan sebagai pemimpin di daerah tersebut. Demikian juga pada
daerah-daerah suku Dayak di Kaimantan Tengah. Raja Pagatan merupakan kepala
bubuhan suku Bugis yang ada di daerah tersebut. Kerajaan Pagatan tidak dapat
disamakan kedudukannya dengan Kesultanan Banjar (Kerajaan Negara Dipa) yang
sudah ada sejak abad ke-14 yang kekuasaannya meliputi sebagian besar wilayah
Asal Mula Pagatan
Dalam
Hikayat Banjar ketika Pangeran Samudera berperang dengan pamannya Maharaja
Tumenggung dari Kerajaan Negara Daha sekitar tahun 1526, nama Pagatan tidak ada
disebutkan sebagai daerah pesisir Kalimantan Selatan yang diminta untuk
mengirim bantuan pasukan. Daerah yang sudah ada pada masa itu diantaranya
Tabanio, Takisung, Asam-asam, Swarangan, Kintap, Satui, Laut Pulau (Pulau Laut)
dan Pamukan.
Pagatan
baru ada sekitar tahun 1750 dibangun oleh Puanna Dekke', hartawan asal Tanah
Bugis tepatnya dari Wajo, Sulawesi Selatan. Puanna Dekke' berlayar menuju Pasir,
hatinya tidak berkenan sehingga menyusuri Tanah Bumbu dan belum menemukan
daerah yang dapat dijadikan pemukiman sampai dia menemukan sungai yang masuk
dalam wilayah Kesultanan Banjar. Selanjutnya bertolaklah Puanna Dekke' menuju Banjarmasin
untuk meminta ijin kepada Sultan Banjar ke-7 (1734) yaitu Panembahan Batu untuk
mendirikan pemukiman di wilayah tersebut.
Perjanjian Karang Intan
Wilayah
kerajaan Pagatan merupakan salah satu daerah kekuasaan Kesultanan Banjar yang
diserahkan Sultan Sulaiman kepada kolonial Hindia-Belanda melalui Perjanjian Karang
Intan.
Kapitan Laut Pulo
Atas
jasa-jasa La Pangewa dan pasukannya mengempur pasukan Pangeran Amir bin Sultan
Kuning yang menjadi rivalnya Sultan Banjar ke-8 Sultan Tahmidullah II dalam
perebutan mahkota kesultanan Banjar, dia anugerahi gelar Kapitan Laut Pulo
mungkin semacam panglima laut yang menjaga perairan wilayah Kesultanan Banjar,
selanjutnya menjadi raja di daerah Pagatan. Pada masa tertentu wilayahnya
Kerajaan Pagatan dan Kerajaan Kusan disatukan menjadi semacam federasi dengan
sebutan Kerajaan Pagatan dan Kusan.
Kerajaan
Pagatan merupakan salah satu daerah leenplichtige landschappen dalam Afdeeling
Pasir en de Tanah Boemboe. Menurut Staatblaad tahun 1898 no. 178, wilayah
Afdeeling Pasir en de Tanah Boemboe, dengan ibukota Kota Baru, terdiri dari
daerah-daerah leenplichtige landschappen dan daerah landschap
yang langsung diperintah kepala bumiputeranya :
1.
Pasir
2.
Pegatan
3.
Koensan
4.
Tjingal
5.
Manoenggoel
6.
Bangkalaan
7.
Sampanahan
8.
Tjangtoeng
9.
Batoe Litjin
10.
Sabamban dan
11.
Poelau Laoeut (Pulau Laut)dengan
pulau Seboekoe (Pulau Sebuku)
Raja Pagatan dan Kusan
No. |
Masa |
Nama Raja |
K e t e r a n g a n |
1 |
1755-1800 |
La
Pangewa |
Raja
Pagatan I yang diberi gelar Kapitan Laut Pulo oleh Panembahan Batu |
2 |
1830-1838 |
La
Palebi |
Raja
Pagatan II |
3 |
1838-1855 |
La
Paliweng (Arung Abdulrahim) |
Raja
Pagatan III |
4 |
1855-1863 |
La
Matunra (Arung Abdul Karim) |
Raja
Pagatan dan Kusan |
5 |
1863-1871 |
La
Makkarau |
|
6 |
1871-1875 |
Abdul
Jabbar |
Raja
Pagatan dan Kusan |
7 |
1875-1883 |
Ratu
Senggeng (Daeng Mangkau) |
Raja
Pagatan dan Kusan |
8 |
1883-1893 |
H
Andi Tangkung (Petta Ratu) |
Raja
Pagatan dan Kusan |
9 |
1893-1908 |
Andi
Sallo (Arung Abdurahman) |
Raja
Pagatan dan Kusan |
Penggabungan Pagatan dan Kusan (1850)
Pangeran
Djaja Soemitra anak dari pangeran M. Nafis dan menjadi Raja Kusan IV tahun
1840-1850, kemudian ia pindah ke Kampung Malino dan menjadi Raja Pulau Laut I
pada tahun 1850-1861. Sejak itu pemerintahan kerajaan Kusan digabung dengan
kerajaan Pagatan.
- Kesultanan
Sambas (1675)
Kesultanan Sambas adalah kerajaan yang terletak di Kabupaten
Sambas, Kalimantan Barat sekarang, tepatnya berpusat di Kota Sambas. Kerajaan
yang bernama Sambas di Pulau Borneo atau Kalimantan ini telah ada paling tidak
sebelum abad ke-14 M sebagaimana yang tercantum dalam Kitab Negara Kertagama
karya Prapanca. Pada masa itu Rajanya mempunyai gelaran "Nek" yaitu
salah satunya bernama Nek Riuh. Setelah masa Nek Riuh, pada sekitar abad ke-15
M muncul pemerintahan Raja yang bernama Tan Unggal yang terkenal sangat kejam.
Karena kekejamannya ini Raja Tan Unggal kemudian dikudeta oleh rakyat dan
setelah itu selama puluhan tahun rakyat di wilayah Sungai Sambas ini tidak mau
mengangkat Raja lagi. Pada masa kekosongan pemerintahan di wilayah Sungai Sambas
inilah kemudian pada awal abad ke-16 M (1530 M) datang serombongan besar
Bangsawan Jawa (sekitar lebih dari 500 orang) yang diperkirakan adalah
Bangsawan Majapahit yang masih hindu melarikan diri dari Pulau Jawa (Jawa
bagian timur) karena ditumpas oleh pasukan Kesultanan Demak dibawah Sultan
Demak ke-3 yaitu Sultan Trenggono.
Pada
saat itu di pesisir dan tengah wilayah Sungai Sambas ini telah sejak ratusan
tahun didiami oleh orang-orang Melayu yang telah mengalami asimilasi dengan
orang-orang Dayak pesisir dimana karena saat itu wilayah ini sedang tidak
ber-Raja (sepeninggal Raja Tan Unggal) maka kedatangan rombongan Bangsawan
Majapahit ini berjalan mulus tanpa menimbulkan konflik. Rombongan Bangsawan
Majapahit ini kemudian menetap di hulu Sungai Sambas yaitu di suatu tempat yang
sekarang disebut dengan nama "Kota Lama". Setelah sekitar lebih dari
10 tahun menetap di "Kota Lama" dan melihat keadaan wilayah Sungai
Sambas ini aman dan kondusif maka kemudian para Bangsawan Majapahit ini mendirikan
sebuah Panembahan / Kerajaan hindu yang kemudian disebut dengan nama
"Panembahan Sambas". Raja Panembahan Sambas ini bergelar
"Ratu" (Raja Laki-laki)dimana Raja yang pertama tidak diketahui
namanya yang kemudian setelah wafat digantikan oleh anaknya yang bergelar Ratu
Timbang Paseban, setelah Ratu Timbang Paseban wafat lalu digantikan oleh
Adindanya yang bergelar Ratu Sapudak. Pada masa Ratu Sapudak inilah untuk
pertama kalinya diadakan kerjasama perdagangan antara Panembahan Sambas ini
dengan VOC yaitu pada tahun 1609 M.
Pada
masa Ratu Sapudak inilah rombongan Sultan Tengah (Sultan Sarawak ke-1) bin
Sultan Muhammad Hasan (Sultan
Sejarah Ringkas Kesultanan Sambas
Sebelum
berdirinya Kesultanan Sambas pada tahun 1675 M, di wilayah Sungai Sambas ini
sebelumnya telah berdiri Kerajaan-Kerajaan yang menguasai wilayah Sungai Sambas
dan sekitarnya. Berdasarkan data-data yang ada, urutan Kerajaan yang pernah
berdiri di wilayah Sungai Sambas dan sekitarnya sampai dengan terbentuknya
Negara Republik
1.
Kerajaan Nek Riuh sekitar abad 13 M -
14 M.
2.
Kerajaan Tan Unggal sekitar abad 15
M.
3.
Panembahan Sambas pada abad 16 M.
4.
Kesultanan Sambas pada abad 17 M - 20
M.
Secara
otentik Kerajaan Sambas telah eksis sejak abad ke 13 M yaitu sebagaimana yang
tercantum dalam Kitab Negara Kertagama karya Prapanca pada masa Majapahit (1365
M). Kemungkinan besar bahwa Kerajaan Sambas saat itu Rajanya bernama Nek Riuh.
Walaupun secara otentik Kerajaan Sambas tercatat sejak abad ke-13 M, namun
demikian berdasarkan benda-benda arkelogis (berupa gerabah, patung dari masa
hindu)yang ditemukan selama ini di wilayah sekitar Sungai Sambas menunjukkan
bahwa pada sekitar abad ke-6 M atau 7 M di sekitar Sungai Sambas ini diyakini
telah berdiri Kerajaan. Hal ini ditambah lagi dengan melihat posisi wilayah
Sambas yang berhampiran dengan Selat Malaka yang merupakan lalu lintas dunia
sehingga diyakini bahwa pada sekitar abad ke-5 hingga 7 M di wilayah Sungai
Sambas ini telah berdiri Kerajaan Sambas yaitu lebih kurang bersamaan dengan
masa berdirinya Kerajaan Batu Laras di hulu Sungai Keriau yaitu sebelum
berdirinya Kerajaan Tanjungpura.
Sedangkan
sejarah berdirinya Kesultanan Sambas berumula di Kesultanan Brunei yaitu ketika
Sultan Brunei ke-9 yaitu Sultan Muhammad Hasan wafat pada tahun 1598 M, maka
kemudian putra Baginda yang sulung menggantikannya dengan gelar Sultan Abdul
Jalilul Akbar. Ketika Sultan Abdul Jalilul Akbar telah memerintah puluhan tahun
kemudian muncul saingan untuk menggantikan dari Adinda Sultan Abdul Jalilul
Akbar yang bernama Pangeran Muda Tengah. Untuk menghindari terjadinya perebutan
kekuasaan maka Baginda Sultan Abdul Jalilul Akbar membuat kebijaksanaan untuk
memberikan sebagai wilayah kekuasaan Kesultanan
Setelah
sekitar 2 tahun memerintah di Kesultanan Sarawak yang berpusat di Sungai Bedil
(Kota Kuching sekarang ini), Baginda Sultan Tengah kemudian melakukan kunjungan
ke Kesultanan Johor. Saat itu di Kesultanan Johor yang menjadi Sultan adalah
Sultan Abdul Jalil (Raja Bujang)dimana Permaisuri Sultan Abdul Jalil ini adalah
Mak Muda dari Sultan Tengah. Sewaktu di Kesultanan Johor ini terjadi
kesalahpahaman antara Baginda Sultan Tengah dengan Sultan Abdul Jalil sehingga
kemudian membuat Baginda Sultan Tengah dan rombongannya harus pulang dengan
tergesa-gesa ke Sarawak sedangkan saat itu sebenarnya bukan angin yang baik
untuk melakukan pelayaran. Oleh karena itulah maka ketika sampai di laut lewat
dari Selat Malaka, kapal rombongan Baginda Sultan Tengah ini dihantam badai
yang sangat dahsyat. Setelah terombang-ambing di laut satu hari satu malam,
setalah badai mereda, kapal Baginda Sultan Tengah tenyata telah terdampar di
pantai yang adalah wilayah kekuasaan Kesultanan Sukadana. Pada saat itu yang
menjadi Sultan di Kesultanan Sukadana adalah Sultan Muhammad Shafiuddin (Digiri
Mustika) yang baru saja kedatangan Tamu Besar yaitu utusan Sultan Makkah (Amir
Makkah) yaitu Shekh Shamsuddin yang mengesahkan gelaran Sultan Muhammad
Shafiuddin ini. Sebelum ke Kesultanan Sukadana, Shekh Shamsuddin telah
berkunjung pula ke Kesultanan Banten yang juga mengesahkan gelaran Sultan
Banten pada tahun yang sama.
