MAKALH IHTIJAB
A. Latar Belakang
Telah disepakati oleh seluruh umat
Islam bahwa al-Qur’an menjadi pedoman hidup baik tentang syariah maupun dalam
kehidupan sehari-harinya. Selain al-Qur’an, Sunnah Rasulullah juga diyakini
sebagai sumber kedua setelahnya. Al-Qur’an yang sebagian ayatnya bersifat
universal membutuhkan penjelasan yang hanya bisa dilakukan oleh Rasulullah
sebagai penerima wahyu dari Allah SWT.
Sunnah sendiri meiliki manfaat yang besar terhadap al-Qur’an adakalanya ia sebagai sebagai bayan tasyri’, tafsir, takhshish dan lain sebgainya. Maka kandungan Sunnah sama halnya dengan al-Qur’an yang berisikan seluruh ajaran agama dan kehidupan. Ada sebuah hadis yang berisikan tentang perintah Rasulullah terhadap istrinya agar ia berhijab disaat ada Ibnu Ummi Maktum padahal ia adalah seorang yang buta. Namun masalah yang muncul adalah di hadis yang lain disebutkan bahwa Rasulullah bahkan menyuruh Fatimah untuk beriddah bersamanya. Maka dari itu muncullah pertanyaan apakah yang dimaksud dengan kedua hadis ini? Apakah bertentangan atau di dalamnya ternyata ada hukum takhsis. Oleh karenannya penulis membahas masalah tersebut.
B. Hadis Tentang Hijab
1.
Hadis
tentang hijab
قَالُوا: رُوِّيتُمْ
أَنَّ ابْنَ أُمِّ مَكْتُومٍ، اسْتَأْذَنَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعِنْدَهُ امْرَأَتَانِ مِنْ أَزْوَاجِهِ، فَأَمَرَهُمَا
بِالِاحْتِجَابِ، فَقَالَتَا:
"يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ أَعْمَى"،
فَقَالَ:
"أَفَعَمْيَاوَانِ أَنْتُمَا ". وَالنَّاسُ
مُجْمِعُونَ عَلَى
أَنَّهُ لَا يَحْرُمُ عَلَى النِّسَاءِ أَنْ يَنْظُرْنَ إِلَى الرِّجَالِ إِذَا
اسْتَتَرْنَ، وَقَدْ كُنَّ يَخْرُجْنَ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى الْمَسْجِدِ، وَيُصَلِّينَ مَعَ الرِّجَالِ.[1]
Diriwayatkan
bahwasanya Ibnu Ummi Maktum meminta izin kepada Rsulullah SAW sedangkan
didekatnya ada kedua istrinya, kemudian Rasulullah menyuruh keduanya untuk
berhijab, kedua berkata ya Rasulullah bukankan dia buta?, lalu Rasul menjawab
“apakah kalian berdua buta?”.
Perempuan
tidak diharamkan melihat kaum laki-laki jika mereka menggunakan satir (penghalang/
penutup), sedangkan kaum perempuan juga pergi ke masjid untuk melaksanakan
salat berjamaah bersama kaum laki-laki.
2.
Takhrij
al-h}adith
Pencarian
yang dilakukan penulis dalam kitab al-Mu‘jam al-Mufahras li Alfaz} al-H}adith
al-Nabawi karya A. J Wensink dengan menggunakan kata ‘ama, ditemukan
riwayat yang menggunakan lafazh afa‘amyawani ini ditemukan dalam tiga
tempat. Tepatnya ditemukan dalam riwayat Abu Daud bab libas 34, al-Tirmidhi
baba dab 29 dan Ahmad juz 6 nomer 2960.[2]
Jalal al-Din al-Suyut}i dalam kitab Jami‘ al-Ah}adith, penulis menemukan
kesamaan yakni dengan pencarian menggunakan kata tersebut ditemukan dalam tiga
riwayat seperti yang sudah dijelaskan di atas.[3]
Ketiga riwayat tersebut akan dicantumkan di bawah ini:
a.
