BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Ijtihad sebenarnya telah berlangsung
sejak masa Rasulullah. Banyak sahabat Nabi yang telah berijtihad tentang
berbagai persoalan, baik ketika mereka berada disamping Rasulullah, ataupun
ketika mereka berjauhan dengan beliau. Terhadap hasil ijtihad yang beliau
ketahui secara langsung, ataupun melalui perantara-perantara sahabat-sahabat
yang lain, beliau senantiasa menentukan sikap dan kalau perlu memberikan
keputusan; ada yang beliau setujui dan ada yang pula yang beliau betulkan.
Semangat ijtihad tumbuh subur di
kalangan sahabat, karena Rasulullah memang memberi peluang yang besar kepada
mereka untuk berijtihad. Di samping itu dalam bentuk tindakan praktis,
Rasulullah memberi kesempatan agar sahabat-sahabat berani mengemukakan
pendapat, terutama dalam kasus-kasus yang memerlukan pemecahan secepatya. Oleh
karena itu, tidaklah mengherankan kalau ada beberapa orang sahabat yang
tercatat dalam sejarah, sebagai orang-orang yang sering diajak musyawarah oleh
Rasulullah.
Setelah Rasulullah wafat, keperluan
kepada ijtihad semakin meningkat. Kalau pada masa Rasulullah, di samping ada
ijtihad, berbagai persoalan masih dapat dikembalikan dan dikonsultasikan kepada
beliau, tetapi setelah itu keadaannya menjadi lain. Tanggung jawab sepenuhnya
untuk memecahkan segala persoalan jelas terpikul kepada ummat yang
ditinggalkannya. Kedudukan Nabi Muhammad SAW sebagai rasul pamungkas (khatam al-anbiya wa al-mursalin)
Nampaknya difahami mereka secara kreatif.
Untuk itulah,
mereka dengan segala upaya dan kesungguhan, berijtihad, mencari pemecahan
masalah, dengan selalu mengambil inspirasi dan mengakap pesan-pesan universal
dari al-Qur’an dan Sunnah. Dalam ijtihad kadangkala terlihat, mereka membawa
pemecahan yang berbeda, bukan saja di kalangan mereka, bahkan juga dengan
praktek-praktek yang telah berlaku di masa Rasulullah. Dalam sejarah Islam, sahabat yang paling berani
berbuat demikian ialah Umar Ibn Al-Khattab.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Khalifah Nabi
Khalifah
sebagai penganti nabi dalam urusan agama dan kenegaraan. Menurut Joesoef Sou’yb
di dalam Sejarah Daulah Khulafaur
Rasyidin (1979), bahwa khulafaur-rasyidin
itu bermakna ‘pengganti-pengganti yang cendikia’, terdiri dari empat tokoh
sepeninggal nabi muhammad, yaitu;
1.
Khalifah
Abu Bakar al-Siddiq (11-13 H./632-634 M.).
2.
Khalifah
‘Umar b. Khattab (13-23 H./ 634-644 M.).
3.
Khalifah
‘Usman b. ‘Affan (23-35 H/. 644-655 M.).
4.
Khalifah
‘Ali b. Abi Thalib (35-41 H./ 655-661 M).
Panggilan resmi bagi pejabat kekusaan
tertinggi dalam dunia Islam adalah amirul-mukminin
(pangeran bagi kaum mukmin) dan beberapa liteatur barat menyalinya dengan istilah
populer, prince of believers. Akan
tetapi, dalam kehidupan sehari-hari pada masa sulit, dan dalam literatur Arab,
lebih populer digunakan panggilan khalifah 1 (pengganti). Sewaktu Abu Bakar al-Siddiq
terpilih dan diangkat menjabat kekuasaan tertinggi itu, bermula dipanggil
dengan panggilan Khalifatullah (pengganti
Allah, Khalifah Allah). Dia pun keberatan atas panggilan itu. Belakangan, dia
pun dipanggil dengan Khalifatur-rasul
(Pengganti Rasul). Didalam aspek imamah,
yakni aspek pemimpin kekuasaan, dia pun menerima panggilan tersebut.[1]
B.
‘Umar b.
Khattab
1.