Baginda
Sultan Tengah dan rombongannya kemudian disambut dengan baik oleh Baginda
Sultan Muhammad Shafiuddin (Digiri Mustika. Setelah tinggal beberapa lama di
Kesultanan Sukadana ini, setelah melihat perawakan dan kepribadian Baginda
Sultan Tengah yang baik, maka kemudian Sultan Muhammad Shafiuddin mencoba
menjodohkan Adindanya yang dikenal cantik jelita yang bernama Putri Surya
Kesuma dengan Baginda Sultan Tengah. Sultan Tengah pun kemudian menerima
perjodohan ini sehingga kemudian menikahlah Baginda Sultan Tengah dengan Putri
Surya Kesuma dengan adat kebesaran Kerajaan Kesultanan Sukadana. Setelah
menikah dengan Putri Surya Kesuma ini Baginda Sultan Tengah kemudian memutuskan
untuk menetap sementara di Kesultanan Sukadana sambil menunggu situasi yang
aman di sekitar Selat Malaka menyusul adanya ekspansi besar-besaran dari
Kesultanan Johor dibawah pimpinan Sultan Abdul Jalil (Raja Bujang) di wilayah
itu. Dari pernikahannya dengan Putri Surya Kesuma ini Baginda Sultan Tengah
kemudian memperoleh seorang anak laki-laki yang kemudian diberi nama Sulaiman.
Setelah
sekitar 7 tahun menetap di Kesultanan Sukadana dan situasi di sekitar Selat
Malaka masih belum aman dari ekspansi Sultan Abdul Jalil Johor (Raja Bujang)
itu, maka Baginda Sultan Tengah kemudian memutuskan untuk berpindah dari
Kesultanan Sukadana untuk menetap di tempat baru yaitu wilayah Sungai Sambas
karena sebelumnya Baginda Sultan Tengah telah mendengar sewaktu di Sukadana
bahwa di sekitar Sungai Sambas terdapat sebuah Kerajaan yang berhubungan baik
dengan Kesultanan Sukadana yaitu Panembahan Sambas.
Maka
kemudian pada tahun 1638 M berangkatlah rombongan Baginda Sultan Tengah beserta
keluarga dan orang-orangnya dengan menggunakan 40 perahu yang lengkap dengan
alat senjata dari Kesultanan Sukadana menuju Panembahan Sambas di Sungai
Sambas. Setelah sampai di Sungai Sambas, rombongan Baginda Sultan Tengah ini
kemudian disambut dengan baik oleh Raja Panembahan Sambas saat itu yaitu Ratu
Sapudak. Rombongan Baginda Sultan Tengah ini kemudian dipersilahkan oleh Ratu
Sapudak untuk menetap di sebuah tempat tak jauh dari pusat pemerintahan
Panembahan Sambas.
Tidak
lama setelah Baginda Sultan Tengah beserta keluarga dan orang-orangnya tinggal
di Panembahan Sambas, Ratu Sapudak kemudian meninggal secara mendadak. Sebagai
penggantinya maka kemudian diangkatlah keponakan Ratu Sapudak yang bernama
Raden Kencono (Anak Ratu Timbang Paseban). Raden Kencono ini adalah juga
menantu dari Ratu Sapudak karena mengawini anak Ratu Sapudak yang perempuan
bernama Mas Ayu Anom. Setelah menaiki tahta Panembahan Sambas, Raden Kencono
ini kemudian bergelar Ratu Anom Kesumayuda.
Setelah
sekitar 10 tahun Baginda Sultan Tengah menetap di wilayah Panembahan Sambas dan
anaknya yang sulung yaitu Sulaiman sudah beranjak dewasa maka kemudian Sulaiman
dijodohkan dan kemudian menikah dengan anak perempuan Almarhum Ratu Sapudak
yang bungsu bernama Mas Ayu Bungsu. Karena pernikahan inilah maka Sulaiman
kemudian dianugerahkan gelaran Raden oleh Panembahan Sambas sehingga nama
menjadi Raden Sulaiman dan selanjuntnya tinggal di lingkungan Keraton
Panembahan Sambas bersama Mas Ayu Bungsu. Dari pernikahannya dengan Mas Ayu
Bungsu ini, Raden Sulaiman memperoleh seorang anak pertama yaitu seorang anak
laki-laki yang kemudian diberi nama Raden Bima. Raden Sulaiman kemudian
diangkat oleh Ratu Anom Kesumayuda menjadi salah satu Menteri Besar Panembahan
Sambas bersama dengan Adinda Ratu Anom Kesumayuda yang bernama Raden Aryo
Mangkurat.
Tidak
lama setelah kelahiran cucu Baginda Sultan Tengah yaitu Raden Bima, dan setelah
melihat situasi yang sudah mulai aman di sekitar Selat Malaka apalagi setelah
melihat anaknya yang sulung yaitu Raden Sulaiman telah menikah dan mandiri
bahkan telah menjadi Menteri Besar Panembahan Sambas, maka Baginda Sultan Tengah
kemudian memutuskan sudah saatnya untuk kembali ke Negerinya yang telah begitu
lama di tinggalkannya yaitu Kesultanan Sarawak. Maka kemudian berangkatlah
Baginda Sultan Tengah beserta istrinya yaitu Putri Surya Kesuma dan keempat
anaknya yang lain (Adik-adik dari Raden Sulaiman) yaitu Badaruddin, Abdul
Wahab, Rasmi Putri dan Ratna Dewi beserta orang-orangnya yaitu pada sekitar
tahun 1652 M.
Ditengah
perjalanan ketika telah hampir sampai ke Sarawak yaitu disuatu tempat yang
bernama Batu Buaya, secara tiba-tiba Baginda Sultan Tengah ditikam dari
belakang oleh pengawalnya sendri, pengawal itu kemudian dibalas tikam oleh
Baginda Sultan Tengah hingga pengawal itu tewas. Namun demikian luka yang di
tubuh Sultan Tengah terlalu parah sehingga kemudian Baginda Sultan Tengah bin
Sultan Muhammad Hasan pun wafat. Jenazah Baginda Sultan Tengah kemudian setelah
di sholatkan kemudian dengan adat kebesaran Kesultanan
Di
Panembahan Sambas, sepeninggal Ayahandanya yaitu Baginda Sultan Tengah, Raden
Sulaiman mendapat tentangan yang keras dari Adik Ratu Anom Kesumayuda yang juga
adalah Menteri Besar Panembahan Sambas yaitu Raden Aryo Mangkurat. Tentangan
dari Raden Aryo Mangkurat yang sangat fanatik hindu ini karena iri dan dengki
dengan Raden Sulaiman yang semakin kuat mendapat simpati dari para pembesar
Panembahan Sambas saat karena baik prilakunya dan bagus kepemimpinannya dalam
memagang jabatan Menteri Besar disamping itu Raden Sulaiman ini juga sangat
giat menyebarkan Syiar Islam di lingkungan Keraton Panembahan Sambas yang
mayoritas masih menganut hindu itu sehingga dari hari ke hari semakin banyak
petinggi dan penduduk Panembahan Sambas yang masuk Islam sehingga Raden
Sulaiman ini semakin dibenci oleh Raden Aryo Mangkurat.
Tekanan
terhadap Raden Sulaiman oleh Raden Aryo Mangkurat ini kemudian semakin kuat
hingga sampai pada mengancam keselamatan Raden Sulaiman beserta keluarganya
sedangkan Ratu Anom Kesumayuda tampaknya tidak mampu berbuat dengan ulah
adiknya itu. Maka Raden Sulaiman kemudian memtuskan untuk hijrah dari pusat
Panembahan Sambas dan mencari tempat menetap yang baru. Maka kemudian pada
sekitar tahun 1655 M, berangkatlah Raden Sulaiman beserta istri dan anaknya
serta orang-orangnya yaitu sebagian orang-orang Brunei yang ditinggalkan
Ayahandanya (Sultan Tengah) ketika akan pulang ke Sarawak dan sebagian petinggi
dan penduduk Panembahan Sambas yang setia dan telah masuk Islam.
Dari
pusat Panembahan Sambas ini (sekarang disebut dengan nama Kota Lama), Raden
Sulaiman dan rombongannya sempat singgah selama setahun di tempat yang bernama
Kota Bangun dan kemudian memutuskan untuk menetap di suatu tempat lain yang
kemudian bernama Kota Bandir. Setelah sekitar 4 tahun menetap di Kota Bandir
ini, secara tiba-tiba, Ratu Anom Kesumayuda datang menemui Raden Sulaiman
dimana Ratu Anom Kesumayuda menyatakan bahwa ia dan sebagian besar petinggi dan
penduduk Panembahan Sambas di Kota Lama akan berhijrah dari wilayah Sungai
Sambas ini dan akan mencari tempat menetap yang baru di wilayah Sungai Selakau
karena ia (Ratu Anom Kesumayuda)telah berseteru dan tidak sanggup menghadapi
ulah adiknya yaitu Raden Aryo Mangkurat di Kota Lama. Untuk itulah Ratu Anom
Kesumayuda kemudian menyatakan menyerahkan kekuasaan di wilayah Sungai Sambas
ini kepada Raden Sulaiman dan agar melakukan pemerintahan di wilayah Sungai
Sambas ini.
Sekitar
5 tahun setelah mendapat mandat penyerahan kekuasaan dari Ratu Anom Kesumayuda
maka setelah berembug dengan orang-orangnya dan melakukan segala persiapan yang
diperlukan, Raden Sulaiman kemudian memutuskan untuk mendirikan sebuah Kerajaan
baru. Maka kemudian pada sekitar tahun 1671 M Raden Sulaiman mendirikan
Kesultanan Sambas dengan Raden Sulaiman sebagai Sultan pertama Kesultanan
Sambas dengan gelar Sultan Muhammad Shafiuddin yaitu mengambil gelar dari nama
gelaran Abang dari Ibundanya (Putri Surya Kesuma) yaitu Sultan Muhammad
Shafiuddin (Digiri Mustika, Sultan Sukadana. Pusat pemerintahan Kesultanan
Sambas ini adalah ditempat yang baru di dekat muara Sungai Teberrau yang bernama
Lubuk Madung.
Setelah
memerintah selama sekitar 15 tahun yang di isi dengan melakukan penataaan
sistem pemerintahan dan pembinaan hubungan dengan negari-negeri tetangga, pada
tahun 1685 Sultan Muhammad Shafiuddin (Raden Sulaiman) mengundurkan diri dari
Tahta Kesultanan Sambas dan mengangkat anak sulungnya yaitu Raden Bima sebagai
penggantinya dengan gelar Sultan Muhammad Tajuddin.
Sekitar
setahun setelah memerintah sebagai Sultan Sambas ke-2, Sultan Muhammad Tajuddin
(Raden Bima), atas persetujuan dari Ayahandanya (Raden Sulaiman) kemudian
memindahkan pusat pemerintahan Kesultanan Sambas dari Lubuk Madung ke suatu
tempat tepat di depan percabangan 3 buah Sungai yaitu Sungai Sambas, Sungai
Teberrau dan Sungai Subah. Tempat ini kemudian disebut dengan nama "Muare
Ulakkan" yang menjadi pusat pemerintahan Kesultanan Sambas seterusnya
yaitu dari tahun 1685 M itu hingga berakhirnya pemerintahan Kesultanan Sambas
pada tahun 1956 M atau sekitar 250 tahun.