Riwayat Abu Daud[4]
4112 - حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْعَلَاءِ،
حَدَّثَنَا ابْنُ الْمُبَارَكِ، عَنْ يُونُسَ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، قَالَ:
حَدَّثَنِي
نَبْهَانُ، مَوْلَى أُمِّ سَلَمَةَ، عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ، قَالَتْ:
كُنْتُ
عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعِنْدَهُ مَيْمُونَةُ،
فَأَقْبَلَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ وَذَلِكَ بَعْدَ أَنْ أُمِرْنَا بِالْحِجَابِ،
فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
«احْتَجِبَا
مِنْهُ» ، فَقُلْنَا:
يَا
رَسُولَ اللَّهِ، أَلَيْسَ أَعْمَى لَا يُبْصِرُنَا، وَلَا يَعْرِفُنَا؟ فَقَالَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
«أَفَعَمْيَاوَانِ
أَنْتُمَا [ص:64]، أَلَسْتُمَا تُبْصِرَانِهِ»
،
قَالَ أَبُو دَاوُدَ: «هَذَا لِأَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَاصَّةً، أَلَا تَرَى إِلَى اعْتِدَادِ فَاطِمَةَ
بِنْتِ قَيْسٍ عِنْدَ ابْنِ أُمِّ مَكْتُومٍ»
،
قَدْ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِفَاطِمَةَ بِنْتِ قَيْسٍ:
«اعْتَدِّي
عِنْدَ ابْنِ أُمِّ مَكْتُومٍ، فَإِنَّهُ رَجُلٌ أَعْمَى تَضَعِينَ ثِيَابَكِ
عِنْدَهُ»
b.
Riwayat
al-Tirmidhi[5]
2778 - حَدَّثَنَا سُوَيْدٌ قَالَ:
حَدَّثَنَا
عَبْدُ اللَّهِ قَالَ: أَخْبَرَنَا يُونُسُ بْنُ يَزِيدَ،
عَنْ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ نَبْهَانَ، مَوْلَى أُمِّ سَلَمَةَ، أَنَّهُ حَدَّثَهُ
أَنَّ أُمَّ سَلَمَةَ، حَدَّثَتْهُ أَنَّهَا كَانَتْ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَيْمُونَةَ قَالَتْ:
فَبَيْنَا
نَحْنُ عِنْدَهُ أَقْبَلَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ فَدَخَلَ عَلَيْهِ وَذَلِكَ
بَعْدَ مَا أُمِرْنَا بِالحِجَابِ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «احْتَجِبَا مِنْهُ»
،
فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلَيْسَ هُوَ
أَعْمَى لَا يُبْصِرُنَا وَلَا يَعْرِفُنَا؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَفَعَمْيَاوَانِ أَنْتُمَا
أَلَسْتُمَا تُبْصِرَانِهِ» :
«هَذَا
حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ»
c.
Riwayat Imam Ah}mad ibn H}anbalAh}mad[6]
26537 - حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ،
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ الْمُبَارَكِ، عَنْ يُونُسَ بْنِ يَزِيدٍ، عَنِ
الزُّهْرِيِّ، أَنَّ نَبْهَانَ، حَدَّثَهُ أَنَّ أُمَّ سَلَمَةَ حَدَّثَتْهُ
قَالَتْ: كُنْتُ عِنْدَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَيْمُونَةُ، فَأَقْبَلَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ حَتَّى
دَخَلَ عَلَيْهِ، وَذَلِكَ بَعْدَ أَنْ أَمَرَنَا بِالْحِجَابِ، فَقَالَ رَسُولُ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
" احْتَجِبَا
مِنْهُ " فَقُلْنَا:
يَا
رَسُولَ اللهِ، أَلَيْسَ أَعْمَى، لَا يُبْصِرُنَا وَلَا يَعْرِفُنَا؟ قَالَ:
" أَفَعَمْيَاوَانِ
أَنْتُمَا، أَلَسْتُمَا (1)
تُبْصِرَانِهِ؟
" (2)
3.
Skema
sanad
|
Ummu
Salamah |
|
|
Nabhan |
|
|
Ibn
Shihab al-Zuhri |
|
|
Yunus
ibn Yazid |
|
|
‘Abd
Allah ibn al-Mubarak |
|
‘Abd
al-Rah}man ibn Mahdi |
Suwaid |
Muh}ammad
ibn al-‘Ala’ |
Ah}mad
ibn H}anbal |
Al-Tirmidhi |
Abu
Daud |
Tabel
di atas adalah susunan skema sanad dari ketiga riwayat yakni Abu Daud,
al-Tirmidhi dan Ahmad. Ketiga riwayat ini memiliki mata rantai rawi yang sama
dari rawi pertama sampai kelima. Baru kemudian di tingkat keenamlah terjadi
perbedaan rawi dan bisa dlihat di tabel. Oleh karenanya, penulis akan melakukan
penelitian terkait sifat adil dan tingkat hafalannya pada delapan rawi
tersebut. Sebagai berikut:
a.
