HOME

21 September, 2023

GADAI SEBAGAI ALTERNATIF PEMBIAYAAN

 


Latar Belakang

Gadai merupakan salah satu kegiatan ekonomi yang dilandasi oleh beberapa factor, terutama kebutuhan manusia akan kehadiran uang maupun emas dan lainnya. Kita mengetahui bahwa di Indonesia telah banyak didirikan pegadaian-pegadaian hingga menyebar di seluruh kota maupun kabupaten.

Ada banyak program yang diadakan oleh pihak pegadaian, seperti halnya menggadaikan barang berharga demi mendapatkan sebuah pinjaman uang, program tabung emas, pegadaian emas, arisan emas dan lain sebagainya.

Pegadaian mempunyai sebuah semboyan, yaitu “mengatasi masalah tanpa masalah”, tentu dengan adanya hal tersebut pastinya kehadiran pegadaian adalah untuk membantu masyarakat dan melayani masyarakat untuk mengatasi permasalahan yang mereka miliki.

Bukan hanya bank saja yang memiliki dua jenis, yaitu konvensional dan syariah, pegadaianpun juga memiliki dua jenis, yaitu pegadaian konvensional yang sering kita lihat pada umumnya, serta pegadaian syariah yang baru-baru ini muncul dengan membawa misi melengkapi kinerja pegadaian konvensioanal. Kedua jenis pegadaian ini memiliki landasan hukum sendiri-sendiri, untuk konvensional maka berdasarkan atas peraturan perundang-undangan, sedangkan untuk yang syariah atau islami tentu hukumnya bersumber dari Al-Qur’an dan sunnah.

Pada dasarnya, produk-produk berbasis syariah memiliki karakteristik seperti, tidak memungut bunga dalam berbagai bentuk karena riba, menetapkan uang sebagai alat tukar bukan sebagai komoditas yang diperdagangkan, dan melakukan bisnis untuk memperoleh imbalan atas jasa dan atau bagi hasil. Pegadaian syariah atau dikenal dengan isltilah rahn, dalam pengoperasiannya menggunakan metode Fee Based Income (FBI) atau Mudharobah (bagi hasil). Karena nasabah dalam mempergunakan marhumbih (UP) mempunyai tujuan yag berbeda-beda, misalnya untuk konsumsi, membayar uang sekolah atau tambahan modal kerja, penggunaan metode Mudharobah belum tepat pemakaiannya. Oleh karenanya, pegadaian menggunakan metode Fee Based Income (FBI).

Sebagai peerima gadai atau disebut Mutahim, penggadaian akan mendapatkan Surat Bukti Rahn (gadai) berikut dengan akad pinjam-meminjam yang disebut Akad Gadai Syariah dan Akad Sewa Tempat (Ijarah). Dalam akad gadai syariah disebutkan bila jangka waktu akad tidak diperpanjang maka penggadai menyetujui agunan (marhun) miliknya dijual oleh murtahin guna melunasi pinjaman. Sedangkan Akad Sewa Tempat (ijarah) merupakan kesepakatan antara penggadai dengan penerima gadai untk menyewa tempat untuk penyimpanan dan penerima gadai akan mengenakan jasa simpan.

Rumusan Masalah

1.      Bagaimanakah perkembangan praktik jasa pergadaian saat ini apabila dikaitkan dengan tujuan gadai sebagai sumber pembiayaan?

2.      Bagaimanakah konsep pengaturan gadai di masa datang guna mewujudkan fungsi gadai sebagai alternatif pembiayaan?

Kajian Pustaka

Data yang didapat oleh penulis berdasarkan hasil kajian pustaka pada buku-buku literature, jurnal ilmiah dan internet.

Metode Penelitian

       Dalam upaya mencapai tujuan penelitian ini, metode penelitian yang digunakan bersifat deskriptif analitis. Metode ini menggambarkan dan menganalisis data sekunder yang didukung data primer mengenai berbagai masalah yang berkaitan dengan praktik pegadaian saat ini.

       Sesuai dengan bidang kajian ilmu hukum, pendekatan yang dipakai dalam pendekatan ini adalah yuridis normatif, yang lebih menitikberatkan pada studi kepustakaan untuk mengkaji arti, maksud dan keberadaan gadai sebagai alternatif pembiayaan.

       Bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini meliputi :

1.      Bahan hukum primer dalam bentuk antara lain kitab undang-undang hukum perdata; undang-undang no 10 tahun 1998 tentang perubahan atas undang-undang no 7 tahun 1992 tentang perbankan; undang-undang nomor 19 tahun 1993 tentang badan usaha milik negara; undang-undang nomor 9 tahun 2011 tentang perubahan atas undang-undang nomor 9 tahun 2006 tentang resi Gudang; peraturan pemerintah nomor 51 tahun 2011 tentang perubahan bentuk badan hukum perum pegadaian menjadi perusahaan persero; keputusan Menteri koperasi dan usaha kecil dan menengah nomor 01/per/M.KUKMII/2010; fatwa dewan Syariah nasional nomor 25/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn (gadai Syariah); dan fatwa dewan Syariah nasional nomor 68/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn Tasjily.

2.      Bahan hukum sekunder berupa tulisan-tulisan para ahli di bidang hukum baik nasional maupun internasional, jurnal dan majalah hukum bisnis yang didapatkan melalui studi kepustakaan yang berkaitan dengan pegadaian, dan

3.      Bahan hukum tersier berupa kamus hukum, kamus ekonomi, ensiklopedia, artikel pada surat kabar, majalah dan internet.

       Analisis data yang digunakan di dalam penelitian ini adalah analisis data yuridis kuantitatif dengan menggunakan daya abstraksi dan penafsiran hukum (interpretasi) untuk selanjutnya di tuangkan dalam bentuk uraian-uraian (deskripsi). Hasil studi kepustakaan kemudian dianalisis dengan menggunakan metode analisis data secara kualitatif. Kesimpulan tidak didasarkan pada angka-angka statistik melainkan pada keterkaitan antara asas-asas hukum, kaidah-kaidah hukum dan teori hukum dengan fenomena yang terjadi dalam masyarakat melalui interpretasi yuridis.

 

Pembahasan

A.           Pengertian dan Dasar Hukum Rahn

Dalam bahasa Arab, gadai disebut dengan Rahn yang secara istilah mengandung pengertian menggadaikan, menangguhkan.[1] Sedangkan menurut bahasa berarti tetap, kekal dan jaminan.[2] Dalam pengertian lain, rahn atau gadai menurut bahasa disebut al-tsubut dan al-habs yaitu penetapan dan penahanan. Ada pula yang menjelaskan rahn adalah terkurung atau terjerat.[3]

Menurut istilah syara’, yang dimaksud dengan rahn adalah:

1.             Akad yang objeknya menahan harga terhadap sesuatu hak yang mungkin diperoleh bayaran dengan sempurna darinya.[4]

2.             Menjadikan suatu benda berharga dalam pandangan syara’ sebagai jaminan atas hutang selama ada dua kemungkinan, untuk mengembalikan uang atau untuk mengambil sebagian uang itu.[5]

3.             Akad perjanjian pinjam-meminjam dengan menyerahkan barang sebagai tanggungan hutang.[6]

4.             Sesuatu yang diletakkan pada seseorang yaitu sesuatu barang yang diganti dengan barang yang lain.[7]

5.             Menjadikan zat suatu benda sebagai jaminan hutang.

6.             Menjadikan harta benda sebagai jaminan hutang.

7.             Suatu barang yang dijadikan peneguhan atau penguat kepercayaan dalam hutang-piutang.[8]

8.             Menjadikan suatu benda bernilai menurut pandangan syara’ sebagai tanggungan hutang, dengan adanya benda yang menjadi tanggungan itu seluruh atau sebagian hutang dapat diterima.[9]