Hubungan Kesultanan Sambas dan Kesultanan Brunei
Darussalam
Sejarah
tentang asal usul Kesultanan Sambas
tidak bisa terlepas dari Kesultanan Brunei Darussalam. Antara kedua kerajaan
ini mempunyai kaitan persaudaraan yang sangat erat. Pada abad ke-13, di Negeri
Brunei Darussalam, bertahta seorang Raja yang bergelar Sri Paduka Sultan
Muhammad Shah / Awang Alak Betatar. Sultan Muhammad Shah ini merupakan Raja
Syarif
Ali ini adalah mantan Amir Makkah
(semacam Sultan Makkah)yang melarikan diri dari Makkah melalui Thaif menyusul
terjadinya perebutan kekuasaan Tahta Amir Makkah dengan saudara sepupunya yang
kemudian membuat posisi Amir Syarif Ali ini terpojok dan terancam jiwanya
sehingga kemudian ia melarikan diri ke Aden (wilayah Yaman sekarang). Dari Aden
Syarif Ali terus pergi ke India Barat, dari India Barat terus ke Johor dan dari
Johor lalu ke Kesultanan Brunei yaitu dimasa Sultan Achmad (Pateh Berbai) yang
memerintah Kesultanan Brunei. Syarif Ali ini adalah keturunan langsung dari
Amir Makkah yang terkenal di Jazirah Arabia yaitu Syarif Abu Nu'may Al Awwal, dimana Syarif Abu Nu'may Al Awwal ini
adalah keturunan dari Cucu Rasulullah Shalallahu alaihi Wassalam yaitu Amirul Mukminin Hasan Ra. Hal ini
sesuai dengan silsilah yang terekam pada Batu Tarsilah Brunei yang masih di
temui hingga kini yang menyebutkan " Syarif Ali, Sultan Brunei ketiga,
adalah pancir (keturunan) dari Cucu
Rasulullah, Amirul Mukminin Hasan Ra." Karena saat itu masyarakat
negeri Brunei masih baru dalam memeluk Dienul Islam maka Syarif Ali yang
mempunyai pengetahuan Islam yang lebih dalam kemudian mengajarkan Dienul Islam
kepada masyarakat Brunei sehingga ia kemudian diangkat menjadi Mufti Kesultanan
Brunei di masa Sultan Achmad itu. Sejak saat itu pengaruh Syarif Ali di
Kesultanan
Pada
saat Sultan Achmad sudah semakin tua dan mulai memikirkan penggantinya dan saat
itu pengaruh Syarif Ali sebagai Ulama besar sekaligus menantu Sultan Achmad
Tajuddin sudah begitu kuatnya di kalangan istana dan masyarakat Brunei, maka
kemudian timbul ide untuk menjadikan Syarif Ali sebagai Sultan Brunei
berikutnya apabila kelak Sultan Achmad wafat. Usul ini kemudian di setujui oleh
Sultan Achmad dan didukung pula dengan kuat oleh masyarakat Kesultanan
Setelah
memerintah sekitar 7 tahun sebagai Sultan Brunei, pada tahun 1432 M Sultan
Syarif Ali wafat dan kemudian digantikan oleh putra sulungnya yang bergelar Sultan Sulaiman, Sultan Brunei ke-4.
Sultan Sulaiman memerintah sangat panjang yaitu sekitar 63 tahun dan berusia
lebih dari 100 tahun. Setelah wafat pada tahun 1485 M, Sultan Sulaiman kemudian
digantikan oleh putranya yang kemudian bergelar Sultan Bolkiah yang memerintah dari tahun 1485 M hingga 1524 M.
Pada masa Sultan Bolkiah ini Kesultanan Brunei mengalami kemajuan yang sangat
pesat dan mempunyai wilayah kekuasaan yang sangat luas yaitu meliputi hampir
seluruh Pulau Borneo / Kalimantan hingga ke Banjarmasin. Sultan Bolkiah
kemudian digantikan oleh anaknya yang sulung yang bergelar Sultan Abdul Kahar
sebagai Sultan
Sultan
Muhammad Hasan wafat pada tahun 1659 M dan kemudian digantikan oleh putranya
yang sulung bergelar Sultan Abdul
Jalilul Akbar(Sultan
Maka
kemudian berhijrahlah Pangeran Muda Tengah dari Negeri Brunei beserta
orang-orangnya yang terdiri dari sebagian pemuka-pemuka Kesultanan Brunei saat
itu dengan membawa 1000 orang Sakai sebagai pasukan dan hulu balang. Selepas
itu setelah menyiapkan segala sesuatunya maka kemudian pada tahun 1625 M
berdirilah Kesultanan Sarawak dengan Pangeran Muda Tengah sebagai Sultan
Sarawak yang pertama bergelar Sultan
Ibrahim Ali Omar Shah dengan pusat pemerintahan di sekitar Kota Kuching sekarang ini. Sultan
Ibrahim Ali Omar Shah ini kemudian lebih populer dengan sebutan Sultan Tengah atau Raja Tengah yaitu
mengambil dari gelar asalnya yaitu Pangeran Muda Tengah. Raja tengah inilah
yang telah datang ke Kesultanan Sukadana pada tahun 1629 M.
Karena
prilaku dan kemampuannya Baginda Sultan Tengah ini sangat baik dan unggul
sehingga Sultan Sukadana saat itu yaitu Baginda Sultan Muhammad Shafiuddin (Digiri Mustika) sangat bersimpati
dengan Baginda Sultan Tengah sehingga kemudian Baginda Sultan Muhammad
Shafiuddin menjodohkan Adindanya yang dikenal cantik jelita bernama Putri Surya
Kesuma dengan Baginda Sultan Tengah. Maka kemudian menikahlah Baginda Sultan
Tengah dengan Putri Surya Kesuma.
Dari perkawinan ini terlahirlah seorang anak laki-laki yang diberi nama Sulaiman.Karena sebab tertentu yang
menyangkut keamanan di wilayah sekitar Selat Malaka saat itu maka sejak menikah
dengan Putri Surya Kesuma, Baginda Sultan Tengah beserta orang-orangnya
memutuskan untuk menetap sementara di Kesultanan Sukadana selama beberapa
waktu. Sultan Tengah menetap di Kesultanan Sukadana hingga kemudian dari
pernikahannya dengan Putri Surya Kesuma diperoleh 5 orang anak yaitu Sulaiman,
Badaruddin, Abdul Wahab, Rasmi Putri dan Ratna Wati.
Tidak
berapa lama setelah kelahiran anaknya yang ke-5 (Ratna Wati), Baginda Sultan
Tengah kemudian memutuskan untuk hijrah dari Kesultanan Sukadana menuju tempat
kediaman baru di wilayah Sungai Sambas, sambil masih menunggu keadaan aman di
wilayah Selat Malaka untuk kembali pulang ke Kesultanan Sarawak. Di wilayah Sungai
Sambas saat itu diperintah oleh seorang Raja yang dikenal dengan nama Panembahan Ratu Sapudak. Kerajaan
Panembahan Ratu Sapudak saat itu mayoritas masih hindu walaupun Ulama Islam
telah pernah berkunjung ke Panembahan Ratu Sapudak, dengan pusat pemerintahan
di tempat yang sekarang disebut dengan name Kota Lama, Kecamatan Teluk Keramat
sekitar 36 km dari Kota Sambas. Baginda Sultan Tengah beserta rombongannya
kemudian disambut dengan baik oleh Ratu Sapudak di Kota Lama dan dipersilahkan
untuk tinggal di wilayah Panembahan
Sambas ini.
Di
Sambas inilah Sultan Tengah beserta keluarga dan orang-orangnya menetap yaitu
ditempat yang sekarang bernama Kembayat hingga kemudian anaknya yang sulung
yaitu Sulaiman beranjak dewasa. Setelah dewasa, Sulaiman kemudian dinikahkan
dengan anak perempuan bungsu dari Ratu Sapudak yang bernama Mas Ayu Bungsu
sehingga Sulaiman dianugerahi gelaran "Raden" menjadi Raden Sulaiman. Raden Sulaiman
kemudian setelah keruntuhan Panembahan Sambas, mendirikan kerajaan baru yang
bernama Kesultanan Sambas dengan
Raden Sulaiman sebagai Sultan Sambas pertama bergelar Sultan Muhammad
Shafiuddin I yaitu pada tahun 1675 M.
Melalui Raden Sulaiman (Sultan Muhammad Shafiuddin I) inilah yang kemudian menurunkan Sultan-Sultan Sambas berikutnya
secara turun temurun hingga sekarang ini.
Panembahan Ratu Sapudak
Panembahan
Ratu Sapudak adalah kerajaan hindu Jawa berpusat di hulu Sungai Sambas yaitu di
tempat yang sekarang disebut dengan nama "Kota Lama". Kerajaan ini
dapat disebut juga dengan nama "Panembahan
Sambas". Ratu Sapudak adalah Raja Panembahan ini yang ke-3, Raja
Panembahan ini yang ke-2 adalah Abangnya yang bernama Ratu Timbang Paseban,
sedangkan Raja Panembahan ini yang pertama adalah Ayah dari Ratu Sapudak dan
Ratu Timbang Paseban yang tidak diketahui namanya. Ratu adalah gelaran itu Raja
laki-laki di Panembahan Sambas dan juga di suatu masa di Majapahit.
Asal
usul Panembahan Sambas ini dimulai ketika satu rombongan besar Bangsawan Jawa
hindu yang melarikan diri dari Pulau Jawa bagian timur karena diserang dan
ditumpas oleh pasukan Kesultanan Demak dibawah pimpinan Sultan Trenggono (Sultan Demak ke-3) pada sekitar tahun 1525 M. Bangsawan Jawa hindu ini
diduga kuat adalah Bangsawan Majapahit karena berdasarkan kajian sejarah Pulau
Jawa pada masa itu yang melarikan diri pada saat penumpasan sisa-sisa hindu
oleh pasukan Demak ini yang melarikan diri adalah sebagian besar Bangsawan
Majapahit. Pada saat itu Bangsawan Majapahit lari dalam 3 kelompok besar yaitu
ke Pulau Bali, ke daerah Gunung Kidul dan yang tidak cocok dengan kerajaan di
Pulau Bali kemudian memutuskan untuk menyeberang lautan ke arah utara,
rombongan inilah yang kemudian sampai di Sungai Sambas.
Pada
saat rombongan besar Bangsawan Jawa yang lari secara boyongan ini (diyakini
lebih dari 500 orang) ketika sampai di Sungai Sambas di wilayah ini di bagian
pesisir telah dihuni oleh orang-orang Melayu yang telah berasimilasi dengan
orang-orang Dayak pesisir. Pada saat itu di wilayah ini sedang dalam keadaan
kekosongan pemerintahan setelah sebelumnya terbunuhnya Raja Tan Unggal oleh
kudeta rakyat dan sejak itu masyarakat Melayu di wilayah ini tidak mengangkat
Raja lagi. Pada masa inilah rombongan besar Bangsawan Jawa ini sampai di
wilayah Sungai Sambas ini sehingga tidak menimbulkan benturan terhadap
rombongan besar Bangsawan Jawa yang tiba ini.
Setelah
lebih dari 10 tahun menetap di hulu Sungai Sambas, rombongan Bangsawan Jawa ini
melihat bahwa kondisi di wilayah Sungai Sambas ini aman dan kondusif sehingga
kemudian Bangsawan Jawa ini mendirikan lagi sebuah kerajaan yang disebut dengan
Panembahan atau dapat disebut dengan nama "Panembahan Sambas" yang
masih beraliran hindu. Yang menjadi Raja Panembahan Sambas yang pertama tidak
diketahui namanya setelah wafat, ia digantikan anaknya yang bergelar Ratu
Timbang Paseban. Setelah Ratu Timbang Paseban wafat, ia digantikan oleh
Adindanya yang bergelar Ratu Sapudak.
Pada
masa pemerintahan Ratu Sapudak inilah datang rombongan Sultan Tengah yang
terdiri dari keluarga dan orang-orangnya datang dari Kesultanan Sukadana dengan
menggunakan 40 buah perahu yang lengkap dengan alat senjata. Rombongan Baginda
Sultan Tengah ini kemudian disambut dengan baik oleh Ratu Sapudak dan Sultan
Tengah dan rombongannya dipersilahkan untuk menetap di sebuah tempat yang kemudian
disebut dengan nama "Kembayat Sri Negara". Tidak lama setelah
menetapnya Sultan Tengah dan rombongannya di Panembahan Sambas ini, Ratu
Sapudak pun kemudian wafat secara mendadak. Kemudian yang menggantikan Almarhum
Ratu Sapudak adalah keponakannya bernama Raden Kencono yaitu anak dari Abang Ratu Sapudak yaitu Ratu
Timbang Paseban. Setelah menaiki Tahta Panembahan Sambas, Raden Kencono ini
kemudian bergelar Ratu Anom Kesumayuda.
Raden Kencono ini sekaligus juga menantu dari Ratu Sapudak karena pada saat Ratu
Sapudak masih hidup, ia menikah dengan anak perempuan Ratu Sapudak yang bernama
Mas Ayu Anom.