Ummu Salamah[7]
Ia bernama lengkap Hindun binti
H}udhaifah ibn al-Mughirah w. 63
Lebih dikenal dengan Ummu Salamah, ia
seorang Umm al-Mu’minin, zauj al-Nabi.
b.
Nabhan[8]
Ia adalah budak Ummu Salamah
Al-Dhahabi : thiqah
Ibnu H}ajar al-‘Asqalani : maqbul
c.
Ibn Shihab
al-Zuhri
Muh}ammad ibn Muslim al-Zuhri m. 52 dan
w. 124 H[9]
Abu H}atim al-Razi : faqih
d.
Yunus ibn Yazid
w. 159 H[10]
Abu Zur‘ah al-Razi : la ba’sa bih
e.
‘Abd Allah ibn
al-Mubarak m. 118 w. 181 H[11]
Abu H}atim al-Razi : thiqah imam
f.
Suwaid ibn
Nas}r ibn Suwaid m. 149 w. 240 H[12]
Ibnu H}ajar al-‘Asqalani : thiqah
g.
‘Abd al-Rah}man
ibn Mahdi m. 135 w. 198 H[13]
Abu H}atim al-Razi : thiqah imam
h.
Muh}ammad ibn
al-‘Ala’ m. 161 w. 248 H[14]
Abu H}atim al-Razi : s}aduq
4.
Hijab
a.
Pengertian hijab
Hijab menurut bahasa adalah satr (penutup/
sekat pembatas).
Artinya sesuatu bisa dikatakan tertutup pandangannya jika sesuatu itu berada
dibalik sesuatu yang lain.[15]
jika demikian maka diantara
dua orang tersebut tidak dapat melihat antara satu sama lain. Menurut Shahab,
hijab adalah pemisah pergaulan anatra laki-laki dan perempuan.[16] Begitu pula dalam KBBI (Kamus
Besar Bahasa Indonesia) dikatakan bahwa hijab adalah tertutup
(penutup); tirai; kain selubung; cadar.[17]
Menurut Syuqqah, makna hijab secara istilah jika dipahami
dari ayat al-Qur’an maka ia adalah sesuatu yang menghalangi antara dua sisi,
sehingga salah satu dari keduanya tidak dapat melihat. Oleh karenanya, yang
dimaksud dengan hijab tidak mungkin berbentuk pakaian yang biasa digunakan kaum
hawa meskipun sudah menutupi seluruh tubuhnya. Karena yang demikian itu masih
bisa melihat sekelilingnya.[18] Makna hijab yang demikian lebih mengena daripada
dimaknai hanya sekedar pakain yang menutup seluruh tubuh.
Definisi
hijab yang dikemukakan oleh al-Ghaffar sesuai dengan apa yang tertulis dalam
kamus. Ia menambahi bahwa hijab tidak disyaratkan harus seperti ‘aba’ah (yang
terbuat dari kain wol) yang berlaku di Irak.[19]
Jika hijab dimaknai demikian maka berimplikasi pada penerapan hijab yakni hijab
lebih
dari
sekedar penghalang antara dua sisi. Maksudnya adalah hijab merupakan penghalang
yang bisa menghalangi penglihatan kaum laki-laki terhadap perempuan atau
sebaliknya. Karena tanpa adanya hijab maka sukar untuk mengendalikan luapan
nafsu syahwat yang merupakan naluri yang sangat kuat dan dominan. Sedangkan manusia terkadang
akan goyah dan berubah.[20]
Ada istilah lain yang sering
disamakan dengan hijab yakni jilbab. Al-Qur’an juga pernah menyebut kata jilbab
ini namun dalam bentuk jamaknya.[21] Kata jilbab diambil
dari jalaba yang artinya menutup sesuatu dengan sesuatu yang lain agar
tidak terlihat. Kata jilbab juga ada yang mengatakan
bahwa ia berasal dari kata jalbu yang artinya menarik atau menghimpun.[22]
Adapula yang mengartikan jilbab sebagai gaun longgar yang menutupi sekujur
tubuh perempuan.[23]
Menurut
Ahmad Suhendra dalam jurnalnya diantara kedua istilah yang tepat untuk
mempresentasikan pakaian yang digunakan kaum hawa baik menutupi sebagian kepala
sampai seluruh badannya atau hanya sebagian adalah jilbab. Istilah jilbab
menurut bahasa menjadi kurang tepat jika dikaitkan dengan pakaian yang
digunakan perempuan untuk menutupi kepalanya. Menurutnya, istilah yang lebih
tepat untuk pakaian perempuan yang digunakan untuk menutupi kepala adalah
khimar.[24]
Ada pendapat yang mengatakan
bahwa jilbab mirip dengan rida’ (sorban). Menurut istilah, jilbab
adalah pakaian dalam (gamis) atau pakaian yang melapisi pakaian perempuan
bagian luar sehingga bisa menutupi semua tubuhnya seperti mantel. Paling tidak,
pakaian tersebut bisa menutupi bagian kepala, dada dan bagian belakang tubuh
perempuan.[25]
Li Partic dalam bukunya
mengatakan bahwa jilbab dan kerudung sebenarnya berbeda. Jilbab adalah kain
yang menutupi seluruh tubuh dari kepala hingga ujung kaki. Adapun kerudung
adalah penutup kepala, leher dan dada.[26] Kerudung dalam KBBI
dijelaskan bahwa ia adalah kain penutup kepala (muka), cadar.[27]
Ada lagi
yang menggunakan kata khimar (kerudung, istilah orang Indoensia).