Dalam islam, rahn merupakan sarana saling tolong-menolong bagi umat islam, tanpa adanya imbalan jasa. Rahn hukumnya jaiz (boleh) menurut Al-Qur’an, as-sunnah dan ijma’[10]

Adapun dasar hukum pegadaian syari’ah ini adalah:

1.             Dasar hukum Al-Qur’an surah Al-Baqarah: 283

“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang menghutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanat (hutang) ia dan hendaklah dia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barang siapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang-orang yang berdosa hatinya, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Baqarah: 283)

Dalam ayat tersebut dijelaskan, bahwa apabila seseorang berada dalam keadaan bepergian dan hendak melakukan suatu tindakan bermuamalah ataupun suatu transaksi hutang-piutang, kemudian ia tidak mendapatkan seseorang yang adil dan pandai dalam hal penulisan transaksi hutang, maka hendaklah meminta kepadanya suatu bukti lain sebagai bukti kepercayaan atau penguat, yaitu dengan menyerahkan sesuatu berupa benda atau barang yang berharga sebagai jaminan yang dapat dipegang atau hutang. Hal ini dipandang perlu karena untuk menjaga agar kedua belah pihak yang melakukan perjanjian gadai itu timbul rasa saling mempercayai antara satu sama lainnya, sehingga dalam transaksi gadai tersebut tidak menimbulkan kecurigaan yang kemungkinan akan terjadi suatu perselisihan antara para pihak yang bersangkutan.

Jaminan yang ada di tangan pihak piutang adalah amanah dan si piutang tidak memiliki hak untuk memanfaatkan atau menggunakannya di jalan yang tidak benar, melainkan ia harus berupaya memelihara dan menjaganya agar ketika orang yang berhutang membayar pinjamannya, maka jaminannya itu dikembalikan kepadanya secara utuh. Orang yang berhutang pada hakikatnya dianggap sebagai orang yang amanah sehingga diberikan pinjaman, makaa ia harus membayar hutangnya itu tepat pada waktunya, agar orang yang memberikan pinjaman tidak memperoleh kerugian. Khususnya di tempat di mana orang yang berpiutang kepercayaannya kepada yang berhutang sedemikian besanya sehingga tidak meminta jaminan, maka dalam kondisi seperti ini, pihak yang berhutang harus ingat kembali kepada ketentuan dasar yang diatur dalam hukum islam dan tidak menzalimi orang lain dengan memakan hartanya secara batil.[11]

2.             Dasar Hukum Hadist

Aisyah berkata bahwa Rosul bersabda: Rasulullah pernah membeli makanan dari seorang yahudi dan meminjamkan kepadanya baju besi. (HR. Bukhori)[12]

3.             Ijma’

Para ulama’ telah bersepakat bahwa rahn atau gadai itu boleh dan mereka tidak pernah mempermasalahkan kebolehannya, demikian pula dengan landasan hukumnya. Di samping itu, berdasarkan fatwa Dewan Syari’ah Nasional No. 25/DSN-MUI/III/2002, tanggal 26 Juni 2002 dinyatakan bahwa, pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan hutang dalam bentuk rahn dibolehkan. Jumhur ulama berpendapat bahwa rahn disyariatkan pada waktu tidak bepergian maupn pad waktu bepergian.[13]

B.            Rukun dan Syarat-Syarat Rahn

1.              Rukun Rahn

Sebelum melakukan transaksi gadai atau rahn, maka harus mengetahui terlebih dahulu apa saja yang termasuk dalam rukun rahn. Menurut jumhur ulama, rukun rah nada empat, yaitu:

a.         Shigat (lafal ijab dan qobul)

b.        Orang yang berakad (al-rahin dan al-murtahin)

c.         Harta yang dijadikan agunan (al-marhun)

d.        Hutang (ar-marhun bih)[14]

2.             Syarat-syarat Rahn

Menurut jumhur ulama, ada beberapa syarat sahnya akad rahn, yaitu: berakal, baligh (dewasa), wujudnya marhun yang dipegang sebagai jaminan oleh murtahin.[15] Di samping syarat-syarat sah rahn, juga terdapat syarat-syarat lain dari rahn atau gadai yang harus dipenuhi secara hukum fiqh, yaitu:

a.         Cakap bertindak hukum. Kecakapan bertindak hukum diwajibkan kepada orang yang telah baligh dan berakal.

b.        Syarat sighat (lafal), yaitu ucapan atau lafal yang dibarengi dengan syarat tertentu. Misal, orang yang berhutang mensyaratkan apabila tenggang waktu hutang telah habis dan hutang belum terbayar, maka rahn itu diperpanjang selama satu bulan atau memberi hutang serta mensyaratkan harta agunan itu boleh ia manfaatkan. Untuk sahnya rahn, pihak pemberi hutang harus disaksikan oleh dua ornag saksi. Apabila agunan dijual ketika rahn jatuh tempo dan orang yang berhutang tidak mampu membayar hutangnya, maka syarat tersebut batal.

c.         Syarat marhun bih (hutang), yaitu: pertama, merupakan hak yang wajib dikembalikan  kepada orang tempat berhutang. Kedua, hutang itu boleh dilunasi dengan agunan dan ketiga, hutang itu jelas dan tertentu.

d.        Beberapa hal yang menjadi syarat marhun (barang yang dijadikan agunan), yaitu:

§    Barang jaminan (agunan) itu boleh boleh dijual dan nilainya seimbang dengan hutang.

§    Barang jaminan itu dinilai harta dan boleh dimanfaatkan.

§    Barang jaminan itu jelas.

§    Agunan itu milik sah orang yang berhutang.

§    Barang jaminan itu tidak terkait dengan orang lain.

§    Barang jaminan itu merupakan harta yang utuh, tidak bertebaran dalam beberapa tempat.

§    Brang jaminan itu boleh diserahkan, baik materinya maupun manfaatnya.

Syarat terakhir merupakan kesempatan rahn yang disebut sebagai qabdhal-marhum (barang jaminan dikuasai secara hukum oleh pemberi hutang). Syarat ini menjadi sangat penting sebagaimana dinyatakan oleh Allah SWT dalam suratAl-Baqarah ayat 283 yang telah disebutkan dalam pembahasan sebelumnya.

Apabila barang jaminan itu telah dikuasai oleh pemberi hutang, maka akad rahn bersifat mengikat bagi kedua belah pihak. Oleh sebab itu, hutang tersebut terkait dengan barang jaminan, sehingga apabila hutang tidak dapat dilunasi, maka barang jaminan dapat dijual dan uang itu dibayar. Apabila dalam penjualan barang jaminan ada kelebihan uang, maka wajib dikembalikan kepada pemiliknya (rahn).[16]

Dalam pemahaman madzhab Syafi’I, ketetapan mengenai syarat-syarat sah gadai adalah:

Syarat luzum (tetap), yaitu syarat serah terima barang gadaian. Jadi bila barang gadaian itu belum diterima oleh penerima gadai, maka bagi pemberi gadai masih berhak menarik kembali perjanjiannya.

Syarat sah gadai, yaitu:

a.         Syarat yang berhubungan dengan akad . Hal ini hendaknya jangan dikaitkan dengan syarat yang tidak sesuai dengan akad itu sendiri, karena yang demikian itu akan membatalkan akad gadai.

b.        Syarat yang berhubungan dengan para pihak, misal kedua belah pihak sudah cakap dalam bertindak, sampai umur, berakal sehat dan tidak dalam pengampunan,

Syarat yang berhubungan dengan barang gadai adalah:

1)        Barang gadaian itu harus hak milik sempurna.