Beberapa
lama setelah Ratu Anom Kesumayuda menaiki Tahta Kesultanan Sambas yaitu ketika
Sultan Tengah telah menetap di wilayah Panembahan Sambas ini sekitar 10 tahun,
anak Baginda Sultan Tengah yang sulung yaitu Sulaiman sudah beranjak dewasa
hingga kemudian Sulaiman di jodohkan dan kemudian menikah dengan anak perempuan
bungsu dari Almarhum Ratu Sapudak yang bernama Mas Ayu Bungsu. Karena pernikahan inilah kemudian Sulaiman
diangurahi gelaran Raden menjadi Raden
Sulaiman. Tak lama setelah itu Raden Sulaiman diangkat menjadi salah
satu Menteri Besar dari Panembahan Sambas yang mengurusi urusan hubungan dengan
negara luar dan pertahanan negeri dan kemudian Mas Ayu Bungsu pun hamil hingga
kemudian Raden Sulaiman memperoleh seorang anak laki-laki yang diberi nama Raden Bima.
Tidak
berapa lama setelah Raden Bima lahir, dan setelah melihat situasi di sekitar
Selat Malaka sudah mulai aman, ditambah lagi telah melihat anaknya yang sulung
yaitu Raden Sulaiman sudah mapan yaitu sudah menikah dan telah menjadi seorang
Menteri Besar Panembahan Sambas, maka Baginda Sultan Tengah kemudian memutuskan
sudah saatnya untuk kembali pulang ke Kerajaannya yaitu Kesultanan Sarawak. Maka
kemudian Baginda Sultan Tengah beserta istrinya yaitu Putri Surya Kesuma dan
keempat anaknya yang lain (Adik-adik dari Raden Sulaiman) yaitu Badaruddin,
Abdul Wahab, Rasmi Putri dan Ratna Dewi berangkat meninggalkan Panembahan
Sambas, negeri yang telah didiaminya selama belasan tahun, yaitu kembali pulang
menuju Kesultanan Sarawak.
Dalam
perjalanan pulang menuju Kesultanan Sarawak ini, yaitu ketika hampir sampai
yaitu di suatu tempat yang bernama Batu Buaya, Baginda Sultan Tengah secara
tidak diduga ditikam oleh pengawalnya sendiri namun pengawal yang menikamnya
itu kemudian ditikam balas oleh Baginda Sultan Tengah hingga tewas. Namun
demikian luka yang dialami Baginda Sultan Tengah terlalu parah hingga kemudian
membawa kepada kewafatan Baginda Sultan Tengah bin Sultan Muhammad Hasan.
Jenazah Baginda Sultan Tengah kemudian dimakamkan di suatu tempat dilereng
Gunung Santubong (dekat Kota Kuching) yang hingga sekarang masih dapat ditemui.
Sepeninggal suaminya, Putri Surya Kesuma kemudian memutuskan untuk kembali ke
Sukadana (tempat dimana ia berasal) bersama dengan keempat orang anaknya
(Adik-adik dari Raden Sulaiman).
Sepeninggal
Ayahandanya yaitu Sultan Tengah, Raden Sulaiman yang menjadi Menteri Besar di
Panembahan Sambas, mandapat tentangan yang keras dari Adik Ratu Anom Kesumayuda
bernama Raden Aryo Mangkurat
yang juga menjadi Menteri Besar Panembahan Sambas bersama Raden Sulaiman. Raden
Aryo Mangkurat bertugas untuk urusan dalam negeri. Raden Aryo Mangkurat yang
sangat fanatik hindu ini memang sudah sejak lama membenci Raden Sulaiman yang
kemudian dilampiaskannya setelah Ayahanda Raden Sulaiman yaitu Baginda Sultan
Tengah meninggalkan Panembahan Sambas. Kebencian Raden Aryo Mangkurat kepada
Raden Sulaiman ini disebabkan karena disamping menjadi Menteri Besar yang
handal, Raden Sulaiman juga sangat giat menyebarkan Syiar Islam di Panembahan
Sambas ini sehingga penganut Islam di Panembahan Sambas menjadi semakin banyak.
Disamping itu karena Raden Sulaiman yang cakap dan handal dalam bertugas
mengurus masalah luar negeri dan pertahanan sehingga Ratu Anom Kesumayuda
semakin bersimpati kepada Raden Sulaiman yang menimbulkan kedengkian yang
sangat dari Raden Ayo Mangkurat terhadap Raden Sulaiman.
Untuk
menyingkirkan Raden Sulaiman ini Raden Aryo Mangkurat kemudian melakukan taktik
fitnah, namun tidak berhasil sehingga kemudian menimbulkan kemarahan Raden Aryo
Mangkurat dengan membunuh orang kepercayaan Raden Sulaiman yang setia bernama Kyai Setia Bakti. Raden Sulaiman
kemudian mengadukan pembunuhan ini kepada Ratu Anom Kesumayuda namun tanggapan
Ratu Anom Kesumayuda tidak melakukan tindakan yang berarti yang cenderung untuk
mendiamkannya (karena Raden Aryo Mangkurat adalah Adiknya). Hal ini membuat
Raden Aryo Mangkurat semakin merajalela hingga kemudian Raden Sulaiman semakin
terdesak dan sampai kepada mengancam keselamatan jiwa Raden Sulaiman dan
keluarganya. Melihat kondisi yang demikian maka Raden Sulaiman beserta keluarga
dan orang-orangnya kemudian memutuskan untuk hijrah dari Panembahan Sambas.
Maka
kemudian Raden Sulaiman beserta keluarga dan pengikutnya yang terdiri dari sisa
orang-orang Brunei yang ditinggalkan oleh Ayahandanya (Baginda Sultan Tengah)
sebelum meninggalkan Panembahan Sambas dan sebagian besar terdiri dari
orang-orang Jawa Panembahan Sambas yang telah masuk Islam.
Kesultanan Sambas
Setelah
sempat singgah di Kota Bangun
selama sekitar 1 tahun, rombongan Raden Sulaiman yang hijrah dari Panembahan
Sambas (Kota Lama) ini kemudian memutuskan untuk menetap dan membuat
perkampungan yaitu di suatu tempat di hulu Sungai Subah yang disebut dengan
nama Kota Bandir.
Selama
Raden Sulaiman dan pengikutnya menetap di Kota Bandir, dari hari kehari semakin
banyak orang-orang dari pusat Panembahan Sambas (Kota Lama) yang malarikan diri
ke tempat Raden Sulaiman di Kota Bandir. Larinya penduduk
Setelah
lebih dari 3 tahun menetap di Kota Bandir, Ratu Anom Kesumyuda kemudian secara
tiba-tiba menemui Raden Sulaiman dimana Ratu Anom Kesumayuda menyatakan bahwa
ia dan rombongan besar pengikutnya sedang dalam perjalanan hijrah dari pusat
Panembahan Sambas (Kota Lama) untuk kemudian mencari tempat menetap baru di
Sungai Selakau karena di Kota Lama Ratu Anom Kesumayuda tidak sanggup
mengendalikan tingkah polah Adik yaitu Raden Aryo Mangkurat yang banyak membuat
kekacauan sehingga akhirnya berseteru dengan Ratu Anom Kesumayuda. Untuk itu
Ratu Anom Kesumayuda menyatakan melepaskan kekuasaannya atas wilayah Sungai
Sambas ini dan menyerahkannya (memberikan mandat) kepada Raden Sulaiman untuk
menguasai dan mengendalikan wilayah Sungai Sambas. Raden Sulaiman kemudian
meminta tanda bukti dari Ratu Anom Kesumayuda atas penyerahan kekuasaan atas
wilayah Sungai Sambas ini yang kemudian dituruti oleh Ratu Anom Kesumayuda
dengan memberikan pusaka kerajaan sebagai tanda bukti berupa 3 buah meriam
lela.
Sekitar
3 tahun setelah menerima mandat ini dan setelah berembuk dengan orang-orangnya
serta mempersiapkan segala sesuatunya, Raden Sulaiman kemudian memutuskan untuk
mendirikan kerajaan baru yang menguasai wilayah Sungai Sambas dan sekitarnya
namun bukan berpusat di Kota Bandir tetapi di tempat baru yaitu tidak jauh daru
muara Sungai Teberrau yang disebut dengan nama Lubuk Madung. Maka kemudian pada tahun 1675 M berdirilah kerajaan baru yang bernama Kesultanan Sambas berpusat di Lubuk
Madung dengan Raden Sulaiman sebagai Sultan pertama dari Kesultanan Sambas
dengan gelar Sultan Muhammad Shafiuddin.
Gelar ini mengikuti gelar dari pak mudanya dari sebelah Ibunda (Putri Surya
Kesuma) yaitu Sultan Sukadana (Sultan Muhammad Shafiuddin / Digiri Mustika).
Dalam
perkembangan awalnya lingkungan di pusat pemerintahan Kesultanan Sambas yang
baru berdiri ini sebagian besar adalah orang-orang Jawa dari Panembahan Sambas
yang telah masuk Islam ini sehingga kemudian adat istiadat di lingkungan
Keraton Kesultanan Sambas saat itu didominasi oleh adat istiadat dan budaya
Jawa seperti penamaan gelar-gelar Kebangsawanan dan nama-nama keluarga
Kesultanan yang bernuansa budaya Jawa. Namun dalam perkembangan selanjutnya Kesultanan
Sambas juga kemudian berhasil merangkul dan membaurkan masyarakat Melayu-Dayak
yaitu masyarakat Melayu yang berasimilasi dengan masyarakat Dayak pesisir yang
mana kedua suku bangsa ini telah lebih dahulu mendiami daerah pesisir laut di
sekitar wilayah Sungai Sambas ini, dengan masyarkat Jawa peninggalan Panembahan
Sambas yang kemudian membentuk masyarakat Melayu Sambas hingga saat ini.
Selama
menjadi Sultan Sambas di Lubuk Madung, Raden Sulaiman / Sultan Muhammad
Shafiuddin I giat mempererat hubungan dengan negeri-negeri leluhurnya yaitu
Kesultanan Sukadana dan Kesultanan
Setelah
hampir 10 tahun memerintah Kesultanan Sambas di Lubuk Madung, Raden Sulaiman /
Sultan Muhammad Shafiuddin I kemudian mempersiapkan anaknya yang sulung yaitu
Raden Bima yang sudah dewasa untuk menggantikannya kelak menjadi Sultan Sambas
berikutnya. Maka Raden Bima kemudian ditugaskan untuk melakukan kunjungan ke
Kesultanan Sukadana dan Kesultanan
Di
Brunei, Raden Bima mendapat sambutan yang sangat mesra dari Sultan Brunei saat
itu yaitu Baginda Sultan Muhyiddin dan para kerabat dari Kakeknya yaitu kerabat
Baginda Sultan Tengah yang ada di Brunei. Berbagai hadiah berupa berbagai alat
kebesaran kerajaan diberikan Baginda Sultan Muhyiddin kepada Raden Bima berikut
anugrah gelaran "Sultan Muhammad
Tajuddin" yang diberikan oleh Baginda Sultan Muhyiddin kepada Raden
Bima apabila nantinya Raden Bima menjadi Sultan Sambas berikutnya menggantikan
Ayahandanya yaitu Raden Sulaiman / Sultan Muhammad Shafiuddin I. Penganugrahan
gelaran "Sultan Muhammad Tajuddin" kepada Raden Bima ini dilakukan
mengikut adat kebesaran Kesultanan Brunei Darussalam yang bertempat di Istana Kesultanan Brunei pada masa
itu.
Sekembalinya
Raden Bima dari Brunei yaitu ketika Raden Sulaiman / Sultan Muhammad Shafiuddin
I telah memerintah Kesultanan Sambas selama sekitar 10 tahun, maka kemudian
pada tahun 1685 M, Raden
Sulaiman / Sultan Muhammad Shafiuddin I mengundurkan diri dari Tahta dan
mengangkat putranya yaitu Raden Bima sebagai Sultan Sambas ke-2 dengan gelar Sultan Muhammad Tajuddin. Gelaran
sesuai dengan gelaran yang diberikan oleh Sultan
Sekitar
satu tahun setelah menjadi Sultan Sambas ke-2, Raden Bima / Sultan Muhammad
Tajuddin kemudian atas persetujuan dari Ayahandanya (Raden Sulaiman)
memindahkan pusat pemerintahan Kesultanan Sambas dari Lubuk Madung ke suatu
tempat dipercabangan 3 sungai yang kemudian dikenal dengan nama "Muare Ulakkan" yaitu pada
sekitar tahun 1687 M. Muare
Ulakkan ini merupakan lokasi percabangan 3 sungai yaitu Sungai Sambas, Sungai
Teberrau dan Sungai Subah.