Istilah khimar ini
lebih pas jika dimaknai dengan penutup kepala. Khimar merupakan istilah umum untuk pakaian
penutup kepala dan leher. Adapula yang memaknai dengan qina’ yakni penutup
muka atau kerudung lebar.[28]
b.
Sejarah hijab
Peradaban Yunani
dan Romawi telah menunjukkan bahwa perempuan pada awalnya menggunakan tudung
atau jilbab. Perempuan pada masa itu, perempuan telah memperhatikannya dengan
ketat sampai mereka menutupi seluruh tubuhnya bahkan, mereka hanya akan keluar
rumah dengan menggunakan jilbab. Selain itu, ia menggunakan selendang panjang
yang menjulur hingga menutupi tubuhnya dari kepala hingga ujung kaki dan mereka
juga memakai ‘aba’ah (yang terbuat dari wol) sehingga tidak
memudahkan orang lain untuk melihat lekak tubuhnya.
Tradisi menggunakan
jilbab yang terjadi pada masa Yunani dan Romawi telah berlangsung lama sebelum
Islam datang. Jilbab banyak ditemukan pada bangsa kuno yang lebih melekat pada
orang Persia. Jadi sebelum Islam datang ke tanah Arab, jilbab sudah digunakan
oleh bangsa kuno.
Telah terjadi di beberapa daerah bahwa perempuan di tempat tersebut menggunakan
jilbab secara ketat sampai menutup wajah mereka.
Murthada Muthahari menjelaskan bahwa jilbab
merupakan tradisi orang Yunani dan Romawi beratus-ratus tahun sebelum datangnya
Islam. Jilbab juga telah ada di kalangan banyak bangsa kuno sebelum Islam
datang, dan lebih melekat pada orang-orang Persia (Sassan Iran) dibandingkan di
tempat lain. Dengan demikian, budaya berpakaian dengan jilbab sudah ada jauh
sebelum Islam datang ke tanah Arab. Bahkan, di beberapa tempat perempuan
setempat menggunakan Jilbab secara ketat sampai dengan menutup muka mereka. Menurut
Murtadha Muthahhari, selama zaman Jahiliyyah, di kalangan orang-orang Arab
Badui tidak ada jilbab karena pada saat itu keadaan aman. Pada saat yang sama
keadaan tak aman dan penyerangan terhadap para perempuan besar di Iran,
sehingga para perempuan menutup diri mereka. Adapun penyerangan seperti ini
tidak ada pada suku-suku di Negeri Arab. Karakter kesukuan sangat melindungi perempuan.
5.
Sharh}
Ibnu Qutaibah dalam kitabnya mengomentari
hadis di atas dengan salah satu firman Allah SWT surat an-Nur ayat 31:
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ
يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ
إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلَا
يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ
بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ
إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ
نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي
الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى
عَوْرَاتِ النِّسَاءِ وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ
مِنْ زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُونَ
لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (31)
Katakanlah kepada wanita yang beriman:
"Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah
mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan
hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan
perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami
mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau
saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka,
atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau
budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak
mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti
tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui
perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah,
hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.