2)        Barang gadaian itu harus benda yang tahan lama.

3)        Barang gadaian itu harus benda yang suci

4)        Barang gadaian itu harus bermanfaat dan bernilai menurut pandangan syara’.

Syarat yang berhubungan marhun bih, yaitu:

1)        Gadai itu harus disebabkan hutang yang pasti.

2)        Hutangnya sudah tetap seketika atau masa yang akan datang.

3)        Hutang itu sudah diketahui benda, jumlah dan sifat-sifatnya.[17]

Berdasarkan dari beberapa uraian yang telah disebutkan tentang syarat sahnya gadai, maka dapatlah dipahami bahwa syarat merupakan suatu yang harus dipenuhi sebelum melaksanakan perjanjian gadai, sehingga perjanjian gadai tersebut sah menurut ketentuan syara’.

C.           Jenis-Jenis Rahn

Dalam prinsip syariah, gadai dikenal dengan istilah rahn. Rahn yang diatur menurut prinsip syariah, dibedakan menjadi dua, yaitu:

1.             Rahn ‘Iqrar atau Rasmi (Rahn Takmini atau Rahn Tasjily)

Merupakan bentuk gadai, dimana barang yang digadaikan hanya dipindahkan kepemilikannya, namun barangnya sendiri masih dikuasai dan dipergunakan oleh pemberi gadai.

Konsep ini dalam hukum positif lebih mirip kepada konsep pemberian jaminan secara fidusia atau penyerahan hak milik scara kepercayaan atas suatu benda. Dalam konsep fidusia tersebut, dimana yang diserahkan hanyalah kepemilikan atas benda tersebut, sedangkan fisiknya masih tetap dikuasai oleh pemberi fidusia dan masih dapat dipergunakan untuk keperluan sehari-hari.

2.             Rahn Hiyazi

Bentuk Rahn Hiyazi inilah yang sangat mirip dengan konsep gadai baik dalam hukum adat maupun dalam hukum positif. Jadi berbeda dengan rahn ‘iqar yang hanya menyerahkan hak kepemilikan atas barang, maka pada rahn hiyazi tersebut barangnya pun dikuasai oleh kreditur.

Sebagaimana halnya dengan gadai berdasarkan hukum positif, barang yang digadaikan bisa berbagai macam jenisnya, baik bergerak maupun tidak bergerak.

Dalam hal yang digadaikan berupa benda yang dapat diambil manfaatnya, maka penerima gadai dapat mengambil manfaat tersebut dengan menanggung biaya perawatan dan pemeliharaannya.

Dalam praktik, yang biasanya diserahkan secara rahn adalah benda-benda bergerak, khususnya emas dan kendaraan bermotor. Rahn dalam bank syariah juga biasanya diberikan sebagai jaminan atas qardh atau pembiayaan yang diberikan oleh bank syariah kepada nasabah. Rahn juga dapat diperuntukkan bagi pembiayaan yang bersifat konsumtif, seperti pembayaran uang sekolah, modal usaha dalam jangka pendek, untuk biaya pulang kampong pada waku lebaran dan lain sebagainya. Jangka waktu yang pendek (biasanya 2 bulan) dan dapat diperpanjang atas permintaan nasabah.

Jadi, prinsip pokok dari rahn adalah:

§    Kepemilikan atas barang yang digadaikan tidak beralih selama masa gadai

§    Kepemilikan baru beralih pada saat terjadinya wanprestasi pengembalian dana yang diterima oleh pemilik barang. Pada saat itu, penerima gadai berhak untuk menjual barang yang digadaikan berdasarkan kuasa yang sebelumnya perah diberikan oleh pemilik barang.

§    Penerima gadai tidak boleh mengambil manfaat dari barang yang digadaikan, kecuali atas seijin dari pemilik barang. Dalam hal demikian, maka penerima gadai berkewajiban menanggung biaya penitipan atau penyimpanan dan biaya pemeliharaan atas barang yang digadaikan tersebut.

D.           Pemeliharaan Objek Gadai dan Biayanya Menurut para Fuqaha

Selama barang gadai ada di tangan pemegang gadai, maka kedudukannya hannya merupakan suatu amanat yang dipercayakan kepadanya oleh pihak penggadai. Sebagai pemegang amanat, murtahin berkewajiban untuk memelihara kemaslahatan barang gadai yang diterimanya sesuai dengan keadaan barang. Untuk menjaga keselamatan barang gadai tersebut dapat diadakan persetujuan penyimpanan. Kemudian barulah persetujuan diadakan setelah perjanjiangadai teerjadi.[18]

Mengenai biaya perawatan atau pemeliharaan barang gadai, pada prinsipnya fuqaha sepakat bahwasanya segala resiko atau biaya yang timbul untuk pemeliharaan menjadi tanggung jawab pemilik barang, yaitu rahn.[19] Karnanya setiap manfaat atau keuntungan yang ditimbulkannya menjadi hak pemilik barang. Hal ini berdasarkan sabda Nabi SAW: “Gadaian itu tidak menutup akan yang punya dari manfaat barang itu, faedahnya kepunyaan dia, dan dia wajib mempertanggungjawabkan segalanya (kerusakan dan biaya)”. (HR. Asy-Syafi’i dan Daruquthny)

Bagaimanapun mereka tidak sependapat mengenai jenis perbelanjaan yang mesti ditanggung oleh rahn. Ulama Hanafiah berpendapat bahwa tagihan pembelanjaan yang mesti ditanggung oleh rahn, sebagai pemilik barang gadai dan oleh murtahin sebagai orang yang bertanggungjawab menjaganya adalah sebagai berikut: segala perbelanjaan yang diperlukan untuk kepentingan barang gadai hendaklah ditanggung oleh rahin, karena barang tersebut hak miliknya dan segala perbelanjaan untuk memelihara barang gadaian hendaklah ditanggung oleh pegadai (murtahin), karena ia yang berhak memegangnya maka ia terikat dengan perkara-perkara yang berkaitan.

Dalam hal ini penggadai bertanggungjawab untuk menyediakan atau membayar biaya makanan, minuman dan penggembala jika barang jaminannya berupa binatang ternak dan juga bertanggungjawab atau membayar biaya penyiraman, pembersihan, perparitan dan cukai jika barang jaminan berupa tanah karena semua itu merupakan biaya dan perbelanjaan harta yang mesti ditanggung oleh pemilik barang.