Dari
sejak itulah Muare Ulakkan ini menjadi lokasi pusat pemerintahan Kesultanan
Sambas secara terus menerus selama sekitar 250 tahun hingga berakhirnya
Kesultanan Sambas pada tahun 1944 M.
Pangeran Anom
Pangeran
Anom adalah salah seorang anak dari Sultan Sambas ke-5 yaitu Sultan Umar
Aqamaddin II, nama kecilnya adalah Raden Pasu. Ketika Ayahnya (Sultan Umar
Aqamaddin II) wafat dalam periode ke-2 pemerintahannya, maka Abang Pangeran
Anom yang bernama Raden Mantri menggantikan Ayahnya dengan gelar Sultan
Abubakar Tajuddin I (Sultan Sambas ke-7). Sultan Abubakar Tajuddin I ini dengan
Pangeran Anom ini adalah saudara kandung satu bapak yaitu Sultan Umar Aqamaddin
Ii tetapi berlainan ibu, Sultan Abubakar Tajuddin I adalah anak dari istri
pertama (permaisuri) sedangkan Pangeran Anom adalah anak istri Sultan Umar
Aqamaddin II yang ke-2.
Pangeran
Anom kemudian menjadi Panglima Besar Kesultanan Sambas yang sekaligus juga
memimpin satu armada Angkatan Laut Kesultanan Sambas yang terdiri dari 2 kapal
layar bertiang 3 lengkap dengan meriam yang didampingi dengan berpuluh-puluh
perahu pencalang. Armada Laut Kesultanan Sambas ini dibentuk pada sekitar tahun
1805 M oleh Pangeran Anom bersama dengan Abangnya yang menjadi Sultan Sambas
saat itu yaitu Sultan Abubakar Tajuddin I.
Armada
Angkatan Laut Kesultanan Sambas ini bertugas untuk menjaga kedaulatan wilayah
perairan Kesultanan Sambas saat itu yaitu garis pantai yang membentang dari
mulai Tanjung Datuk di utara (diatas Paloh) hingga ke Sungai Duri di sebelah
selatan. Armada Angkatan Laut Kesultanan Sambas ini dibentuk setelah seringnya
serangan para bajak laut terutama bajak laut yang datang dari perairan Sulu dan
pembakangan dari kapal-kapal Eropa khususnya kapal-kapal Inggris yang menolak
untuk melakukan aktivitas perdagangan di wilayah Kesultanan Sambas dengan
melalui pelabuhan induk Kesultanan Sambas yang berada di Sungai Sambas dimana
kapal-kapal Inggris ini dengan lancang langsung mengadakan aktivitas dagang
dipelabuhan-pelabuhan Kongsi China di Selakau dan Sedau yang merupakan wilayah
Kesultanan Sambas tanpa melalui pelabuhan induk Kesultanan di Sungai Sambas.
Kongsi-Kongsi itu adalah perkumpulan orang-orang
Walaupun
telah dibentuk armada angkatan laut Kesultanan Sambas ini, kapal-kapal Inggris
masih dengan angkuhnya tetap melakukan aktivitas perdagangan di wilayah
Kesultanan Sambas tanpa melalui pelabuhan induk di sungai sambas. Aturan mesti
melewati pelabuhan induk ini merupakan aturan tata perdagangan pada Kerajaan di
nusantara ini sejak zaman Sriwijaya sehingga sudah merupakan aturan yang sah
dan resmi, yaitu apabila ada kapal asing yang tidak mau melewati pelabuhan
induk maka kapal itu akan digiring, bila tidak mau digiring maka kapal itu akan
diperangi dan bila kapal itu berhasil dikalahkan maka sebagai hukumannya,
seluruh awak akan di tawan dan seluruh harta kapal akan dirampas menjadi milik
armada Kerajaan yang memiliki wilayah itu.
Tetapi
orang-orang eropa khususnya Inggris ini sering meremehkan kedaulatan dan
kemampuan kerajaan di nusantara ini yang untuk kasus ini adalah Kesultanan
Sambas. Hal ini kemudian membuat sering terjadinya pertempuran Laut antara
kapal-kapal Inggris yang juga bersenjatakan meriam itu dengan armada angkatan
laut Kesultanan Sambas dibawah pimpinan Pangeran Anom ini dan berkat
ketangguhan Pangeran Anom dalam memimpin armada laut Kesultanan Sambas ini,
dalam sekitar 4 atau 5 pertempuran laut yang terjadi, seluruhnya dapat
dimenangkan oleh armada Pangeran Anom ini.
Hal
ini kemudian berlanjut terus hingga kemudian menimbulkan semacam kondisi perang
antara Kerajaan Inggris dengan Kesultanan Sambas dimana bila di mana-mana
perairan ditemukan kapal Inggris pasti akan diserang oleh armada Kesultanan
Sambas di bawah Pangeran Anom ini dan begitu pula sebaliknya. Tercatat dalam
sejarah beberapa nama kapal Inggris yang telah ditaklukkan oleh armada laut
Kesultanan Sambas ini yaitu kapal tranfers, cendana, dan yang terakhir adalah
kapal dengan nama Commerce (yang oleh lidah Melayu Sambas di sebut kerimis).
Tanggal
11 Juli 1831, Sultan Usman Kamaluddin wafat, tahta kerajaan dilimpahkan kepada
Sultan Umar Akamuddin III. Tanggal 5 Desember 1845 Sultan Umar Akamuddin III
wafat, maka diangkatlah Putera Mahkota Raden Ishaq dengan gelar Sultan Abu
Bakar Tadjuddin II. Tanggal 17 Januari 1848 putera sulung beliau yang bernama
Raden Afifuddin ditetapkan sebagai putera Mahkota dengan gelar Pangeran Adipati
Afifuddin. Tahun 1855, Sultan Abubakar Tadjuddin II diasingkan ke Jawa oleh pemerintah
Belanda (kembali ke Sambas tahun 1879).
Pangeran Adipati
Pangeran
Adipati adalah gelar penghormatan untuk Putra Mahkota. Pangeran Adipati yang
dimaksud ini adalah Pangeran Adipati Afifuddin yaitu anak dari Sultan Sambas
yang ke-11 yaitu Sultan Abubakar Tajuddin II. Sultan Abubakar Tajuddin Ii ini
adalah Sultan Sambas terkahir yang berdaulat penuh di dalam Negeri Sambas
karena pada masa pemerintahannyalah untuk pertama kalinya Belanda melakukan
kudeta terselebung terhadap pemerintahannya melalui sepupu dari Sultan Abubakar
Tajuddin II ini yang bernama Raden Tokok' yang kemudian menjadi Sultan Sambas
ke-12 dengan gelar Sultan Umar Kamaluddin. Sebelum Sultan Abubakar Tajuddin II
terpaksa turun dari tahta Kesultanan Sambas (tahun 1855 M)telah ada kesepakatan
antara Sultan Abubakar Tajuddin dengan Raden Tokok' dan Belanda bahwa setelah
Raden Tokok' menjadi Sultan Sambas yang akan menjadi Sultan Sambas berikutnya
adalah anak dari Sultan Abubakar Tajuddin II yaitu Pangeran Adipati Afifuddin
karena dimasa Sultan Abubakar Tajuddin II memerintah, Baginda telah mengangkat
anaknya itu sebagai Putra Mahkota. Sejak kudeta terselubung inilah kekuatan
Belanda mulai berpengaruh di Kesultanan Sambas sedangkan sebelumnya yaitu dari
Sultan Sambas ke-1 (kesatu) (Sultan Muhammad Shafiuddin I) hingga separuh
pemerintahan dari Sultan Sambas ke-11 (kesebelas) (Sultan Abubakar Tajuddin II)
Sultan-Sultan Sambas berdaulat penuh artinya Kesultanan Sambas selama rentang
masa itu tidak ada tunduk ataupun dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan luar
manapun termasuk Belanda. Hindia Belanda mulai membuat perwakilannya di
Kesultanan Sambas pada tahun 1819 M, namun saat itu Sultan Sambas masih
mengendalikan penuh perwakilan Hindia Belanda itu. Pengaruh Belanda mulai
berpengaruh di pemerintahan Kesultanan Sambas adalah sejak masa Sultan Sambas
ke-12 itu yaitu Raden Tokok' / Sultan Umar Kamaluddin) yang naik tahta
Kesultanan Sambas pada tahun 1855 M setelah dengan dukungan Belanda membuat
kudeta terselebung terhadap Abang Sepupunya yang saat itu menjadi Sultan Sambas
ke-11 (sebelas)yaitu Sultan Abubakar Tajuddin II / Raden Ishaq). Setelah
menyelesaikan pendidikannya pada Sekolah Kebangsawanan di Batavia pada tahun 1861,
Pangeran Adipati Afiffuddin pulang ke Sambas dan diangkat menjadi Sultan Muda.
Baru pada tanggal 16 Agustus 1866 beliau diangkat menjadi Sultan Sambas ke-13
dengan gelar Sultan Muhammad Shafiuddin II. Ia mempunyai dua orang istri. Dari
istri pertama (Ratu Anom Kesumaningrat) dikaruniai seorang putera bernama Raden
Ahmad dan kemudian diangkat sebagai Putera Mahkota dengan gelar Pangeran
Adipati Achmad. Dari istri kedua (Encik Nana) dikaruniai juga seorang putera
bernama Raden Muhammad Aryadiningrat. Sebelum sempat menjadi Sultan Sambas,
Putera Mahkota yaitu Pangeran Adipati Ahmad wafat mendahului ayahnya (Sultan
Muhammad Shafiuddin II). Sebagai penggantinya ditunjuklah anaknya yaitu Raden
Muhammad Mulia Ibrahim. Setelah Sultan Muhammad Shafiuddin II telah memerintah
selama 56 tahun, Baginda merasa sudah lanjut usia, maka kemudian diangkatlah
anaknya yaitu Raden Muhammad Aryadiningrat sebagai Sultan Sambas selanjutnya
(Sultan Sambas ke-14) dengan gelar Sultan Muhammad Ali Shafiuddin II.
Kedatangan Jepang
Setelah
memerintah kira-kira 4 tahun, Baginda Sultan Muhammad Ali Shafiuddin II wafat.
Pemerintahan Kesultanan Sambas diserahkan kepada keponakannya yaitu Raden
Muhammad Mulia Ibrahim bin Pangeran Adipati Achmad bin Sultan Muhammad
Shafiuddin II menjadi Sultan Sambas ke-15 dengan gelar Sultan Muhammad Mulia
Ibrahim Shafiuddin. Pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Mulia Ibrahim
Shafiuddin inilah, pasukan Jepang masuk ke Sambas. Sultan Muhammad Mulia
Ibrahim Shafiuddin kemudian menjadi salah seorang korban keganasan pasukan
Jepang ini yaitu bersama dengan sebagian besar Raja-Raja lainnya yang ada di
wilayah
Peninggalan Kesultanan Sambas
Peninggalan
dari jejak Kesultanan Sambas yang masih ada hingga saat ini adalah Masjid Jami'
Kesultanan Sambas, Istana Sultan Sambas, Makam-makam Sultan Sambas dari Sultan
Sambas pertama hingga Sultan Sambas ke-14 serta sebagian alat-alat kebesaran
Kerajaan seperti tempat tidur Sultan terakhir, kaca hias, seperangkat alat
untuk makan sirih, pakaian kebesaran Sultan, payung ubur-ubur, tombak canggah,
3 buah meriam canon di depan istana dan 2 buah meriam lele, 2 buah tempayan
keramik dari negeri Tiongkok dan 2 buah kaca kristal dari Kerajaan Perancis dan
Belanda. Sebagian besar barang-barang peninggalan Kesultanan Sambas lainnya
telah hilang atau terjual oleh oknum tertentu, namun secara fisik jejak
Kesultanan Sambas masih terlihat jelas dan terasa kuat di Sambas ini. Juga
Keturunan dari Sultan-Sultan Sambas ini bertebaran di wilayah
Sultan-Sultan Sambas
Sultan-Sultan
Sambas seluruhnya berjumlah 15 Sultan
yaitu :
1.