Biografi ‘Umar b. Khattab
Umar
Ibnu Khattab adalah putra dari Nafail al-Quraisy, dari suku Bani Adi. Sebelum Islam
suku Bani Adi ini terkenal sebagai suku yang terpandang mulia, megah, dan
berkedudukan tinggi.
Di
masa jahiliyyah Umar bekerja sebagai seorang saudagar. dia menjadi duta kaumnya
di kala timbul peristiwa-peristiwa penting antara kaumnya dengan suku Arab yang
lain. Sebelum Islam, begitu juga sesudahnya, Umar terkenal sebagai orang yang
pemberani, tidak mengenal rasa takut, gentar, dan mempunyaiketabahan dan
kemauan keras, serta tidak menegenal bingung dan ragu.
Menurut
yang diriwayatkan oleh Ibn Atsir bahwa Abdullah
Ibnu Mas’ud berkata : “Islamnya Umar, adalah suatu kemenanagan, hijrahnya
adalah suatu pertolongan, dan pemerintahanya adalah suatu rahmat. Mulanya umat Islam
tidak dapat beribadah di rumahnya sendiri, karena takut kepada Quraisy. Tetapi
sesudah Umar masuk Islam lalu dilawanya kaum quraisy itu, sehingga mereka
membiarkan umat Islam beribadah.”
2.
Pengangkatan ‘Umar Sebagai Khalifah
Setelah
Abu Bakar sakit dan merasa ajalnya sudah
dekat, dia bermusyawarah dengan para pemuka sahabat, kemudian mengangkat Umar
sebagai penggantinya dengan maksud untuk mencegah kemungkinan terjadinya
perselisihan dan perpecahan di kalangan umat Islam, karena waktu itu
balatentara Islam sedang sedang berperang dengan bangsa Persia dan Romawi.
kebijakan Abu Bakar tersebut diterima masyarakat yang segera secara
beramai-ramai. Oleh karena itu, Abu Bakar menunjuk umar menjadi khalifah. Dan
piagam penunjukan itu ditulis sebelum beliau wafat.[2]
3.
Terbunuhnya ‘Umar b. Khattab
Sejumlah
musuh-musuh Islam terdiri dari orang-orang persia dan yahudi mengadakan
komplotan untuk membunuh umar b. Khattab. Pembunuhan itu dilakukan oleh seorang
Nasrani yang bernama abu lu’luah. Dia seorang persia, ditawan oleh tentara Islam
di nahawand, dan kemudian menjadi hamba sahaya dari mughiroh ibnu syu’bah.
Sejarah
telah menguraikan bahwa umar telah merobohkan kerajaan kerajaan persia dan
melenyapkan kekuasaan mereka. Karena itu lapisan atas dari bangsa persia beseta
pendukung-pendukungnya menaruh deendam terhadap umar, dan berniat hendak membunuh
beliau.
Abu
lu’luah telah berhasil menyusup kedalam masjid, di waktu umar hendak memulai
sembahyang subuh, di kala itu hari masih gelap. Maka ditikamnyalah khalifah
dengan sebuah golok beberapa kali, diantaranya satu di bawah pusatnya, maka
keluarlahlah perut itu.
Umar
memekik, maka datanglah kaum muslimin hendak menangkap pembunuh itu, tetapi
mereka diserangnya pula dengan goloknya, hingga ada yang mati, dan beberapa
orang-orang luka. Akhirnya kaum muslimin dapat dapat menangkapnya, tetapi masih
dapat dia memakai goloknya untuk membunuh dirinya sendiri.
C.
IJTIHAD UMAR BIN KHATTAB
1.
Perluasan dan Pengelolaan Wilayah
a.
Pertempuran di Persia
Di
masa pemerintahan Umar bin Khattab tepatnya 15 H, umar mengirimkan mengirim
balatentara ke negeri Persia. Disiapkanya suatu pasukan berjumlah 8000 orang,
dan diangkat Sa’ad bin Abi Waqqas menjadi pemimpinya. Balatentara ini
berhadapan dengan laskar Persia yang berjumlah 30.000 orang, di bawah pimpinan
seorang panglima besar yang bernama Rustam. Tetapi balatentara Persia telah
dapat dikalahkan oleh laskar kaum muslimin dan Rustam dapat di bunuh. Pada
pertempuran ini kaum muslih banyak sekali mendapat rampasan yang tidak sedikit
jumlahnya.