Pegadai juga bertanggungjawab menyediakan atau membayarkan biaya upah menjaga dan tempat pemeliharaan, seperti sewa kandang, sewa tempat simpanan karena sewa pemeliharaan barang gadaian adalah tanggungjawabnya. Berdasarkan tanggungjawab tersebut, pegadai tidak ada hak untuk mengenakan syarat dalam akad gadaian bayaran upah mesti kepadanya untuk memelihara barang gadaian, karena tanggungjawab tersebut adalah kewajibannya. Tidak ada bayaran upah dikenakan pada perkara yang diwajibkan. Ulama Maliki, Syafi’i dan Hanbali, (jumhur) berpendapat bahwa semua perbelanjaan dan bayaran perkara-perkara yang berkaitan barang gadaian mestilah ditanggung oleh penggadai (rahn).[20]

E.            Pemanfaatan Objek Gadai menurut para Fuqaha

Pada dasarnya barang gadai tidak boleh diambil manfaatnya, baik oleh pemiliknya maupun oleh penerima gadai. Hal ini disebabkan status barang tersebut hanya sebagai jaminan hutang dan sebagai amanat bagi penerimanya. Namun apabila mendapat izin dari masing-masing pihak yang bersangkutan, maka menurut para fuqaha barang gadai atau jaminan boleh dimanfaatkan. Murtahin hanya berhak menahan barang gadai, tetapi tidak berhak menggunakan atau memanfaatkan hasilnya, sebagaimana pemilik barang gadai tidak berhak mengguakan barang itu. Tetapi sebagai pemilik marhun (rahn), apabila barang gadainya itu mengeluarkan hasil, maka hasil itu menjadi milik rahin.[21]

Para ulama fiqh juga sepakat bahwa barang yang dijadikan jaminan itu tidak boleh dibiarkan begitu saja tanpa menghasilkan sama sekali. Sebab tindakan tersebut termasuk menyia-nyiakan harta yang dilarang oleh Rosul SAW. Tetapi mengenai boleh tidaknya pihak pemegang barang jaminan memanfaatkan barang jaminan meskipun mendapat izin dari pemilik barang jaminan, dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat para ulama fiqh.

Jumhur ulama fiqh selain ulama Hanabilah berpendapat bahwa pemegang barang jaminan tidak boleh memanfaatkan barang jaminan karena barang itu bukan miliknya secara penuh. Hak pemegang barang jaminan terhadap barang itu hanyalah sebagai jaminan piutang yang ia berikan. Apabila orang yang berhutang tidak mampu melunasi hutangnya, maka barulah ia boleh menjual atau menghargai barang tersebut untuk melunasi piutangnya.[22]

Jika pemilik barang mengizinkan pemegang barang jaminan menanfaatkan barang tersebut selama berada di tangannya, maka sebagian ulama Hanafiah membolehkan. Karena dengan adanya izin, maka tidak ada halangan bagi pemegang barang jaminan untuk memanfaatkannya. Namun sebagian ulama Hanafiah lainnya, ulama Malikiyah dan ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa meskipun pemilik barang mengizinkannya, pemegang barang jaminan tidak boleh memanfaatkan barang jaminan itu. Apabila barang jaminan itu dimanfaatkan, maka hasil pemanfaatan tersebut merupakan riba yang dilarang syara’ sekalipun diizinkan dan diridhoi pemilik barang. Bahkan menurut mereka, ridho dan izin dalam hal ini lebih cenderung dalam keadaan terpaksa, karena khawatir tidak akan mendapatkan uang yang akan dipinjam. Selain itu dalam masalah riba, izin dan ridho tidak berlaku.[23] Berkaitan dengan hal di atas, Rasul SAW bersabda: “Dari Abu Hurairah r.a., Rasul SAW bersabda: binatang tunggangan boleh ditunggangi sebagai imbalan atas nafkahnya (makanannya) bila sedang digadaikan, dan susu binatang yang diperah boleh diminum sebagai imbalan atas makanannya bila sedang digadaikan. Orang yang menunggangi dan meminum susu berkewajiban untuk memberikan makanan. (HR. Bukhari)[24]

Oleh karena itu, diusahakan agar dalam perjanjian gadai itu dicantumkan ketentuan jika penggadai atau penerima gadai meminta izin untuk memanfaatkan barang gadai, maka hasilnya menjadi milik bersama.[25] Ketentuan itu dimaksudkan untuk menghindari tidak berfungsinya harta benda atau mubazir.

F.            Lahirnya Pegadaian Syariah

Terbitnya PP/10 tanggal 1April 1990 dapat dikatakan menjadi tonggak awal kebangkitan pegadaian, satu hal yang perlu dicermati bahwa PP10 menegaskan misi yang harus diemban oleh pegadaian untuk mencegah praktik riba, misi ini tidak berubah hingga terbitnya PP103/2000 yang dijadikan sebagai landasan kegiatan usaha Perum Pegadaian sampai sekarang. Banyak pihak berpendapat bahwa operasionalisasi Pegadaian pra Fatwa MUI tanggal 16 Desember 2003 tentang Bunga Bank, telah sesuai dengan konsep syariah meskipun harus diakui belakangan bahwa terdapat eberapa aspek yang menepis anggapan itu. Berkat Rahmat Allah SWT dan setelah melalui kajian panjang, akhirnya disusun suatu konsep pendirian unit layanan gadai syariah sebagai langkah awal pembentukan devisi khusus yang menangani kegiatan usaha syariah.

Konsep operasi pegadaian syariah mengacu pada sistem administrasi modern yaitu azaz rasionalitas, efisiensi dan efektifitas yang diselaraskan dengan nilai islam. Fungsi operasi pegadaian syariah itu sendiri dijalankan oleh kantor-kantor cabang pegadaian syariah/unit layanan gadai syariah (ULGS) sebagai satu unit organisasi dibawah binaan devisi usaha lain perum pegadaian. ULGS merupakan unit bisnis mandiri yang secara structural terpisah pengelolaannya dari usaha gadai konvensional. Pegadaian syariah pertama kali berdiri di Jakarta dengan nama unit layanan gadai syariah (ULGS) cabang dewi sartika di bulan Januari 2003. Kemudian pendirian ULGS di Surabaya, Makasar, Semarang, Surakarta dan Yogyakarta di tahun yang sama hingga September 2003 dan 4 kantor cababg pegadaian di Aceh dikonversi menjadi Pegadaian Syariah.

G.           Operasionalisasi Pegadaian Syariah

Implementasi operasi pegadaian syariah hampir bermiripan dengan pegadaian konvensional. Seperti halnya pegadaian konvensional, pegadaian syariah juga menyalurkan uang pinjaman dengan jaminan barang bergerak. Prosedur untuk memperoleh kredit gadai syariah sangat sederhana, masyarakat hanya menunjukkan bukti identitas diri dan barang bergerak sebagai jaminan, uang pinjaman dapat diperoleh dalam waktu yang relative tidak lama (kurang lebih 15 menit). Begitupun untuk melunasi pinjaman, nasabah cukup dengan menyerahkan sejumlah uang dan surat bukti rahn saja denan proses yang singkat.

Di samping beberapa kemiripan dari beberapa segi, ditinjau dari aspek landasan konsep, teknik transaksi dan pendanaan, pegadaian syariah memiliki ciri tersendiri yang impementasinya sangat berbeda dengan pegadaian konvensional.

1.             Landasan Konsep (Al-Qur’an, hadist dan ijma’)

“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang menghutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanat (hutang) ia dan hendaklah dia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barang siapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang-orang yang berdosa hatinya, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Baqarah: 283)

Aisyah berkata bahwa Rosul bersabda: Rasulullah pernah membeli makanan dari seorang yahudi dan meminjamkan kepadanya baju besi. (HR. Bukhori)[26]

Dari Abu Hurairah r.a. Nabi SAW bersabda: Tidak terlepas kepemilikan barang gadai dari pemilik yang menggadaikannya. Ia memperoleh manfaat dan menanggung resikonya. (HR. Asy-Syafi’I, al-Daraquthni dan Ibnu Majah)

Nabi bersabda: Tunganggan (kendaraan) yang digadaikan boleh dinaiki dengan menanggung biayanya dan binatang ternak yang digadaikan dapat diperah susunya dengan menanggung biayanya. Bagi yang menggunakan kendaraan dan memerah susu wajib menyediakan biaya perawatan dan pemeliharaannya. (HR. Jamaah, kecuali Muslim dan An-Nasa’i)

Dari Abu Hurairah r.a. Rasulullah bersabda: Apabila ada ternak digadaikan, maka punggungnya boleh dinaiki (menjaga) nya. Apabila ternak itu digadaikan, maka air susunya yang deras boleh diminum (oleh orang yang menerima gadai) karena ia ttelah mengeluarkan biaya (mnjaga) nya. Kepada orang yang naik dan minum, maka ia harus menngeluarkan biaya (perawatan) nya. (HR. Jemaah kecuali Muslim dan Nasai-Bukhari)

Para ulama sepakat membolehkan akad rahn (al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adilatuhu, 1985, V: 181). Landasan ini kemudian diperkuat dengan fatwa dewan syariah nasional no. 25DSN-MUI/III/2002 tanggal 26 Juni 2002 yang menyatakan bahwa pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan utang dalan bentuk rahn diperbolehkan.