Menurutnya,
yang dimaksud dengan kata “janganlah menampakkan perhiasan” adalah celak dan
cincin. Sedangkan Abu Muh}ammad mengomentari bahwa Allah SWT telah
memerintahkan kepada istri-istri Rasulullah untuk berhijab seperti yang tertera
dalam surat al-Ahzab ayat 53:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا
تَدْخُلُوا بُيُوتَ النَّبِيِّ إِلَّا أَنْ يُؤْذَنَ لَكُمْ إِلَى طَعَامٍ غَيْرَ
نَاظِرِينَ إِنَاهُ وَلَكِنْ إِذَا دُعِيتُمْ فَادْخُلُوا فَإِذَا طَعِمْتُمْ
فَانْتَشِرُوا وَلَا مُسْتَأْنِسِينَ لِحَدِيثٍ إِنَّ ذَلِكُمْ كَانَ يُؤْذِي
النَّبِيَّ فَيَسْتَحْيِي مِنْكُمْ وَاللَّهُ لَا يَسْتَحْيِي مِنَ الْحَقِّ
وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ ذَلِكُمْ
أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ وَمَا كَانَ لَكُمْ أَنْ تُؤْذُوا رَسُولَ
اللَّهِ وَلَا أَنْ تَنْكِحُوا أَزْوَاجَهُ مِنْ بَعْدِهِ أَبَدًا إِنَّ ذَلِكُمْ
كَانَ عِنْدَ اللَّهِ عَظِيمًا (53)
Keharusan menggunakan hijab ini berlaku baik yang masuk
adalah laki-laki yang buta maupun tidak maka istri Rasulullah tetap harus
dihalangi dengan hijab karena mereka ma‘s}um. Hal ini khusus bagi istri
Nabi seperti halnya diharamkan menikah dengan seluruh muslim. Jika mereka para
istri Nabi ingin melaksanakan hajat maka tidak diwajibkan menggunakan hijab.[29]
Muh}ammad Ashraf ibn Amir dalam kitabnya ‘Aun al-Ma‘bud
ketika men-sharah} hadis di atas berpendapat bahwa hadis ini
menunjukkan bahwa perempuan haram melihat laki-laki seperti halnya laki-laki
diharamkan melihat perempuan. Menurutnya keharamannya ini karena khawatir
timbulnya fitnah karena perempuan lebih cepat mengundang syahwat daripada kaum
laki-laki.
Ada hadis dari Aisyah yang bisa dijadikan hujjah bahwa
perempuan boleh melihat laki-laki selain sesuatu yang ada diantara pusar dan
lutut yaitu, hadis dibawah ini:
5236
- حَدَّثَنَا
إِسْحَاقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ الحَنْظَلِيُّ، عَنْ عِيسَى، عَنِ الأَوْزَاعِيِّ،
عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ عُرْوَةَ، عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا،
قَالَتْ: «رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتُرُنِي بِرِدَائِهِ، وَأَنَا أَنْظُرُ إِلَى الحَبَشَةِ
يَلْعَبُونَ فِي المَسْجِدِ، حَتَّى أَكُونَ أَنَا الَّتِي أَسْأَمُ»
،
فَاقْدُرُوا قَدْرَ الجَارِيَةِ الحَدِيثَةِ السِّنِّ، الحَرِيصَةِ عَلَى
اللَّهْوِ. متفق عليه
Hadis
ini menunjukkan bahwa perempuan diperbolehkan melihat laki-laki dengan syarat
adanya penghalang (satir). Selain hadis Aisyah, adapula hadis riwayat Fat}imah
binti Qais yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim bahwa ia diperbolehkan
tinggal bersama Ibnu Ummi Maktum ketika masa iddah.[30]
Al-Mubarakfuri berkomentar tentang hadis ini bahwa ada
yang berpendapat haram mutlak. Sebagian yang lain mengharamkan pada saat-saat
tertentu untuk menghindar dari fitnah. Pendapat kedua ini berdasarkan hadis
riwayat Aisyah saat melihat al-Habasyah sedang bermain di masjid. Menurut qaul
yang as}ah}h} perempuan diperbolehkan memandang laki-laki sebatas apa
yang di atas pusar dan dibawah lutut dengan tanpa syahwat. Lagi pula para istri
Rasul juga melakukan salat berjamaah ke masjid. Hal ini pasti mereka bisa
melihat kaum pria. Seandainya tidak boleh melihatnya, maka pasti mereka tidak
diperintahkan untuk ikut salat di masjid.[31]