Sa’ad
meneruskan penyerbuanya, hingga dia berhasil menduduki ibu kota kerajaan Persia
yang terkenal dalam sejarah dengan nama al-Madain. Demi ibu kota kerajaan Persia,
larilah Yazdigird. Tetapi dia mengumpulkan laskarnya kembali untuk menghadapi
kaum muslimin.
Yazdigird
berhasil mengumpulkan 100.000 orang pemanggul senjata. Dengan jumlah yang besar
inilah dia menghadapi laskar kaum muslimin di Nahawand yang berada di bawah
pimpinan Nu’man ibnu Muqarrin al-Muzani pada tahun 21 H. Pertempuran di Nahawand
adalah satu pertempuran yang terkuat dan terbesar yang pernah dikenal dalam
sejarah bangsa persia. Bangsa persia berperang mati-matian, tetapi kaum
muslimin dapat mengalahkan mereka. Pertempuran di Nahawand ini terkenal dengan
sebutan “fathul futuh” (kemenangan
yang paling besar di antara seluruh kemenangan).[3]
b.
Pertempuran-Pertempuran di Negeri Romawi
Imperium
Romawi adalah satu imperium yang sangat luas, yang membujur mulaia dari
semenanjung Iberia sampai ke Syam, Mesir dan Afrika Utara. Imperium ini melingkupi
beberapa negara dan berjenis-jenis bangsa manusia. Sedang kaisar-kaisarnya
terkenal dalam sejarah sebagai kaisar yang kejam, dan berdarah penjajah.
Kerapkali negara-negara yang telah mereka tahlukan memberontak, maka mereka ajarlah
pemberontak-pemberontak itu dengan bengis dan kejam. Darah mereka ditumpahkan
dan harta mereka dirampas.[4]
1)
Pertempuran Ajnadain
Pertempuran
Ajnadain terjadi tahun 13 H. laskar kaum muslimin berjumlah 30.000 orang di
bawah pimpinan Khalid Ibnu Walid. Adapun lskar Romawi berjumlah 100.000 orang,
di bawah pimpinan Theodore saudara Heraklius.
Tentara
Romawi cukup dengan senjata dan alat-alat perlengkapan, sedangkan tentara
muslim miskin dengan itu, hanya kaya dengan senjata rohani, yaitu semangat yang
berkobar-kobar, dan kepercayaan yang kuat terhadap terhadap perolongan Tuhan dan
kemenangan yang gemilang. Pertempuaran sengit terjadi yang berakhir dengan
tewasnya separo dari laskar Romawi sebagaian yang lain melarikan diri.
Kekalahan
laskar Romawi ini sangat memalukan Heraklius dan merupakan suatu pukulan hebat
kepadanya. Demikian hebatnya pukulan hingga di melarikan diri ke Anthakiah.
2)
Pertempuaran Damaskus
Pada
tahun 14 H, kaum muslimin mengepung
kota yang indah ini. Sementara itu penduduk bertahan di dalam kota sambil
menutup semua pintu masuk. Khalid Ibnu Walid dengan pasukanya berdiri di pintu
kota sebelah Timur, Abu Ubaidah di pintu sebelah di pintu yang disebut Bab al-Jabiah,
amr Ibnu Ash di Bab Tuma, Syurahbil di Bab al-Faradis, dan Yazid Ibnu Abi
Sufyan di Bab al-Shaghir. Maka terjadilah pertempuran kecil-kecil antara
tentara Islam dengan penduduk kota. Sementara itu pembicaraan berlangsung
antara kaum muslimin dengan beberapa orang uskup dari kota yang sedang
terkepung itu. Akhirnya kaum muslimin dapat memasuki kota Damaskus.