2.             Teknik Transaksi

Teknik Transaksi dibagi menjadi dua, yaitu:

a.              Akad rahn, adalah menahan harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya, pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya. Dengan akad ini pegadaian menahan barang bergerak sebagai jaminan atas utang nasabah.

b.             Akad ijarah, adalah akad pemindahan hak guna atas barang dan atau jasa melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barangnya sendiri. Melalui akad ini dimungkinkan bagi pegadaian untuk menarik sewa atas penyimpanan barang bergerak milik nasabah yang telah melakukan akad.

Mekanisme operasional pegadaian syariah dapat digambarkan sebagai berikut: melalui akad rahn, nasabah menyerahkan barang bergerak dan kemudian pegadaian menyimpan dan merawatnya di tempat yang telah disediakan oleh pegadaian. Akibat yang timbul dari proses penyimpanan adalah timbulnya biaya-biaya yang meliputi nilai investasi tempat penyimpanan, biaya perawatan dan keseluruhan proses kegiatannya. Atas dasar ini dibenarkan bagi pegadaian mengenakan biaya sewa kepada nasabah sesuai jumlah yang disepakati ileh kedua belah pihak.

Pegadaian syariah akan memperoleh keuntungan hanya dari bea sewa tmpat yang dipungut bukan tambahan berupa bunga atau sewa modal yang diperhitungkan dari uang pinjaman. Sehingga dapat dikatakan proses pinjam-meminjam uang hanya sebagai “lipstick” yang akan menarik minat konsumen untuk menyimpan barangnya di pegadaian.

Adapun ketentuan atau persyaratan yag menyertai akad tersebut, yaitu:

a.              Akad, akad tidak mengandung syarat fasik atau bathil seperti murtahin mensyaratkan barang jaminan dapat dimanfaatkan tanpa batas.

b.             Marhun bih (pinjaman), adalah hak yang wajib dikembalikan kepada murtahin dan bisa dilunasi dengan barang yang dirahnkan tersebut serta pinjaman itu jelas dan tertentu.

c.              Marhun (barang yang dirahnkan), ini bisa dijual dan nilainya seimbang dengan pinjaman, memiliki nilai, jelas ukurannya, milik sah penuh dari rahin, tidak terkait dengan hak orang lain dan bisa diserahkan baik materi maupun manfaatnya.

d.             Jumlah maksimum dana rahn dan nilai likuidasi barang yang dirahnkan serta jangka waktu rahn ditetapkan dalam prosedur.

e.              Rahin dibebani jasa manajemen atas barang berupa: biaya asuransi, biaya penyimpanan, biaya keamanan, biaya pengelolaan serta administrasi.

Untuk dapat memperoleh  layanan dari pegadaian syariah, masyarakat cukup menyerahkan harta geraknya untuk dititipkan disertai dengan copy tanda pengenal. Kemudian staf penaksir akan menentukan nilai taksiran barang bergerak tersebuut yang dijadikan sebagai patokan  perhitungan pengenaan sewa simpanan dan plafon uang pinjaman yang dapat diberikan. Taksiran barang ditentukan berdasarkan nilai intrinsic dan harga pasar yang telah ditetapkan oleh perum pegadaian. Maksimum uang pinjaman yang dapat diberikan sebesar 90% dari taksiran barang.

Setelah melalui tahapan ini, pegadaian syariah dan nasabah melakukan akad dengan kesepakatan:

a.              Jangka waktu penyimpanan barang dan pinjaman ditetapkan selama maksimum empat bulan.

b.             Nasabah bersedia membayar jasa simpanan sebesar Rp 90,- (Sembilan puluh rupiah) dari kelipatan taksiran Rp 10.000,- per 10 hari yang dibayar bersamaan pada saat pencairan uang pinjaman.

c.              Membayar biata administrasi  yang besarnya ditetapkan oleh pegadaian pada saat pencairan uang pinjaman.

Nasabah dalam hal ini diberikan kelonggaran untuk:

§    Melakukan penebusan barang atau pelunasan pinjaman kapanpun sebelum jangka waktu empat bulan.

§    Mengangsur uang pinjaman dengan membayar terlebih dahulu jasa simpan yang sudah berjalan ditambah bea administrasi.

§    Atau hanya membayar jasa simpannya terlebih dahulu jika pada saat jatuh tempo nasabah belum mampu melunasi pinjamannya.

Jika nasabah sudah tidak mampu melunasi hutang atau hanya membayar jasa simpn, maka pegadaian syariah melakukan eksekusi barang jaminan dengan cara dijual, selisih antara nilai penjualan denan pokok pinjaman, jasa simpan dan pajak merupakan uang kelebihan yang menjadi hak nasabah. Nasabah diberi kesempatan selama satu tahun  untuk mengambil uang kelebihan, dan jika dalam satu tahun nasabah tidak mengambil uang tersebut maka pegadaian syarian akan menyerahkan uang kelebihan kepada badan amil zakat sebagai ZIS.

3.             Pendanaan

Aspek syariah tidak hanya menyentuh bagian operasionalnya saja, pembiayaan kegiatan dan pendanaan bagi nasabah harus diperoleh dari sumber yang benar-benar terbebas dari unsur riba. Dalam hal ini, seluruh kegiatan pegadaian syariah termasuk dana yang kemudian disalurkan kepada nasabah, murni berasal dari modal sendiri ditambah dana pihak ketiga dari sumber yang dapat dipertanggungjawabkan. Pegadaian telah melakukan kerja sama dengan bank muamalat sebagai fundernya dan akan melakukan kerjasama dengan lembaga keuangan syariah lainnya untuk memback up modal kerja.

Jadi dapat dilihat perbedaan pegadaian syariah dengan pegadaian konvensional, yaitu:

a.              Di pegadaian konvensional, tambahan yang harus dibayar oleh nasabah yang disebut sebagai sewa modal, dihitung dari nilai pinjaman.

b.             Pegadaian konvensional hanya melakukan satu akad perjanjian, yaitu: hutang-piutang dengan jaminan barang bergerak yang jika ditinjau dari aspek hukm konvensional, keberadaan baran jaminan dalambgadai bersifat accesoir, sehingga pegadaian konvensional bisa tidak melakukan penahanan barang jaminan atau dengan kata lain melakukan praktek fidusia. Berbeda dengan pegadaian syariah yang mensyaratkan secara mutlak keberadaan barang jaminan untuk membenarkan penarikan bea jasa simpan.