Penjelasan di atas ini sama dengan pendapat Ibnu Qudamah
bahwa hadis tersebut menunjukkan bahwa perempuan haram memandang kaum laki-laki
yakni harus dengan adanya hijab.[32]
Hadis yang diriwayatkan Qutaibah dianggap berlawanan
dengan hadis riwayat berikut:
2284 - حَدَّثَنَا الْقَعْنَبِيُّ، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ
عَبْدِ اللَّهِ بْنِ يَزِيدَ مَوْلَى الْأَسْوَدِ بْنِ سُفْيَانَ، عَنْ أَبِي
سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ فَاطِمَةَ بِنْتِ قَيْسٍ، أَنَّ أَبَا
عَمْرِو بْنَ حَفْصٍ طَلَّقَهَا الْبَتَّةَ وَهُوَ غَائِبٌ، فَأَرْسَلَ إِلَيْهَا
وَكِيلَهُ بِشَعِيرٍ فَتَسَخَّطَتْهُ [ص:286]، فَقَالَ:
وَاللَّهِ
مَا لَكِ عَلَيْنَا مِنْ شَيْءٍ، فَجَاءَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَذَكَرَتْ ذَلِكَ لَهُ، فَقَالَ:
«لَهَا
لَيْسَ لَكِ عَلَيْهِ نَفَقَةٌ» ، وَأَمَرَهَا أَنْ تَعْتَدَّ فِي
بَيْتِ أُمِّ شَرِيكٍ، ثُمَّ قَالَ: «إِنَّ تِلْكَ امْرَأَةٌ يَغْشَاهَا
أَصْحَابِي، اعْتَدِّي فِي بَيْتِ ابْنِ أُمِّ مَكْتُومٍ، فَإِنَّهُ رَجُلٌ
أَعْمَى، تَضَعِينَ ثِيَابَكِ، وَإِذَا حَلَلْتِ فَآذِنِينِي»
،
قَالَتْ: فَلَمَّا حَلَلْتُ ذَكَرْتُ لَهُ أَنَّ
مُعَاوِيَةَ بْنَ أَبِي سُفْيَانَ، وَأَبَا جَهْمٍ خَطَبَانِي، فَقَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
«أَمَّا
أَبُو جَهْمٍ فَلَا يَضَعُ عَصَاهُ عَنْ عَاتِقِهِ، وَأَمَّا مُعَاوِيَةُ
فَصُعْلُوكٌ لَا مَالَ لَهُ، انْكِحِي أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ»
،
قَالَتْ: فَكَرِهْتُهُ، ثُمَّ قَالَ:
«انْكِحِي
أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ» ، فَنَكَحْتُهُ، فَجَعَلَ اللَّهُ
تَعَالَى فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا، وَاغْتَبَطْتُ بِهِ،[33]
Oleh karenanya, imam Abu Daud maupun penjelasan yang ada
dalam syarah yang telah penulis sebutkan di atas mentakhsis hadis ini. Jadi
hadis pertama yang diriwayatkan dari Nubhan dari Ummi Salamah merupakan hukum
yang khusus bagi istri Nabi. Sedangkan hadis yang diriwayatkan oleh Fat}imah
binti Qais berlaku untuk seluruh muslimat selain istri Rasul.[34]
Hadis yang pertama merupakan hadis mufrad karena Nubhan
hanya meriwayatkan hadis dari Ummu Salamah dan dia hanya meriwayatkan dua hadis
yakni hadis yang pertama dan hadis di bawah ini:
3928
- حَدَّثَنَا
مُسَدَّدُ بْنُ مُسَرْهَدٍ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ
نَبْهَانَ، مُكَاتَبِ أُمِّ سَلَمَةَ قَالَ:
سَمِعْتُ
أُمَّ سَلَمَةَ، تَقُولُ: قَالَ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِنْ كَانَ لِإِحْدَاكُنَّ مُكَاتَبٌ،
فَكَانَ عِنْدَهُ مَا يُؤَدِّي فَلْتَحْتَجِبْ مِنْهُ»
Kendati
demikian, riwayat budak dari Ummu Salamah ini masih bisa diterima karena ia
tidak memiliki cacat yang jelek yang bisa merusak periwayatan. Selain itu,
salahsatu dari perawi hadis mufrad ini ada yang bernama Yunus ibn Yazid yang
oleh sebagian ulama kritikus dianggap s}aduq. Oleh Ahmad ibn Hanbal dia
dikomentari kathir al-khat}a’ kadang-kadang ia thiqah. Sedangkan Ibnu
Hajar al-‘Asqalani mengomentarinya dengan thiqah jika ia meriwatkannya dari
Ibnu Shihab al-Zuhri dan itu sangat sedikit sekali. Secara garis besar,
walaupun sendiri dalam sanad, hadis ini masih bisa diterima. Hanya saja, hadis
ini tidak sejalan dengan hadis riwayat Fatimah yang diriwayatkan oleh rawi yang
bersifat thiqah semua. Maka lebih mengutamakan hadis Fatimah daripada hadis
Ummu Salamah.