3)
Pertempuran Yarmuk
Heraklius
menyiapkan lagi perlengkapan-perlengkapan untuk suatu pertempuran yang
menentukan. Dikumpulkanya seluruh kekuatandengan balatentara sejumlah 200.000
orang bahkan menurut beberapa riwayat dari pihak arab jumlah itu sampai
1.000.000 bahakan 1.500.000 orang. Pimpinan tentara yang besar diserahkan Heraklius
kepada Jabalah Ibnu Aiham raja yang terakhir dari kerajaan Ghassasinah, dibantu
seorang panglima bangsa Armenia bernama Mahan. Sedang tentara Islam berjumlah
24.000 orang dibawah pimpinan Abu ‘Ubaidah.
Pertempuran
sengit terjadi di suatu tempat di dekat sungai yarmuk. Demikian dahsatnya
pertempuran ini menurut pandangan bangsa Romawi dan pengikut-pengikutnya,
hingga mereka mengikat diri satu sama lain dengan rantai, agar tak seorang pun
diantara mereka yang melarikan diri. Kendatipun demikian namaun mereka kalah
juga. Kira-kira 70.000 orang diantara mereka melarikan diri dan sisanya
kocar-kacir dan cerai-berai ke pelbagai tempat.
4)
Pertempuran Mesir
Mesir
negara Mesir dewasa itu sedang menderita tindasan, penganiayaan dan
kesewenang-wenangan bangsa Romawi, sama halnya dengan Syria dan Palestina sebelum
dibebaskan kaum muslimin. Mesir negara kaya raya. Buminya subur, sungai nilnya
yang abadi itu melimpahkan kebaikan sepanjang massa. Pada kiri kanan sungai,
membentang kebun-kebun, dan ladang-ladang. Disamping itu Mesir mempunyai
sejarah semenjak beribu-ribu tahun yang lewat. Tiada salah kalau orang yang
mengatakan bahwa negeri Mesir itu mutiara timur yan cemerlang. Mengusai Mesir
berarti, kesetabilan Islam diseluruh negeri-negeri asia dan afrika yang tadinya
berada dibawah kekuasaan Romawi.
Berangkatlah
‘Amr Ibnu Ash melalui padang Sinai, hingga sampai di ‘Arisy, lalu didudukinya
dengan tiada suatu perlawanan berarti. Setelah itu, menuju Frama yang merupakan
kunci negeri Mesir. Kota Frama jatuh ke tangan kaum muslimin pada tahun 19 H. Kemenanagan
ini mendapat sokongan dan dukungan yang kuat dari Mesir itu sendiri, dikatakan Mesir
memegang peranan yang besar dalam membebaskan kota ini dari penjajahan bangsa Romawi.
Dari
frama menuju Bulbais kemudian menuju Ummu Dunain. Di sini terdapat pertempuran
yang sengit, kaum muslimin tidak dapat mengalahkan bangsa Romawi dalam
pertempuran tersebut. ‘Amr bin ‘Ash meminta bantuan kepada khalifah. Khalifah
mengirim 4000 balabantuan. Maka bertemulah bala tentara Islam dengan laskar Romawi
yang berjumlah 20.000 orang dibawah pimpinan panglima besar, bernama Theodore.
Pada pertempuran ini mendapat
kemenanagan, berkat kemahira ‘Amr bin ‘Ash dalam mengatur balatentaranya.
5)
Pertempuran di Benteng Babilyon
Pertempuran
di Benteng Babilyon pada tahun 20 H. Terjadilah pertempuran besar, diBenteng
Babilyon. Tujuh bulan lamanya kaum muslimin mengepung benteng ini, akhirnya
dimulai pembicaraan untuk merundingkan perdamaian. Muqauqis mengutus suatu
delegasi, delegasi ini ditahan ‘Umar bin ‘Ash 2 hari lamanya supaya lebih lama
mereka dapat memperhatikan kaum muslimin. Akhirnya mereka disuruh memilih 3 hal
:
a.
Masuk
Islam, dan mereka akan mendapatkan hak dan kewajiban sebagai hak dan kewajiban
kaum muslimin.
b.
Membayar
Jizyah (pajak yang diharuskan oleh tiap-tiap jiwa, selain daripada anak-anak
dan orang-orang tua tua). Dengan membayar Jizyah mereka dapat menikmati dan
mempergunakan alat-alat perlengkapan negara, seperti pengairan, polisi dan
lain-lain.
c.
Berperang.