Sultan
Muhammad Shafiuddin I
bin Sultan Ibrahim Ali Omar Shah (
Sultan Tengah ) (1675 - 1685)
2.
Sultan
Muhammad Tajuddin
bin Sultan Muhammad Shafiuddin I
(1685 - 1708)
3.
Sultan Umar
Aqamaddin I
bin Sultan Muhammad Tajuddin (1708
- 1732)
4.
Sultan
Abubakar Kamaluddin
bin Sultan Umar Aqamaddin I (1732
- 1764)
5.
Sultan Umar
Aqamaddin II
bin Sultan Abubakar Kamaluddin (1764
- 1786) dan (1793 - 1802)
6.
Sultan
Achmad Tajuddin
bin Sultan Umar Aqamaddin II (1786
- 1793)
7.
Sultan
Abubakar Tajuddin I
bin Sultan Umar Aqamaddin II (1802
- 1815)
8.
Sultan
Muhammad Ali Shafiuddin I
bin Sultan Umar Aqamaddin II (1815
- 1828)
9.
Sultan
Usman Kamaluddin
bin Sultan Umar Aqamaddin II (1828
- 1832)
10.
Sultan Umar
Aqamaddin III
bin Sultan Umar Aqamaddin II (1832
- 1846)
11.
Sultan Abu
Bakar Tajuddin II
bin Sultan Muhammad Ali Shafiuddin I
(1846 - 1854)
12.
Sultan Umar
Kamaluddin
bin Sultan Umar Aqamaddin III (1854
- 1866)
13.
Sultan
Muhammad Shafiuddin II
bin Sultan Abubakar Tajuddin II
(1866 - 1924)
14.
Sultan
Muhammad Ali Shafiuddin II bin Sultan
Muhammad Shafiuddin II (1924 - 1926)
15.
Sultan
Muhammad Ibrahim Shafiuddin bin Pangeran
Adipati Achmad bin Sultan
Muhammad Shafiuddin II (1931 - 1944) ( Sultan Sambas Terakhir )
16.
Pangeran Ratu Muhammad Taufik bin
Sultan Muhammad Ibrahim Shafiuddin (1944 - 1984) ( Kepala Rumah Tangga Istana
Kesultanan Sambas )
17.
Pangeran Ratu Winata Kusuma bin
Pangeran Ratu Muhammad Taufik (2000 - 2008) ( Kepala Rumah Tangga Istana
Kesultanan Sambas )
18.
Pangeran Ratu Muhammad Tarhan bin
Pangeran Ratu Winata Kesuma (2008 hingga sekarang) sebagai Pewaris Kepala Rumah
Tangga Istana Kesultanan Sambas.
Gelar, Sebutan Penghormatan dan Jabatan di
Kesultanan Sambas
·
Seluruh Sultan Sambas disamping
mempunyai nama batang tubuh juga mempunyai nama gelaran seperti Raden Sulaiman bergelar Sultan Muhammad
Shafiuddin I, Raden Ishaq bergelar Sultan Abubakar Tajuddin II dan
lainnya.
·
Sultan dengan sebutan penghormatan: Sri Paduka al-Sultan Tuanku (gelar
Sultan) ibni al-Marhum (nama
dan gelar bapak), Sultan dan Yang
di-Pertuan Sambas, dengan panggilan Yang Mulia.
·
Sultan yang mengundurkan diri dari
Tahta mempunyai sebutan kehormatan "Yang
Dipertuan Sultan" dan menggunakan nama gelarannya sewaktu menjadi Sultan
misalnya : Yang Dipertuan Sultan Muhammad Shafiuddin II.
·
Permaisuri: Sri Paduka Ratu (gelar).
·
Putra Mahkota (Pewaris Resmi
Kerajaan) mempunyai sebutan kehormatan "Sultan
Muda" atau "Pangeran
Ratu" atau "Pangeran
Adipati" namun tidak mempunyai gelar, jadi langsung kepada nama
batang tubuhnya / panggilannya. Putra Mahkota ini biasanya dipilih dari anak
laki-laki sulung dari Permaisuri yang disebut dengan nama "Anak Gahara".
·
Anak Sulung Sultan dari istri bukan
Permaisuri mempunyai sebutan kehormatan "Pangeran
Muda".
·
Dibawah Sultan Sambas terdapat 4 Jabatan Wazir dengan sebutan
kehormatan "Pangeran" dan mempunyai nama gelaran yaitu : Wazir I
bergelar Pangeran Bendahara Sri
Maharaja, Wazir II bergelar Pangeran
Paku Negara, Wazir III bergelar Pangeran
Tumenggung Jaya Kesuma
dan Wazir IV bergelar Pangeran Laksmana.
Keempat Wazir ini diketuai oleh Wazir I (Pangeran Bendahara Sri Maharaja)dan
keempatnya harus berasal dari kerabat dekat Sultan Sambas dan mempunyai nasab
yang sama.
·
Dibawah Wazir terdapat Menteri-Menteri
Kerajaan dengan sebutan kehormatan "Pangeran"
yang diantaranya bergelar Pangeran
Cakra Negara, Pangeran Amar Diraja dan lainnya.
·
Dibawah Pangeran terdapat Chateria
Kerajaan dengan sebutan kehormatan "Pangeran"
namun tidak mempunyai nama gelaran jadi langsung kepada nama batang tubuhnya /
panggilannya.
·
Anak-anak dari Pangeran, Pangeran
Ratu atau Pangeran Adipati dan Pangeran Muda semuanya mempunyai sebutan
kehormatan "Raden".
·
Anak-anak dari Raden mempunyai
sebutan kehormatan "Urai".
"Urai" dapat kemudian menjadi "Raden" tetapi dengan suatu
pengangkatan secara resmi oleh Sultan.
- Kesultanan
Kutai Kartanegara ing Martadipura
Kesultanan Kutai atau lebih lengkap disebut Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura
(Martapura) merupakan kesultanan bercorak Islam yang kembali eksis di Kalimantan
Timur setelah dihidupkan lagi pada tahun 2001 oleh Pemerintah Kabupaten Kutai
Kartanegara sebagai upaya untuk melestarikan budaya dan adat Kutai Keraton.
Dihidupkannya
kembali Kesultanan Kutai ditandai dengan dinobatkannya sang pewaris tahta yakni
putera mahkota H. Aji Pangeran Prabu Anum Surya Adiningrat menjadi Sultan Kutai
Kartanegara ing Martadipura dengan gelar H. Adji Mohamad Salehoeddin II pada
tanggal 22 September 2001.
Sejarah
Kerajaan
Kutai Kartanegara berdiri pada awal abad ke-13 di daerah yang bernama Tepian Batu atau Kutai Lama (kini
menjadi sebuah desa di wilayah Kecamatan Anggana) dengan rajanya yang pertama
yakni Aji Batara Agung Dewa Sakti (1300-1325). Kerajaan ini disebut dengan nama
Kerajaan Tanjung Kute dalam Negara Kretagama, yaitu salah satu daerah taklukan
di Pulau Tanjungnegara oleh Patih Gajah Mada dari Majapahit.
Pada
abad ke-16, Kerajaan Kutai Kartanegara dibawah pimpinan raja Aji Pangeran Sinum
Panji Mendapa berhasil menaklukkan Kerajaan Kutai (atau disebut pula: Kerajaan Kutai Martadipura atau Kerajaan Kutai Martapura atau Kerajaan Mulawarman) yang terletak di
Muara Kaman.
Raja
Kutai Kartanegara pun kemudian menamakan kerajaannya menjadi Kerajaan Kutai Kartanegara Ing Martadipura sebagai peleburan
antara dua kerajaan tersebut.
Pada
abad ke-17, agama Islam yang disebarkan Tuan
Tunggang Parangan diterima dengan baik oleh Kerajaan Kutai Kartanegara
yang saat itu dipimpin Aji Raja Mahkota Mulia Alam. Setelah beberapa puluh
tahun, sebutan Raja diganti dengan sebutan Sultan. Sultan Adji Mohamad Idris
(1735-1778) merupakan sultan Kutai pertama yang menggunakan nama Islami. Dan
sebutan kerajaan pun berganti menjadi Kesultanan Kutai Kartanegara ing
Martadipura.
Tahun
1732, ibukota Kerajaan Kutai Kartanegara pindah dari Kutai Lama ke Pemarangan.
Sultan
Aji Muhammad Idris yang merupakan menantu dari Sultan Wajo Lamaddukelleng
berangkat ke tanah Wajo, Sulawesi Selatan untuk turut bertempur melawan VOC
bersama rakyat Bugis. Pemerintahan Kesultanan Kutai Kartanegara untuk sementara
dipegang oleh Dewan Perwalian.
Pada
tahun 1739, Sultan A.M. Idris gugur di
Setelah
dewasa, Aji Imbut sebagai putera mahkota yang syah dari Kesultanan Kutai
Kartanegara kembali ke tanah Kutai. Oleh kalangan Bugis dan kerabat istana yang
setia pada mendiang Sultan Idris, Aji Imbut dinobatkan sebagai Sultan Kutai
Kartanegara dengan gelar Sultan Aji Muhammad Muslihuddin. Penobatan Sultan
Muslihuddin ini dilaksanakan di Mangkujenang (Samarinda Seberang). Sejak itu
dimulailah perlawanan terhadap Aji Kado.
Perlawanan
berlangsung dengan siasat embargo yang ketat oleh Mangkujenang terhadap
Pemarangan. Armada bajak laut Sulu terlibat dalam perlawanan ini dengan
melakukan penyerangan dan pembajakan terhadap Pemarangan. Tahun 1778, Aji Kado
meminta bantuan VOC namun tidak dapat dipenuhi.
Pada
tahun 1780, Aji Imbut berhasil merebut kembali ibukota Pemarangan dan secara
resmi dinobatkan sebagai sultan dengan gelar Sultan Aji Muhammad Muslihuddin di
istana Kesultanan Kutai Kartanegara. Aji Kado dihukum mati dan dimakamkan di
Pulau Jembayan.
Aji
Imbut gelar Sultan Aji Muhammad Muslihuddin memindahkan ibukota Kesultanan
Kutai Kartanegara ke Tepian Pandan pada tanggal
Pada
tahun 1838, Kesultanan Kutai Kartanegara dipimpin oleh Sultan Aji Muhammad
Salehuddin setelah Aji Imbut mangkat pada tahun tersebut.
Pada
tahun 1844, 2 buah kapal dagang pimpinan James Erskine Murray asal Inggris
memasuki perairan Tenggarong.
Insiden
pertempuran di Tenggarong ini sampai ke pihak Inggris. Sebenarnya Inggris
hendak melakukan serangan balasan terhadap Kutai, namun ditanggapi oleh pihak
Belanda bahwa Kutai adalah salah satu bagian dari wilayah Hindia Belanda dan
Belanda akan menyelesaikan permasalahan tersebut dengan caranya sendiri. Kemudian
Belanda mengirimkan armadanya dibawah komando t'Hooft dengan membawa
persenjataan yang lengkap. Setibanya di Tenggarong, armada t'Hooft menyerang
istana Sultan Kutai. Sultan A.M. Salehuddin diungsikan ke Kota Bangun. Panglima
perang kerajaan Kutai, Awang Long gelar Pangeran Senopati bersama pasukannya
dengan gagah berani bertempur melawan armada t'Hooft untuk mempertahankan
kehormatan Kerajaan Kutai Kartanegara. Awang Long gugur dalam pertempuran yang
kurang seimbang tersebut dan Kesultanan Kutai Kartanegara akhirnya kalah dan
takluk pada Belanda.
Pada
tanggal 11 Oktober 1844, Sultan A.M. Salehuddin harus menandatangani perjanjian
dengan Belanda yang menyatakan bahwa Sultan mengakui pemerintahan Hindia
Belanda dan mematuhi pemerintah Hindia Belanda di Kalimantan yang diwakili oleh
seorang Residen yang berkedudukan di Banjarmasin.
Tahun
1846, H. von Dewall menjadi administrator sipil Belanda yang pertama di pantai
timur
Pada
tahun 1850, Sultan A.M. Sulaiman memegang tampuk kepemimpinan Kesultanan Kutai
kartanegara Ing Martadipura.
Pada
tahun 1853, pemerintah Hindia Belanda menempatkan J. Zwager sebagai Assisten
Residen di Samarinda. Saat itu kekuatan politik dan ekonomi masih berada dalam
genggaman Sultan A.M. Sulaiman (1850-1899).