Walau demikian menurut hemat penulis, kedua hadis ini
memiki kualitas sahih tetapi ada yang lebih unggul dalam segi sanad. Konteksnya
sama-sama berbicara tentang Ibnu Ummi Maktum hanya saja objeknya berbeda. Yang
pertama berbicara tentang istri Rasul yang memiliki keistimewaan tersendiri
yang kedua adalah sahabat Fatimah. Jadi penulis lebih sepakat jika kedua hadis
ini ditakhsis.
C. Kesimpulan
1.
Hadis di atas
sebenarnya tidaklah bertentangan dengan hadis yang lain yakni hadis dari
Fatimah bint Qais karena diantara keduanya terdapat kekhususan tersediri. Jadi
hadis yang pertama ini dikhususkan kepada istri Rasul saja. Mengingat mereka
Ummul Mukminin sangatlah istimewa maka perlakuan tersebut salahsatu dari bentuk
penghormatan baginya.
2.
Terkait kualtas
hadis, hadis yang pertama meskipun bisa dikatakan sahih hanya saja Nubhan
adalah operawi yang hanya meriwayatkan dua hadis saja namun hadisnya masih bisa
doterima.
DAFTAR
PUSTAKA
Abadi, Muh}ammad ibn Ashraf ibn Amir. ‘Aun al-Ma‘bud. juz. 11. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1415 H.
Ghaffar (al), A. A H. Wanita Islam & Gaya Hidup Modern, terj. Bahrudin Fanani, Bandung: Pustaka Hidayah, 1995.
Ibrahim, F. L. Perempuan dan Jilbab. T.t: PT Mapan, 2009
Mizi (al), Yusuf ibn ‘Abd al-Rah}man. Tahdhib al-Kamal fi Asma’ al-Rijal. juz. 35. Beirut: Mu’assasah al-Risalah, 1980.
Mubarakfuri (al), Abu al-‘Ala’ Muh}ammad ‘Abd al-Rah}man ibn ‘Abd al-Rah}im. Tuh}fat al-Ah}wadhi. juz. 8. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.th.
Naisaburi (al), Muslim ibn al-H}ajjaj. S}ah}ih} Muslim. juz. 2.
Beirut: Dat Ih}ya’ al-Turath al-‘Arabi, t.th.
Partic, Li. Jilbab Bukan Jilboob. Jakarta: Kalil, 2014.
Qutaibah, Abu Muh}ammad ‘Abd Allah ibn Muslim ibn. Ta’wil Mukhtalif al-H}adith. t.t: al-Maktabah al-Islami, 1999.
Qudamah, Abu Muh}ammad Muqif al-Din Ibn. al-Mughni li ibn Qudamah. juz. 7. Kairo: Maktabah al-Qahirah, 1968.
Sijistani (al), Abu Daud Aulaiman ibn al-Ash‘ath. Sunan Abi Daud. juz. 4. Beirut: al-Maktabah al-‘As}riyah, t.th.
Suhendra, Ahmad. Kontestasi Identitas Melalui Pergeseran Interpretasi Hijab dalam Al Qur’an, Palastren, vol. 6, No. 1, Juni 2013.
Shahab, H., Jilbab Menurut al-Qur’an dan as-Sunnah. Bandung: Mizan, 2004.
Shaibani (al), Abu ‘Abd Allah Ah}mad ibn Muh}ammad ibn H}anbal. Musnad al-Imam Ah}mad ibn H}anbal. juz. 44. Beirut: mu’assasah al-Risalah, 2001.
Suyut}i (al), Jalal al-Din. Jami‘ al-Ah}adith. juz. 5. tt: t.p, t.th.
Syuqqah, A. H. M. A., Busana dan Perhiasan Wanita menurut al-Qur’an dan Hadis, terj. Mudzakir Abdussalam. Bandung: Mizan, 1998.
Tirmidhi (al), Muh}ammad ibn ‘Isa ibn Saurah ibn al-D}ah}h}ak. Sunan al-Tirmidhi. Juz. 5. Mesir: Shirkah Maktabah wa Mat}ba‘ah Mus}t}fa al-Babi al-H}albi, 1975.