Muqauqis
memilih syarat kedua, yaitu membayar pajak. Karena pajak yang harus dibayar
kepada pemerintah Islam jauh lebih kecil dari pajak yang selama ini dibayar
kepada bangasa Romawi.
6)
Pertempuan Iskandariah
Pertempuran
Iskandariah tidak ada lagi tempat-tempat strategis yang lebih penting sesudah Benteng
Babilyon selain dari Iskandariah. Iskandariah adalah ibukota Mesir. Kaum
muslimin meneruskan perjalanannya ke kota iskandaria.
Kota
Iskandariah terletak di pinggir laut, mempunyai pertahanan yang kuat. Banyak
tentara yang ditempatkan di sana, bahkan balabantuanpun mudah didatangkan dari
Konstantinopel melaui laut. Karena fakta-fakta ini, maka kaum muslimin terpaksa
lama mengepung kota ini, tetapi benteng pertahananya tidak dapat mereka tembus,
sehingga harapan mereka menaklukkan kota ini menjadi tipis.
Harapan
kaum muslimin yang telah lemah diketahui oleh Khalifah Umar. Kepada ‘Amr ditulislah
surat yang isinya cukup keras. Dalam surat Umar mencela ‘Amr dan kaum muslimin
yang masih bimbang dan ragu-ragu. Andai Iskandaria tidak dapat ditahlukkan kedudukan
mereka akan lebih berbahaya. Sesampainya surat itu ke tangan ‘Amr dibacakanlah
di hadapan kaum muslimin, maka bulatlah tekat mereka untuk berjuang kembali
dengan sabar dan tabah. Kemudian mereka menyerbu kota Iskandaria dengan gigih.
Tentara
Romawi kacau bala, ada yang tawan dan banyak yang melarikan diri ke kapal-kapal
yang sedang berlabuh di laut. Akhirnya Maqauqis bertindak sekali lagi dengan
mengadakan perdamaian dengan kaum muslimin. Dengan demikian negeri Mesir
masuklah ke dalam wilayah pemerintahan Islam.[5]
2.
Pengelolaan Kas Negara
Pada masa
Rasulullah SAW dan Abu Bakar, kekuasaan bersifat sentral (eksekutif,
legislatif, dan yudikatif terpusat pada pemimpin tertinggi), sedangkan pada
masa Umar, lembaga yudikatif dipisahkan dengan didirikannya lembaga pengadilan.
Diantara
kebijakan yang dilakukan umar adalah menata pemerintahan dengan membentuk
departemen-departemen (diwan), mengadopsi model persia. Misalnya untuk
menjaga keamanan dan ketertiban dibentuk jawatan kepolisian dan juga jabatan pekerjaan
umum. Tugas diwan adalah menyampaikan perintah dari pemerintah pusat ke
daerah-daerah dan menyampaikan laporan tentang perilaku dan tindakan-tindakan
penguasa daerah kepada khalifah. Wilayah negara pada masa pemerintahannya
dibagi menjadi delapan provinsi, yaitu : Mekkah, Madinah, Syria, Jazirah,
Bashrah, Kufah, Palestina, dan Mesir. Tujuannya adalah untuk melancarkan
hubungan antar daerah.
Pada masa
Umar ini pulalah mulai diatur dan ditertibkan tentang pembayaran gaji dan pajak
tanah. Terkait dengan masalah pajak, Umar membagi warga negaranya dalam dua
kelompok yaitu muslim dan non muslim (dzimmy). Bagi muslim diwajibkan
untuk membayar zakat, sedangkan bagi non muslim dipungut kharaj (pajak
tanah) dan jizyah (pajak kepala). Bagi muslim diberlakukan hukum Islam,
bagi non muslim diperlakukan hukum menurut agama atau adat mereka
masing-masing. Untuk mengelola keuangan negara didirikan Baitul Mal. Mata
uang telah ditempa sendiri pada masanya. Kemudian untuk mengenang peristiwa
hijrah ditetapkan peristiwa tersebut sebagai awal tahun hijriah. Seluruh
kebijakan yang dilaksanakan, pada hakekatnya merupakan upaya mengkonsolidasikan
bangsa Arab dan melebur suku-suku Arab ke dalam satu bangsa.