Hasil Penelitian

1.        Praktik Pergadaian di Indonesia saat ini

Tidak dapat dipungkiri, Lembaga penyedia dana yang ada di Indonesia masih di dominasi oleh perbankan sebagai Lembaga intermediary yang mempertemukan pemilik dana dengan pengguna. Mengacu pada prinsip kehati hatian perbankan (prudential banking principle).[27] Dalam pemberian kredit, dapat diperkirakan bahwa dana perbankan sebagai sebagian besar diserap oleh debitor yang mampu memenuhi syarat-syarat dalam pemberian kredit, termasuk didalamnya syarat ketersediaan jaminan (collateral) yang sebetulnya tidak wajib, kecuali jaminan pokok berupa objek yang dibiayai oleh kredit itu sendiri.

Pegadaian berfungsi sebagai komplemen atau pelengkap bagi lembaga penyedia dana lainnya seperti perbankan, pasar modal dan lembaga pembiayaan seperti leasing, modal ventura dan anjak piutang. Pegadaian menawarkan jasa pemberian pinjaman dengan jaminan benda bergerak yang tunduk pada hukum gadai sebagai pilihan bagi masyarakat untuk memenuhi kebutuhan baik bersifat konsumtif maupun produktif.

Dalam perkembangannya saat ini, perum Pegadaian tidak hanya melayani gadai konven- sional.[28] melainkan juga jasa di luar sistem gadai konvensional yakni layanan gadai syariah (rahn), layanan jual beli logam mulia (mulia dan galeri 24), layanan fidusia (Kreasi, Krasida dan Krista),[29] serta layanan jasa lainnya berupa jasa titipan, jasa taksiran, Kresna,[30] Kucica, Langen Palikrama, Investa, Kremada, Kagum, dan G Lab (jasa pengujian logam mulia).

Praktik gadai saat ini tidak diikuti oleh landasan hukum yang kokoh untuk mengantisi pasi perkembangan gadai di Indonesia. Selama ini, aktivitas pergadaian lebih banyak berlandaskan pada perjanjian para pihak yang bentuknya sangat sederhana dan baku. Selain perjanjian para pihak, praktik gadai mengacu pada ketentuan gadai dalam Pasal 1150 sampai 1160 KUHPerdata yang belum mampu menjangkau dan mengakomodasikan perkembangan gadai saat ini, antara lain perkembangan objek gadai seperti saham tanpa warkat yang diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia dan hak kekayaan intelektual.

2.        Jasa pegadaian di masa datang

Di masa datang, pergadaian tidak dapat dilepaskan dari fungsinya sebagai alternatif pembiayaan bagi masyarakat, khususnya perorangan dan UMKM. Diperlukan kecermatan dalam menata kembali aturan tentang pergadaian, mengingat misi pelayanan publik yang semula diemban oleh Perum Pegadaian diperkirakan akan berakhir dengan terbitnya kebijakan pemerintah melalui PP No. 51 Tahun 2011. Beberapa hal yang menjadi dasar pemikiran peneliti terkait hilangnya fungsi pelayanan public dapat dijelaskan sebagai berikut:

1.      Perubahan status badan hukum pegadaian dari perum menjadi persero atau pt persero, mengubah motif dari pelayanan publik menjadi berorientasi profit (keuntungan).

2.      Usaha pegadaian ditujukan bagi masyarakat berpenghasilan menengah. Ini berarti usaha mikro kecil dan rakyat kecil tidak lagi terakomodasikan dalam tatanan regulasi.

3.      Kegiatan utama pt pegadaian yakni menyalurkan pinjaman berdasarkan hukum gadai termasuk gadai efek, menyalurkan pinjaman berdasarkan fidusia, dan melayani jaja titipan, pelayanan jasa taksiran, sertifikasi dan perdagangan logam mulia serta batu adi, memperjelas wangsa pasar pegadaian bergeser dari menengah bawah kea rah menengah atas.

Mengacu pada perubahan status dan kegiatan usaha pegadaian dan draf Rancangan Undang- Undang tentang Pergadaian, dapat dikatakan bahwa PT Pergadaian di masa datang tidak diposisikan sebagai alternatif pembiayaan masyarakat perorangan dan UMKM dan menjadi komplemen bagi dunia perbankan, namun menjadi kompetitor bagi perbankan dan lembaga pembiayaan dalam menarik dana masyarakat.

3.        Urgensi rancangan undang-undang pergadaian

Naskah akademik RUU Pegadaian menggunakan pendekatan economic analysis of law dari Steven Shavel untuk meletakkan asas-asas bagi RUU pergadaian.

Peneliti mencoba mencari dan menambahkan alternatif pendekatan yang hidup dalam masyarakat Indonesia, yakni hukum adat dan hukum Islam.[31] Jasa pegadaian sebagai alternatif pembiayaan dengan mekanisme pinjaman uang dengan jaminan gadai (benda bergerak) dikenal dalam hukum perdata Indonesia, baik KUH Perdata (BW) yang konkordan dengan Burgerlijk Wetboek yang berlaku di Belanda, hukum adat, maupun hukum islam.

Pasal 1150 KUHPerdata mengatur :

“Suatu hak yang diperoleh seseorang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang berutang atau oleh seorang lainnya atas namanya, dan yang memberikan kekuasaan kepada si berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan dari pada orang-orang berpiutang lainnya, dengan kekecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya mana harus didahulukan.”

Istilah gadai dalam hukum adat digunakan sebagai salah satu jenis transaksi tanah, yaitu jual gadai atau peralihan kepemilikan atas tanah untuk sementara waktu yang ditentukan saat penjual gadai menebus harga tanah sesuai kesepakatan. Adapun pinjam meminjam uang dengan jaminan benda bergerak dikenal dengan istilah nyekelake, boreh, dan sebagainya. Dalam hukum Islam digunakan istilah rahn untuk “penyerahan barang sebagai jaminan utang”.[32] Berikut ini akan dijabarkan esensi dari pranata gadai dalam jasa pegadaian berdasarkan ketentuan gadai yang ada dalam hukum perdata Indonesia.

a)             Gadai adalah pranata jaminan kebendaan

Gadai sebagai jaminan kebendaan berfungsi memberi kepastian bagi kreditor bahwa debitor akan melakukan kewajibannya. Gadai berfungsi sebagai lembaga jaminan yang sifatnya accesoir dari perjanjian pokoknya, yaitu perjanjian pinjam-meminjam uang. Sifat accesoir ini secara yuridis diartikan bahwa lahir dan hapusnya perjanjian gadai bergantung pada lahir dan hapusnya perjanjian pokoknya, dan tidak berlaku sebaliknya. Selanjutnya, gadai harus dipandang dari sudut kepentingan pemberi pinjaman, yakni sebagai jaminan kepastian hukum bagi pihak yang meminjamkan (kreditor) atas pengembalian uang dari peminjam.

b)            Gadai dan jasa pegadaian

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, gadai merupakan salah satu jaminan kebendaan, yang objeknya adalah benda bergerak dan merupakan hak kebendaan[33] yang bersifat memberikan jaminan, sedangkan pegadaian adalah pelaku ekonomi yang memberikan jasa peminjaman uang dengan jaminan benda bergerak (gadai). Dengan demikian, pelaku ekonomi yang memberikan jasa pegadaian tidak dapat dipisahkan dari pranata gadai.

c)             Jasa pegadaian sebagai alternatif pembiayaan

Penegasan bahwa pegadaian adalah alternatif pembiayaan perlu ditegaskan dalam ketentuan perundang-undangan, karena pranata gadai dapat digunakan dalam konteks bukan pembiayaan. Dalam hukum pembiayaan, dikenal beberapa alternatif pembiayaan baik bagi dunia usaha (pelaku usaha) maupun individu. Selain perbankan, melalui pemberian kredit atau pembiayaan berbasis Syariah. dikenal pasar modal dan lembaga pembiayaan seperti sewa guna usaha atau leasing, modal ventura, anjak piutang atau factoring, dan pembiayaan konsumen.