Wensink, A. J. al-Mu‘jam al-Mufahras li Alfaz} al-H}adith al-Nabawi. juz. 4. Leiden: Maktabah Bribl, 1936.
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa, 2008.
[1] Abu Muhammad ‘Abd Allah ibn Muslim ibn Qutaibah, Ta’wil Mukhtalif al-Hadith (t.t: al-Maktabah al-Islami, 1999), 328.
[2] A. J Wensink, al-Mu‘jam al-Mufahras li Alfaz al-Hadith al-Nabawi, juz. 4 (Leiden: Maktabah Bribl, 1936), 389.
[3] Jalal al-Din al-Suyuti, Jami‘ al-Ahadith, juz. 5 (tt: t.p, t.th), 267.
[4] Abu Daud Aulaiman ibn al-Ash‘ath al-Sijistani, Sunan Abi Daud, juz. 4 (Beirut: al-Maktabah al-‘Asriyah, t.th), 63.
[5] Muhammad ibn ‘Isa ibn Saurah ibn al-Dahhak al-Tirmidhi, Sunan al-Tirmidhi, Juz. 5 (Mesir: Shirkah Maktabah wa Matba‘ah Mustfa al-Babi al-Halbi, 1975), 102.
[6] Abu ‘Abd Allah Ahmad ibn Muhammad ibn Hanbal al-Shaibani, Musnad al-Imam Ahmad ibn Hanbal, juz. 44 (Beirut: mu’assasah al-Risalah, 2001), 159.
[7] Yusuf ibn ‘Abd al-Rahman al-Mizi, Tahdhib al-Kamal fi Asma’ al-Rijal, juz. 35 (Beirut: Mu’assasah al-Risalah, 1980), 317.
[8] Ibid, juz. 29, 311.
[9] Ibid, Juz 26, 419.
[10] Ibid, juz. 32, 551.
[11] Ibid, juz. 16, 5.
[12] Ibid, juz. 12, 272.
[13] Ibid, juz. 17, 430.
[14] Ibid, juz. 26, 243.
[15] A. A H. al-Ghaffar, Wanita Islam & Gaya Hidup Modern, terj. Bahrudin Fanani (Bandung: Pustaka Hidayah, 1995), 35.
[16] H. Shahab, Jilbab Menurut al-Qur’an dan as-Sunnah (Bandung: Mizan, 2004), 18-19.
[17] Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), 522.
[18] A. H. M. A. Syuqqah, Busana dan Perhiasan Wanita menurut al-Qur’an dan Hadis, terj. Mudzakir Abdussalam (Bandung: Mizan, 1998), 16.
[19] al-Ghaffar, Wanita Islam …, 35-36.
[20] Shahab, H., Jilbab Menurut al-Qur’an dan as-Sunnah (Bandung: Mizan, 2004), 18-19.
[21] Lihat al-Qur’an surah al-Ahzab; 59.
[22] Ibrahim, 6-7.
[23] Ibid, 3
[24] Ahmad Suhendra, Kontestasi Identitas Melalui Pergeseran Interpretasi Hijab dalam Al Qur’an, Palastren, vol. 6, No. 1, Juni 2013, 4-5
[25] F. L. Ibrahim Perempuan dan Jilbab (T.t: PT Mapan, 2009), 7.
[26] Li Partic, Jilbab Bukan Jilboob (Jakarta: Kalil, 2014), 2.
[27] Kbbi, 708
[29] Qutaibah, Ta’wil Mukhtalif..., 328-329.
[30] Muhammad ibn Ashraf ibn Amir Abadi, ‘Aun al-Ma‘bud, juz. 11 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1415 H), 114.
[31] Abu al-‘Ala’ Muhammad ‘Abd al-Rahman ibn ‘Abd al-Rahim al-Mubarakfuri, Tuhfat al-Ahwadhi, juz. 8 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.th), 52.
[32] Abu Muhammad Muqif al-Din Ibn Qudamah, al-Mughni li ibn Qudamah, juz. 7 (Kairo: Maktabah al-Qahirah, 1968), 106.
[33] al-Sijistani, Sunan Abi Daud, juz. 2, 285. Lihat pula Muslim ibn al-Hajjaj al-Naisaburi, Sahih Muslim, juz. 2 (Beirut: Dat Ihya’ al-Turath al-‘Arabi, t.th), 1114.
[34] Qudamah, al-Mughni li ibn Qudamah,,,. 106.