Kebijakan
Umar yang lain dalam hal pengelolaan kas negara adalah Umar menerapkan pajak
perdagangan (bea cukai) yang bernama al-‘Ushur, Ia mengadopsi sistem ini
ketika ia mendapat laporan bahwa apabila pedagang Arab datang ke
Byzantium, maka pedagang tersebut ditarik pajak 10% dari barang yang
dijual. Sementara itu bagi dzimmi yang berada di dalam negeri dikenakan
sebesar 5%, sedangkan bagi orang Islam membayar 2,5% dari harga barang
dagangan. Umar juga mengeluarkan beberapa kebijakan yang inovatif yang tidak
terdapat pada periode sebelumnya, misalnya demi keamanan, menjaga kualitas/mutu
tentara Arab, produksi panen yang memadai, menghindari negara dari kerugian
pajak 80%, keadilan, menghindari diskriminasi Arab dan non-Arab, khalifah
melarang transaksi jual beli tanah bagi orang Arab di luar Arab. al-Mal
al-Ghanimah selama pemerintahannya dibagikan kepada kepala negara sebesar
20% dan tentara 80%, Umar memasukkannya ke kas negara.[6]
3.
Penataan Birokrasi Pemerintahan
Masa Khalifah Umar lembaga yudikatif
sudah berdiri sendiri, terpisah dari eksekutif dan legislatif. Ia memisahkan
kekuasaan yudikatif di Madinah dari kekuasaannya, dan untuk itu ia mengangkat
Abu ad-Darda’ yang diberi gelar Qadi (Hakim). Dalam pemerintahan Umar
terjadi banyak perubahan, ia membangun jaringan pemerintahan sipil yang
sempurna tanpa memperoleh contoh sebelumnya, sehingga ia pantas mendapatkan
julukan “Peletak Dasar/Pembangun Negara Modern”. Hal-hal penting sebagai
prasyarat bagi suatu bentuk pemerintahan yang demokratis sudah mulai
diletakkan. Dalam masa pemerintahannya terdapat dua lembaga penasehat, yaitu
majelis yang bersidang atas pemberitahuan umum dan majelis yang hanya membahas
masalah-masalah yang penting.
Wilayah negara terdiri dari
provinsi-provinsi yang berotonomi penuh, kepala pemerintahan provinsi bergelar Amir.
Di setiap provinsi tetap berlaku adat kebiasaan setempat selama tidak
bertentangan dengan aturan pemerintah pusat. Para Amir (gubernur)
provinsi dan para pejabat distrik sering diangkat melalui pemilihan.
Pemerintahan Umar menjamin hak setiap orang dan orang-orang menggunakan kemerdekaannya
dengan seluas-luasnya. Khalifah tidak memberikan hak istimewa tertentu. Tidak
seorangpun memperoleh pengawal, tidak ada istana dan pakaian kebesaran, baik
untuk khalifah sendiri maupun bawahan-bawahannya. Tidak ada perbedaan antara
penguasa dan rakyat, setiap waktu mereka dapat dihubungi oleh rakyat.
Agar mekanisme pemerintahan berjalan lancar, dibentuk
organisasi negara Islam yang pada garis besarnya sebagai berikut :
a.
An-Nidham As-Siyasy (Organisasi Politik), yang mencakup
:
· Al-Khilafat : terkait
dengan cara memilih khalifah
· Al-Wizariat : para
wazir (menteri) yang bertugas membantu khalifah dalam urusan pemerintahan.
· Al-Kitabat :
terkait dengan pengangkatan orang untuk mengurusi sekretariat negara.
b.
An-Nidham Al-Idary : organisasi tata
usaha/administrasi negara, saat itu masih sangat sederhana.
c.
An-Nidham Al-Maly : organisasi keuangan negara,
mengelola masalah keluar masuknya uang negara. Untuk itu dibentuk Baitul
Mal.
d.
An-Nidham Al-Harby : organisasi ketentaraan yang meliputi
susunan tentara, urusan gaji tentara, urusan persenjataan, pengadaan
asrama-asrama dan benteng-benteng pertahanan.
e.
An-Nidham Al-Qadla’i : organisasi kehakiman yang meliputi
masalah-masalah pengadilan.