Berdasarkan regulasi yang ada, masing- masing lembaga keuangan dan lembaga pembiayaan tersebut memiliki aturan dan otoritas sendiri, serta ciri dan pasar yang berbeda. Zonasi pangsa pasar antara lembaga pembiayaan, perbankan, dan pasar modal harus dijaga konsistensinya agar daya serap dan fasilitas pendanaan berjalan dengan optimal, dan tidak tumpang tindih. Perbankan dan pasar modal memiliki aturan yang sangat ketat dan rigid. Perbankan misalnya, hanya diperuntukkan bagi pelaku usaha yang bankable dan sehat. Aturan di pasar modal mewajibkan bahwa pelaku usaha yang dapat menarik dana masyarakat harus berbentuk PT, dan mampu membuktikan bahwa PT tersebut untung minimal dalam 2 tahun berturut-turut.

4.   Materi Muatan dalam RUU pergadaian

      Mengacu pada rancangan undang-undang yang dibuat oleh BPHN, peneliti mencoba mengusulkan beberapa tanggapan dan pemikiran terkait dengan konsepsi gadai sebagai alternatif pembiayaan yang pro masyarakat dan usaha mikro kecil.

a)      Perluasan objek gadai

      Dalam perkembangan aktivitas ekonomi saat ini, pengertian benda bergerak meliputi baik benda bergerak berwujud dan tidak berwujud. Berkaitan dengan benda bergerak tidak berwujud, surat berharga, khususnya efek yang diperdagangkan di pasar modal menjadi instrumen pasar modal yang bernilai ekonomi. Selama ini, bank ataupun lembaga pembiayaan belum menerima jaminan saham sebagai jaminan utama. Bahkan perbankan mensyaratkan saham sebagai jaminan tambahan dan pemberian kredit tidak melebihi 50% dari harga pasar saham. Oleh karena itu, regulasi gadai yang akan datang tentu perlu memperhatikan perkembangan benda seperti halnya saham tanpa warkat. Berkenaan dengan pengertian barang jaminan yang diusulkan dalam Naskah Akademik adalah setiap “barang bergerak”, peneliti menyarankan perlu dipertimbangkan fleksibilitas dan antisipasi ter- hadap perkembangan objek dengan menambahkan “barang bergerak baik yang berwujud maupun tidak berwujud”.

b)     Kegiatan usaha dan sumber pendanaan

       Kegiatan Usaha Perusahaan Gadai yang memperluas ruang lingkup Gadai dengan menerima jaminan Fidusia. Fidusia menurut peneliti perlu dipertimbangkan kembali dengan memperhatikan dasar pemikiran bahwa Jaminan Fidusia terkait dengan barang modal merupakan objek dari lembaga pembiayaan dan lembaga keuangan lain seperti BPR. Hal ini untuk menjaga konsistensi dan sinergitas antara lembaga-lembaga pembiayaan, dan perbankan.

Di samping itu, perluasan jasa pegadaian yang diperluas meliputi jasa penitipan barang menurut hemat peneliti akan membuat perusahaan jasa pergadaian ini menjadi tidak fokus dan berpotensi bahwa feebased income yang diperoleh dari jasa penitipan akan lebih besar dari fungsi pembiayaan, yang pada gilirannya akan mengurangi fungsi pelayanan publik, khususnya masyarakat menengah bawah. Peluang menyediakan jasa penitipan bagi perusahaan pegadaian secara implisit menunjukan bahwa pangsa pasar dan tujuan perusahaan pegadaian bukan menengah ke bawah atau individu yang memerlukan pendanaan segera, melainkan bagi mereka yang memiliki aset menganggur (idle).

c)      Bentuk badan hukum, kepemilikan, dan perizinan

       RUU Pergadaian yang akan diajukan perlu mempertimbangkan bahwa Pegadaian tidak hanya mempunyai fungsi bisnis, tetapi lebih ditekankan adanya fungsi pembiayaan bagi pelaku usaha dan individu yang tidak memiliki akses pada sumber pembiayaan yang lain. Hal ini berarti perusahaan gadai memerlukan regulasi yang sangat ketat agar tujuan ini tercapai. Perusahaan pegadaian yang berbentuk perseroan terbatas tentu berbeda dengan perusahaan umum, yang mengemban fungsi sosial. Optimalisasi profit oleh perseroan terbatas inheren dengan sifat perseroan terbatas yang semata-mata mencari keuntungan. Mengingat bentuk badan hukum Perum Pegadaian telah berubah status menjadi PT. Persero mendahului terbitnya UU Pergadaian, maka pembebanan kewajiban pelayanan publik bagi PT. Pegadaian Persero menjadi relevan.

       Badan hukum perusahaan pegadaian secara tegas ditujukan bagi badan hukum Indonesia yang sahamnya dimiliki oleh WNI. Sudah saatnya politik hukum Indonesia, khususnya regulasi, bertujuan mendorong peran serta masyarakat dalam menggerakkan perekonomian, terutama pembiayaan bagi masyarakat menengah bawah dan individu dan melakukan zonasi atau pem- batasan wilayah partisipasi modal asing.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Kesimpulan

       Berkenaan dengan gagasan penataan kembali regulasi pergadaian dan permasalahan yang telah dikemukakan, maka berdasarkan kajian yang dilakukan dapat disimpulkan sebagai berikut.

        Regulasi pegadaian yang ada memang tidak mampu lagi mengatasi perkembangan jasa pergadaian yang berkembang dalam praktik, khususnya kemampuan menjamin terciptanya pelayanan masyarakat dan kebutuhan masyarakat akan lembaga pembiayaan yang mudah, murah dan cepat. Praktik pergadaian, khususnya gadai emas syariah yang semula berfungsi sebagai alternatif pembiayaan yang cepat dan murah berbasis kekuatan sendiri bergeser menjadi saran investasi yang spekulatif. Praktik pegadaian, khususnya perbankan belum diregulasi secara baik, sehingga menimbulkan kekhawatiran akan melemahkan fungsi intermediary.

       Konsepsi regulasi pergadaian dimasa datang, semata mata di tujukan untuk menciptakan Lembaga pembiayaan yang mampu menjadi penggerak perekonomian, khususnya bagi pelaku usaha menengah bawah dan individu dengan memperhatikan prinsip cepat, wajar dan efisien. Di samping itu, regulasi pergadaian ditujukan untuk menggerakkan sektor riil, dan menjadi unsur penggerak ekonomi nasional. Dualisme hukum dalam jasa pegadaian, yakni konvensional dan Syariah[34] tetap memperhatikan tujuan terciptanya kesejahteraan dan keadilan sosial, dan menghindari praktik rentenir yang menyengsarakan masyarakat serta penyaluran modal yang tidak tepat pada sasaran.

      Badan usaha milik negara untuk jasa Pergadaian seharusnya diperkokoh dengan pengelolaan secara profesional, agar misi bisnis dan sosial berjalan beriringan. Perubahan dari Perum menjadi PT Persero tetap harus memperhatikan fungsi dan tujuan pegadaian sebagai alternatif pembiayaan dengan kewajiban melayani kepentingan publik.

       Undang-undang pergadaian yang akan dibentuk harus mampu memberikan rambu dan menentukan area agar jasa pegadaian sebagai alternatif pembiayaan tidak bergeser semata mata menjadi alternatif investasi yang spekulatif.

 

Daftar Pustaka

Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, Cet. I, (Jakarta: Yayasan Penyelengara Al-Qur’an, 1983), hlm. 148.

Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Jilid 12, Cet VIII, (Terj. Kamaruddin A. Marzuki dkk.), (Bandung: Al-Ma’arif, 1987), hlm. 139.

Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cet. I, 2002), hlm. 105.

T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Muamalah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hlm. 86-87.

Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, hlm. 188.

Masyfuk Zuhdi, Masail Fiqhhiyah, (Jakarta: Haji Masagung, 1998), hlm. 153.

Jamaluddin Muhammad Ibnu Mandhur, Lisan al-Araby, jilid XIII, (Beirut: Dar al=Shadri, t.t.), hlm. 188.

Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, hlm. 106.

Ahmad Azhar Basyir, Riba Utang Piutang dan Gadai, (Bandung: Al-Ma’arif, 1983), hlm. 50.

Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, hlm 139.

Ahmad Mustafa al-Mraghi, Tafsir al-Maraghi, Jilid III, (Terj. Bahrun Abu Bakar dan Hoer Aly), (Semarang: Toha Putra, 1993), hlm. 98-99.

Imam Bukhori, Shahih Bukhori, (Beirut: Dar al-Sha’bi, t.t.), hlm. 132.

M. Sholekul Hadi, Pegadaian Syariah, Cet. I, (Jakarta:Selemba Diniyah, 2003), hlm. 52

Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), hlm. 254.

M. Sholekul Hadi, Pegadaian Syariah, hlm 53.

Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, hlm. 254-255.

Muslim Ibrahim Abdurrauf, Nadhariyah al-‘Iqalah fi al-Fiqh al-Mukarran, (Mesir: Jamia’ah al-Azhar, 1983), hlm. 328-329.

Ahmad Azhar Basyir, Riba Utang Piutang dan Gadai, hlm. 53.

Ghufron A. Mas’adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 178.

Wahbah az-Zuhaily, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Jilid V, (Beirut: Dar al-Fikr, 1984), hlm. 182, 221-222.

Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, hlm. 55.

Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Jilid III, (Semarang: Asy-Syifa, 1996), hlm. 272.

Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, hlm. 257.

Imam Bukhari, Shahih Bukhori, Juz II, hlm. 78.

Khalil Umam, Agama Menjawab tentang Berbagai Masalah Abad Modern, (Surabaya: Ampel Suci, 1994), hlm. 19.

Sebagai bagian dari 3 pilar ekonomi Islam selain Aqidah dan Akhlaq. Lihat: Mehmet Asutay, 2009, An Introduction to Islamic Moral Economy, Durham University, Durham.



[1] Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, Cet. I, (Jakarta: Yayasan Penyelengara Al-Qur’an, 1983), hlm. 148.

[2] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Jilid 12, Cet VIII, (Terj. Kamaruddin A. Marzuki dkk.), (Bandung: Al-Ma’arif, 1987), hlm. 139.

[3] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cet. I, 2002), hlm. 105.

[4] T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Muamalah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hlm. 86-87.

[5] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, hlm. 188.

[6] Masyfuk Zuhdi, Masail Fiqhhiyah, (Jakarta: Haji Masagung, 1998), hlm. 153.

[7] Jamaluddin Muhammad Ibnu Mandhur, Lisan al-Araby, jilid XIII, (Beirut: Dar al=Shadri, t.t.), hlm. 188.

[8] Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, hlm. 106.

[9] Ahmad Azhar Basyir, Riba Utang Piutang dan Gadai, (Bandung: Al-Ma’arif, 1983), hlm. 50.

[10] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, hlm 139.

[11] Ahmad Mustafa al-Mraghi, Tafsir al-Maraghi, Jilid III, (Terj. Bahrun Abu Bakar dan Hoer Aly), (Semarang: Toha Putra, 1993), hlm. 98-99.

[12] Imam Bukhori, Shahih Bukhori, (Beirut: Dar al-Sha’bi, t.t.), hlm. 132.

[13] M. Sholekul Hadi, Pegadaian Syariah, Cet. I, (Jakarta:Selemba Diniyah, 2003), hlm. 52

[14] Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), hlm. 254.

[15] M. Sholekul Hadi, Pegadaian Syariah, hlm 53.

[16] Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, hlm. 254-255.

[17] Muslim Ibrahim Abdurrauf, Nadhariyah al-‘Iqalah fi al-Fiqh al-Mukarran, (Mesir: Jamia’ah al-Azhar, 1983), hlm. 328-329.

[18] Ahmad Azhar Basyir, Riba Utang Piutang dan Gadai, hlm. 53.

[19] Ghufron A. Mas’adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 178.

[20] Wahbah az-Zuhaily, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Jilid V, (Beirut: Dar al-Fikr, 1984), hlm. 182, 221-222.

[21] Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, hlm. 55.

[22] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Jilid III, (Semarang: Asy-Syifa, 1996), hlm. 272.

[23] Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, hlm. 257.

[24] Imam Bukhari, Shahih Bukhori, Juz II, hlm. 78.

[25] Khalil Umam, Agama Menjawab tentang Berbagai Masalah Abad Modern, (Surabaya: Ampel Suci, 1994), hlm. 19.

[26] Imam Bukhori, Shahih Bukhori, (Beirut: Dar al-Sha’bi, t.t.), hlm. 132.

[27] Lihat penjelasan dan pasal 8 undang-undang nomor 10 tahun 1998 tentang perubahan atas undang-undang nomor 7 tahun 1992 tentang perbankan

[28] Gadai konvensional atau produk KCA (Kredit Cepat Aman) berbasis sistem gadai dengan objek jaminan perhiasan emas dan barang ber- harga lainnya, dengan pinjaman mulai dari Rp20.000 hingga Rp200.000.000 atau lebih dengan jangka waktu pinjaman maksimum 4 bulan atau 120 hari

[29] Kreasi (Kredit Angsuran Sistem Fidusia): pinjaman angsuran bulanan yang diberikan kepada UMKM untuk pengembangan usaha dengan system Fidusia dengan objek kendaraan bermotor, sedangkan Krasida adalah kredit (pinjaman) angsuran bulanan yang diberikan kepada UMKM untuk pengembangan usaha dengan gadai, sedangkan Krista adalah kredit yang diberikan kepada wanita wirausaha yang ter- gabung dalam kelompok untuk pengembangan usaha dengan system tanggung renteng

[30] Kresna adalah kredit (pinjaman) angsuran bulanan yang diperuntukkan bagi karyawan Pegadaian yang telah memiliki penghasilan tetap dengan menyerahkan SK Pengangkatan dan SK pangkat (jabatan)

[31] Cepat: prosedur administrasi yang sederhana tanpa melupakan prinsip kehati-hatian; wajar: penilaian oleh professional dengan semangat membantu tanpa meniadakan profit; efisien: berdaya guna bagi masyarakat, terlepas dari kesulitan secara ekonomi.

[32] Lihat bank Indonesia, 2006, Kamus Istilah Keuangan dan Perbankan Syariah, Direktorat Perbankan Syariah, Jakarta, hlm. 62.

[33] Gadai sebagai hak kebendaan memiliki sifat absolut (mutlak), memiliki droit de suite dan droit de preference.

[34] Sebagai bagian dari 3 pilar ekonomi Islam selain Aqidah dan Akhlaq. Lihat: Mehmet Asutay, 2009, An Introduction to Islamic Moral Economy, Durham University, Durham.

MAKALAH HADIST TENTANG HIJAB

  A.   Latar Belakang Telah disepakati oleh seluruh umat Islam bahwa al-Qur’an menjadi pedoman hidup baik tentang syariah maupun dalam keh...