Pada
tahun 1863, kerajaan Kutai Kartanegara kembali mengadakan perjanjian dengan
Belanda. Dalam perjanjian itu disepakati bahwa Kerajaan Kutai Kartanegara
menjadi bagian dari Pemerintahan Hindia Belanda.
Tahun
1888, pertambangan batubara pertama di Kutai dibuka di Batu Panggal oleh
insinyur tambang asal Belanda, J.H. Menten. Menten juga meletakkan dasar bagi
ekspoitasi minyak pertama di wilayah Kutai. Kemakmuran wilayah Kutai pun nampak
semakin nyata sehingga membuat Kesultanan Kutai Kartanegara menjadi sangat
terkenal di masa itu. Royalti atas pengeksloitasian sumber daya alam di Kutai
diberikan kepada Sultan Sulaiman.
Tahun
1899, Sultan Sulaiman wafat dan digantikan putera mahkotanya Aji Mohammad
dengan gelar Sultan Aji Muhammad Alimuddin.
Pada
tahun 1907, misi Katholik pertama didirikan di Laham. Setahun kemudian, wilayah
hulu Mahakam ini diserahkan kepada Belanda dengan kompensasi sebesar 12.990
Gulden per tahun kepada Sultan Kutai Kartanegara.
Sultan
Alimuddin hanya bertahta dalam kurun waktu 11 tahun saja, beliau wafat pada
tahun 1910. Berhubung pada waktu itu putera mahkota Aji Kaget masih belum
dewasa, tampuk pemerintahan Kesultanan Kutai Kartanegara kemudian dipegang oleh
Dewan Perwalian yang dipimpin oleh Aji Pangeran Mangkunegoro.
Pada
tanggal 14 Nopember 1920, Aji Kaget dinobatkan sebagai Sultan Kutai Kartanegara
dengan gelar Sultan Aji Muhammad Parikesit.
Sejak
awal abad ke-20, ekonomi Kutai berkembang dengan sangat pesat sebagai hasil
pendirian perusahaan Borneo-Sumatra Trade Co. Di tahun-tahun tersebut, kapital
yang diperoleh Kutai tumbuh secara mantap melalui surplus yang dihasilkan tiap
tahunnya. Hingga tahun 1924, Kutai telah memiliki dana sebesar 3.280.000 Gulden
- jumlah yang sangat fantastis untuk masa itu.
Tahun
1936, Sultan A.M. Parikesit mendirikan istana baru yang megah dan kokoh yang
terbuat dari bahan beton. Dalam kurun waktu satu tahun, istana tersebut selesai
dibangun.
Ketika
Jepang menduduki wilayah Kutai pada tahun 1942, Sultan Kutai harus tunduk pada
Tenno Heika, Kaisar Jepang. Jepang memberi Sultan gelar kehormatan Koo dengan
nama kerajaan Kooti.
Era Kemerdekaan
Daerah
Swapraja Kutai diubah menjadi Daerah Istimewa Kutai yang merupakan daerah
otonom/daerah istimewa tingkat kabupaten berdasarkan UU Darurat No.3 Th.1953.
Pada
tahun 1959, berdasarkan UU No. 27 Tahun 1959 tentang "Pembentukan
Daerah-Daerah Tingkat II di Kalimantan", wilayah Daerah Istimewa Kutai
dipecah menjadi 3 Daerah Tingkat II, yakni: 1. Daerah Tingkat II Kutai dengan
ibukota Tenggarong 2. Kotapraja Balikpapan dengan ibukota
Pada
tanggal 20 Januari 1960, bertempat di Gubernuran di Samarinda, A.P.T. Pranoto
yang menjabat sebagai Gubernur Kalimantan Timur, dengan atas nama Menteri Dalam
Negeri Republik
Sehari
kemudian, pada tanggal 21 Januari 1960 bertempat di Balairung Keraton Sultan
Kutai, Tenggarong diadakan Sidang Khusus DPRD Daerah Istimewa Kutai. Inti dari
acara ini adalah serah terima pemerintahan dari Kepala Kepala Daerah Istimewa
Kutai, Sultan Aji Muhammad Parikesit kepada Aji Raden Padmo sebagai Bupati
Kepala Daerah Tingkat II Kutai, Kapten Soedjono (Walikota Samarinda) dan A.R.
Sayid Mohammad (Walikota Balikpapan). Pemerintahan Kesultanan Kutai Kartanegara
dibawah Sultan Aji Muhammad Parikesit berakhir, dan beliau pun hidup menjadi
rakyat biasa.
Pada
tahun 1999, Bupati Kutai Kartanegara Drs. H. Syaukani HR, MM berniat untuk
menghidupkan kembali Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura.
Dikembalikannya Kesultanan Kutai ini bukan dengan maksud untuk menghidupkan
feodalisme di daerah, namun sebagai upaya pelestarian warisan sejarah dan
budaya Kerajaan Kutai sebagai kerajaan tertua di
Pada
tanggal 7 Nopember 2000, Bupati Kutai Kartanegara bersama Putera Mahkota Kutai
H. Aji Pangeran Praboe Anoem Soerja Adiningrat menghadap Presiden RI
Abdurrahman Wahid di Bina Graha Jakarta untuk menyampaikan maksud diatas.
Presiden Wahid menyetujui dan merestui dikembalikannya Kesultanan Kutai
Kartanegara kepada keturunan Sultan Kutai yakni putera mahkota H. Aji Pangeran
Praboe.
Pada
tanggal
Wilayah
Pada
masa kejayaannya hingga tahun 1959, Kesultanan Kutai Kartanegara ing
Martadipura memiliki wilayah kekuasaan yang sangat luas. Wilayah kekuasaannya
meliputi beberapa wilayah otonom yang ada di propinsi Kalimantan Timur saat
ini, yakni:
1.
Kabupaten Kutai Kartanegara
2.
Kabupaten Kutai Barat
3.
Kabupaten Kutai Timur
4.
5.
6.
Dengan
demikian, luas dari wilayah Kesultanan Kutai Kartanegara hingga tahun 1959
adalah seluas 94.700 km2.
Pada
tahun 1959, wilayah Kesultanan Kutai Kartanegara atau Daerah Istimewa Kutai
dibagi menjadi 3 wilayah Pemerintah Daerah Tingkat II, yakni Kabupaten Kutai,
Kotamadya Balikpapan dan Kotamadya Samarinda. Dan sejak itu berakhirlah
pemerintahan Kesultanan Kutai Kartanegara setelah disahkannya Pemerintah Daerah
Tingkat II Kabupaten Kutai melalui UU No.27 Tahun 1959 tentang Pencabutan
Status Daerah Istimewa Kutai.
Keraton Kesultanan
Dokumentasi
bentuk istana Sultan Kutai hanya ada pada masa pemerintahan Sultan A.M.
Sulaiman yang kala itu beribukota di Tenggarong, setelah para penjelajah Eropa
melakukan ekspedisi ke pedalaman Mahakam pada abad ke-18. Carl Bock, seorang
penjelajah berkebangsaan Norwegia yang melakukan ekspedisi Mahakam pada tahun
1879 sempat membuat ilustrasi pendopo istana Sultan A.M. Sulaiman. Istana
Sultan Kutai pada masa itu terbuat dari kayu ulin dengan bentuk yang cukup
sederhana.
Setelah
Sultan Sulaiman wafat pada tahun 1899, Kesultanan Kutai Kartanegara kemudian
dipimpin oleh Sultan A.M. Alimuddin (1899-1910). Sultan Alimuddin mendiami
keraton baru yang terletak tak jauh dari bekas keraton Sultan Sulaiman. Keraton
Sultan Alimuddin ini terdiri dari dua lantai dan juga terbuat dari kayu ulin
(kayu besi). Keraton ini dibangun menghadap sungai Mahakam. Hingga Sultan A.M.
Parikesit naik tahta pada tahun 1920, keraton ini tetap digunakan dalam
menjalankan roda pemerintahan kerajaan.
Pada
tahun 1936, keraton kayu peninggalan Sultan Alimuddin ini dibongkar karena akan
digantikan dengan bangunan beton yang lebih kokoh. Untuk sementara waktu,
Sultan Parikesit beserta keluarga kemudian menempati keraton lama peninggalan
Sultan Sulaiman. Pembangunan keraton baru ini dilaksanakan oleh HBM (
Hollandsche Beton Maatschappij )
Setelah
pemerintahan Kesultanan Kutai berakhir pada tahun 1960, bangunan keraton dengan
luas 2.270 m2 ini tetap menjadi tempat kediaman Sultan A.M. Parikesit hingga
tahun 1971. Keraton Kutai kemudian diserahkan kepada Pemerintah Provinsi
Kalimantan Timur pada tanggal 25 Nopember 1971. Pada tanggal 18 Februari 1976,
Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur menyerahkan bekas keraton Kutai
Kartanegara ini kepada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan untuk dikelola
menjadi sebuah museum negeri dengan nama Museum Mulawarman. Didalam museum ini
disajikan beraneka ragam koleksi peninggalan kesultanan Kutai Kartanegara,
diantaranya singgasana, arca, perhiasan, perlengkapan perang, tempat tidur,
seperangkat gamelan, koleksi keramik kuno dari China, dan lain-lain.
Dalam
lingkungan keraton Sultan Kutai terdapat makam raja dan keluarga kerajaan Kutai
Kartanegara. Jirat atau nisan Sultan dan keluarga kerajaan ini kebanyakan
terbuat dari kayu besi yang dapat tahan lama dengan tulisan huruf Arab yang
diukir. Sultan-sultan yang dimakamkan disini diantaranya adalah Sultan
Muslihuddin, Sultan Salehuddin, Sultan Sulaiman dan Sultan Parikesit. Hanya
Sultan Alimuddin saja yang tidak dimakamkan di lingkungan keraton, beliau
dimakamkan di tanah miliknya di daerah Gunung Gandek, Tenggarong.
Pada
tanggal
[sunting] Gelar Kebangsawanan
Dalam
Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura, gelar kebangsawanan yang
digunakan oleh keluarga kerajaan adalah Aji. Gelar Aji diletakkan di depan nama
anggota keluarga kerajaan. Dalam gelar kebangsawanan Kutai Kartanegara dikenal
penggunaan gelar sebagai berikut:
·
Aji Sultan: digunakan untuk
penyebutan nama Sultan bagi kerabat kerajaan
·
Aji Ratu: gelar yang diberikan bagi
permaisuri Sultan
·
Aji Pangeran: gelar bagi putera
Sultan.
·
Aji Puteri: gelar bagi puteri Sultan.
Gelar Aji Puteri setara dengan Aji Pangeran.
·
Aji Raden: gelar yang setingkat
diatas Aji Bambang. Gelar ini diberikan oleh Sultan hanya kepada pria bangsawan
Kutai yang sebelumnya menyandang gelar Aji Bambang.
·
Aji Bambang: gelar yang setingkat
lebih tinggi dari Aji. Gelar ini hanya dapat diberikan oleh Sultan kepada pria
bangsawan Kutai yang sebelumnya menyandang gelar Aji saja.
·
Aji: gelar bagi keturunan bangsawan
Kutai. Gelar Aji hanya dapat diturunkan oleh pria bangsawan Kutai. Wanita Aji
yang menikah dengan pria biasa tidak dapat menurunkan gelar Aji kepada
anak-anaknya.
Jika
pria Aji menikah dengan wanita dari kalangan bangsawan Kutai sendiri atau dari
kalangan rakyat biasa maupun suku lain, maka putra-putrinya berhak menyandang
gelar Aji. Namun jika wanita Aji menikah dengan pria yang bukan keturunan
bangsawan Kutai, maka putra-putrinya tidak dapat memperoleh gelar Aji, kecuali
jika wanita Aji tersebut menikah dengan bangsawan keturunan Arab (Sayid).
Jika
wanita Aji menikah dengan keturunan Arab (Sayid), maka putra-putrinya
memperoleh gelar sebagai berikut:
·
Aji Sayid: gelar ini diturunkan
kepada putera dari wanita Aji yang menikah dengan pria keturunan Arab.
·
Aji Syarifah: gelar ini diturunkan
kepada puteri dari wanita Aji yang menikah dengan pria keturunan Arab.
Gelar
Aji Sayid maupun Aji Syarifah tetap setara dengan gelar Aji biasa. Artinya
gelar ini tetap dibawah Aji Bambang maupun Aji Raden.