Pengembangan sistem birokrasi
pemerintahan yang dihasilkan oleh pemikiran keras Umar bin Khattab ini
diperoleh setelah berhasil memadukan sistem yang ada di daerah perluasan dengan
kebutuhan masyarakat yang sudah mulai berkembang pada saat itu.
4.
Ijtihad Umar
di Bidang Hukum
Pada saat
agama Islam telah meluas hingga ke Syam, Mesir dan Persia, agama Islam banyak
menjumpai kebudayaan baru yang hidup di negeri-negeri itu, sehingga timbullah
berbagai macam kesulitan dan masalah-masalah yang belum pernah ditemui oleh
kaum muslim.
Umar bukan
saja menciptakan peraturan-peraturan baru, tetapi juga memperbaiki dan
mengadakan perubahan terhadap peraturan yang telah ada, bilamana peraturan itu
memang harus diperbaiki dan diubah. Misalnya peraturan yang telah
berlaku bahwa kaum muslim diberi hak menguasai tanah dan segala sesuatu yang
didapat dengan berperang, Umar mengubah-nya bahwa tanah itu harus tetap di
tangan pemiliknya semula tetapi dikenai pajak tanah (kharaj).
Di antara
ijtihadnya di bidang hukum yang cukup spektakuler yaitu:
a.
tidak
melaksanakan hukuman potong tangan terhadap pencuri yang terpaksa mencuri demi
membebaskan dirinya dari kelaparan.
b.
menghapuskan
bagian zakat bagi para muallaf (orang yang dibujuk hatinya karena baru
masuk Islam).
c.
menghapuskan
hukum mut’ah (kawin kontrak) yang semula diperbolehkan dan sampai
sekarang masih diakui oleh orang-orang Syi’ah Itsna ‘Asyariyah.
Dengan
melaksanakan ijtihad, Umar hanya ingin memberikan tuntunan dan pengertian bahwa
ajaran Islam itu tidak kaku, tapi bisa lentur dan luwes sesuai dengan
perkembangan zaman dan permasalahan yang dihadapi dengan tetap mengacu pada
substansi ajaran yang ada dalam al-Qur’an dan al-Hadits.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
1. Pada periode Khalifah Umar (634-644
M), peta Islam semakin meluas, Islam
meluas di Timur sampai perbatasan India dan sebagian Asia Tengah di Barat
sampai Afrika Utara. Setelah memangku jabatan kekhalifahan, Umar melanjutkan
kebijakan perang yang telah dimulai oleh Abu Bakar untuk menghadapi tentara
Sasania maupun Byzantium baik di front Timur ( Persia ), Utara (Syam) maupun di
Barat (Mesir). Ada beberapa sebab ekspansi Umar Bin Khattab ke wilayah-wilayah
tersebut di antaranya :
a.
Letak
geografis Persia, Syam, Iraq maupun Mesir adalah wilayah perbatasan dengan
pemerintahan Islam. Daerah Byzantium terletak sebelah barat laut dari Arab
terdiri dari Syiria, Palestina, Yordania, dan Mesir. Mereka, sejak awal,
memiliki hubungan yang kurang harmonis dengan bangsa Arab.
b.
Pada saat itu,
Sungai Nil (Mesir) dan Mesopotamia merupakan lahan yang subur. Jika
dibandingkan dengan keadaan di Arab yang gersang dan tandus, maka hal ini
menarik keinginan para prajurit Islam untuk menguasai wilayah tersebut sebagai
sentrum perjuangan dakwah di luar Jazirah Arab.
c.
Damaskus
pada saat itu merupakan kota penting. Damaskus dijadikan kota dan jalur
perdagangan internasional.
[1] Joesoef Sou’yb, Sejarah Daulah
Khulafaur Rosyidin, (Jakarta:Bulan Bintang. 1979), 9-10.
[2] Joesoef Sou’yb, Sejarah Daulah
Khulafaur Rosyidin, (Jakarta:Bulan Bintang. 1979), 9-10.
[3] A Syalabi, Sejarah dan
Kebudayaan Islam, (Jakarta:al-Huma Zikra. 1997), 244-245.
[4] Ibid., 248
[5] Ibid., 259.
[6] Ibid., 262-263