- Kesultanan
Berau (1400)
Kesultanan Berau adalah sebuah kerajaan yang pernah berdiri
di wilayah Kabupaten Berau sekarang ini. Kerajaan ini berdiri pada abad ke-14
dengan raja pertama yang memerintah bernama Baddit Dipattung dengan gelar Aji
Raden Suryanata Kesuma dan istrinya bernama Baddit Kurindan dengan gelar
Aji Permaisuri. Pusat pemerintahannya berada di Sungai Lati, Kecamatan
Gunung Tabur.[1] Sejarahnya kemudian pada keturunan ke-13,
Kesultanan Berau terpisah menjadi dua yaitu Kesultanan Gunung Tabur dan Kesultanan
Sambaliung.
Raja pertama
Aji
Raden Suryanata Kesuma, dikenal sebagai seorang raja yang bijak dalam
menjalankan pemerintahannya selama 32 tahun sekitar tahun 1400 hingga 1432[1]
ada pula yang menyatakan dari 1377 sampai 1426[2] Dibawah
pemerintahannya, Baddit Dipattung berhasil membawa rakyatnya sejahtera serta
menyatukan beberapa wilayah pemukiman yang dikenal oleh masyarakat Berau dengan
sebutan "Banua", di antaranya Banua Merancang, Banua
Pantai, Banua Kuran, Banua Rantau Buyut dan Banua Rantau
Sewakung. Dalam catatan sejarah, Aji Suryanata Kesuma dikenal sangat
berpengaruh dan berwibawa, sehingga dia adalah figur raja yang disegani kawan
dan ditakuti lawan. Nama Raja Berau yang pertama ini, kemudian diabadikan
menjadi nama Korem 091/Aji Surya Natakesuma (ASN).
- Kesultanan
Sambaliung (1810)
Kesultanan Sambaliung adalah kesultanan hasil dari
pemecahan Kesultanan Berau, dimana Berau dipecah menjadi dua, yaitu Sambaliung
dan Gunung Tabur pada sekitar tahun 1810-an.[1] Sultan Sambaliung
pertama adalah Sultan Alimuddin yang lebih dikenal dengan nama Raja Alam. Raja
Alam adalah keturunan dari Baddit Dipattung atau yang lebih dikenal dengan Aji
Suryanata Kesuma raja Berau pertama. Sampai dengan generasi ke-9, yakni Aji
Dilayas. Aji Dilayas mempunyai dua anak yang berlainan ibu. Yang satu bernama
Pangeran Tua dan satunya lagi bernama Pangeran Dipati.
Kemudian,
kerajaan Berau diperintah secara bergantian antara keturunan Pangeran Tua dan
Pangeran Dipati (hal inilah yang membuat terjadinya perbedaan pendapat yang
bahkan terkadang menimbulkan insiden). Raja Alam adalah cucu dari Sultan
Hasanuddin dan cicit dari Pangeran Tua, atau generasi ke-13 dari Aji Surya Nata
Kesuma.
Raja
Alam adalah sultan pertama di Tanjung Batu Putih, yang mendirikan ibukota
kerajaannya di Tanjung pada tahun 1810. (Tanjung Batu Putih kemudian menjadi
kerajaan Sambaliung).
- Kesultanan
Gunung Tabur (1820)
Kesultanan Gunung Tabur adalah kerajaan
yang merupakan hasil pemecahan dari Kesultanan Berau, dimana Berau dipecah
menjadi dua, yaitu Sambaliung dan Kesultanan Gunung Tabur pada sekitar
tahun 1810-an.[1] Kesultanan ini sekarang terletak dalam wilayah
kecamatan Gunung Tabur, Kabupaten Berau, provinsi Kalimantan Timur.
Sultan Gunung Tabur
Sultan-sultan
Gunung Tabur diantaranya adalah sebagai berikut:[2]
·
1820 - 1834 - Zainul Abidin II bin
Badruddin
·
1834 - 1850 - Ayi Kuning II bin
Zainul Abidin
·
1850 - 1876 - Amiruddin Maharaja
Dendah I
·
1876 - 1882 - Hasanuddin II Maharaja
Dendah II bin Amiruddin
·
1882 - ... - Si Atas
·
... - 1921 - Maulana Ahmad (bupati)
·
1921 - ... Muhammad Khalifatullah
Jalaluddin
- Kesultanan
Pontianak (1771)
Kesultanan Pontianak didirikan pada tahun 1771 oleh
penjelajah dari Arab Hadramaut yang dipimpin oleh al-Sayyid Syarif 'Abdurrahman
al-Kadrie, keturunan Rasulullah dari Imam Ali ar-Ridha. Ia melakukan dua
pernikahan politik di Kalimantan, pertama dengan putri dari Panembahan Mempawah
dan kedua dengan putri dari Sultan Banjar. Setelah mereka mendapatkan tempat di
Pontianak, kemudian mendirikan Istana Kadariah dan mendapatkan pengesahan
sebagai Sultan Pontianak dari Belanda pada tahun 1779.
Daftar Sultan Pontianak
Sultan-Sultan |
||
No |
Sultan |
Masa pemerintahan |
1 |
Syarif Abdurrahman Alkadrie |
1771-1808 |
2 |
Syarif Kasim Alkadrie |
1808-1819 |
3 |
Syarif Osman Alkadrie |
1819-1855 |
4 |
Syarif Hamid Alkadrie |
1855-1872 |
5 |
Syarif Yusuf Alkadrie |
1872-1895 |
6 |
Syarif Muhammad Alkadrie |
1895-1944 |
7 |
Syarif Thaha Alkadrie |
1944-1945 |
8 |
Syarif Hamid Alkadrie |
1945-1950 |
9 |
Syarif Abubakar Alkadrie |
- |
- Kerajaan
Tidung
Kerajaan Tidung atau dikenal pula dengan nama Kerajaan Tarakan (Kalkan/Kalka) adalah
kerajaan yang memerintah Suku Tidung di utara Kalimantan Timur, yang
berkedudukan di Pulau Tarakan dan berakhir di Salimbatu. Sebelumnya terdapat
dua kerajaan di kawasan ini, selain Kerajaan Tidung, terdapat pula Kesultanan
Bulungan yang berkedudukan di Tanjung Palas.
Dynasty Tengara
dahulu
kala kaum suku Tidung yang bermukim dipulau Tarakan, popularjuga dengan sebutan
kaum Tengara, oleh karena mereka mempunyai pemimpin yang telah melahirkan Dynasty
Tengara. Berdasarkan silsilah (Genealogy) yang ada bahwa, bahwa dipesisir timur
pulau Tarakan yakni, dikawasan binalatung sudah ada Kerajaan Tidung kuno (The
Ancient Kingdom of Tidung), kira-kira tahun 1076-1156. Kemudian berpindah
kepesisir barat pulau Tarakan yakni, dikawasan Tanjung Batu, kira-kira pada
tahun 1156-1216. Lalu bergeser lagi, tetapi tetap dipesisir barat yakni,
kekawasan sungai bidang kira-kira pada tahun 1216-1394. Setelah itu berpindah
lagi, yang relatif jauh dari pulau Tarakan yakni, kekawasan Pimping bagian
barat dan kawasan Tanah Kuning, yakni, sekitar tahun 1394-1557.
Kerajaan
Dari Dynasty Tengara ini pertama kali bertakhta kira-kira mulai pada tahun
1557-1571 berlokasi di kawasan Pamusian wilayah Tarakan Timur.
Raja-raja dari Dynasty Tengara
·
Amiril Rasyd Gelar Datoe Radja Laoet
(1557-1571)
·
Amiril Pengiran Dipati I (1571-1613)
·
Amiril Pengiran Singa Laoet
(1613-1650)
·
Amiril Pengiran Maharajalila I
(1650-1695)
·
Amiril Pengiran Maharajalila II
(1695-1731)
·
Amiril Pengiran Dipati II (1731-1765)
·
Amiril Pengiran Maharajadinda (1765-1782)
·
Amiril Pengiran Maharajalila III
(1782-1817)
·
Amiril Tadjoeddin (1817-1844)
·
Amiril Pengiran Djamaloel Kiram
(1844-1867)
·
Datoe Maoelana/Ratoe Intan Doera
(1867-1896)
·
Datoe Adil (1896-1916)
Hubungan dengan Kesultanan
Bulungan
Di
antara kedua kerajaan tersebut terdapat hubungan yang erat, sebagaimana
layaknya seperti orang bersaudara karena saling diikat oleh tali Perkawinan.
Meskipun demikian proses saling mempengaruhi tetap berjalan secara halus dan
tersamar, karena salah satu diantaranya ingin lebih dominan dari yang lainnya.
Dengan Demikian tidak dapat dielakkan bahwa persaingan terselubung antara
keduanya merupakan masalah laten yang adakalanya mencuat kepermukaan. Dalam hal
ini pihak penjajah Hindia Belanda cukup jeli memanfaatkan masalah itu, maka
semakin serulah hubungan keduanya, bahkan menjadi konflik politik yang tajam,
sehingga akhirnya tergusurlah Kerajaan dari Suku kaum Tidung tersebut.
Demografi kawasan
Kawasan
Kalimantan Timur bagian utara secara umum penduduk aslinya terdiri dari tiga
jenis suku bangsa yakni : Tidung, Bulungan dan Dayak yang mewakili tiga
kebudayaan yaitu Kebudayaan Pesisir, Kebudayaan Kesultanan dan Kebudayaan
Pedalaman.
Kaum
suku Tidung umumnya terlihat banyak mendiami kawasan pantai dan pulau-pulau,
ada juga sedikit ditepian sungi-sungai dipedalaman umumnya dalam radius
muaranya. Kaum suku Bulungan kebanyakan berada di kawasan antara pedalaman dan
pantai, terutama dikawasan Tanjung Palas dan Tanjung Selor. Sedangkan kaum suku
Dayak kebanyakan mendiami kawasan Pedalaman. Kalangan suku Dayak yang terdengar
dan Popular adalah bernama suku Dayak Kenyah. Suku Dayak memiliki banyak
sub-suku bangsa mereka tersebar dikawasan pedalaman dan dan memiliki berbagai
macam nama.
Suku Tidung
Adapun
mengenai suku kaum Tidung, mata pencaharian andalannya adalah sebagai Nelayan,
disamping itu juga bertani dan memanfaatkan hasil hutan. Berdasarkan dokumen
dan informasi tertulis maupun lisan yang ada bahwa, tempo dulu dikawasan
Kalimantan Timur belahan utara terdapat dua bentuk pemerintahan, yakni :
Kerajaan dari kaum suku Tidung dan Kesultanan dari kaum suku Bulungan. Kerajaan
dari kaum suku Tidung berkedudukan di Pulau Tarakan dan berakhir di Salimbatu,
Sedangkan Kesultanan Bulungan berkedudukan di Tanjung Palas.
- Kesultanan
Bulungan(1731)
Kesultanan Bulungan atau Bulongan adalah kesultanan yang terletak di wilayah Kabupaten
Bulungan, Kabupaten Malinau, Kabupaten Nunukan dan Kota Tarakan sekarang.
Kesultanan ini berdiri pada tahun 1731, dengan raja pertama bernama Wira Amir
gelar Amiril Mukminin (1731–1777), dan Raja Kesultanan Bulungan yang
terakhir atau ke-13 adalah Datuk Tiras gelar Sultan Maulana Muhammad
Djalalluddin (1931-1958).[1]
Sultan Bulungan
Berikut
adalah daftar Sultan Bulungan, daftar berikut masih belum sempurna, karena ada
tahun yang hilang serta nama yang tidak diketahui.[2]
·
Aji Muhammad bin Muhammad Zainul
Abidin (...-...)
·
Muhammad Alimuddin Amirul Muminin
Kahharuddin I bin Muhammad Zainul Abidin (jabatan ke-1) (...-1848)
·
Muhammad Jalaluddin bin Muhammad
Kahharuddin (1848-1866)
·
Muhammad Alimuddin Amirul Muminin
Kahharuddin I bin Muhammad Zainul Abidin (jabatan ke-2) (1866-1873)
·
Muhammad Khalifatul Adil (1873-1874)
·
Muhammad Kahharuddin II bin Maharaja
Lela (1874-...)
·
Maulana Ahmad Sulaimanuddin (...-1930)
· Maulana Muhammad Jalaluddin (1930-...)